Tuesday, December 28, 2004

tadi pagi

Tadi pagi sebuah puisi datang mengilhami
namun kau tak bersamaku
membawa serta kebenaranmu pergi
Puisi itu telah lama kutunggu
dalam air mata nan sendu
Sekian lama ingin kupersembahkan
bagi alam dan kehidupan
dan seketika ia berkelebat datang
di antara celah pijar cahaya fajar
Namun kau tak bersamaku
membawa serta harapan pergi

Kupikir bila surya telah tegar
aku akan bisa berbagi kasih untuk kau rasa
Kasih setulus bunga dari taman segar
yang kelopaknya begitu halus penuh jiwa
dan semerdu nyanyian burung yang menggema
di angkasa
Namun betapa pun itu...
dengan segenap hati aku mencoba
nada puisi itu tak mampu padu melagu

Sekarang, kau datang dengan kebenaran
dengan harapan yang tadi ikut pergi
Puisi itu yang berganti tak di sini
hanya kau dan kebenaran dan harapanmu semata

Sunday, December 26, 2004

nanti

Aku adalah saat ini
hanya saat ini yang bisa kuamini
Baik buruknya
Indah cacatnya
Kehidupan yang boleh kurasa
bisa kukendalikan dalam upaya
adalah saat ini

Aku di masa nanti
sedang kuupayakan terjadi
segala yang terbaik jadi cita
seperti mimpi-mimpi asmara
Tak ingin bicara kecewa
manusia biasa hanya bisa merana

Aku saat ini adalah awal di masa nanti
Sederhananya...
Mari berjuang saat ini
demi lebih baiknya nanti
Namun, saat kau ragukan segala cara
cerita saat ini hanya jadi pemusnah jiwa

Kembali aku tersesat
dalam hutan hasrat nan lebat
Kompas dan petaku kau hempaskan
dalam kesia-sian

Kau takut itu terjadi
Aku lebih takut tak mampu menghindari
karena kaulah segara asaku...
saat ini dan juga nanti

Bilakah kau mengerti
kaulah bintang penunjuk langkahku?

Friday, December 24, 2004

Langit malam...

Langit malam, kumohon
peluklah aku...

Aku merasa hanya kaulah satu-satunya
yang sungguh menyayangiku
tanpa pamrih dan penuh kasih

Bulan, bintang dan matahari
hanya mengasihaniku dengan terangnya
namun, di matanya aku bukanlah apa-apa
aku hanya sekedar lalu lewat
dalam kegemilangan derita
Kemenangan adalah cita-citanya
aku hanya sekedar bidak langkah
menuju kejayaannya

Dan kini aku kian mengetahuinya...

Langit malam, kumohon
peluklah aku erat...

Aku sudah membakar buku-buku harapanku
sudah kurangkaikan buku baru bersama
menuju masa depan dengannya
namun, ternyata lembar demi lembar
halaman buku itu terserabut
dari jilid cinta
karena diisi oleh tinta hina
rasa yang dijatuhkan atas vonis
kealpaan dan kasihan semata
Inikah artinya aku tak layak
sedikit pun untuk Cinta?

Lalu siapa lagi yang boleh kupercaya?
Semua sudah kucoba
segala perih dan kecewa tak kuindahkan
kuganti dengan ukiran semangat dan harap
karena sungguh kupercaya Cinta
segala tuduhan dan caci maki kurangkul
kuingat dan kuamini sebagai pelajaran
karena sungguh kupercaya Cinta
segala apa yang boleh aku jadikan upaya
segalanya yang tak pernah diakuinya
kuanggap ujian dan tetap kuperjuangkan
agar boleh sedikit saja diterima
karena sungguh kupercaya Cinta

Langit malam, kumohon...
Kumohon dengan sangat
peluklah aku dengan erat

Peluklah aku dengan gelap pekatmu
Tidurkan aku dalam pembaringan maha hitammu
Rengkuhlah jiwa kerdilku dalam keluasan kelammu
Berkali sudah aku kehilangan arah...
dan malam ini, hanya kau
yang masih setia mendengarkanku

Langit malam, kumohon
peluklah aku dengan hangatmu

Aku sudah tak menangis lagi...

Tuesday, December 21, 2004

[Nirjudul]

Awan biru bagai lagu sendu
liriknya mengeja kata demi kata
merintih ragu sakit diterjang sembilu
Angin malam bagai iringan harpa duka
alunannya terdengar asing membuai pilu
rasa sia menanti mati masih lama

Kata-kata lirih kata-kata hanya mengeja
sakitnya di luar makna
karena tak ada yang mau mendengarnya
tak bisa cepat berharap menghapusnya
Matahari tetap membara
dan panasnya kian membakar asa
mimpi buruk datang di tidur dan terjaga
adakah dia merasakannya?

Sayang, aku tak ingin meninggalkannya
bilakah boleh memilih tikamlah hati ini
dengan belati kasih kala memang masih tersisa
jangan tinggalkan asa di kemudian hari
Kumohon...
biarkan jiwa pergi menanggung derita
hingga saatnya dijemput mati

Wednesday, December 15, 2004

mabuklah

Mabuklah jiwa dan pikiran duka
Siapa yang peduli sedih sang senja
Menyambut hujan dibalut dingin
Membekukan semangat yang susah payah
Dinyatakan demikian berharga
Bilakah kan hancur jelang pagi nanti?

Tak membutuhkan semangat lagi…
Sudah lelah menanggung tekad
Hanya jadi gemuruh bising tak nyata

Mabuklah jiwa dan pikiran hina
Lagu-lagu paling hingar tak bisa kudengar lagi
Pelarian yang paling cepat bisa kulakukan
Sudah kutempuh tapi tak pernah cukup
Lelah berperang melawan nestapa
Menjadi baik buat apa jika dianggap sia

Tak membutuhkan kebaikan lagi…
Sudah tak kuat mencari kebaikan
Hanya jadi kesalahan yang tertunda

Mabuklah jiwa dan pikiran sepi
Siapa yang peduli, di sudut dingin ini aku sendiri
Mereka biasa terlena dengan kemabukkan ini
Kini harus mulai membiasakan diri
Menenggak cepat dan semoga segera terlupa hidup
Agar tetap bisa menjaga rasa sendu di hati?

Tak membutuhkan mengingat lagi…
Sudah tak mampu mengingat
Hanya jadi masa lalu terlewat

Mabuklah jiwa dan pikiran nelangsa
Perjuangan di depan mata hanya fatamorgana
Seperti angin kencang meluluhkan dedaun asa
Tersapu jatuh bersatu dengan lumpur dan debu
Dilibas langkah-langkah besar tanpa ragu
Dunia tanpaku akan tetap melaju

Tak membutuhkan melangkah lagi…
Sudah tak sanggup melangkah
Hanya jadi cetak telapak terbuang tergenang

Kata mereka aku harus kuat
Sudah berusaha keras dan aku cukup kuat
Tapi sungguh…
Kata-kata sungguh itu membuat kekuatan apa pun
Jadi tak punya nilai sama sekali
Sebotol tak perlu habis membuatku
Kembali ke kelemahan abadi manusia biasa

Keinginan untuk tak menyerah ini masih ada
Tapi, tak tahu musti bagaimana lagi
Maka kumohon mabuklah jiwa dan pikiran segala
Hanya demi membantu menemukan lelah sejati

Tembok itu kian kokoh disetiap belaian sayangku…
Bilakah air mata jadi cinta yang menangguk bahagia?
Atau hanya kasihan semata sebelum dianggap merana…

Agar cukup meratap hari ini
Mabukkan semabuk-mabuknya…
Biarlah jadi tak berdaya
Tak perlu lagi segala daya itu…

Sunday, November 14, 2004

Merasa...

ini puisi masih merasa nelangsa
di ujung senja
padahal sang senja sudah lepas dari jeda
lalu petang setelahnya kian gelap
kelam malam datang bagai kalap

nyanyian para pemabuk
masih bising mengiring
mereka bisa melupakan gulananya
semua tertumpah di jalan yang dingin

sedang ini puisi masih merasa
gelap di balik jendela lebih menyiksa
tak ada tempat bercerita
buku-buku catatan sudah tak ada
kertasnya hangus terbakar janji
dedaunan sudah resap dalam peluk bumi
tak menyisakan sehelai pun di ranting
tak ada tempatnya menorehkan
meski satu saja kata
… sepi …

ini puisi mencoba seteguk merasa
bilakah hangat minuman mereka
para itu pemabuk bahagia
cepat lalui petang setelah senja?

namun belum sempat mengecapnya
semua gelas berjatuhan pecah berhamburan
ikut berkumpul dengan gulana
yang telah dulu tumpah di jalan
yang kian dingin…
dan para pemabuk makin parau bernyanyi
ini puisi menangis getir dalam hati

senja telah jadi petang gelap
malam datang kian tegar tegap
sedang ini puisi semakin merasa
tersiksa dalam cuaca dan cinta
yang membekukan air mata

ini puisi hanya terpaku
bait kata-kata tak bicara
harap dan air mata mengeras kaku beku
sampai datang angin selatan
menghempaskannya….

terhempas tak lagi ada ini puisi…
tak lagi perlu merasa
esok tatkala mentari pagi datang
hangat kan menguapkan serpihannya
jadi awan menuju lautan tiada lagi sisa ini puisi…
tak lagi bisa dirasa tak perlu dirasa

Friday, November 12, 2004

kau dan aku

kau dan aku
dua dunia bertemu
dalam sebuah kurun waktu
dan cerita demi cerita
kisah asmara laksana
balada manusia pada umumnya

tapi berbedakah cerita
kau dan aku?
bilakah kisah asmara
kau dan aku
seperti balada manusia lainnya?

ah, pedulikah kau?
tidak aku...
aku hanya merasa tahu...

kau berkata, "aku kasihmu"
aku berkata, "kasihku adalah kamu"
kau berkata, "kamu kasihku"
aku berkata, "kasihmu adalah aku"
kau berkata, "aku sayang kamu"
aku berkata, "kamu sayangku selalu"

mari senandungkan lagu
dalam hati nan merindu
kau dan aku berpadu


Ås, 12Nov2004

Monday, November 08, 2004

Doa

Doa seorang pecinta untuk kekasihnya...
demi kesempurnaan masa depannya...

Demi bintang gemintang di angkasa gemilang
Demi bulan temaram penjaga malam
Demi angin penggerak kumpulan awan
Demi matahari cerah penguasa terang

Kumohon, wahai Pencipta semesta
dengarkan doa ini

Demi hatiku yang menaruh cinta abadi
Demi jiwaku yang tunduk pada hukum sejati
Demi segenap harapan yang ada dalam kehidupan
Demi segala upaya pun semua kecil kealpaan

Kumohon, wahai Pencipta semesta
dengarkan doa ini

Demi cinta abadiku, kekasihku
Demi jiwaku, kekasihku
Demi harapan dan cita cinta kami, kekasihku
Demi masa depan, kekasihku

Doa ini demi kekasihku
Atas seluruh kehendak-Mu, kumohon
kabulkan doa ini

Doa kasih agar tegar
kala menantang halangan
dan pulang dengan kemenangan
di hati... di jiwa... dan cinta

Amin...
Swaha...

Inferno 208, 07Nov2004
"... doaku selalu bagi keberhasilanmu"

Sunday, October 31, 2004

Waktu

kau mengejar malam karena waktu telah dicuri oleh siang
aku mengejar siang karena waktu telah dicuri oleh malam
mataharimu adalah panas yang lebih penat
bulanku adalah dingin yang lebih pekat

kita sama-sama memutar jarum-jarum
penunjukan waktu-waktu
kala kau memutarnya maju
kala aku memutarnya mundur

betapa jauh waktu kita kini terpaut
namun, di saat peristiwa waktu ini menjemput
aku kian merasa dekat denganmu dalam hati dan asa
waktu boleh kian merenggangkan tautan kita
sedangkan cinta dan ikatan jiwa
sudah kumaklumatkan bersaksi:

demi bulan dan matahari
demi gunung dan samudera
demi seluruh musim-musim di seluruh bumi
demi siang dan malam

akan tetap kujaga di mana pun berada
akan tetap kuletakkan dalam degup jantung raga
walau sejak kini waktu
berjarak separuh dari satu hari bumi

Ås-Norge, 31Oct2004
"... after adjusting Saving Daylight Time"

Bintang Kecil di Langit Ås

Pagi masih begitu awal di langit Ås, cerah…
cakrawala masih memburai biru jadi kelabu semu
membias kilas di angkasa
bersih, tiada berarak putih awan
atau tanda hujan akan menjelang
titik-titik kemilau embun masih membeku
di ranting-ranting pohon yang sudah tak berdaun
bagai cukil-cukil lampu bening mungil
berkerlap kerlip mengerling menggoda kesegaran
namun, ada satu kerlip yang lebih menarik di atas sana
Satu bintang kecil masih berkerlip nun jauh di sana

mengapa kamu sendiri, wahai Bintang Kecil?
mengapa kamu hanya sendiri, di langit Ås yang sepi ini?
tiadakah bintang lain yang bersamamu sejak malam tadi?

aku pun sendiri di sini, menanti sang fajar menjelang hari
hangatnya kuharap bisa mengganti dingin musim gugur ini
agar seiring senandung hangatnya kerinduan
atas kehangatan belahan jiwaku sesungguhnya
yang masih tertinggal di selatan
adakah kau juga merasa sendiri seperti aku di sini?
pun adakah kau juga merasa merindukan belahan jiwamu di sini?
di belahan bumi Ås ini?
sudah berapa lama kau menanti dan merindu di atas Ås?

kubayangkan bagaimana cara mengirimkan pesan
ke ujung bumi yang lain?
sedangkan kau sendiri di atas sana, sendiri seolah masih mencari
cara yang ada untuk menemukan pencarianmu
semalam penuh kau menatap bumi tapi hingga hampir pagi
ini kau tetap tabah sendiri menanti mencari

pabila semburat langit menjadi kian terang
dibalik garis-garis cakrawala yang kian biru
dan bila sudah kau temukan apa yang kau cari
sudikah kau, Bintang Kecil di langit Ås,
membawa salam sayangku untuk-nya
lewat jalur bintang gemintangmu
ke bumi selatan sana, dan mohon katakan…
"Jeg elsker Deg der for mye - Aku sungguh sayang kepadamu..."

kelak, di pagi cerah hari yang lain…
kau dan aku bisa mengukir asa lagi bagi kekasih kita…
tetaplah berharap demi cinta…

Ås-Norge, 27Oct2004

Monday, October 18, 2004

Tentang Kecantikan

kecantikan sesungguhnya
adalah lebih dari sekedar wajah yang indah dan
tubuh yang luar biasa...
kecantikan sesungguhnya
adalah kesederhanaan yang tidak pudar
meski waktu menggeser hari-hari menambah usia...
kecantikan sesungguhnya
adalah hal-hal kecil yang terus menyita perhatian
menghargai lebih dari sekedar memilikinya
kecantikan sesungguhnya
adalah keindahan yang dinamis....
seperti musim yang selang seling berganti...
hingga kita selalu mengagumi keindahannya
meskipun kita sedang mengulanginya…
tanpa pernah bosan...
dan hanya bisa berdecak kagum...
tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata pun...
dan…
kecantikan sesungguhnya itu ada di diri istriku
yang bernama Diahhadi Setyonaluri..

seorang perempuan sederhana...
bukan karena penampilannya...
melainkan karena rona bibirnya yang indah
tanpa polesan merah lipstik
karena rona kelopak matanya ketika tertidur pulas
mengukir mimpi-mimpi indah
tentang masa depan
melainkan karena lembut pipinya yang menyejukkan jiwa
ketika menyentuhnya...
dan disunggingi senyum segar pagi...
khas penuh bunga-bunga indah musim semi...

dan si pembuat puisi ini bangga dipilih olehnya
untuk boleh menikmati semua kesederhanaan nan indah itu selamanya...
hingga bisa membuat si pembuat puisi ini
tak putus berpuisi....
aku sayang kamu....
aku sayang bagaimana kamu menyayangi aku...

Ås, 10oct2004
"... untukmu. Sedikit ungkapan yang tulus, dari sudut utara bumi"

Sunday, September 19, 2004

Pecah Serpihan

Bagai gelas kaca di utara
yang telah lama dingin
membeku diterpa angin hujan salju
dari selatan sepanjang malam yang lalu
aku pecah berkeping-keping
tersebar menjadi tak berarti
dihujam terik mentari hari nan panas

Kata-kata cinta terselubung kabut ragu
yang beriring cepat mengikuti
deras aliran sungai
gigil hati yang membeku
dan menunggu dihempaskan lagi
setelah sekian kali dikasihani
beberapa musim panas lalu

Gelas kaca ini berusaha bertahan
deraan dingin ragu yang kian hebat
jauh lebih kuat
dari segala upaya yang boleh dikatakan
tujuan tersesat di ujung kutub
dan kompas tak mampu menunjukkan
arah mana yang harus diambil

Dan kini
gelas kaca ini pecah berkeping...
bila dingin beku
angin hujan salju
kembali menerpanya
dan terik mentari hari nan panas
kian menghujamnya
maka pecahannya akan menjadi serpihan
lebih tak berarti...
lebih tak berarti lagi...

Lalu untuk apa
dan kenapa
ia di sini...?


Drøbakveien, 18sep2004
"... hujan angin dingin -rasanya sudah seperti salju,
meski aku sama sekali belum melihatnya- sepanjang hari dan aku mencari puisi harapan
di sepanjang jalan basah sepi, tapi hanya pecahan serpihan kaca berserakan
yang kutemukan didepan pintu inferno-ku"

Friday, September 17, 2004

Aku Terbangun...

Aku terbangun...
aku merasa ingat sesuatu...
tapi aku tak tahu apa yang kuingat itu...

Aku terbangun...
aku merasa harus mengingat sesuatu...
tapi aku tak yakin apa yang harus kuingat itu...

Sesuatu yang begitu penting
tapi apa?
Yang aku rasakan hanya air mata
air mata yang tak ada artinya
dibandingkan sekian air mata
yang selalu tercurah karena Aku

Aku terbangun...
aku masih berusaha mengingat sesuatu...
sesuatu yang membuatku terbangun...
membuatku harus merasakan hanya air mata...
sesuatu yang pasti begitu penting
tapi apa?

............. suara gitar itu terlalu perih
terdengar, membuatku merasa tersesat lebih dalam
ke pertanyaan yang tak berjawab...
pikiran ini terlalu dalam tenggelam...

Dan aku masih terbangun tanpa tahu
apapun yang kutulis hanya sampah
air mataku hanya kelu, semu
apa ini semua?
kenapa aku di sini?
untuk apa aku di sini??

Bahkan aku tak mampu mengingat hari lagi...
Biarlah aku selesaikan air mata tak berarti ini...

Ås-Norges, 17sep2004
"... it was too early than I imagine"

Cerita Tentang Senja dan Awan

Ah, ingin rasanya berbagi cerita
tentang senja dan awan...

Hari ini senja cukup ceria
biasanya basah atau murung dalam hujan
dan angin dingin memperkuat kesedihan
Senja memang senang berganti wajah di sini
dan jika ingin mengenal senja maka
berkenalanlah dengan awan...

Kenapa awan?
Awan selalu setia mengamati dan menemani senja
sejak pertama hingga akhirnya gelap menggantikannya
Awan juga yang bisa menunjukkan bagaimana senja
ingin menunjukkan wajahnya hari demi hari

Bagaimana awan bisa?
Awan selalu ada di ufuk sana dan segenap sudut
memayungi wajah sang senja hingga disadari
setiap senja berganti wajah maka sang awan pun
akan mampu mengukir dirinya sebagai cerminan
apa yang diinginkan senja saat itu

Awan akan putih berarak serabut tersebar
indah, mengurai biru langit, perlahan beralih
kekuningan emas, berangsur kian memutih berlawanan
dengan gelap langit yang tak lagi dihiasi mentari
Saat itu, senja begitu bahagia...
Senja begitu cerah...

Awan akan menjadi keruh, seputih kapas berdebu
atau menghitam di sudut-sudut tertentu
menggelapkan langit yang belum waktunya pudar
kadang menjadi basah dan hujan serta tak jarang
perhatikanlah...
bila awan berlarian ke sana ke mari
bergerak beriringian saling berganti
ditiup angin yang kuat dan dingin menusuk
saat itu, senja sedang kecewa...
Senja begitu tak ceria...

Tapi, senja memang begitu...
awan tak pernah berhasil menghiburnya
senja senang berganti wajah karena kehendaknya
bukan karena hiburan siapa pun, bukan pula karena awan
apalagi karena aku...

Aku hanya berharap
senja mau bercerita tentang cerianya
juga tentang kecewanya
Aku bukan seorang manusia yang berhasil
membahagiakan dunia, tapi setidaknya aku ingin
tidak memperburuk kecewa yang selalu kubuat
sadar atau tidak sadar kubuat
Jika senja mau bercerita dan berkata
tentang perjalanannya dan perasaannya
aku tak perlu mengganggu sang awan
yang selalu setia menantimu
menghiburmu dan pastinya
sudah dipercaya untuk menemani senja
selamanya...

Ås-Norges, 17sep2004

Wednesday, September 15, 2004

the Night and the Sun

If in the night
you still see the sun shine brightly
then it is the sign from the Sky
that the weather will be lovely

And I am right here
with the night and the sun
of lovely weather
wishing my heart
will reach my love to you
in the south


Gudbrandsdalen, 10Sep2004

Kau Alamku

Matahari telah mengintip
dan kabut telah surut berangsur mengiringi
aliran sungai pagi nan dingin

Dingin masih memeluk kabut saat
angin membawanya ke hulu
deru sungai yang terus berlarian
mengingatkanku padamu

Pelukan hangatmu mengalahkan
musim dingin yang akan segera tiba
kecupan manismu melebihi
tipis kabut yang telah dilalui
sang angin

Hijau dedaunan dan bunga-bunga
yang mulai berganti warna
meninggalkan musim panas yang cerah
seolah kian memperindah rinduku

Kau ada di seantero alam ini
kau ada di jantung hatiku
kau ada di seluruh diriku

Bersatulah dalam keindahan
pesan-pesan alam
Dan cintaku selalu bersamamu
di manapun kita berada


Dovreskogen Gjestegård, 11Sep2004

Simple

simple song...
simple feeling...
what else you expect in simplicity??

I miss you like simplicity
this simple guy really miss you
like the earth who longing
for the bright shine of sun
after whole day rain

Smuksjøseter, 11Sep2004
"...in surrounding beautiful autumn, colour changing all over the mountain.
I wish you are here with me"

Friday, September 10, 2004

Lelah...

Kawan...

Aku lelah...
Aku lelah berduka
Aku lelah berduka atas apa yang menimpa
Mengapa bangsaku tak pernah belajar dengan sabar dan terbuka?
Aku lelah berduka akan apa yang menimpa
Mereka yang terhempas hanya berusaha bertahan hidup
Mengapa mereka yang sok tau tentang hidup
mengambil hidup atas alasan "kemuliaan"??

Aku lelah...
Aku lelah mengutuk
Aku lelah mengutuk para martir
yang mati dengan bangga, membela
kebenarannya...
kebenaran membunuh atas dasar "kemuliaan" (lagi)??
Aku lelah mengutuk para konspirator
yang menjadi otak dibelakang semua kebringasan
apa yang disebut peradaban manusia...
Benarkah manusia beradab?

Manusia tak lebih baik dari seekor binatang
Manusia Indonesia terutama...
Dan mungkin aku adalah salah satunya...

Jadi...
Aku lelah...
Aku lelah menjadi biadab


Aku berharap, jika aku lelah maka semua bisa berhenti.
Namun, bisakah kita yakin bahwa ini adalah yang terakhir??


[Ås-Norges, 9Sept2004]
"... demi seluruh duka cita yang terucap di seantero nusantara.
Sungguh aku telah lelah (baca: bosan) mengucapkannya"

Tuesday, September 07, 2004

Bawang Goreng

Rasa... Aku bicara soal rasa di lidah...
Tidak... Aku tidak ingin bicara tentang hati...
Aku sedang ingin bicara tentang lidah...

LUAR BIASA!!!
Belum pernah aku menemukan kenikmatan terbesar
seperti saat ini... Ternyata lidah
bisa merasa seperti hati
Merindu dan mencintai sebuah rasa
yang pernah dikecapnya
(Aku sedang tidak ingin berdebat, bahwa rasa tersebut
adalah kejutan-kejutan listrik di otak yang disebut
pikiran. Masa bodoh dengan realitas!)

ASTAGA!!!
Jangan banyak-banyak... Ini kenikmatan
bisa habis seketika
Padahal aku harus jauh mencarinya
di negeri yang maju tapi
Rasa adalah sesuatu yang mahal untuk lidah
atau aku saja yang belum menemukannya??

Masa bodoh dengan negeri ini...
Kutemukan yang bisa membayar sedikit
rasa di lidahku yang mulai hampa
Terima kasih...

Terima kasih atas bawang gorengnya...
Meski tak sebaik di negeri leluhurku
Tapi setidaknya ini sudah bisa mendekati
Apa yang bisa dirasakan oleh lidahku...

Ehm... bawang goreng...

[06 sept 04]
"... thanks Arild for the Bawang Goreng and the rice"

Sunday, September 05, 2004

Memanggil dan Menunggu

Aku memanggil sebuah rasa
Bahkan seluruh puisi kini pergi
Angin terlalu dingin mengurungku
Dan kerinduan dihempas oleh hujatan
Kata caci tak henti meski hari telah berganti
Aku harus melakukan apa lagi?

Aku menunggu sebuah lirik
Bahkan seluruh lagu kini tak ragu berlalu
Jari jemari diterjang malam sepi
Dan cinta malah mencampakkan jiwa
Keraguannya kian jadi dalam setiap arti
Bagaimana aku harus menjadi?

Aku masih memanggil...
Aku menunggu...
Tapi buat terhukum ini
Memanggil dan menunggu adalah niscaya
Meski telah kukuliti semua kehinaan
Tetap saja sekali durjana
Kata-kataku telah tak bermakna
Seolah di tengah api neraka
Para iblis pun tiada menyapa

Pentagon-"Inferno", 5 Sep 04

Wednesday, September 01, 2004

aku Lari

Aku ingin keluar... Lari yang jauh...
Aku ingin berteriak lantang... Aku benci Aku!!!!!
Namun ternyata masih Aku yang ingin keluar...
Masih Aku yang ingin lari yang jauh...
Masih Aku yang ingin berteriak lantang...
Aku??
Kau yang mengatakan... di mana aku?
Aku yang menutupi aku...
Padahal aku hanya ingin melalui hari
Dengan terus mencari apa yang bisa disyukuri
Tersenyum dan membayangkan apalagi
Yang bisa disyukuri esok hari... tapi...
Di mana Aku?
Aku di sini...
Aku ingin keluar... Lari yang jauh...
Aku ingin berteriak lantang... Aku benci Aku!!!
.... aku benci Aku!!!

[Ås-Norges, 01092k*4]
"... selamat datang september"

Kehilangan Puisi

Kehilangan sebuah puisi... kehilangan sebuah puisi tentang sepi. Deretan lagu terus diperdengarkan, namun hanya dengung angin dingin yang keras menghembus terdengar di seantero hijau padang hingga tulang belulang sukmaku... Jari jemari kaki semangatku seperti mati tak bernurani sama sekali, dan aku tak kuat melangkah. Tapi ia nun jauh di sana berteriak tak sabar memanggil. Di mana harus kulangkahkan tekad mencari puisi yang hilang tentang sepi??

Kuningan gandum itu pucat, tak lagi kulihat cerah. Hujan sepanjang hari, datang dan pergi, hanya memberi nafas sesaat... Tapi di mana sang puisi?? Aku mungkin telah melenyapkan seluruh aksara dan makna-nya tanpa aba. Aku terlena dalam larutan alam yang ada di hadapan. Tapi aku tidak lupa pada hatiku, sama sekali tidak. Bila memang gelap menganggapnya demikian, apa boleh dikata. Maka laknatlah aku!

Aku tertidur karena lelah dan belum mampu sehebat sang bulan yang sanggup tersenyum sepanjang malam bagi bumi. Kini, di tengah malam tanpa bulan ini, aku mencari sebuah puisi tentang sepi? Padahal, pagi ini aku sudah gagal menyelesaikan pertarungan dan menjadi pecundang. Kalian pasti bisa menjadi yang utama hanya dalam semalam, sedang aku harus terus mengulangi malam-malam menjadi gagal. Demi itulah, sekarang aku sangat butuh puisi yang hilang tentang sepi...

Hanya sepi yang bisa menjawab kegagalanku. Hanya sepi yang mengerti bahwa aku tak pernah ingin menyerah. Hanya sepi yang boleh kuminta menunggu apa yang masih bisa kupikirkan untuk mencoba lagi. Hanya sepi yang akhirnya pun menerimaku. Dan ketika aku menunggunya, puisi yang kubuat telah menjadi kehilanganku... Aku kehilangan puisi tentang sepi.

[Ås-Norges, 31082k*4]
" ... walking alone in almost the middle of the night across the oat field, looking for my poet"


Hanya Dingin

Ah, kata mereka ini hanya dingin biasa. Hujan sejak semalam dan angin yang keras menerpa dalam cuaca basah, itu biasa. Hanya dingin yang dibawakan hujan dan angin keras itu. Tapi mengapa aku menggigil di dalam kamarku yang hangat?

Kata mereka, dingin ini cuma sesaat. Nanti ada yang lebih dingin lagi. Lebih dingin lagi? Iya, lebih dingin. Hingga membekukan hampir semua hal, termasuk manusia. Tapi mengapa air mataku beku di dalam hati yang sedang lara ini?

Ah, semua ini biasa. Dingin, hidup di negeri orang, hidup di suasana yang baru, kegembiraan yang sesaat, dan segalanya itu biasa. Banyak orang yang telah mengalaminya, jadi… Tapi mengapa aku merasakan semua “biasa” itu jadi dingin? Katamu, tak semestinya aku menggigil di dalam kamar yang hangat. Tak semestinya aku mengeluh karena air mataku ini beku. Tak semestinya aku menangguk hati yang lara.

Wahai, kamu yang ternyata paling tahu… Katakanlah terus tentang yang semestinya aku lakukan. Akan kuamini dan kujalankan kemestian itu.

*Aku bertanya pada Tuhan, mengapa aku diciptakan jika aku harus menjadi sempurna dalam satu malam?? Atau, ternyata aku ada karena aku harus menanggung cacad ini sendiri??*
[Ås-Norges, 31082k*4 just in Inferno]

Thursday, August 19, 2004

Kutu-Kutu Kecil

Terlalu aku membiarkan kepala ini menguasai hari-hariku. Kubiarkan kutu-kutu kecil, mengganggu, bising itu meracau bertanya dan menjawab sekaligus. Atau menghitung sekalian mengacau dan menambah sambil mengurangi apapun rencana, cita-cita, harapan, dan sebagainya. Siapa yang bisa menghentikan pikiran?

Gagal adalah berhasil. Dan berhasil adalah gagal. Aku harus berhasil. Alih-alih aku belum mau menyerah. Meski sudah mati, akan tetap kuhantui yang belum terpenuhi. Datanglah tekad, “masih kurang ternyata?” Aku masih ingin berjuang.

Andai ada yang bisa membantuku mengungkapkan keriuhan kutu-kutu kecil, mengganggu, bising yang meracau dan mengacau… pikiran yang tak mau mati, meski sebentar saja sebelum kulelap… tolonglah, sebentar saja. Tak akan mudah membantuku…

The Truth

Truth is like a God-given mirror that is now broken. Man picks up the pieces, and each person then sees his reflection in one of the pieces and thinks that he has seen truth. The real difficulty is later, if he uses that piece of glass to stab someone who holds a different piece.

Sunday, August 08, 2004

sunset at the dusk

It is really long ahead of you here, in this land. I’ve been waiting prolonged just to see the sunset at the dusk. However, I still have to wait a little bit longer. The horizon seems so far from the sun, and I am here counting the minutes just to see the sunset at the dusk. What should I do my heart? I want to evoke our event before we are as one, when we wall along the beach waiting for the sun to set. And at that time, I was outset to become in misery because of afar from your warm hug and sweet kiss.
Time has reached the evening, but the sun still warmly shines. How long I have to wait just to see sunset at the dusk today. Wondering how long I must waiting to get a hold of you and at last tasting your lips. With such a long sunset even at the dusk like now, I do not know how long I can stand to wait otherwise I am in endless agony.

Thursday, August 05, 2004

first bright sunshine

I finally saw the first bright sunshine entering the room. After stretched rainy day episode yesterday, I feel a barely happiness at the side of solitary to be so far from my love. Just imagine how are you across the continent, with my love that is getting bigger as far as I lived here for a year and more. When I wake up this morning, I saw no sunshine when I traveled to this far place from you.
When finally catch sight of the first bright sunshine entering the room, I know that my heart still singing a love song that I hope you can hear them across the continent. I love you…

Thursday, June 10, 2004

Kisah Burung-Burung Pagi

Sempat terlintas di dalam kesadaranku, tentang kisah burung-burung pagi yang kuingin kau mendengarnya. Beginilah kisahnya:

Di suatu pagi, ketika fajar baru saja akan menyingsing. Semburat jingga mulai menghiasi angkasa dan menandakan pagi akan segera menjelang. Adalah burung-burung pagi yang ceria menyambut hangat sang mentari yang mengesankanku begitu rupa. Kicauan mereka laksana nyanyian dan senandung nan indah dan merdu. Tanpa henti, mengisi pagi dengan riuh kegembiraan penyambutan. Rasakanlah, kebahagiaan terdengar di seantero bumi.

Percayakah kau bahwa burung-burung pagi itu akan terus berkicau—bernyanyi dan bersenandung? Meskipun pagi telah sampai pada batas waktunya, dan siang telah menanti gilirannya; kita tak lagi mendengar nyanyian dan senandung burung-burung pagi namun sesungguhnya mereka tak pernah berhenti bernyanyi dan bersenandung. Mereka akan terus bernyanyi di dalam hati. Mereka akan menyusun lagu-lagu dan senandung baru yang lebih ceria dan gembira guna menyambut pagi keesokan hari. Rasakanlah pagi ini… dan pagi esok hari… dan pagi esok esok hari lagi. Mereka akan terus bernyanyi dan bersenandung tiada henti.

Demikianlah semangat dan harapan yang kusampaikan padamu lewat kisah burung-burung pagi. Kiranya Tuhan mengijinkan cinta dan semangat kasihku untukmu seperti kisah burung-burung pagi.

Disambut Pagi

Ah, tubuh ini terlalu terlena
Jika sekujur tubuh enggan terjaga tapi fajar telah memaksa
Mengintip dari balik bukit dan alam telah mulai dengan kerjanya
Aku masih mencoba memperpanjang masa.

Lalu apa artinya catatan ini?
Ia hanya mencoba mengatakan
bahwa setiap orang telah disambut pagi…

Dua Bintang dan Bulan Belum Purnama

(*Memandang angkasa malam)
Sayang, kemarilah. Mendekatlah ke sisiku.
Mari, lihatlah langit malam ini.
Perhatikan, kau lihat dua bintang yang berkerlip itu?
Kau juga lihat bulan yang belum bulat purnama tak jauh dari kedua bintang itu?

Perhatikanlah mereka.
Mereka adalah sahabatku.
Yang berarti sahabatmu juga.
Kala aku harus pergi sesaat lagi, biarlah
kedua bintang dan bulan belum purnama ini menemani malammu.
Rasakanlah hangat cahaya sang bulan.
Rasakanlah kilau kerlip sang bintang.
Itulah kehangatan dan kerlip gita cintaku untukmu,
sejak matamu terpejam dan selama di dalam mimpimu.
Hingga sang mentari membangunkanmu di pagi esok hari.
Sapalah mereka sebelum kau tidur, Sayang. Sapalah...
(*Wahai bintang dan bulan, aku titipkan pada kalian
sayangku untuknya. Terima kasih atas ketulusan kalian*)

Kerinduan

Kau bertanya, “Kau rindu padaku?”

Demi angin musim Februari, sejak musim lalu aku selalu merindukannya.
Apalagi saat kepergiannya duabelas purnama lewat.
Rindu telah membunuh kemilau pagiku.
Namun ia masih bertanya, “Kau rindu padaku?”

Demi badai menghempas pantai, sejak hujan mengganas hingga kini
aku selalu merindukannya. Apalagi saat kesendirianku
tak boleh diramaikan oleh bahagia selama ini.
Rindu telah mengasingkanku bagai pertapa. Namun
ia masih bertanya, “Kau rindu padaku?”

Malam terakhir di bulan Januari telah terang benderang.
Dan genangan air telah surut perlahan.
Kerinduan alam akan kehangatan telah terpuaskan meski hanya semalam.
Hingga kalau ditanya, “Kau rindu padaku?”,
bisa dijawab, “Telah kau penuhi”.

Demi pertanyaanmu, “Apakah seharusnya jawabku?”

Langit Yang Suram

Demi langit yang suram, hujan deras meluncur bagai tangisan kematian tiada akhir.
Sejak dini hari hingga kembali dini hari lagi.
Langit tetap suram dan aku terpaku di bumi
seolah ikut meratapi kematian tadi.

Demi langit yang suram, awan hitam berbaris rapat pekat
bagai jalan malam kelam. Sejak senja petang
hingga kembali senja petang lagi. Langit tetap suram dan
aku terdiam di bumi seolah perlahan menapaki jalan malam kelam tadi.

Demi langit yang suram, deras air jadi aliran banjir
luapan sedih anak sungai. Sejak hari ini hingga lewat esok hari lagi.
Langit tetap suram dan aku hanyut di bumi ini
seolah mengarungi aliran luapan sedih anak sungai tadi.

Demi langit yang suram, atau demi jiwa manusia yang suram?
Langit yang suram hanya musim, atau pertanda?
Aku manusia telah lupa akan bahasa cinta…

Secawan Api Yang Berkobar

Semua argumen dan penjelasan musnah—lenyap. Berguguran bagai prajurit tempur terbantai tanpa perlawanan. Mati dalam kesunyian kemenangan. Di tengah medan, dialah yang tersisa satu-satunya…

Secawan api yang berkobar kian hebat. Tak terkendali. Menyala dalam panas-terang siang hari, membakar dalam dingin-gelap malam hari. Menggerakkan, mengarahkan, menceritakan, memikirkan, dan menciptakan semuanya … tanpa visi, tanpa tujuan. Kecuali satu, kaulah yang hanya tampil menjadi teka-teki berserpihan.

Lidah-lidah api itu menjilati seluruh bangun jiwa dan raga. Boleh kalian jelaskan! Sementara semangat dan persembahan tak kan jadi lelah. Apapun perlawananku, semakin cepat memusnahkan harapan. Pertanyaan tak sempat mengemuka. Bibir hanya bisa menganga.

Kaulah yang terpandai, bisa menarik garis dan ruang untuknya. Tapi jilatan lidah merahnya tetap menghanguskan hasratku. Kaulah yang terhebat, mampu mengurai jawaban dan kebenarannya. Sedang kobaran panas baranya terus mengeringkan air mata. Tak ada kecewa, tak ada bahagia. Kau titahkan, akan kulaksanakan. Kau mohonkan, akan kusajikan. Rasa dan duka di mana?

Secawan api yang berkobar kini jadi tamu agung batinku. Penghuni jiwa pergi entah ke mana. Kupanggil-panggil mereka semua tak ada yang kembali. Sepi di kalbu namun pikuk hiruk di altar hidupku. Inikah namanya dosa-dosa kesalahan mencinta?

Tadi sejenak kuduga kau akan membantu … menemani. Tapi getir kenanganmu di masa lalu tentu tak kan sudi untuk sekedar singgah dan berlalu di medan perang hatiku. Sang Kala di luar sana yang paling bijaksana menjawabnya.

Osaka Bay

Inikah Osaka Bay? Salam kenal. Aku putra dari negeri belasan ribu pulau di Samudera Hindia. Di tanah kelahiran ibuku, aku biasa menemukan fajar menggeliat seperti yang kini ada di batas air asinmu. Bedanya hanya riakmu tampak lebih tenang dan burung-burungmu yang beterbangan di atas kepalaku tak kukenal namanya menjeritkan nada-nada asing yang menarik telinga dan hatiku.

Udaramu sejuk dan telah penuh mengisi paru-paruku. Dan permukaan air asinmu pun indah mengisi bayangan di bola mataku. Kau belai sabar kulitku dengan hembusan angin musim dingin menjelang penghujung tahun. Kesan pertama yang tak kan mungkin kulupa, seperti halnya jumpa pertamaku dengan ia, Cinta. Pantaslah, ia mengatakan bahwa betapa inginnya mengunjungimu. Maka, salamku darinya untukmu lewat catatan ini, Osaka Bay.

Di terminal K-JET ferry Osaka menuju Kobe. 07:05 (Osaka Time)

Tuesday, June 08, 2004

Tepat satu jam lewat waktu tengah malam

Kini tepat satu jam lewat waktu tengah malam. Seketika itu aku ingin bercerita banyak, namun kecepatan pikiran ini melebihi kemampuan seorang pendengar terbaik untuk bersabar mendengar keluhku. Ketika pikiran-pikiran tersebut cepat berlalu, menguap pula keluh itu jauh lebih ringan dari debu yang ditiup badai. Meski masih nyata terasa namun nelangsa yang ada menyumbat sekedar narasi pendek tentang kenapa di tepat satu jam lewat waktu tengah malam, malam ini aku ingin bercerita.

Hanya segelintir rangkaian rasa dan peristiwa yang bisa tersusun dalam frase menjadi kalimat tak utuh. Bukan pula jadi sebab atau akibat. Jangan tanya apa. Jika bisa kujawab bukan malam menjelang pagi ini waktunya bagiku untuk mencari bintang gemintang di balik mega mendung. Sebutir kecil bintang yang mereka bilang bisa menerangi temaram relung hatiku.

Aku tak menyalahkan juga mengeluh. Aku dikutuk, mungkin, untuk tak pernah mampu bercerita tentang apapun. Terlebih tentang diriku sendiri. Mengapa aku ada tepat lewat satu jam waktu tengah malam, malam ini?

Ah, jangan bicara menyoal jargon hidup. Tak usah pula mencari dan mengajak Tuhan lewat kata-kata-Nya yang belum, bahkan separuh, Kau mengerti maknanya yang sejati. Maka aku hanya bisa mengalihkan potongan-potongan kenangan yang kuingat sebelum tepat lewat satu jam waktu tengah malam, malam ini.

Kumohon

Kumohon siang segera menelan
Jiwa dan hati yang kelaparan
Akan penjelasan dan ampunan
Tapi tak satu pun ciptaan
Yang memberi pemberkatan

Aku mencari nurani
Sedang pagiku telah kehilangan arti
Dicabut oleh yang berkecewa semalam
Atau kumpulannya yang kian dalam

Belailah kening kepala
(tapi sudah enggan sekedar balik menyapa)
Sebelum kau hujam semangat durjana
Aku yang adalah durjana
Bila segera kirim aku ke neraka

Sementara kau sembunyikan
Panas siang yang bisa menelan
Jiwa dan hati yang keliaran
Hanya di matamu jadi kebencian

Kumohon siang segera menelan
Selamat datang neraka keabadian

Hujan Februari

Deras air jatuh dari langit
Membentengi jiwa yang sepi
Lihat dinding hujan hingga pagi ini
Pagi sunyi di bulan Februari

Lalu dimana rindu?
Sepi ini jadi riuh oleh gemuruh
Hujan pagi yang belum berhenti
Harapan tinggal jeritan lantang
Di tengah padang lapang
Tak ada yang menghadang
Tapi cinta jauh di lautan seberang

Sajak Pagi Yang Membenci

Apa kubilang…
Dalam sekejap cinta datang
Dan dalam sekedipan mata
Bisa jadi benci
Apabila itu yang kau bilang cinta
Ternyata itu hanyalah pencarian
Dan aku yang kau benci
Yang sebelumnya kau cinta
Adalah peta yang kau singgahi
Selepas untuk memastikan
Di mana cintamu dan siapa bencimu

Apa yang mereka bilang…
Kau mungkin hanya percaya pada keinginan
Aku percaya penuh pada kedatangan cinta
Meski kau benci aku seribu abad lagi
Atau hingga mati dan terlahir kembali berkali
Mesti kucoba untuk tetap mencintai
Benci boleh datang, tapi tak boleh menguasai
Tetapi di dirimu:
Dalam sekejap cinta datang
Dan dalam sekedipan mata
Bisa jadi benci

Hanya boleh bertanya
Ada apa di pagi ini
Kau datang dengan benci
Padahal pagi yang lalu
Benci kau katakan selalu
Tapi hari ini kau benar-benar bisu
Hilang seribu bahasa dan kalbu

Seperti menegaskan
Bahwa pagi pun
Datang membawa benci
Untukku …

Perahu

Tambatkan tali temali
Perahu yang melaju sejak dulu
Kini menemukan labuhan
Yang lama dicari dituju

Jangkarkan sauh selamanya
Wahai perahu pencarian
Jangkarkan di dermaga harapan
Pelabuhan yang menyambut
Adalah masa depan
Yang kini ada di hadapan
Dengan lagu nyiur di pantai
Bersamanya akan ada atap bernaung

Jangan bakar itu perahu
Beri tempat dalam kenangan
Perjalanan yang datangkan cerita
Rawatlah sang perahu
Agar bisa kelak nanti
Si kecil mengangkat jangkar
Berlayar di samudera hidup
Seperti sang nahkoda perahu dahulu

Di pantaimu…
Kami yang masih berlayar
Bisa melihat rumah mungilmu
Dan perahu yang tertambat di dermaga
Itulah tanda bahagiamu
Yang juga bahagia kami sekalian

*untuk madar*
depok, 7 feb 2003

Matahari Nyanyi Sepi

Matahari bagai nyanyi sepi
Melewati hari tanpa arti
Atau aku yang mati pagi
Ingin berlari sebelum siang pergi
Tapi patah sudah kedua kaki

Coba kau jawab, Malam
Mengapa gelapmu tampak kelam
Sedang matahari jadi suram
Dan wajahku jadi lebam
Diliputi dendam
Atau aku yang kejam
Tak mengerti diam
Tapi waktu menunggu aku enggan

Matahari masih nyanyi sepi
Dan aku sendiri terpatri
Atau sedang bunuh diri
Dari serpihan pagi
Yang sedari tadi
Hanya tahu menyinari
Hati yang terlucuti
Setelah hilang nurani

Matahari yang nyanyi sepi
Aku kini menunggu kekasihmu
Gelap malam yang kelam…

Hujan Pertama

Menjelang senja ini
Kucium hujan pertama nan wangi
Rerumputan yang dibasahi
Menebarkan aroma yang hampir kulupa
Saat bersamamu
Mengulangi jalan-jalan memercik
Di kaki-kaki kita

Sejak keberangkatanmu
Dalam panas terik sang mentari
Hanya air mata yang bisa menetes
Sedangkan awan gemawan hanya bisa
Melihat dalam alunan angin hari
Dan kulewati sepi
Sendiri

Meski hujan pertama telah menanda
Panas rindu masih seperti panas yang lalu
Mengeringkan semangat meski belum tamat
Masih ada hasrat tak ingin penat
Dimanalah aku bisa mengingatmu sangat
Kecuali berharap
Agar hujan pertama ini
Nanti kelak akan kian lama… lebih lebat

Negeri kekeringan
Aku pun kehilangan
Cintaku jauh di sana, kumohon janganlah lupa
Aku menunggumu di hati
Seperti panas hari
Menunggu hujan pertama, tadi
Di negeri ini


i love you, my first love…
29 july 2003

“after the first rain sweep the heat of our beloved earth”

setelah purnama malam ini

di tengah purnama malam ini
doa-doa kian terpanjatkan dari hati
mengantar perjalanan atman
yang terpanggil oleh Sang Kejauhan
doa-doa dari berbagai hati dan jiwa
boleh berbaur satu hari saja
demi kesedihan dan kecewa
mengapa?

di tengah purnama malam ini
tiada kata bisa (katanya) terucap dari diri
mengartikan kepasrahan kian
yang tak mampu menjawab tangisan
kutukan-kutukan untuk tindak kekejaman
bisa mengangkasa berminggu lalu saja
demi berita atau cita-cita
bagaimana?

setelah purnama malam ini
doa-doa akan kembali untuk sendiri
Dan, Aaah…
kata-kata yang tercekat
hanyalah berlangsung sesaat
dan kematian tragis di rumah bejat
tinggallah catatan akhir di penghujung tahun

setelah purnama malam ini
semua akan kembali seperti biasa
tak sampai satu purnama berikutnya
tak lama tanda kenang monumen akan berdiri
tak ada yang ingat dan merasa, semua melupa

siapa yang nelangsa, siapa yang merasa
mereka yang mati, bukanlah “kita”

[21102k*2]
“ … setelah doa bersama di malam purnama”