Monday, December 12, 2011

Setelah dilarang merokok...

Papan peringatan Dilarang Merokok seperti di foto mungkin wajar dan sudah semestinya. Namun, ada bagian penting dari papan peringatan tersebut yang tidak hanya melarang merokok. Papan tersebut juga memberi 'himbauan' untuk berhenti merokok berupa informasi tentang ke mana harus mencari bantuan agar bisa berhenti merokok.

Jadi, setelah dilarang merokok setiap orang, terutama para perokok, punya pilihan dan akses untuk berhenti merokok. Ini adalah contoh 'kebijakan' yang sinergis dan komprehensif.

Tuesday, November 29, 2011

korupsi terintegrasi

Ada apa dengan praktek korupsi di Indonesia? Saya pikir, jawabnya adalah 'integrasi'. Praktek korupsi di Indonesia saat ini tidak hanya berskala besar dan menjangkau berbagai aspek, namun juga telah terintegrasi dalam kegiatan-kegiatan penting di Indonesia terutama terkait dengan pelayanan masyarakat. Hasil survei integritas yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diberitakan oleh Tempo hari ini ikut menambah fakta empiris terintegrasinya praktek korupsi di Indonesia.

Berikut ini adalah kutipan dari berita tersebut:
Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan maraknya praktek suap dalam pemberian layanan publik di seluruh daerah di Indonesia. Hampir separuh daerah atau sebesar 43 persen yang masih melakukan praktek suap.
...
Dari hasil survei ini, daerah yang memperoleh penilaian integritas dibawah nilai rata-rata di antaranya Kota Metro (3,15), Kota Depok (3,50), Serang (3,54), Kota Semarang (3,61), Manokwari (3,70), Ternate (4,07), Bengkulu (4,18), Palembang (4,25), Bogor (4,27) dan Lubuk Linggau (4,38)
Kemudian di instansi pemerintah pusat seperti Kementerian Agama (5,37), Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (5,44) dan Kementerian Koperasi Usaha Kecil dan Menengah (5,52). Sedangkan di instansi vertikal diantaranya Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (6,09), Badan Pertanahan Nasional (6,07) dan Kepolisian Negara (5,76). Kementerian Agama juga terdaftar di kategori ini dengan penilaian 5,41. 

Satu hal positif dari berita tersebut adalah praktek suap ternyata masih dilakukan oleh (hanya?) setengah dari total seluruh daerah di Indonesia. Kita bisa menginterpretasi pernyataan tersebut sebagai berikut: 1) ada lebih dari setengah dari seluruh daerah di Indonesia yang bersih dari praktek suap; 2) ada potensi besar bagi Indonesia dapat menghapus praktek suap di seluruh Indonesia secara tuntas. Dengan kata lain, kita masih bisa (dan harus) optimis bahwa Indonesia bisa bebas dari praktek korupsi yang diawali dengan bebas suap.

Di sisi lain, ada hal negatif yang cukup memprihatinkan yaitu terkait terintegrasinya praktek korupsi khususnya suap di Indonesia. Jika kita perhatikan dengan seksama, praktek korupsi begitu marak di institusi pemerintahan yang melakukan pelayanan dasar. Mulai dari pelayanan perijinan, penegakan hukum dan keamanan hingga pelayanan yang terkait dengan urusan rohani. Jika kita kritis melihat fenomena ini, pertanyaan sederhana yang harus diajukan adalah adakah pelayanan dasar di Indonesia yang masih bersih dari praktek korupsi?

Jika urusan ijin harus dengan suap, mungkin karena demi kecepatan waktu dan kemudahan. Jika urusan hukum dan penegakannya harus dengan suap, mungkin karena demi kekuasaan dan bebas dari jerat hukuman. Tapi yang tidak habis pikir, jika urusan rohani dan ke-Tuhan-an harus dengan suap apakah mungkin karena suap merupakan salah satu perintah-Nya?

Holy bribe!!
Enhanced by Zemanta

Sunday, October 30, 2011

on marketing (a lesson learned from Apple)


The following excerpt from recent book of Steve Jobs by Walter Isaacson may offer us a good lesson on marketing.
[Mike] Markkula wrote his principles in a one-page paper titled "The Apple Marketing Philosophy" that stressed three points. The first was emphathy, an intimate connection with the feelings of the customer: "We will truly understand their needs better than any other company." The second was focus: "In order to do a good job of those things that we decide to do, we must eliminate all of the unimportant opportunities." The third and equally important principle, awkwardly named, was impute. It emphasized that people form an opinion about a company or product based on the signals that it conveys. "People DO judge a book by its cover," he wrote. "We may have the best product, the highest quality, the most useful software etc.; if we present them in a slipshod manner, they will be perceived as slipshod; if we present them in a creative, professional manner, we will impute the desired qualities." (page 78)
If you learn or follow how Apple sell their product, then the above marketing philosophy adequately explain everything. One thing for sure, Steve Jobs was not the one who 'invent' or 'create' that marketing approach. It's Mike Markkula. He is a first big Apple investor and chairman. And in Isaacson's book, he's describe as a father figure to Steve Jobs.

Perhaps the philosophy will be beneficial for marketing student or expert to learn further. For me, it is just a feeling of me being a victim of a good marketing strategy. But, I do not regret it!

Friday, October 21, 2011

Farewell Florence


Wifey's last (and the only photo) with Florence
Florence is a wonderful black cat. She's 21 years old cat who live together with our Australian best friend. Yesterday, she just finally closed her journey in this world. Our beloved friend will be missing her for sure. So do we. We might not having so much time together with her, but we heard a lot of incredible yet touching story about her. We had almost a week sharing the same roof when we look after our best friend house. And that week sharing time had proved the significant touch of hers. It's too bad that Arvind had not yet meet her. He will loves her so much, I believe.

So, farewell Florence! Be nice in heaven!

Thursday, October 06, 2011

tribute for Steve Jobs (1955-2011)

Courtesy of apple.com
You may love or hate him, but I believe the whole world pretty shocked to hear the news. Although this unfortunate event was already predicted due to his health condition, I could not know how to respond properly. There are mix feelings inside!

There is a sad feeling for sure. I admit, this is my fanboy spirit of Apple that appears in mind from my early interaction with Apple product several years ago. Steve is Apple and if you believe in Apple's product then you - directly or indirectly - also believe all Steve's vision about technology. Like many others had in mind, the next question is how the world of computing and digital will be without such a genius around to serve his outstanding ideas? We'll see...

On the other hand, I would like to celebrate Steve leaving by learning to what he had giving us. He is an entrepreneur, innovator and creator of the best computer company in the world which are producing lots of great products in the history. If you read his story, you will see a person that rarely appears in a century of human history. He may be remembered with other great inventors like Thomas Edison or a genius like Albert Einstein. Yet, he created his own history and leaving a significant mark in time as well as in many people live. It is hard to believe a stranger to Steve bowed their head in front of one of Apple Store in Beijing. We'll see... more simple yet humble tribute like this for Steve.

For me, he is my Gandhi in computer and digital world. Initially, I was quite reluctant to accept his idea since I was bounded quite long with a single type of technology. Yet, I bought his idea with a trial. Before I realized that I kind of a big fan of him, I had learn and still learning a lot about the way he think from a basket of Apples that - fortunately - I can get in many legit ways. Now, I may claim that I am not a fanboy. I just agree and believe with his way of thinking and faith.

I am nobody and not good at all to write a tribute for a great guy like Steve. Therefore, I would like to quote President Obama's tweet as follow:
The world has lost a visionary. And there may be no greater tribute to Steve's success than the fact that much of the world learned of his passing on a device he invented.
Finally, farewell Steve! And thanks a million! I'll Think Different for the rest of my life...


Tuesday, October 04, 2011

Quote of the day: DPR dan konsultasi

Dari artikel "Cari Angin" yang berjudul Konsultasi oleh Putu Setia:
Dulu, ketika memformat lembaga DPR, kita berasumsi bahwa yang duduk di sana adalah para wakil yang cerdas, jujur, bijaksana, bermoral. Karena kenyataan sudah jauh panggang dari api, namun kita terlanjur punya lembaga yang ideal dipayungi undang-undang superkuat, mari ke depan kita merancang bagaimana memasukkan orang "yang benar" ke Senayan. Minimal tahu arti kata konsultasi dan koordinasi.


Wednesday, September 28, 2011

it's not about diplomats, it's about political norms

When you read the news about parking ticket scandal in New York and maybe my post, you may easily fall into simple (but silly) conclusion that all Indonesian diplomats in New York particularly, or in any other country in general are a group of corrupt officials. Please be careful with such conclusion. I want to make sure that we should not join in the 'blaming game' and put 'labels' on Indonesian diplomats. I think, we need to take this matter in terms of 'government norms'. I define the 'norms' here as how we respond to the fact that we had violate a law, why we did that and how to avoid such things to happen again.

Yet, I found that Indonesian officials really don't see this as a matter of 'norms'. Instead, the saw the whole scandal as their 'blaming game'. The recent respond from Indonesian government shows such a typical, but expected deny and blame spirit:
The Indonesian government on Tuesday blamed a lack of legal parking spaces in New York City for the hundreds of thousands of dollars in unpaid packing tickets its diplomatic officials have racked up."This is not a new problem. It has been happening a long time," Triyono Wibowo, the deputy foreign minister, said on Tuesday.Of 35 embassy staff members in New York, only one was assigned a parking space, he said.
And...
[Triyono] added that the city should provide sufficient parking for all Indonesian diplomats. Priyo Budy Santoso, the House deputy speaker from the Golkar Party, said there should be a special dispensation regarding parking for diplomats."It is customary that diplomats from closely related countries get special treatment," he said
I am not sure I understand this 'blaming' statements. So, Indonesian government think (and demand) that Indonesia delegations should get more priority and spaces? Why and what's the benefit for New York City? Why should they give such special treatment for Indonesia? Why not to other countries, like Egypt or Nigeria?

If and only if New York City provide more parking spaces for all diplomats from all countries, where about the New York City people can park their cars? If Indonesian diplomats consist of 38 members and each of them driving, why should New York City provide 38 parking spaces? Or, why they have to provide parking spaces for each of diplomats? My brain really not working well in this case.

I could not digest the statements (blaming) and it is really not make sense. And the only possible explanation is Indonesian government doesn't like to be the one who make mistakes. They think that they are innocent, thus they blame New York City for not providing all the privilege we (think) deserved. I could not think any other explanation, for sure.

The real irony is that this kind of 'government norms' not solely happened for Indonesian diplomats, but widely and frequently occurs in almost every single action and policies by the government within our homeland. Blaming others for any wrongdoings and claim that they should get all the things that they think they should get. I am curious, how long they will keep this kind of 'norms'?

Enhanced by Zemanta

Tuesday, September 27, 2011

on corruption & RI diplomats unpaid parking fines in New York


The recent news title "RI diplomats owe Rp 6.5b in New York parking fines" shows how incredible the corruption culture penetrate into Indonesian, anytime and anywhere. Check out this part of the news: 
The New York City administration announced last Friday that Indonesia was number three on its list of countries with unpaid parking tickets, with about $750,000 in unpaid fines.The city's department of finance said that unpaid tickets totalled $16.7 million through the end of July. Egypt topped the list with $1.9 million in unpaid tickets, followed by Nigeria with about $1 million, Reuters reported from New York.
What do you think? Surprised? I believe you do not need to be surprised at all. There are a single explanation (and prediction) for this cause: corruption norms.
You can find the evidence for that cause back in year 2007 when Raymond Fisman and Edward Miguel publish their  paper in Journal of Political Economy titled "Corruption, Norms, and Legal Enforcement: Evidence from Diplomatic Parking Tickets". The abstract of their study as follow:
We study cultural norms and legal enforcement in controlling corruption by analysing the parking behaviour of United Nations officials in Manhattan. Until 2002, diplomatic immunity protected UN diplomats from parking enforcement actions, so diplomats' actions were constrained by cultural norms alone. We find a strong effect of corruption norms: diplomats from high-corruption countries (on the basis of existing survey-based indices) accumulated significantly more unpaid parking violations. In 2002, enforcement authorities acquired the right to confiscate diplomatic license plates of violators. Unpaid violations dropped sharply in response. Cultural norms and (particularly in this context) legal enforcement are both important determinants of corruptions.
Pay attention with the bold sentences. If we take them seriously, we will find one common thing there: corruption norms. You may agree or disagree with their conclusion. But, this is a single research conducted in 2006/2007 which could clearly explain (or predict?) what happened in year 2011. It is very hard to ignored! Indonesia was number 24 of countries with average unpaid annual New York parking violation per diplomat for period of November 1997 to November 2005, according to Fisman and Miguel study. So, what makes the ranking getting higher within six years from 24 to number 3? Perhaps, it is really due to our corruption norms.  
I am really baffled with this finding!
Reference: 
Fisman, R. and Miguel, E. (2007) "Corruption, Norms, and Legal Enforcement: Evidence from Diplomatic Parking Tickets" Journal of Political Economy, Vol.115 (5): 1020-1048

Note: Fisman and Miguel also wrote a book title "Economic Gangsters: Corruption, Violence, and the Poverty of Nations". The above paper mentioned was describe in Chapter 4: Nature or Nurture? Understanding the Culture of Corruption. The chapter is much fun to read and less econometrics-theoretical approach. You can read them here. While this particular chapter highly relevant to answer the phenomenon of unpaid parking fines, the rest of the chapters in Economic Gangsters really gives general hints on possibility to fight corruption. It is highly recommended book! 


Enhanced by Zemanta

Thursday, September 22, 2011

Quotes of the day: Crayons

We could learn a lot from crayons: some are sharp, some are pretty, some are dull, some have weird names, and all are different colours... but they all have to learn to live in the same box
Author Unknown 

Monday, September 19, 2011

tentang rok mini dan pemerkosaan

"A [statement] should be like a lady's skirt: 
long enough to cover the essentials but short enough to keep it interesting." 
English proverb (modified)

Di Jakarta, minggu lalu bisa dikatakan sebagai minggunya 'rok mini'. Media massa ibukota diawali dengan berita tentang kasus pemerkosaan yang dilakukan di angkutan kota (angkot) yang kemudian mengutip tanggapan dari Gubernur DKI Jakarta, Bang Foke, yang mengatakan, "Jangan pakai rok mini di angkot dan jangan menggunakan celana pendek ketat jika naik motor". Pernyataan tersebut mengundang reaksi dari beberapa kelompok perempuan. Bilamana rok mini membuat semua perempuan di Jakarta akan diperkosa?

Saya sendiri termasuk yang 'miris' dengan pernyataan tersebut. Saya katakan miris karena beberapa hal: pertama, pernyataan tersebut seakan-akan menyudutkan korban perkosaan dan seolah memaklumi motivasi si pemerkosa. Meskipun mungkin ada persoalan beda tafsir atas pernyataan tersebut dan Pak Gubernur sudah meminta maaf, tapi tak ayal bisa jadi mewakili pikiran dan ide yang ada di benak setiap laki-laki di Jakarta khususnya atau Indonesia umumnya terhadap perempuan yang berpakaian tertentu.

Kedua, pernyataan tersebut seolah mengamini bahwa setiap laki-laki yang melihat perempuan dengan rok mini hampir pasti akan tergerak untuk melakukan tindak perkosaan. Mungkin kesimpulan tersebut terlalu ekstrim, tapi itulah tafsir yang bisa ditarik dari 'himbauan' Bang Foke. Himbauan tersebut jelas ingin menghindari terjadi perkosaan, namun dengan menetapkan dulu titik awal dari hubungan sebab akibatnya. Dan, secara tidak langsung himbauan tersebut menetapkan bahwa titik awal penyebab pemerkosaan adalah perempuan dengan rok mini. Karena perempuan menggunakan rok mini, maka laki-laki akan memperkosa.

Ketiga, tanggapan dan himbauan Bang Foke terhadap tindak kejahatan seksual, khususnya pemerkosaan sangatlah dangkal. Pernyataan beliau menunjukkan kekurangpahaman beliau akan aspek-aspek terkait dari kejahatan seksual, termasuk pelecehan seksual yang belakangan juga terjadi di beberapa moda angkutan di Jakarta. Padahal, tindak kejahatan seksual dapat dipicu oleh banyak hal. Banyak studi menunjukkan bahwa kejahatan ini lebih terkait pada masalah psikologis si pelaku dan kondisi sosial masyarakat yang sangat kompleks. Dengan kata lain, penyebab kejahatan seksual harus dilihat kasus per kasus.

Ketiga hal tersebut merupakan hal-hal yang menunjukkan bahwa Bang Foke mungkin belum terlalu peka dengan permasalahan. Atau mungkin juga, beliau terlalu cepat menanggapi suatu persoalan. Namun, kritik dan kecaman yang ditujukan ke Bang Foke atas pernyataan tersebut sudah terjadi. Pasti sang Gubernur merasa 'kenapa saya selalu disalahkan?'. Tapi, beliau seharusnya tahu bahwa beliau tidak dipersalahkan atas maraknya kasus kejahatan seksual yang terjadi di Jakarta belakangan ini. Saya yakin masyarakat Jakarta juga memahami dan mengerti bahwa seorang Foke tidak mungkin mampu menyelesaikan semua permasalahan di Jakarta seorang diri. Tapi, warga masyarakat akan selalu menanti dan mengikuti setiap kata, sikap dan tindakan beliau yang akan selalu diwartakan di media massa. Semua itu merupakan simbol dan arahan kebijakan yang dicetuskan baik langsung atau pun tidak langsung oleh seorang Gubernur. Itulah sebabnya, sebagai seorang pemimpin, beliau harus mampu mengantisipasi setiap pernyataan yang dia sampaikan karena itu adalah cermin dan cikal bakal kebijakan administratif seorang Gubernur.

Sayangnya, pernyataan 'ajaib' seperti ini bukanlah yang pertama yang diucapkan oleh Bang Foke. Beliau juga pernah memberikan pernyataan ajaib tentang fenomena banjir di Jakarta dengan mengatakan bahwa "Itu hanya genangan, bukan banjir".  Terlepas dari perdebatan tentang definisi banjir dan genangan, pernyataan tersebut tidaklah mampu meredam apalagi menyelesaikan inti permasalahan. Pernyataan tersebut malah memicu kemarahan karena apa yang dialami warga Jakarta tidak akan mampu diatasi hanya dengan mengganti istilah dari banjir ke genangan.

Sebagai penutup, jika Pak Gubernur ingin berkomentar atau menghimbau masyarakat untuk menghindari tindak pemerkosaan ada baiknya sebelum itu untuk membaca dengan seksama artikel tentang bagaimana menghindari pemerkosaan (sayangnya ini dalam bahasa Inggris) dan menggunakan artikel tersebut sebagai referensi. Yang bagus dan penting dari apa yang dipaparkan di artikel tersebut adalah tidak ada satu pun pernyataan merujuk pada panjang pendek rok atau celana yang perempuan gunakan.


Wednesday, September 14, 2011

tentang hormon testosteron & menjadi ayah

Posting ini akan berbau gender, khususnya terkait dengan status 'kelaki-lakian' (malehood) dan 'kebapakan' (fatherhood). Saya mulai dengan pertanyaan sederhana: "Bilamana seorang laki-laki bisa menjadi seorang ayah?" Definisi "menjadi seorang ayah" di sini saya khususkan dalam hal kemampuan untuk mengurus dan mengasuh anak. Mohon dikesampingkan terlebih dahulu peran ayah sebagai kepala rumah tangga yang lebih cenderung fokus hanya pada tugas "mencari nafkah".

Jawaban untuk pertanyaan di atas coba dijawab oleh penelitian yang dilakukan oleh Muller et.al (2009) dengan mengkaitkan kadar testosteron laki-laki dan statusnya sebagai ayah. Studi tersebut mendapati bahwa kadar testosteron laki-laki menurun ketika mereka menjadi ayah dan mengurus anak. Kesimpulan dari studi tersebut mungkin akan mengarahkan opini yang meyakini bahwa manusia laki-laki memang "dirancang" untuk menjadi ayah. Kita masih harus mengkritisi opini tersebut.

Ada apa dengan kadar testosteron? Hormon testosteron yang ditemukan pada kelompok manusia laki-laki diyakini sangat terkait dengan kemampuannya untuk menjalankan fungsi reproduksi. Ada sebuah hipotesis yang menyatakan bahwa jika kadar hormon ini cukup tinggi maka akan mampu memfasilitias upaya reproduksi tersebut. Upaya reproduksi ini erat hubungannya dengan perilaku seksual, mencari pasangan dan persaingan antar laki-laki dalam upaya mencari pasangan tersebut. Hipotesis tersebut juga mengklaim bahwa upaya reproduksi tersebut menimbulkan dampak pada kemampuan untuk 'parenting' atau menjadi ayah. Dengan kata lain, tinggi rendah kadar testosteron digunakan untuk menentukan status malehood dihadapkan pada status fatherhood. Inilah tantangan pembuktian dari hipotesis yang mengkaitkan hormon testosteron dengan kemampuan menjadi ayah.

Beberapa studi lain yang mencoba melihat keterkaitan antara fatherhood dan penurunan kadar testosteron yang umumnya ditemukan di kelompok laki-laki yang telah memiliki keturunan. Studi-studi tersebut memiliki kelemahan mendasar bahwa mereka tidak mampu menganalisis kelompok laki-laki yang sama selama masa hidup mereka sejak masih berstatus lajang hingga menikah dan memiliki anak. Kelemahan tersebut bisa menjadi titik kritisi yang kita temukan atas opini di atas bahwa ada kemungkinan kelompok laki-laki yang memiliki kadar testosteron lebih rendah maka akan cenderung memilih untuk menikah dan menjadi seorang ayah. Dengan kata lain, ini adalah persoalan "telur-ayam", apa yang menyebabkan apa – kadar testosteron menyebabkan menjadi ayah atau sebaliknya.

Sebuah studi terbaru yang dilakukan oleh Gettler, McDade, Feranil dan Kuzawa (2011) berusaha menyempurnakan studi-studi sejenis sebelumnya dengan menutup kelemahan di atas. Studi terbaru ini menemukan bahwa spesies manusia laki-laki seperti juga pada mahkluk spesies-spesies lainnya cenderung memiliki kadar testosteron yang lebih tinggi ketika ada pada fase hidup "melajang" (mate-seeking) dan kemudian menurun atau lebih rendah ketika mereka memiliki keturunan – menjadi ayah. Secara tidak langsung, studi ini seakan berhasil membuktikan bahwa laki-laki memang "dimaksudkan" untuk menjadi ayah dan berperan serta aktif dalam mengasuh keturunannya. Apakah ini berarti benar bahwa untuk menjadi ayah maka seorang laki-laki harus menurunkan kadar testosteron-nya? Atau sebaliknya? Sayangnya, studi ini tidak secara jelas menjawab hubungan sebab-akibat dua arah tersebut.

Meskipun hasil-hasil studi ini masih menyisakan pertanyaan yang kritis, namun mereka telah berhasil memberikan gambaran yang menarik dan penting tentang hubungan fisiologis orang tua, khususnya ayah. Hasil studi ini belumlah bisa dijadikan panduan untuk setiap ayah dan keluarganya. Hasil ini juga tidak bisa digunakan untuk menakuti para bujangan atau mendorong ayah untuk berhenti menjalankan perannya. Anda – para laki-laki atau calon ayah atau sudah menjadi ayah – perlu mencari lagi alasan-alasan dan motivasi-motivasi lain untuk menentukan peran Anda. Mungkin, hasil studi ini bisa dijadikan referensi yang relevan atas alasan dan motivasi tersebut.

Daftar Pustaka:
Gettler, L., McDade, T., Feranil, A., and Kuzawa, C. (2011) Longitudinal evidence that fatherhood decreases testosteron in human males. Proceedings of the National Academy of Sciences.
DOI: 10.1073/pnas.1105403108

Muller, M., Marlowe, F., Bugumba, R., and Ellison, P. (2009) Testosteron and paternal care in East African foragers and pastoralists. Proceedings of the Royal Society B: Biological Sciences, 276(1655), p. 347–354.
DOI: 10.1098/rspb.2008.1028

Friday, September 09, 2011

on unethical research: I really sick with this!

You should watch and 'enjoy' yourself with the following news:

Smoke Pumped Onto Child's Skin for 'Divine Cigarette' Treatment

If you still keep you sanity in you heart and mind, do you think that doing a drug experiment on human being, especially children, acceptable? Do you agree that we should agree to let a drug (tobacco) experiment on children? The answer is NO! Big NO! It is really an unethical research doing!

For God sake! This is crazy and I condemn any academia who agree with this approach. Shame on you!

Part of the news are as follow:
At a clinic in East Java, a 3-year-old boy named Satrio lies on a medical table, squirming. His father holds him and his mother looks on as a technician blows tobacco smoke through a small tube onto the boy's skin.
Satrio, whose parents say he has attention deficit hyperactivity disorder, is part of a controversial study by Sutiman Bambang Sumitro, a molecular biology professor at the University of Brawijaya in Malang, Indonesia.
Sutiman and his colleagues believe that tobacco can be manipulated to treat illnesses, including cancer.
The rest of the news is here.

on Indonesian history: how many wars and conflict documented?

A country without a memory is a country of madmen ~ George Santayana

I love Indonesian history class back in my junior and senior high school. Although I really hate to realised that history lessons in Indonesia mostly focus with date and year of event, but lack of excitement, curiosity and understanding of context, background and implication of such event. Those handicap, hence implicate on lack of interpretation and comparison on how we really care or view our own country history. One possible reason of this problem due to lack of well-established method for recording history or lack of comparable notes for one historical event. It happened mostly because the truth about any historical event was modified and subject to government purposes.

Despite of those unforeseen yet not so important (probably) issue on how to keep history record properly, it is very important for any generation to have a very basic references about their beloved country's history. That is why I was so happy when my wife share her finding about quite detail record of "Sejarah Indonesia". It shown almost every historical event that happened in relation to Indonesia from the beginning 1500 to current decade. I hardly able to describe you how good it shows the record and story and notes of any particular events. So, you must take a look by your self.

On the other hand, I recently found and learn about history from another website called Conflict History. Again, this tools gives us another way to learn history by utilizing Google map and pointing out each and every event gathered from Wikipedia on each and every particular location where those history occurred. This website only focus with conflict and wars event, but it is still very useful and informative. My silly instinct told me to compare both Sejarah Indonesia and Conflict History then see how it goes. But, I found something bother me.

I started to use the search engine and type Indonesia and what I found was quite strange (see picture below). From the list, you should be curious why there were only six wars or conflicts related with Indonesia? And, if you think this is even more serious, why three of six wars/conflicts listed was about Indonesia occupation in East Timor, Aceh and Malaysia (confrontation)?


The next question should be where are the rest of the wars and conflict ever happened in Indonesia? Where are all the records on wars against Dutch and Japan? If you check on the Sejarah Indonesia, you will find a lot of wars and fighting during Dutch and Japan occupation happened. It all complete with documentation especially old photos. How come all of those recorded wars did not appear in Conflict History?

One possible answer is because all of those wars and conflict in Indonesia never been published in Wikipedia or other online tools. But, another possible answer is because all of those wars or conflict in Indonesia was never been recognised by international community, either intentionally or unintentionally. So, it should raise our general concern, I presumed. If and only if that international community ever recognised our history (in terms of identified wars and conflict), do we – the Indonesian – ever recognised and concern with our own history? Does anyone have an idea or answer for this?


Thursday, September 08, 2011

tentang e-KTP: berapa lama hingga terbit?

Indonesia saat ini sedang memperkenalkan dan menjalankan kebijakan yang disebut e-KTP atau Kartu Tanda Penduduk Elektronik. Ini merupakan suatu kebijakan yang sungguh ideal dengan berbagai target dan hasil yang ditentukan oleh pengelola kebijakan ini yaitu Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Di website-nya, Kemendagri menyebut tiga fungsi e-KTP dan juga mengutip dasar hukum kegunaannya. Yang juga menarik di website tersebut, disebutkan perbedaan-perbedaan e-KTP dengan berbagai jenis KTP yang pernah diterbitkan di Indonesia. Detil perbandingan dan penjelasan dalam website sebagai upaya sosialisasi ini patut diapresiasi.

Sekali lagi, tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan ini merupakan sebuah upaya kebijakan yang baik dan ideal untuk dijalankan, meskipun ternyata – seperti hampir selalu terjadi dengan berbagai kebijakan nasional di Indonesia – program ini pun mengalami berbagai 'anomali' dan hambatan. Berkaca pada beberapa pengalaman penerbitan dokumen-dokumen negara lain, seperti Surat Ijin Mengemudi (SIM) dan Paspor, saya ingin mengajukan satu pertanyaan mendasar terhadap program ini.

Berapa lama proses pembuatan e-KTP?
Di website e-KTP kita bisa membaca dan menyaksikan uraian secara visual tentang proses pembuatan e-KTP. Urutan langkah pembuatan e-KTP memang lumayan jelas dan tampak mudah dilaksanakan. Namun, apa yang tampak mudah belum bisa dibuktikan hingga ada kejelasan standar pelayanan dalam pembuatan e-KTP tersebut. Misalnya standar waktu. Di website tidak diuraikan berapa lama waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan setiap langkah atau minimal berapa lama waktu yang diperlukan sejak langkah pertama dilakukan hingga keseluruhannya selesai. Yang agak lucu, langkah terakhir yang disebutkan adalah: Penduduk dipersilahkan pulang untuk menunggu hasil. Memang 'pulang' lebih baik daripada menunggu di kantor kelurahan, tapi tetap 'menunggu hasil' yang belum pasti kapan tidaklah mengenakkan.

Menurut saya, standar waktu pelayanan ini perlu disebutkan dan dijadikan 'patokan' (benchmark) pelayanan minimal dari pembuatan e-KTP. Standar waktu ini tidak hanya berguna bagi masyarakat yang membutuhkan e-KTP tapi juga bagi pihak pemberi pelayanan. Jika ternyata penyelesaian satu e-KTP tidaklah sama atau lamanya waktu yang dibutuhkan tidak terduga maka bisa dipastikan akan terjadi penumpukan penerbitan e-KTP. Dan hal tersebut bisa dijadikan alat ukur keberhasilan dan perbaikan pelayanan di masa depan.

Jika berkaca dan belajar dari pengalaman Kantor Imigrasi dalam menerbitkan Paspor, tampak sekali bahwa teknologi komputerisasi tidak membuat pelayanan penerbitan paspor menjadi lebih efisien, setidaknya dari segi waktu. Penerbitan masih membutuhkan waktu hingga empat hari untuk bisa diterbitkan dan memerlukan waktu hampir satu hari penuh (bagi para pemohon) untuk menjalani berbagai langkah, mulai dari verifikasi dokumen yang dibutuhkan, wawancara, pengambilan foto dan sidik jari dan pencetakan. Yang ironis, pihak Imigrasi tidak pernah mengkaji dan atau berupaya memperbaiki standar waktu pelayanan ini. Alhasil, kita masih selalu melihat jubelan para pemohon di berbagai Kantor Pelayanan Imigrasi di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Ini adalah salah satu contoh di mana e-KTP harus belajar dan berubah agar lebih baik.

Contoh yang bisa dibilang relatif sukses (mungkin) adalah pembuatan Surat Ijin Mengemudi (SIM). Kita melihat bagaimana ada perbaikan waktu pelayanan untuk pengajuan perpanjangan SIM lewat mekanisme Pelayanan Keliling dan standar waktu pelayanan juga relatif semakin cepat dibanding sebelumnya (tidak perlu hingga berhari-hari). Meskipun harus diakui, proses penerbitan SIM baru masih 'rawan' penyimpangan dan sarat ketidakjelasan.

Saya yakin, masih ada banyak hal yang bisa kita pertanyakan sebagai upaya untuk memperbaiki kebijakan e-KTP ini. Sebagai sebuah kebijakan, tentu memiliki tujuan dan target yang baik. Namun, perlu juga diperhatikan agar jangan sampai nasibnya seperti kebijakan-kebijakan sebelumnya yang ketika 'gagal' langsung ditinggalkan dan diganti dengan kebijakan (proyek?) baru. Cukup sudah kita lihat pergantian berbagai macam jenis KTP yang pernah diterbitkan oleh Republik Indonesia.




Wednesday, September 07, 2011

on "Indonesia Raya" and suicide rates

I love and really proud of my country's National Anthem – "Indonesia Raya". I have several of my own personal reason. And one good reason is that the anthem generate a feeling of happiness and high positive spirit. Recently, I found a research-based proof for such reason that makes me to love the anthem even more.

The research was indicate by David Lester, a professor at Richard Stockton College of New Jersey and the dean of suicide studies. From his current role and position you will obvious make a correct guess what will be his primary field of research. I found one of his work title “National Anthems and Suicide Rates” that tried to shows an association between a country's national anthem and its suicide rates. Here is the abstract of the study:
In the sample of 18 European nations, suicide rates were positively associated with the proportion of low notes in the national anthems and, albeit less strongly, with students' ratings of how gloomy and how sad the anthems sounded, supporting a hypothesis proposed by Rihmer. 
Definitely, there are quite a lot of caveats of this study. One obvious challenge is there are many factors correlate with and may affect national suicide rates in a particular country. For this posting purposes only, I would like to suggest you to believe that the result was true. So, if this finding is valid and could be link to Indonesia's national anthem, then I will excited to believe that Indonesia Raya is a national anthem that promote anti-suicide behaviour and brings a cheerful, upbeat and optimistic spirit to all Indonesian. Even without a support of any research finding, you should agree with such believe, I supposed.

Well, we may disregard any research based arguments and debating from another perspective on how national anthem may affect people behaviour in any countries. As for Indonesia case, we may also argued that Indonesia Raya had nothing to do with Indonesian livelihood, whatsoever. Yet, I still think that any nationalistic components of a country could generate an idea, a spirit, a mentality and behaviour of its people; and national anthem is one of them. Thus, we still need to learn and find out how to utilize them and bring any purposes of benefits by the people and to the people.

Finally, I will always love and proud of my country and its national anthem.  Long live great Indonesia!!
Enhanced by Zemanta

Friday, September 02, 2011

tentang Lion: tidak sempurnanya Full-screen apps

Beberapa waktu lalu, saya pernah menulis tentang Lion: yang 'menyenangkan' dan salah satunya saya sampaikan tentang applikasi Full-Screen. Aplikasi ini memang sangat 'menyenangkan' dan berguna terutama bagi para pengguna laptop yang perlu memaksimalkan ukuran layar tampilan ketika sedang berkutat dengan satu pekerjaan atau aplikasi. Namun, ternyata aplikasi ini belumlah seratus persen sempurna. Di mana salahnya?

Bagi Anda yang menggunakan laptop, sewaktu-waktu perlu bekerja di kantor cukup lama. Di saat-saat bekerja di kantor, mungkin Anda akan mencoba menghubungkan laptop Anda dengan layar monitor tambahan untuk memaksimalkan 'multitasking'. Saya selalu melakukan hal tersebut dengan MacBook saya. Jika bekerja di kantor, MacBook White saya akan terhubung dengan sebuah monitor tambahan – saat ini saya gunakan Dell Monitor 17". Biasanya, saya akan menampilkan aplikasi Mail, Safari dan social media lain hanya di layar monitor MacBook White sedangkan di Dell Monitor akan ditampilkan semua aplikasi yang terkait dengan apa yang sedang saya kerjakan, misalnya Stata, Pages dan Papers (membaca artikel-artikel science). Di sinilah masalah dengan Full-Screen apps saya temukan yang membuat 'kesempurnaan'-nya berkurang dari seratus persen secara signifikan.

Ternyata, aplikasi Full-Screen ini tidak bekerja di layar monitor tambahan Dell Monitor saya tersebut. Setiap aplikasi yang mampu menjalan fitur Full-Screen saya aktifkan, maka saya selalu kembali ke monitor di MacBook White dan monitor Dell menjadi 'kosong' (blank). Jika Full-Screen hanya boleh beroperasi di layar MacBook saya namun monitor kedua masih bisa menampilkan program lain, saya masih bisa memaklumi dan tidak terlalu kecewa. Sayangnya, permakluman saya tersebut tidak terpenuhi dan setiap Full-Screen saya aktifkan maka otomatis layar tambahan hanya akan menyajikan layar yang kosong tanpa bisa dilakukan suatu apa pun. Sungguh sebuah kesia-siaan!

Saya berharap Apple bisa melengkapi fitur ini agar mampu mengadaptasi beberapa monitor. Bagi saya, ini akan kian menjadi nilai tambah karena berarti pemanfaatan Full-Screen bisa dilakukan secara sekaligus dan lebih maksimal. Mudah-mudahan Apple bisa segera mewujudkannya.

Friday, August 05, 2011

tentang Lion: Dictionary yang semakin 'hebat'



Baiklah, saya akui bahwa saya sedang bersemangat dengan Lion. Meskipun saya tidak selalu menemukan apa yang saya senangi di dalam semangat tersebut.

Sebelumnya, saya sudah bercerita tentang apa saja yang menyenangkan, yang menyebalkan, dan yang 'bagaimana ya?' tentang Lion. Kali ini, saya baru saja menemukan lagi beberapa hal tentang Lion terutama dari salah satu software Apple favorit saya yaitu Dictionary.

Dictionary merupakan software 'bawaan' dari setiap komputer keluaran Apple. Bagi saya, software ini merupakan fitur yang paling berguna selain aplikasi-aplikasi lain yang juga disediakan Apple karena kegiatan saya sebagai pelajar banyak terkait dengan bahasa Inggris. Sebenarnya tidak hanya terkait bahasa, Dictionary juga bisa dikaitkan secara otomatis dengan website referensi lain khususnya Wikipedia. Jadi, jika saya ingin mengetahui tentang suatu kosakata atau istilah, saya tidak hanya akan mendapatkan arti gramatikalnya melainkan juga berbagai informasi mengenai sejarah, penggunaan, atau informasi terkait lainnya.

Selain fungsi dasar yang sangat informatif, Dictionary di Apple juga sangat mudah diakses. Kita bisa membaca arti suatu kata tanpa harus membuka software tersebut di desktop. Setidaknya ada dua cara yang saya ketahui untuk mengakses Dictionary dengan cepat: pertama, ketik kata yang ingin ditemukan di Spotlight lalu arahkan panah mouse ke kata yang muncul di drop down view maka akan muncul arti katanya. Kedua, sorot kata yang ingin diketahui lalu klik kanan dan pilih "Look Up". Singkat kata, saya tidak perlu membuka-buka kamus besar dan mencari suatu kata secara perlahan karena Dictionary sudah membantu dengan cepat dan akurat.

Di Lion, software ini mendapatkan polesan baru yang menurut saya membuat Dictionary menjadi lebih 'hebat' lagi. Jika sebelum Lion hanya disediakan Wikipedia selain Thesaurus, kini Dictionary juga memberikan British Dictionary dan British Thesaurus. Kedua tambahan kamus ini memberikan semakin banyak referensi tentunya.

Selain itu, Dictionary juga semakin 'baik hati' dan lebih informatif lagi dalam hal konten dan cara mengaksesnya. Saya sudah sampaikan bahwa kita bisa mencari dan menemukan kata yang ingin inginkan lewat Spotlight. Di Lion, pencarian lewat Spotlight akan memberikan informasi yang jauh lebih detil dan lebih banyak lagi dibandingkan sebelumnya. Jika sebelumnya hanya arti kata saja yang muncul, kini semua hal termasuk pelafalan dan contoh penggunaannya akan disediakan lewat Spotlight. Selain itu, tampilan hasil temuan pencarian kata yang kita lakukan di Spotlight juga akan sama persis jika dilakukan dengan cara kedua plus cara cepatnya. Yang saya lakukan adalah sorot kata yang ingin kita temukan artinya kemudian double tap dengan tiga jari. Itu saja!

Untuk seorang pelajar yang bahasa Inggrisnya masih pas-pasan, kamus seperti yang diberikan oleh Dictionary ini benar-benar sangat mumpuni. Saya sangat terbantu dan belajar banyak dari software ini. Dan saya bersyukur bahwa Apple menyediakan aplikasi ini sebagai program standar di setiap komputer Mac (alias gratis). Terima kasih Apple!

Thursday, August 04, 2011

tentang Lion: yang 'sudah seharusnya', tapi...

Sebelumnya, saya sudah membuat daftar sementara dari apa saja yang 'menyenangkan' dan yang 'menyebalkan' tentang upgrade Sistem Operasi terbaru dari Apple yang disebut Lion.

Selain dua kesan tersebut, saya juga menemukan kesan lain tentang Lion yang jika dipikir mungkin ini 'sudah seharusnya' dilakukan Apple sebelumnya tapi... saya sendiri tidak bisa menjelaskan bagaimana dan kenapa kesan ini muncul. Berikut ini adalah fitur-fitur tersebut:

1. Tampilan baru di Address Book dan Mail
Salah satu yang dibanggakan oleh Apple dari OS Lion adalah tampilan baru di aplikasi Address Book dan Mail. Di Address Book, saya melihat tampilan yang mirip seperti buku yang konon diinspirasi oleh tampilan Address Book di iPad. Memang terlihat lebih 'menarik' dan ada kesan seolah menjadi lebih realistis (karena terlihat seperti buku?), tapi saya merasa tata cara mengisi Address Book ini tidak ada perubahan. Kesan ketidakpraktisan masih ada dan saya berharap banyak sebenarnya bahwa ini bisa dibuat lebih baik. Tapi, entah bagaimana.

Di Mail, selain dukungan fitur Full Screen, yang menjadi faktor "luar biasa" adalah pengelolaan history email dimana kita bisa melihat detil 'percakapan' di email-email yang kita kirim dan terima lengkap dengan informasi nomor urut email, indikator reply dan sent serta foto si pengirim (jika tersimpan di Address Book). Selain itu, Mail juga mampu membuat tampilan email-email tersebut secara sederhana dan efektif tanpa perlu menghadirkan garis-garis vertikal yang biasanya kita lihat dibagian bawah email ketika menerima reply. Tapi, faktor tersebut menjadi sedikit hambar ketika saya tidak menemukan ada fitur yang bisa mengubah latar belakang Mail agar sedikit lebih berwarna, misalnya. Atau animasi-animasi yang bisa diaktifkan jika kita menerima atau mengirim email. Atau, entahlah, Mail ini jadi terkesan membosankan setelah menggunakannya beberapa kali.

2. Sinkronisasi dengan Yahoo! dan Google
Lion sekarang memberikan kemudahan jika ingin terhubung secara otomatis dengan Yahoo! dan Google. Di Address Book, Lion memberi fasilitas untuk melakukan sinkronisasi Address Book, Calendar dan Note dari email-email POP yang kita gunakan. Ini fitur yang 'sudah seharusnya' disediakan tapi entah kenapa baru sekarang.

Kemudian di Mail, kita bisa melakukan sinkronisasi email-email POP dari Yahoo! Mail, GMail, dan Hotmail. Caranya sangat mudah. Kembali, fitur ini sudah seharusnya ada tapi tampaknya kurang dibuat lebih menarik atau terkesan hanya ingin membuat ada tanpa memberi nilai tambah.

Selain itu, Yahoo! Messenger dan Google Chat juga bisa secara otomatis terhubung dengan iChat. Kini kita bisa menggunakan iChat untuk melakukan 'percakapan' dengan penyedia lain. Tapi, iChat sendiri tidak mendapat polesan yang bisa membuat kita beralih ke iChat. Saya belum mencoba terlalu jauh, tapi sepintas saya tidak melihat sesuatu yang 'luar biasa' di iChat. Klaim sepihak saya, fitur ini agak terlambat disediakan Apple.

3. Scroll yang 'ajaib'
Lion juga menampilkan fungsi scroll yang agak nyeleneh. Fitur yang saya pikir 'sudah seharusnya' ada adalah scroll bar yang hilang dengan sendirinya ketika tidak digunakan. Ini penting dan berguna agar tampilan layar penuh - Full Screen - jadi lebih efektif. Tapi, fitur ini menjadi agak terganggu ketika Lion juga mengadopsi gaya scroll di iPad dan iPhone yang memiliki logika terbalik dengan logika scroll di komputer-komputer pada umumnya.

Pada awalnya, saya tidak merasa ada masalah dengan perubahan logika tersebut. Ketika sudah terbiasa, kesan 'ajaib' dan terbalik sudah tidak muncul di benak saya. Tapi, saat saya harus menggunakan komputer lain yang tidak menggunakan OS Lion, saya harus mengembalikan logika tersebut ke logika scroll yang masih 'umum' digunakan. Di sini gangguan muncul karena saya harus mengubah logika scroll. Perasaan yang sama muncul ketika kita harus berganti posisi mengemudi dari kanan ke kiri (atau sebalilknya), penyesuaian selalu harus dilakukan. Memang ada pilihan untuk menon-aktifkan fitur ini, tapi mengapa harus ada pilihan tersebut?


Wednesday, August 03, 2011

tentang Lion: yang 'menyebalkan'

Sistem Operasi (OS) Apple terbaru, Mac OS X Lion pasti menarik dan menyenangkan bagi banyak orang. Saya termasuk yang menemukan beberapa hal yang menyenangkan dari OS terbaru Apple ini. Tapi, tidak ada OS yang sempurna. Lion juga memiliki beberapa aspek yang cukup mengganggu bagi pengguna biasa. Berikut ini beberapa hal yang 'menyebalkan' dari Lion:

1. App Windows Restore
Sebenarnya, fitur ini tidak terlalu bermasalah jika kita bisa menentukan dan mengatur aplikasi-aplikasi apa saja yang sesuai. Fitur ini memang membuat kita bisa melihat tampilan terakhir dari aplikasi yang sebelumnya sudah kita tutup. Namun, jika semua aplikasi melakukan hal sama maka ini akan menghambat jika kita perlu tampilan 'segar' dari aplikasi yang kita inginkan. Andai saja ada preferensi yang bisa mengatur ini maka fitur ini akan sempurna.

2. Kombinasi Finger Gesture dan Mission Control yang 'rumit'
Ini sangat dirasakann oleh Istrinda yang masih kerepotan mengikuti fitur Mission Control yang mengkombinasikan Exposé dan Spaces. Karena Finger Gesture yang sangat sensitif, perlu latihan yang cukup intensif dan terbiasa dengan gerakan-gerakan yang diperlukan. Selain itu, setting desktop juga tidak bisa 'manual' seperti halnya ketika dulu masih menggunakan Spaces. Dengan Gesture yang hanya ke arah kiri atau kanan saja (Spaces dulu menggunakan tampilan kuadran dan bisa diakses dengan tombol cepat nomor kuadrannya), maka ini menjadi tidak terlalu praktis.

Selain tentang fitur produktifitas yang terkait dengan pekerjaan dengan komputasi, ada beberapa hal lain yang tidak menyenangkan dengan Lion antara lain:
3. Sistem Instalasi lewat internet
Saya beruntung bisa men-download Lion dengan akses internet yang cukup mumpuni. Tapi saya sulit membayangkan jika saya harus melakukan hal tersebut di daerah yang internet-nya tidak secepat itu. Konon, Apple akan menyediakan sistem instalasi lewat USB Drive dalam waktu dekat, namun kita harus menebusnya dengan harga ekstra.

4. Harus punya Snow Leopard
Bagi Anda yang sudah punya Snow Leopard terinstal dalam Mac, ini tidaklah masalah. Tapi bagi saya yang masih menggunakan Leopard, harus mengeluarkan biaya ekstra untuk menginstal Snow Leopard terlebih dahulu. Belum lagi harus melakukan update terbaru dari versi Snow Leopard sebelum bisa menginstal Lion. Proses yang makan waktu. Andai saja ada sistem yang bisa dilakukan untuk melakukan lompatan versi OS tersebut.

Inilah beberapa hal yang mengganggu saya terkait dengan Lion. Jika ada hal lain akan saya tambahkan lagi kemudian.


tentang Lion: yang 'menyenangkan'

Saya baru saja melakukan upgrade MacBook ke sistem operasi (OS) Apple yang terbaru, yaitu Mac OS X 10.7 atau yang lebih dikenal dengan nama Lion. Di internet melalui berbagai blog dan review para pakar, banyak pujian dan komentar serta kritikan yang ditujukan bagi OS Apple terbaru ini. Bagi saya yang hanyalah seorang pengguna "biasa", ada beberapa hal tentang Lion yang saya pikir cukup menyenangkan. Berikut ini beberapa yang sudah saya coba dan manfaatkan:

1. Full-screen apps.
Bagi saya yang hanya menggunakan laptop Apple kelas MacBook, fitur layar penuh merupakan sebuah fungsi yang sangat berguna. Layar yang hanya 13 inchi, bisa dimanfaatkan secara maksimal hingga setiap pixel yang paling memungkinkan. Ini sangat terasa sekali ketika kita harus berkonsentrasi hanya pada satu aplikasi atau program. Lion saat ini baru mendukung beberapa aplikasi bawaan Apple, namun beberapa aplikasi pihak ketiga - termasuk Office for Mac - konon akan segera mendukung fitur ini dalam update mereka segera.

2. Launchpad
Ketika masih menggunakan Leopard, saya menggunakan aplikasi bernama RapidoStart. Fungsi aplikasi ini adalah untuk bisa menemukan semua aplikasi-aplikasi yang terinstall di MacBook dan mengaktifkan hanya dengan satu klik atau tombol cepat. Di Lion, saya bisa menggunakan Launchpad yang tampilan dan cara kerjanya mirip dengan icon apps di iPhone atau iPad. Saya juga bisa mengelompokkannya ke dalam semacam folder, menempatkan pada urutan yang kita inginkan. Semuanya serupa dengan apps di iPhone dan iPad. Saya tidak terlalu nyaman jika harus menyimpan banyak dock untuk akses aplikasi-aplikasi yang sering digunakan, maka Launchpad ini sangat berguna dan membuat layar desktop saya tetap 'lega'.

3. Mission Control
Sebelum Lion diluncurkan, Mac OS X memiliki fitur default bernama Exposé dan Spaces. Kegunaan kedua fitur tersebut adalah untuk mengatur aplikasi-aplikasi yang kita gunakan secara bersamaan dalam beberapa layar desktop namun tetap cepat untuk diakses. Di Lion, kedua fitur ini dilebur menjadi satu. Dengan fitur baru ini, hanya dengan satu tombol cepat atau gerakan jari (finger gesture) kita bisa melihat dan menemukan semua desktop dan aplikasi apa saja yang sedang aktif. Sangat informatif!

4. Auto Save dan Version
Ini fitur andalan yang sangat berguna bagi saya yang memiliki masalah dengan tata kerja yang sistematis. Di Lion, fitur Auto Save akan melakukan penyimpanan file-file yang sedang saya kerjakan. Jadi, tidak ada alasan ketika saya menutup laptop dan terburu-buru pulang tapi lupa menyimpan file terakhir yang Anda kerjakan. Ditambah fitur Version, saya juga bisa melihat-lihat lagi isi file yang saya sempat ubah, tambah, atau format sebelumnya. Dengan kata lain, saya punya sejarah lengkap atas file yang sedang saya kerjakan. Tampilannya juga menarik karena mirip sekali dengan Time Machine (fitur untuk backup data Mac).

Keempat fitur di atas merupakan fitur-fitur favorit yang paling saya 'sukai' dan paling bermanfaat. Selain itu, ada juga fitur-fitur lain yang menurut saya menyenangkan meskipun mungkin tidak terlalu banyak digunakan.

5. Hold Key for Special Characters
Sebelumnya, saya harus menghafal kombinasi tombol di keyboard jika ingin memunculkan karakter tertentu, misalnya huruf-huruf latin yang biasa digunakan oleh bahasa-bahasa di Eropa. Di Lion, saya cukup menekan tombol yang berhubungan dengan karakter tersebut maka di atas huruf yang baru saja saya tekan akan muncul alternatif karakter yang bisa digunakan. Sangat cepat dan praktis!

6. Finger Gesture
Saya masih menggunakan MacBook White yang trackpad-nya tidak mendukung Finger Gesture secara lengkap. Karena itu saya menggunakan Magic Trackpad untuk bisa memanfaatkan fitur Gesture yang lebih banyak di Lion kali ini. Kini, tidak hanya satu jari atau dua jari, tapi saya bisa menggunakan kombinasi gerakan empat jari untuk pindah antar desktop atau aplikasi. Bagi saya, fitur ini membuat kebiasaan saat menggunakan iPhone seolah-olah tidak berbeda dengan ketika menggunakan laptop.

7. Quick Look from Dock
Salah satu fitur yang paling handal di Mac adalah fitur Quick Look. Saat saya lupa file mana yang memuat konten yang saya perlukan, saya tidak perlu membuka file tersebut terlebih dahulu untuk mengetahui isinya. Cukup dengan menekan spacebar, maka file tersebut akan memberikan tampilan isi file yang kita sedang sorot. Sebelumnya ini dilakukan di Finder. Kini, kita bisa melakukannya juga di Dock.

Terakhir adalah:
8. AirDrop
Sayangnya, MacBook White saya tidak mendukung fitur ini karena alasan hardware. Jika saja saya bisa mencoba fitur ini, maka AirDrop pastinya akan masuk ke dalam daftar fitur Lion yang paling menyenangkan buat saya.

Inilah beberapa fitur terbaru dari Lion yang sudah saya coba gunakan dan manfaatkan serta memberi nilai tambah bagi kegiatan komputasi saya bersama Apple. Mungkin Anda punya pendapat lain, silahkan tinggalkan komentar Anda atau silahkan berbagi fitur-fitur lain yang Anda pikir juga menyenangkan.

Thursday, July 28, 2011

dukung & pilih Bang Faisal untuk DKI 1


DKI 1 adalah istilah untuk jabatan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Dan tahun 2012 yang akan segera datang, pemilihan DKI 1 periode berikutnya akan dilangsungkan. Saat ini bursa calon pemimpin Ibukota ini sudah mulai bermunculan. Dan yang membuat pemilihan kali ini akan menjadi sangat menarik dan penting adalah mulai hadirnya calon-calon dari kubu independen alias tanpa dukungan partai politik. Apa menarik dan pentingnya calon independen ini?

Menurut saya, calon independen menjadi kian dibutuhkan sebagai sebuah upaya mendewasakan proses demokrasi di Indonesia yang saat ini masih sangat dimonopoli oleh partai-partai dengan berbagai kepentingannya. Tidak hanya soal kepentingan yang diusung oleh masing-masing partai, berbagai "transaksi politik" yang kerap dilakukan oleh para pengurus dan petinggi partai membuat demokrasi yang hanya mengandalkan pada institusi partai menjadi sarat unsul manipulasi, korupsi, dan tidak memberi hasil maksimal. Masyarakat awam sudah sadar dan kian mampu melihat betapa kinerja partai politik dan para jajaran pengurus serta elitnya cenderung sibuk mempertahankan diri dari gempuran kebobrokan yang mereka lakukan sendiri dan atau menyerang partai-partai lawannya sebagai upaya menduduki kursi kekuasaan. Singkat kata, calon pemimpin dari partai politik selalu dihadapkan pada situasi pertarungan politik sehingga tidak akan mampu secara maksimal bekerja sebagaimana seharusnya seorang pemimpin. Untuk itulah, mengedepankan dan mendukung serta memilih calon independen patut dicoba sebagai upaya mengembalikan demokrasi dan peran pemerintahan yang seharusnya.

Ada berbagai alasan lainnya yang membuat calon independen menjadi penting untuk kita perhatikan. Masyarakat pemilih juga pasti punya alasan-alasan lain yang tidak perlu senada. Menurut kabar, saat ini sudah ada tiga bakal calon independen yaitu: Faisal Basri, Adhyaksa Dault, dan Eep S. Fatah.

Dari ketiga bakal calon tersebut, saya tahu dengan baik sosok calon independen yang pertama: Faisal Basri. Beliau adalah dosen dan senior saya di FEUI. Semua orang di FEUI tahu betul bagaimana sepak terjang beliau, baik sebagai dosen, ketua jurusan hingga saat ini. Sepak terjang yang dimaksud di sini adalah bagaimana konsistennya beliau sebagai seorang individu antara perkataan dan perbuatannya. Beliau juga memiliki idealisme yang tinggi dan mampu mempertahankan idealisme tersebut.

Saya ingat betul, sosok Faisal Basri di FEUI sebagai dosen dan kepala jurusan (kajur) Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (IESP) pada saat saya pertama kali kuliah di FEUI. Beliau sangat sederhana, selalu membawa tas punggung (backpack) dan - ini yang unik - beliau dulu selalu mengenakan sandal gunung, padahal dosen-dosen lain hampir selalu mengenakan sepatu kerja yang lebih formal. Dari yang saya dengar lewat teman-teman dan senior-senior lain yang sering berinteraksi langsung dengan beliau, Bang Faisal (demikian kita di FEUI memanggil beliau) juga individu yang mumpuni di bidangnya dan sangat kritis. Kita bisa melihat dari tulisan-tulisan beliau di berbagai media cetak di Indonesia.

Bang Faisal sudah memulai langkah pertama untuk maju sebagai calon DKI 1. Saat ini beliau membutuhkan dukungan awal dari kita semua agar bisa lolos untuk maju dalam bursa pemilihan. Dengan "kejam dan egois"-nya sistem kepartaian yang saat ini dianut dan didukung oleh semua partai politik, langkah awal ini akan tampak berat dan mustahil. Namun, dengan bantuan, dukungan dan partisipasi kita semua niscaya proses demokrasi yang lebih adil, fair dan berkualitas akan mampu diwujudkan. Bang Faisal juga sudah mulai menawarkan program kerja yang akan dijalankan jika beliau terpilih.

Untuk itu, "AYO DUKUNG DAN PILIH!" Faisal Basri untuk DKI 1!
Enhanced by Zemanta

Tuesday, July 19, 2011

forget about the test, just educate!

Perhaps you already aware about 'cheating scandal' in Indonesian national exams very recently. (see the news in Indonesian here and here, or in English is here). The irony is still persist and even stronger, I believe. While the Ministry of Education indirectly denied such wide spread phenomenon, it already taken into a next level of undeniably a collective action in some society in Indonesia. The case of Al and his mother Siami in Gresik, East Java is probably only one in many cases that eventually exposed in public, yet it seems not making the authority change their mind or even curious with the situation.

Despite of all facts or arguments regarding the cheating case, I believe we need to start to change our question a little bit further back. You maybe try so hard to find out the way to avoid cheating or looking for something as an incentive to increase honesty or kejujuran (the Ministry of education use this term, but I really hate it!). Instead, I prefer what Dan Ariely conclude in his article about teachers cheating and incentives:
"Maybe it is time to think more carefully about how we want to educate in the first place, and stop worrying so much about tests"
In other words, we forgot why we send those kids to school since it seems that now we tell them to go to school to pass the minimum score exam and just obtain the diploma. We never tell them why they need to read, to learn or even to play... Poor Indonesian children.
Enhanced by Zemanta

Thursday, July 14, 2011

revisi "kutukan sumber daya"

Catatan kecil ini diawali dari artikel yang berjudul "The Myth of the Resource Curse" oleh Gavin Wright dan Jesse Czelusta yang dimuat di Challenge Maret/April 2004 silam. Ada kutipan menarik yang sudah dikutip sebelumnya di blog Cafe Hayek sebagai berikut:
There is good reason to reject the notion that American industrialization should be somehow discounted because it emerged from a setting of unique resource abundance: On close examination, the abundance of American resources should not be seen as merely a fortunate natural endowment. It is more appropriately understood as a form of collective learning, a return on large-scale investments in exploration, transportation, geological knowledge, and the technologies of mineral extraction, refining, and utilization.
Wright dan Czelusta jelas mendukung klaim yang pernah diajukan oleh Julian Simon dalam makalahnya yang berjudul The Ultimate Resource (1981 & 1996). Keduanya mengamini argumen Simon yang didukung data dari berbagai catatan empiris. Keduanya berpendapat bahwa ukuran dan besarnya suatu modal sumber daya (endowments) selalu berubah-ubah dan lebih ditentukan oleh kemampuan manusianya dalam menemukan, mengelola, dan memanfaatkannya. Dalam bahasa ekonomi, besaran modal sumber daya alam dan mineral merupakan fungsi dari kualitas sumber daya manusia. Ini berarti bahwa manusia adalah sumber daya yang 'utama', bukan berbagai mineral dan kandungan alam yang terkubur di dalam tanah. Mineral dan kandungan tersebut baru menjadi sumber daya hanya setelah melalui proses kreativitas, pilihan-pilihan dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan manusia. Lalu apa kaitannya dengan Indonesia?

Pendapat umum dan keyakinan sebagian besar masyarakat Indonesia (yang ditanamkan lewat doktrin, pendidikan, dan sebagainya sedari kecil hingga dewasa) menyatakan bahwa Indonesia adalah bangsa yang kaya raya karena kandungan alam dan tambang serta mineral di dalamnya. Hal tersebut benar namun tidak lengkap dan belum tuntas untuk menjawab persoalan bangsa. Menurut saya, Indonesia harus mulai mengubah pendapat dan keyakinan tersebut karena sebenarnya Indonesia memiliki sumber daya yang jauh lebih 'utama' yaitu manusia. Dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia dan karakteristik yang sangat beragam, sudah saatnya kita menggali konsep yang diajukan oleh Julian Simon.

Indonesia perlu mengembangkan potensi manusianya yang begitu besar. Upaya mengembangkan potensi manusia tersebut bisa dilakukan dengan banyak cara yang tidak tergantung pada teknologi saja dan atau peran dan bantuan bangsa-bangsa lain. Wright dan Czelusta menjelaskan pengalaman berbagai negara di dunia saat menanggapi temuan atas sumber daya mineral khususnya minyak. Semua pengalaman tersebut bermuara pada berbagai upaya untuk membuat manusia-manusia di negara-negara tersebut mampu dan terus mengembangkan diri mereka ketika mereka menemukan sumber daya alam minyak. Hal ini berarti negara tersebut tidak hanya ingin mengambil (sekedar 'menerima') manfaat dan nilai tambah dari sumber daya alam tersebut namun juga (ikut 'berpartisipasi') menciptakan manfaat dan nilai tambah baru lewat kualitas sumber daya manusianya.

Contoh yang diuraikan dalam artikel tersebut misalnya bagaimana Norwegia ketika pertama kali menemukan minyak pada tahun 1969. Setelah mendirikan perusahaan minyak negara dengan nama Statoil pada tahun 1973, Norwegia juga berkonsentrasi dan berinvestasi dibidang ilmu pengetahuan untuk mengembangkan teknik perminyakan (petroleum engineering) lewat institusi pendidikan misalnya di Norwegian Technical University dan Rogalan Regional College. Hasilnya, mereka secara perlahan tapi pasti mengubah paradigma dari "berkompetensi menerima" menjadi "berkompetensi partisipasi". Seperti dikutip di halaman 22:
As a result of [focusing on advance exploration techniques] approach, forecasts of impending depletion have been repeatedly overturned and reserve estimates adjusted. In effect, these advances in technology and in the infrastructure of knowledge have extended the quantity of Norway's petroleum reserves, and they have allowed Norwegians to participate in the process as well-paid professionals, not just as passive recipients of windfall economic rents.
Beberapa negara serupa yang berhasil dan kini menjadi negara maju selalu menunjukkan respon yang senada yaitu meningkatkan peran manusia ketika "durian runtuh" dari sumber daya alam terjadi. Inilah sebabnya Indonesia harus mulai berhenti mengagungkan betapa kaya akan sumber daya alam, dan mulai beralih untuk membuktikan bahwa Indonesia jauh lebih kaya akan sumber daya manusia. Jangan sampai malahan Indonesia membuktikan bahwa sesungguhnya juga mengalami "kutukan sumber daya" selain pada sumber daya alam melainkan juga sumber daya manusia.

Tuesday, July 05, 2011

perlukah manual bahasa Indonesia?


Berita tentang penangkapan penjual iPad di Indonesia beberapa waktu lalu cukup mengherankan. Para penjual iPad tersebut ditangkap dengan dakwaan menjual produk tanpa buku manual bahasa Indonesia. Hal tersebut membuat pertanyaan salahkah menjual produk tanpa manual bahasa Indonesia menjadi wajar dan harus dijawab dengan jelas namun tetap kritis. Tapi yang harus kita jawab sebelum menjawab salah atau benar adalah seberapa perlukah manual berbahasa Indonesia untuk setiap produk?

Anda pasti akan menjawab PERLU! Mengapa? Pasti alasannya sangat sederhana: agar kita bisa menggunakan produk yang kita beli atau miliki sesuai dengan fitur dan kegunaannya. Selain itu, manual dengan bahasa yang dimengerti tentu akan membuat kita mampu menghindari kesalahan ketika menggunakan produk tersebut dan pada gilirannya menghindari kita dari gagal klaim atas jaminan purna jual (after sales product warranty) yang baku tersedia dari setiap penjualan.

Jika semua hal yang PERLU tersebut benar adanya, pertanyaannya menjadi lebih kritis lagi. Apakah Anda selalu membaca buku manual dari setiap produk-produk yang Anda beli? Untuk pertanyaan tersebut, saya yakin lebih dari setengah total konsumen dari suatu produk akan menjawab TIDAK. Mengapa? Karena biasanya produk-produk yang kita beli sudah memiliki fitur dan fungsi yang penggunaannya relatif kita kenal secara baik. Misalnya kita sudah tahu berbagai fitur dan fungsi dasar dari produk-produk elektronik seperti ponsel, komputer, televisi, pemutar video, dan sebagainya. Para konsumen biasanya baru perlu membaca buku manual jika ada fitur dan kegunaan yang berbeda dibandingkan produk-produk sejenisnya. Namun, kebanyakan konsumen pasti mampu mengenali dan mengetahui fitur-fitur yang berbeda tersebut setelah mencobanya terlebih dahulu bukan dengan membaca buku manual.

Pemerintah, khususnya Kementerian Perdagangan, pasti punya alasan 'ajaib' lain untuk membuat kebijakan yang mewajibkan semua produk elektronik harus dilengkapi dengan bahasa Indonesia. Padahal, kita bisa menduga bahwa konsumen produk-produk elektronik yang tidak membaca buku manual dan atau mampu membaca buku manual berbahasa asing umumnya berasal dari kalangan yang relatif terdidik dan kelompok ekonomi menengah ke atas. Artinya, mereka pada dasarnya mampu mempelajari dan membaca buku manual bahasa asing, setidaknya bahasa Inggris.

Kecenderungan tersebut sebenarnya sudah terbaca oleh para produsen. Akhir-akhir ini kita semakin sering menjumpai produk-produk elektronik yang tidak menyediakan buku manual yang berlembar-lembar dan tebal wujudnya, melainkan hanya memberikan semacam 'panduan cepat' (Quick Start Guide) yang berwujud seperti leaflet atau selebaran yang mudah dibaca dan diikuti karena dilengkapi dengan gambar dan ilustrasi. Apakah perlu belajar bahasa Inggris dulu? Gambar dan ilustrasi di panduan cepat tersebut membuat bahasa menjadi tidak relevan lagi. Bahkan anak usia 5 tahun pun sudah mampu mengaktifkan ponsel orang tuanya, tanpa perlu membaca buku manual! Jika pun Anda masih memerlukan manual, kita bisa mendapatkannya dengan mudah di internet dan tersedia dengan berbagai bahasa.

Kita sedang menyaksikan semakin pesatnya perkembangan produk-produk elektronika, khususnya produk-produk komputer dan telematika yang bukan saja ditunjukkan dengan semakin beragamnya jenis dan merek yang ditawarkan tapi juga semakin mudahnya produk-produk tersebut digunakan. Berbagai produk telematika seperti ponsel, komputer dan perangkat tablet seperti iPad dewasa ini kian mudah digunakan tanpa perlu bergantung pada sebuah buku manual. Apple sendiri sebagai produsen iPad mengklaim bahwa para konsumen bisa menggunakan produk mereka "segera" setelah produk tersebut keluar dari kemasannya. (Apple bahkan menyediakan video panduan - Guided Tours - yang membuat konsumen semakin mudah untuk menggunakan iPad). Kondisi tersebut seolah menampik kebijakan perdagangan yang bernafaskan 'nasionalisme kerdil' - seperti kewajiban menyediakan manual bahasa Indonesia, karena tidak memiliki manfaat atau kebutuhan yang mendesak baik bagi konsumen Indonesia sendiri maupun perkembangan industri dan perdagangan dalam negeri.

Jika memang ada konsumen merasa dirugikan ketika membeli sebuah kalkulator yang tidak menyediakan manual bahasa Indonesia mengapa konsumen tersebut masih membeli kalkulator tersebut?
Enhanced by Zemanta

Wednesday, June 29, 2011

tujuh


Hari ini, 'tujuh' tahun sudah kami bersama untuk mewujudkan cinta kami. Cinta yang kami ikrarkan bukan hanya sekedar untuk hidup bersama, namun saling mengisi hidup kami satu sama lain. Kami dua individu yang tak ingin sekedar kisah romantika yang menjadi satu jiwa, melainkan dua manusia yang ingin terus berusaha saling melengkapi untuk menggapai misi hidup ini.

Hari ini dan hari saat 'tujuh' tahun lalu kami ditunjukkan pada takdir yang tampak seperti berulang dengan sisi yang berlawanan. Hari ini, kau berkelana ke utara sedangkan aku menantimu di kaki bumi selatan. Hari saat 'tujuh' tahun lalu, aku yang berkelana ke utara jauh sedangkan kau menungguku di ujung selatan. Dan sepanjang tahun-tahun sebelumnya, tak pelak sudah berbagai kali kami mengais kasih saat berbeda belahan bumi. Namun, tiada penyesalan sedikit pun. Semua itu memang jadi bagian kisah kami, dan akan selalu kami syukuri.

Hari ini setelah 'tujuh' tahun lamanya, kami juga diberi anugerah. Dia yang sudah 'satu' tahun lamanya hadir di tengah perjalanan kisah kami. Dia yang kini menjadi misi hidup kami yang baru. Dia yang selalu kami doakan, kami syukuri atas semua capaiannya: kesehatan, keceriaan, kebahagiaan; agar kelak terus menjadi apa yang terbaik sudah Tuhan berikan bagi kita semua manusia. Kami menyayangimu, nak. Terima kasih sudah hadir di tengah kami.

Hari ini, setelah 'tujuh' tahun terjalani kami tetap dan selalu bersyukur. Apapun suka dan duka yang kami rasakan dan alami, semua akan selalu kami nantikan. Kami berterima kasih atas semua yang kami terima dan dapatkan. Semoga setelah kedatangan 'tujuh' ini, kami masih bisa terus menjalani dan menuntaskan bilangan-bilangan berikutnya...


Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Tuesday, June 28, 2011

Catatan tentang Arvind dan Musik

Catatan hari ini yang kudapat dari tempat penitipan Arvind tentang bagaimana Arvind menikmati musik. Silahkan disimak di sini.


Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Wednesday, June 22, 2011

To the crazy ones

Here's to the crazy ones.
The misfits. The rebels.
The troublemakers.
The round pegs in the square holes.
The ones who see things differently.

They're not fond of rules.
And they have no respect for the status quo.

You can praise them, disagree with them, quote them,
disbelieve them, gorify them or vilify them.
About the only thing you can't do is ignore them.

Because they change things.
They invent. They imagine. They heal.
They explore. They create. They inspire.

They push the human race forward.

Maybe they have to be crazy.
How else can you stare at an empty canvas and see a work of art?
Or sit in silence and hear a song that's never been written?
Or gaze at a red planet and see a laboratory on wheels?

We make tools for these kinds of people.
While some see them as the crazy ones, we see genius.

Because the people who are crazy enough to think they
can change the world, are the ones who do.

Think Different

source: To the Crazy Ones

If you wish to see the detail Genius Bio Sheets of all the significant contributions of the 10 historical figures featured in the 1998 Apple Think Different Education poster, you should refer to the following Desktop Pictures.

Enhanced by Zemanta

Simon Sinek: How great leaders inspire action

This is a great 'lecture' you must listen to understand why great leaders become one.

"How do you explain when things don't go as we assume? Or better, how do you explain when others are able to achieve things that seem to defy all of the assumptions? For example: Why is Apple so innovative? Year after year, after year, after year, they're more innovative than all their competitors. And yet, they're just a computer company. They're just like everyone else. They have the same access to the same talent, the same agencies, the same consultants, the same media. Then why is it that they seem to have something different? Why is it that Martin Luther King led the Civil Rights Movement? He wasn't the only man who suffered in a pre-civil rights America. And he certainly wasn't the only great orator of the day. Why him? And why is that the Wright brothers were able to figure out control-powered, manned flight when there were certainly other teams who were better qualified, better funded, and they didn't achieve powered man flight, and the Wright brothers beat them to it. There's something else at play here." [Watch the video by TED.com]

Simon Sinek: How great leaders inspire action | Video on TED.com

Tuesday, June 21, 2011

Full screen di Word for Mac 2011


Ok, silahkan bilang saya 'gaptek'. Tapi, saya baru saja tahu kalau MS Word for Mac 2011 bisa View->Full Screen seperti ini. Bagi yang perlu menulis secara intensif dan konsentrasi lebih, menyembunyikan sementara toolbar, palette dan semua pernak-pernik editing menjadi sangat berguna. Tampilan full screen hanya memberikan button-button yang paling sering digunakan dan bisa disembunyikan secara otomatis setelah digunakan. Dengan latar belakang gelap (atau warna tertentu yang disukai), dan hanya menampilkan lembaran teks penuh (lihat contoh di foto) maka menulis menjadi sangat fokus. Bagi saya pribadi, ini sangat membantu tidak hanya dari sisi tampilan yang lebih sederhana melainkan juga memberikan tambahan ruang di lembaran teks dimana kita menulis.

Karena sudah cukup lama ganti ke Pages (dan fitur ini yang membuat saya menggunakan Pages), saya jadi alpa bahwa fitur Office for Mac semakin mendekati iWork (dan tetap lebih unggul karena Excel-nya yang tidak mampu dikejar oleh Numbers). Jadi penasaran, apa lagi fitur-fitur Office for Mac 2011 yang serupa dengan iWork?