Tuesday, December 28, 2004

tadi pagi

Tadi pagi sebuah puisi datang mengilhami
namun kau tak bersamaku
membawa serta kebenaranmu pergi
Puisi itu telah lama kutunggu
dalam air mata nan sendu
Sekian lama ingin kupersembahkan
bagi alam dan kehidupan
dan seketika ia berkelebat datang
di antara celah pijar cahaya fajar
Namun kau tak bersamaku
membawa serta harapan pergi

Kupikir bila surya telah tegar
aku akan bisa berbagi kasih untuk kau rasa
Kasih setulus bunga dari taman segar
yang kelopaknya begitu halus penuh jiwa
dan semerdu nyanyian burung yang menggema
di angkasa
Namun betapa pun itu...
dengan segenap hati aku mencoba
nada puisi itu tak mampu padu melagu

Sekarang, kau datang dengan kebenaran
dengan harapan yang tadi ikut pergi
Puisi itu yang berganti tak di sini
hanya kau dan kebenaran dan harapanmu semata

Sunday, December 26, 2004

nanti

Aku adalah saat ini
hanya saat ini yang bisa kuamini
Baik buruknya
Indah cacatnya
Kehidupan yang boleh kurasa
bisa kukendalikan dalam upaya
adalah saat ini

Aku di masa nanti
sedang kuupayakan terjadi
segala yang terbaik jadi cita
seperti mimpi-mimpi asmara
Tak ingin bicara kecewa
manusia biasa hanya bisa merana

Aku saat ini adalah awal di masa nanti
Sederhananya...
Mari berjuang saat ini
demi lebih baiknya nanti
Namun, saat kau ragukan segala cara
cerita saat ini hanya jadi pemusnah jiwa

Kembali aku tersesat
dalam hutan hasrat nan lebat
Kompas dan petaku kau hempaskan
dalam kesia-sian

Kau takut itu terjadi
Aku lebih takut tak mampu menghindari
karena kaulah segara asaku...
saat ini dan juga nanti

Bilakah kau mengerti
kaulah bintang penunjuk langkahku?

Friday, December 24, 2004

Langit malam...

Langit malam, kumohon
peluklah aku...

Aku merasa hanya kaulah satu-satunya
yang sungguh menyayangiku
tanpa pamrih dan penuh kasih

Bulan, bintang dan matahari
hanya mengasihaniku dengan terangnya
namun, di matanya aku bukanlah apa-apa
aku hanya sekedar lalu lewat
dalam kegemilangan derita
Kemenangan adalah cita-citanya
aku hanya sekedar bidak langkah
menuju kejayaannya

Dan kini aku kian mengetahuinya...

Langit malam, kumohon
peluklah aku erat...

Aku sudah membakar buku-buku harapanku
sudah kurangkaikan buku baru bersama
menuju masa depan dengannya
namun, ternyata lembar demi lembar
halaman buku itu terserabut
dari jilid cinta
karena diisi oleh tinta hina
rasa yang dijatuhkan atas vonis
kealpaan dan kasihan semata
Inikah artinya aku tak layak
sedikit pun untuk Cinta?

Lalu siapa lagi yang boleh kupercaya?
Semua sudah kucoba
segala perih dan kecewa tak kuindahkan
kuganti dengan ukiran semangat dan harap
karena sungguh kupercaya Cinta
segala tuduhan dan caci maki kurangkul
kuingat dan kuamini sebagai pelajaran
karena sungguh kupercaya Cinta
segala apa yang boleh aku jadikan upaya
segalanya yang tak pernah diakuinya
kuanggap ujian dan tetap kuperjuangkan
agar boleh sedikit saja diterima
karena sungguh kupercaya Cinta

Langit malam, kumohon...
Kumohon dengan sangat
peluklah aku dengan erat

Peluklah aku dengan gelap pekatmu
Tidurkan aku dalam pembaringan maha hitammu
Rengkuhlah jiwa kerdilku dalam keluasan kelammu
Berkali sudah aku kehilangan arah...
dan malam ini, hanya kau
yang masih setia mendengarkanku

Langit malam, kumohon
peluklah aku dengan hangatmu

Aku sudah tak menangis lagi...

Tuesday, December 21, 2004

[Nirjudul]

Awan biru bagai lagu sendu
liriknya mengeja kata demi kata
merintih ragu sakit diterjang sembilu
Angin malam bagai iringan harpa duka
alunannya terdengar asing membuai pilu
rasa sia menanti mati masih lama

Kata-kata lirih kata-kata hanya mengeja
sakitnya di luar makna
karena tak ada yang mau mendengarnya
tak bisa cepat berharap menghapusnya
Matahari tetap membara
dan panasnya kian membakar asa
mimpi buruk datang di tidur dan terjaga
adakah dia merasakannya?

Sayang, aku tak ingin meninggalkannya
bilakah boleh memilih tikamlah hati ini
dengan belati kasih kala memang masih tersisa
jangan tinggalkan asa di kemudian hari
Kumohon...
biarkan jiwa pergi menanggung derita
hingga saatnya dijemput mati

Wednesday, December 15, 2004

mabuklah

Mabuklah jiwa dan pikiran duka
Siapa yang peduli sedih sang senja
Menyambut hujan dibalut dingin
Membekukan semangat yang susah payah
Dinyatakan demikian berharga
Bilakah kan hancur jelang pagi nanti?

Tak membutuhkan semangat lagi…
Sudah lelah menanggung tekad
Hanya jadi gemuruh bising tak nyata

Mabuklah jiwa dan pikiran hina
Lagu-lagu paling hingar tak bisa kudengar lagi
Pelarian yang paling cepat bisa kulakukan
Sudah kutempuh tapi tak pernah cukup
Lelah berperang melawan nestapa
Menjadi baik buat apa jika dianggap sia

Tak membutuhkan kebaikan lagi…
Sudah tak kuat mencari kebaikan
Hanya jadi kesalahan yang tertunda

Mabuklah jiwa dan pikiran sepi
Siapa yang peduli, di sudut dingin ini aku sendiri
Mereka biasa terlena dengan kemabukkan ini
Kini harus mulai membiasakan diri
Menenggak cepat dan semoga segera terlupa hidup
Agar tetap bisa menjaga rasa sendu di hati?

Tak membutuhkan mengingat lagi…
Sudah tak mampu mengingat
Hanya jadi masa lalu terlewat

Mabuklah jiwa dan pikiran nelangsa
Perjuangan di depan mata hanya fatamorgana
Seperti angin kencang meluluhkan dedaun asa
Tersapu jatuh bersatu dengan lumpur dan debu
Dilibas langkah-langkah besar tanpa ragu
Dunia tanpaku akan tetap melaju

Tak membutuhkan melangkah lagi…
Sudah tak sanggup melangkah
Hanya jadi cetak telapak terbuang tergenang

Kata mereka aku harus kuat
Sudah berusaha keras dan aku cukup kuat
Tapi sungguh…
Kata-kata sungguh itu membuat kekuatan apa pun
Jadi tak punya nilai sama sekali
Sebotol tak perlu habis membuatku
Kembali ke kelemahan abadi manusia biasa

Keinginan untuk tak menyerah ini masih ada
Tapi, tak tahu musti bagaimana lagi
Maka kumohon mabuklah jiwa dan pikiran segala
Hanya demi membantu menemukan lelah sejati

Tembok itu kian kokoh disetiap belaian sayangku…
Bilakah air mata jadi cinta yang menangguk bahagia?
Atau hanya kasihan semata sebelum dianggap merana…

Agar cukup meratap hari ini
Mabukkan semabuk-mabuknya…
Biarlah jadi tak berdaya
Tak perlu lagi segala daya itu…