Thursday, December 13, 2012

jam pelajaran

"Curriculum is more a process than a product. It should be emphasized at school level"
Slide 7, Bahan Uji Publik Kurikulum Baru 2013

Di posting sebelumnya, saya membahas sejarah perkembangan kurikulum pendidikan di Indonesia seperti disampaikan dalam Uji Publik Kurikulum Baru 2013. Di situ saya menekankan perihal seringnya kurikulum pendidikan di Indonesia berubah/diganti dan potensi masalah yang muncul akibat pergantian kurikulum yang periodik (atau musiman?). Sekarang mari kita coba lihat lagi persoalan lain di dalam kurikulum baru 2013.

Kita mulai dengan penggalan berita yang berjudul "Kurikulum 2013: Waktu Sekolah SD Tambah 10 Jam" di Harian Tempo Online. Penggalan berita yang menarik adalah sebagai berikut:
Siswa SD nanti belajar di sekolahnya kurang lebih 36 jam per pekan. Bertambah sepuluh jam dari saat ini yang hanya 26 jam per pekan. Siswa SMP yang selama ini belajar 32 jam di sekolah kini belajar 38 jam per pekan. Adapun siswa SMA relatif sama dan tak ada perubahan signifikan.
Selain itu, terkait jumlah mata ajar yang termaktub dalam kurikulum baru tersebut disebutkan,
Berdasarkan kurikulum baru, siswa SMP akan mendapatkan sepuluh mata pelajaran dari semula 12 mata pelajaran. Mata pelajaran muatan lokal dan pengembangan diri akan melebur dalam seni budaya dan prakarya. 
Adapun siswa SD yang semua mendapatkan 10 mata pelajaran berkurang menjadi enam mata pelajaran, yakni matematika, bahasa Indonesia, pendidikan agama, pendidikan jasmanai dan kesehatan, pendidikan pancasila dan kewarganegaraan, dan kesenian. IPA dan IPS menjadi tematik di pelajaran lainnya.
Menurut saya, penambahan jam pelajaran ini merupakan masalah mendasar dan paling serius yang muncul dari Kurikulum baru ini. Di dalam pengantar Uji Publik Kurikulum Baru 2013 secara tidak langsung sudah diklaim dan ditegaskan bahwa penambahan jam pelajaran adalah strategi yang akan dipilih. Tetapi apa alasan dan implikasi penambahan jam pelajaran bagi peserta didik, para guru dan sistem pendidikan secara luas tidaklah dibahas secara memadai.

Di pengantar tersebut disebutkan beberapa alasan pengembangan kurikulum 2013, yaitu antara lain:

  1. Kecenderungan banyak negara menambah jam pelajaran, misal: Amerika Serikat dan Korea Selatan
  2. Perbandingan dengan negara-negara lain menunjukkan jam pelajaran di Indonesia relatif lebih singkat
  3. Walaupun pembelajaran di Finlandia relatif singkat, tetapi didukung dengan pembelajaran tutorial

Tetapi, ironisnya, ketiga alasan tersebut tidak tepat untuk dijadikan dasar memutuskan bahwa jam pelajaran di Indonesia kurang sehingga harus ditambah. Berikut argumen saya.

Alasan pertama dan ketiga sebenarnya saling terkait dan penting untuk diperhatikan. Di kurikulum baru 2013, tidak ada kajian secara ilmiah tentang mengapa Amerika Serikat dan Korea Selatan menambah jam pelajaran. Padahal, jika Indonesia ingin meniru strategi penambahan jam pelajaran, seharusnya Indonesia juga mengerti apa latar belakang pemilihan strategi tersebut sekaligus mengerti apa syarat, kondisi dan tantangan dari pemilihan strategi tersebut. Jika dikaitkan dengan pengalaman Finlandia seperti disebut dalam alasan ketiga, sebenarnya yang perlu dikaji lebih lanjut adalah bukan berapa lama (jam) para peserta didik dan para guru harus menghabiskan waktu di sekolah. Melainkan, dari setiap jam aktivitas di sekolah para peserta didik dan para guru harus melakukan apa saja agar proses belajar mengajar bisa efektif. Dengan kata lain, yang perlu dirumuskan adalah alternatif-alternatif proses belajar mengajar yang sesuai dengan setiap tingkatan pendidikan bukan sekedar menambah jam pelajaran dan atau jenis mata pelajaran.

Alasan kedua yang mungkin lebih sulit dipahami dan cacat argumen. Jika memang jam pelajaran di Indonesia relatif lebih singkat, apakah bisa dipastikan berapa jam pelajaran yang ideal/tepat yang harus dijalani para peserta didik (dan guru) di Indonesia? Sebuah studi yang dilakukan oleh Dr. Daniel Suryadarma menunjukkan bahwa sesungguhnya rata-rata jam pelajaran di Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan negara-negara lain. Grafik dibawah menunjukkan fenomena tersebut, dengan mengambil contoh jam pelajaran matematika dibandingkan dengan Malaysia, Singapura dan Thailand.

Sumber: The Quality of Education in Indonesia

Studi dari Dr. Suryadarma tersebut membuktikan bahwa alasan jam pelajaran di Indonesia terlalu singkat tidaklah sahih dan cenderung dipaksakan. Studi tersebut juga menunjukkan bahwa masalahnya bukanlah pada berapa lama para peserta didik harus belajar dan menghabiskan waktu di sekolah melainkan kualitas setiap jam yang mereka jalani di sekolah. Ini membuktikan bahwa para perancang dan pengusul kurikulum baru 2013 ini sangat sempit pikiran dalam memandang proses belajar hanya dari jumlah jam pelajaran dan jumlah mata pelajaran.

Tidak bisa dipungkiri bahwa cara pandang dan perhatian kita terhadap strategi pendidikan harus mulai diubah dari aspek kuantitas ke aspek kualitas. Jika Kementerian Pendidikan meyakini bahwa menambah jam pelajaran dan mata pelajaran (aspek kuantitas) akan mampu meningkatkan capaian pendidikan di Indonesia, maka ini adalah keyakinan yang salah. Jika keyakinan ini yang dianut, maka fatal sekali bagi dunia pendidikan di Indonesia. Banyak pendapat para ahli menyebutkan bahwa beban pelajaran dan jam sekolah yang panjang memiliki dampak negatif pada siswa. Selain itu, dari sekian banyak perubahan kurikulum pendidikan di Indonesia hampir semuanya berkutat pada perubahan-perubahan yang bersifat kuantitas dibandingkan kualitas di dalam proses belajar mengajar.

Bahan Uji Publik Pengembangan Kurikulum 2013 ini menunjukkan bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan masih hidup dalam paradigma yang sempit dan tidak progresif. Hal ini patut disayangkan dan disesali. Saya agak pesimis bahwa konten Pengembangan Kurikulum 2013 ini akan berhasil membawa perubahan berarti yang penting bagi dunia pendidikan di Indonesia. Pengembangan Kurikulum 2013 ini tampak seperti proyek pendidikan semata; sama sekali tidak ada unsur pengembangan pendidikan bagi generasi masa depan Indonesia. Kurikulum 2013 ini akan berakhir seperti kurikulum-kurikulum sebelumnya, dianggap tidak memadai lalu diubah dan dibongkar pasang di sana sini. Dan mungkin, para pelajar di Indonesia kelak harus menginap di sekolah karena jam pelajarannya selalu dianggap kurang. Saya prihatin dengan apa yang sudah dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terhadap para pelajar dan para guru di Indonesia.  

Kerap kita memerlukan sesuatu yang kuno dan tua untuk kita terus pelajari; kadang kita juga memerlukan sesuatu yang baru. Namun, kita tidak memerlukan sesuatu yang rusak. Kurikulum 2013 ini adalah salah satu contoh sesuatu yang rusak sejak dari awal idenya. Dan Indonesia sangat tidak membutuhkan itu.


Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Wednesday, December 05, 2012

perkembangan kurikulum


Gambar di atas saya dapatkan dari Bahan Uji Coba Publik Kurikulum 2013 yang saat ini sedang diperkenalkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jika Anda tertarik untuk mempelajari detil kurikulum 'baru' tersebut, bisa ikut serta memberikan pendapat dan masukan. Saat ini saya masih mempelajari dan membaca detil kurikulum tersebut secara lebih komprehensif. Namun, berdasarkan Pengantar yang diuraikan dalam materi tersebut, kesan pertama saya adalah kurikulum ini tidak jelas dan sangat memberatkan tidak hanya para siswa namun juga para guru. Saya akan segera bahas hal tersebut di kesempatan berikutnya.

Sekarang, saya hanya ingin menelaah secara sederhana tentang perkembangan kurikulum di Indonesia. Seperti terlihat pada slide nomor 4 di atas, selama kurun waktu 66 tahun (1947-2013) telah terjadi pergantian kurikulum sebanyak 11 kali (termasuk yang saat ini sedang diujicobakan). Apa yang bisa kita lihat dari perkembangan tersebut? Sederhana saja. Di Indonesia kurikulum berubah (diubah) setiap (rata-rata) 6 (enam) tahun sekali. Jika kita hitung rata-rata tahun antar perubahan kurikulum tersebut, kita bisa dapat angka rata-rata 6.6 tahun atau hampir 7 tahun sekali.

Angka 6 tahun bisa dianalogikan sebagai lamanya tahun bersekolah untuk tingkat sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) plus atas (SMA). Artinya, Kementerian Pendidikan (dan Kebudayaan) hampir selalu merubah kurikulum setiap satu kohor (generasi) SD atau SMP+SMA. Apakah ini suatu masalah? Mungkin tidak jika kita hanya memperhatikan satu generasi saja. Tapi, menurut saya, ada masalah yang pelik ketika setiap kohor enam tahunan, setiap siswa (dan para guru) harus menghadapi perubahan kurikulum. Sederhananya, seorang siswa selama masa sekolahnya jika mengikuti wajib belajar 9 tahun plus SMA (jika mampu melanjutkan ke SMA) pasti akan mengalami minimal 2 kali pergantian kurikulum. Ini sungguh tidak sehat bagi si siswa pun guru karena setiap perubahan kurikulum lebih banyak berdampak pada proses belajar yang terus berubah. Padahal, proses belajar sendiri adalah sebuah proses yang membutuhkan kejelasan dan ketenangan. Jika perubahan kurikulum ini hampir pasti selalu dialami oleh setiap generasi siswa dan guru di Indonesia maka yang akan pasti kita lihat adalah proses adaptasi secara terus menerus yang dilakukan oleh para siswa dan guru tersebut - bukan proses belajar.

Selain konsekuensi proses adaptasi versus proses belajar, perubahan kurikulum yang terlalu sering juga berdampak pada ketidakjelasan biaya yang dihadapi oleh para orang tua dan juga pemerintah serta strategi investasi yang tidak efektif. Setiap perubahan kurikulum pasti membutuhkan biaya baru untuk mengubah buku dan materi ajar lainnya. Belum lagi jika kurikulum yang mewajibkan sarana pendidikan lain yang bersifat investasi fisik seperti perpustakaan, laboratorium, sarana praktek dan sebagainya. Jika kurikulum berubah setiap 6 tahun, berarti selama periode tersebut diperlukan modal investasi yang dibelanjakan selama satu periode kurikulum. Kemudian, di periode kurikulum baru berikutnya dibutuhkan lagi modal investasi baru untuk kurikulum berikutnya. Orang tua harus dihadapkan pada fakta bahwa setiap kurikulum baru mereka harus membeli buku, lembar kerja dan materi ajar baru. Tidakkah ini pemborosan?

Terakhir, perubahan kurikulum yang relatif sering seperti ini, sebenarnya mengindikasikan ketidakjelasan visi dan misi pendidikan di Indonesia. Apa yang dilakukan kementerian ini jauh lebih buruk dari strategi pabrik atau industri yang terus mencoba memperbaharui teknik produksi atas suatu produk barang atau jasa. Industri saja membutuhkan belasan tahun untuk 'belajar' (riset dan pengembangan atau R&D) sampai akhirnya mampu menghasilkan produk baru serta menemukan proses produksi yang lebih baik. Lalu, mengapa dalam hal mendidik dan mencetak mutu modal manusia (human capital) proses perubahan harus dilakukan dalam waktu yang relatif singkat? Selain itu, di manakah kajian serta evaluasi atas pencapaian dari setiap kurikulum lama/baru yang pernah digunakan di Indonesia? Jangan-jangan, sebenarnya jika Indonesia tidak mengganti kurikulum selama, sebut saja 17 tahun (seperti periode 1947-1964) tidak akan berdampak buruk bagi dunia pendidikan Indonesia.

Tuesday, November 13, 2012

Beda generasi satu selera

Kisah ini terjadi saat saya dan keluarga (istrinda & Arvind) sedang berakhir pekan di Sydney. Tepatnya, kami sedang menikmati masakan Indonesia di Cafe Joy & Take Away. Setelah kami tiba di lokasi dan langsung memesan makanan yang ingin kami santap, datang juga serombongan pelajar asal Indonesia yang menurut penjelasan mereka adalah peserta pertukaran pelajar setingkat sekolah menengah pertama dengan pelajar dari Australia. Sebelum berbincang banyak dengan rombongan pelajar tersebut, perkenalan kami sebenarnya diawali oleh salah satu lagu yang pertama kali saya kenal dengan baik di tahun 1980an.

Saat kami menyantap makanan yang sudah tiba di meja kami, terdengar lagu yang berjudul "Beautiful Girl". Saya sangat kenal lagu tersebut karena termasuk lagu pertama yang saya tahu ketika pertama kali kenal radio dan lagu pertama yang saya beli kasetnya. Oh ya, dulu saya kenal lagu tersebut saat dinyanyikan oleh Jose Mari Chan. Tapi kali ini, saya tidak kenal siapa penyanyi yang mendendangkan lagu tersebut. Tiba-tiba rombongan pelajar yang duduk di sebelah kami ikut serta menyanyikan lagu tersebut dan mereka juga hafal lirik lagu tersebut. Ketika saya tanya siapa yang menyanyikan lagu ini, mereka menjawab Christian Bautista. Alhasil, jadilah kami semua menyanyikan lagu tersebut tanpa dikomando.

Jose Mari Chan menyanyikan lagu tersebut kira-kira tahun 1989 di dalam albumnya yang berjudul Constant Change. Album ini adalah salah satu kaset pertama saya sebelum Tomy Page "Painting In My Mind". Setelah dinyanyikan lagi oleh Martin Nievera, "Beautiful Girl" kembali dipopulerkan oleh Christian Bautista tahun 2010. Lebih dari 20 tahun perbedaan rilis lagu ini diantara kedua penyanyi tersebut. Meski demikian, ternyata perbedaan generasi tidak selalu menyebabkan perbedaan yang berarti.

Siapa lagi diantara Anda - apa pun generasinya - yang juga senang dengan "Beautiful Girl"? Mari bernyanyi bersama!


Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Saturday, November 03, 2012

saya tidak bermaksud...

Kali ini adalah posting perdana saya yang akan saya beri label "The Culture That Is Indonesia". Edisi perdana ini akan membahas tentang kebiasaan orang Indonesia yang menyampaikan "saya tidak bermaksud...".

Kata-kata tersebut sudah lama saya perhatikan namun baru belakangan ini mengganggu pikiran. Baru saja saya temukan dari status seorang dosen di salah satu universitas di Indonesia di salah satu media sosial internet yang menyampaikan kalimat, "Saya tidak bermaksud menyebar fitnah, hanya sekedar bla bla bla..." lalu beliau menyajikan tautan berita online sekaligus menyampaikan pertanyaan dan komentar yang cenderung konspiratif – jika belum bisa dibilang fitnah – atas suatu isu yang belum jelas duduk persoalannya terkait tautan berita tersebut. Yang lebih menarik adalah tautan berita online yang beliau bagikan sendiri memuat pemikiran-pemikiran konspiratif dan penuh fitnah. Mengapa saya bilang fitnah, karena sebenarnya belum ada buktinya.

Tidak sekali ini saya menemukan kata-kata yang diawali kesan baik dan bijak, tapi kontennya sungguh penuh prasangka, tuduhan, konspirasi, dan fitnah yang cenderung tidak berdasar dan hanya didasarkan pada emosi atau stigma atas pihak-pihak yang disangka atau dituduh. Ciri-ciri utamanya biasa diawali dengan kata-kata "saya tidak bermaksud fitnah..." atau "saya tidak bermaksud menuduh..." atau "bukan maksud saya memojokkan...", tetapi pertanyaan atau pendapat atau argumen yang disajikan pada gilirannya akan mensahihkan segala maksud yang dinegasikan di kalimat awal tersebut. Dengan kata lain, apa yang disampaikan di awal sesungguhnya bertolakbelakang dengan pendapat yang sesungguhnya ada di benak si orang tersebut.

Coba saja Anda perhatikan jika sedang berdiskusi secara lisan atau berdiskusi di media online atau berdiskusi di forum-forum online. Dan silahkan simak muatan pendapat atau argumen yang disampaikan. Jika Anda memang tahu dan mungkin sangat dekat dengan orang tersebut, lupakan saja posting ini. Tapi, jika Anda memang ingin sedikit kritis, perhatikan sejauh mana orang tersebut menyampaikan detil-detil pendapat dan argumennya. Mungkin Anda akan menemukan apa yang saya maksud.



Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Monday, October 15, 2012

My Review: Hand Stylus

My black HAND Stylus
When I finally had an iPad, I had primary mission to convert all paper based activities into digital. I would love to do variety of note-taking using my iPad and save it into PDF file, for instance. However, iPad did not (yet) provide a stylus to give me a real (traditional?) experience of hand writing. Therefore, I've search and tried, so far, three styluses. I want to review the third one which is called HAND Stylus.

My first stylus is Just Mobile Alupen. The positive impression about this stylus is its weight. For me, it helps writing stroke easily to be made. Hence, It does not require significant pressure when you write. Alupen also made quite well and stylish. It serve with leather case for carrying. On the other side, my main negative impression about it is its size. It is a chunky pencil and indeed bulky. Maybe it is good for drawing, but for me it is not convenient for hand writing. It is also not practical since its size make me not so easy to pull it out to begin note taking.

The second stylus I have tried is Belkin Stylus Pen for iPad. The main reason for choosing this stylus is price and suitable pen-like size as the only positive impression for this stylus. Yet, just like Alupen, I still didn't get precision that I hope to get from using stylus to do handwriting note-taking. Both stylus, still used quite big rubber tip and it is quite difficult if I want to write in detail and fast. After giving up this stylus to my wife (and she seems quite happy with it) and back to my index finger to write, I found about Hand Stylus and expect to find the 'one'. I ordered and now I got it. This is my impression after 5 days using it.

Hand stylus was appear as a Kickstarter Project initiated by Steve King. My interest with this stylus was triggered by several aspects which I could not found completely from two styluses I have used before. It features a retractable 4 mm tip which is claim to be the smallest tip size possible for touch screen and arguably able to increase precision compare to bigger tip. It is pen-like stylus, physically and ergonomically. The weight, size and design were pretty close to a pen and it gives me writing experience just like a pen. I feel an increase in writing precision and gain more control for each characters I wrote compare to other styluses or even my finger (see photos comparison below). It gives me a consistent feeling of writing and a bit faster method of note-taking.

One thing that made those experience appear is the retracting mechanism that spins the tip just slightly each time to preserve its rubber tip quality. Not to mentioned that the price still under $30 - that's my budget for a stylus. If it is more than that, I prefer to go back with traditional pen for sure.
Hand write by Hand Stylus
Hand write by index finger




















From its size, weight, design, and all other things, Hand Stylus assure me to give four out of five stars. I really wish to give the fifth one, but I must face the reality that this stylus isn't perfect enough. As mentioned in Hand Stylus metal box (I tried to write down the notification using handwriting both with stylus and finger as pictured above), I need to find a sweet spot to be able to write conveniently. The problem with this sweet spot is I have to put more pressure from pen to surface or hold it at a very acute angle to the screen. The stylus creator, Steve King already acknowledged the problem.

In my experience, it is not that long to find the sweet spot. Several reviews also claim that the majority of users would not be taking it too problematic as you just push into the screen a bit more and you'll nail it. But for people who really need a 'soft touch' or 'precise light and bold stroke', this situation will make them scream on every stroke attempt they made. The sweet spot could be 'come and go' as your stroke will never be consistent enough. I am also share the same feeling, especially if I need to do fast and quick handwriting, since I prefer lighter pen strokes to write shortcuts. Thus, I need to settle down my mind and my hand to switch my writing style before I write on my iPad using Hand Stylus. Yet, if you really keen with stylus, you have to keep in mind that your experiences will almost certainly vary on this since it really depend on how you hold and use a pen or a stylus. Also, writing is one of the hand's strengths provided that you write firmly. Perhaps, after several days my writing will improve but I cannot guarantee that.

To summarize, this stylus is perfect for you who like a firm grip, regularly push against the screen, and wish a precise tool. But, if you prefer to glide your stroke of stylus on their screen, you still need to look for others. For me, this stylus is a better – yet perfect – upgrade from my previous two styluses under the same budget constraints.

UPDATE [28/03/2013]: So, after 6 months I used this stylus intensively, I think I found the weakness of this stylus. Unfortunately, this weakness really troublesome for me. The main problem here is the rubber tip. After used it for 6 months, I managed the sweet spot and getting better and better when I do handwrite on my iPad. But later I found that the rubber tip started to worn out. It might be understandable as it is consider as frequent used part, but I did not expect it will worn out quite soon. Fortunately, the Hand Stylus maker provide the extra tipping points, but in my case it will be quite expensive to order them. So, if you wish to buy Hand Stylus, I recommend to order the extra tipping.
Enhanced by Zemanta

Tuesday, September 04, 2012

What Is A Dad?

A dad is someone who
wants to catch you before you fall

but instead picks you up,
brushes you off,
and lets you try again.

A dad is someone who
wants to keep you from making mistakes
but instead lets you find your own way,
even though his heart breaks in silence
when you get hurt.

A dad is someone who
holds you when you cry,
scolds you when you break the rules,
shines with pride when you succeed,
and has faith in you when you fail...

Source: unknown


• Happy Father's Day 2012

Wednesday, July 25, 2012

Review buku: Perahu Kertas oleh Dee


Perahu KertasPerahu Kertas by Dee
My rating: 4 of 5 stars

Akhirnya buku ini bisa saya habiskan!

Saya merasa puas dan terharu dengan plot cerita Perahu Kertas ini. Bagi saya, kisah Kugy dan Keenan sangat 'kreatif' dan penuh dengan pasang-surut. Kisah mereka bisa jadi gambaran umum yang mungkin terjadi pada banyak pasangan, namun tampil dengan menarik sekaligus dinamis. Proses yang terjadi diantara keduanya tidaklah terlalu berat untuk diikuti tapi tetap memberikan kesan 'penasaran'. Biasanya ada kesan kisah-kisah asmara harus diuraikan dengan konflik-konflik yang rumit dan panjang. Saya tidak menemukan kesan tersebut di Perahu Kertas. Kisah ini mengalir dengan konflik-konflik dan penyelesaiannya (berlalu?) tanpa kerumitan tapi tetap menanggung harapan untuk sebuah akhir - entah 'sedih' atau 'suka'. Bagi yang senang dengan "happy ending", epilognya mungkin akan terasa terlalu pendek. Bagi saya, surat terakhir Kugy untuk Neptunus di epilog tersebut merupakan sebuah tanda "the end" besar yang membahagiakan dan sekaligus memberi imajinasi lanjutan tentang kisah Kugy & Keenan.

Penggunaan bahasa asing (Belanda dan Inggris) serta bahasa daerah (Sunda dan Bali) relatif sesuai untuk setting ceritanya. Alur cerita mudah diikuti, apalagi dengan penyebutan bulan dan tahun serta lokasi cerita terjadi. Menurut saya, inilah kelebihan novel ini yang tidak terbebani untuk membuat alur cerita yang 'wah' dan membumbui dengan kosakata-kosakata bombastis yang mencoba bersifat sastrawi.

Saya senang dengan kisah yang tidak terlalu menggurui, tapi mampu menyelipkan banyak 'kutipan' yang bijak dan bisa mengajak kita berpikir sekaligus merasa. Perahu Kertas ini cukup banyak melakukan itu dan berhasil untuk tidak menggurui.


View all my reviews

Tuesday, May 29, 2012

Quote of the day: religion and politics

"Religion and politics should never mix. Because politics is worldly and religion becomes worldly once it takes part in politics or tries to influence or control. Religion should never be involved in powers of the world because it is not serving god but selfish glory of an image of tradition."
Anonymous

My own take from above quote is religious conservatives, monarchs and tyrants have shares in common. If you are human and make rules and want us to obey your claim by saying that you are messengers of the will of God (and hence no further justification needed); you just emphasize that you are no different at all than any ancient monarchs and tyrants.

This is a simple lesson from history that deserves serious attention nowadays. Religious conservatives claim that they are passing along God's ideas, and thus that we should obey them without critical challenge and questioning. Learning from what happened to monarchs and tyrants in the past, this idea has always had disastrous consequences in the past – why should we expect anything different this time?

Enhanced by Zemanta

Monday, May 21, 2012

Balita Digital

Topik hari ini dipicu oleh pertanyaan seorang teman: "Apakah Anda akan membolehkan balita Anda untuk menggunakan iPad?" Anda bisa mengganti iPad dengan berbagai perangkat elektronik lain, mulai dari telpon genggam, telpon pintar (smartphone), komputer, tablet, dan perangkat permainan elektronik seperti XBox, Wii, dan sebagainya.

Pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan yang menarik dan perlu dijawab oleh para orang tua dewasa ini. Perkembangan teknologi belakangan ini semakin pesat dan penggunaanya pun kian intensif di berbagai aspek kehidupan. Berbagai jenis perangkat elektronik digital atau biasa disebut gadget bermunculan dan bertebaran di tangan kita.

Isu kritis yang cukup pelik terkait pemanfaatan gadget bagi keseharian adalah bilamana anak-anak dan balita boleh menggunakan gadget? Atau, umur berapakah balita atau anak-anak boleh berinteraksi dengan telpon genggam atau iPad atau komputer? Ada banyak studi yang mencoba menjawab pertanyaan tersebut. Kesimpulan dan pandangan yang muncul relatif terbagi dua kubu: pro dan kontra. Kedua kubu tersebut pada dasarnya mengklaim bahwa penggunaan gadget di usia dini bisa mempengaruhi perkembangan anak - pengaruhnya bisa negatif atau positif. Namun, media massa umumnya hanya membahas laporan dan diseminasi studi tersebut terutama yang memaparkan pengaruh negatif tanpa perimbangan dari studi tandingannya. Dengan kata lain, belum ada bukti yang komprehensif dan sinergis untuk menjawab peran gadget bagi balita dan anak-anak.

Sebuah survey di suatu kelompok Parenting menunjukkan bahwa hampir 20 persen balita mulai menggunakan smartphones sejak umur 2 tahun. Dan, hampir sepertiga balita akan mulai menggunakan laptop atau kamera digital saat mereka mulai duduk di bangku Taman Kanak-Kanak. Pola pemanfaatan gadget tersebut dikenalkan oleh orang tua mereka, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Meskipun survey tersebut dilakukan di negara maju dan konteks fenomenanya lebih relevan untuk negara tersebut, namun saya pikir temuan tersebut bisa memberi indikasi kecenderungan serupa di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Generasi balita digital tersebut merupakan generasi pertama yang tumbuh dan berkembang secara digital, artinya interaksi mereka dengan teknologi digital akan sangat tinggi dan dimulai sejak usia dini. Mungkin tidak lama lagi, perkembangan di tahap awal dari anak-anak kita akan bisa diukur dengan apa yang disebut sebagai digital milestone, yang diukur misalnya dengan mengetahui umur berapa anak kita pertama kali mengirim SMS (Baca juga artikel menarik yang berjudul The Birth of Digital Toddler).


Satu hal yang niscaya adalah generasi digital akan dihadapkan pada masyarakat yang dikelilingi oleh screens (layar monitor) yang hampir sebagian besar memiliki fitur touch (sentuh). Keyboard sudah menjadi pena pertama mereka, jika menggunakan stylus masih terbatas hanya untuk kegiatan seni grafis dan gambar. Dan, kertas-kertas coretan belajar menulis pertama kali yang dulu biasa berserakan di meja, akan bertebaran di komputasi awan (cloud computing) dalam berbagai format penyimpanan, seperti PDF, JPEG, dan sebagainya. Baiklah, saya setuju bahwa yang terakhir agak berlebihan... Hehehe.


Tanpa bermaksud mengecilkan potensi masalah yang pasti ada, saya pikir lebih baik kita mulai melihat fenomena balita digital ini dalam perspektif yang lebih universal yaitu kegiatan pendidikan. Jika di sekitar kita layar monitor di mana-mana dan berfitur sentuh, saya pikir tidaklah tepat jika kita tidak mulai memperkenalkan anak-anak sejak dini dengan fungsi teknologi tersebut. Seperti halnya komputer yang sudah menjadi teknologi yang umum dimiliki oleh sebagian besar rumah tangga di mana pun berada dan digunakan tidak hanya sebagai sarana hiburan melainkan juga sebagai instrumen pendidikan; mengapa tidak menggunakan teknologi tersebut untuk sarana pendidikan bagi balita dan anak-anak? Di sinilah dimulai sebuah pemikiran bahwa sistem pendidikan juga perlu berubah, berevolusi dan tumbuh sambil menyesuaikan diri dengan refleksi keseharian perkembangan baru balita dan anak-anak kita yang semakin terpapar teknologi digital. Singkat kata, sistem pendidikan harus menerima dan menyiapkan instrumen pengajaran yang menjawab tuntutan  peserta didik yang memanfaatkan teknologi sejak dini.

Sedikit Pengalaman Arvind dan iPod Touch-nya
Saat tulisan ini disusun, anak saya – Arvind – sudah berumur 2 tahun. Menjawab pertanyaan pertama di atas, iya saya mengijinkan Arvind untuk bermain dengan iPad saya. Sesekali Arvind diperbolehkan menggunakan iPad, tapi dia pasti tidak boleh melihat iPad menjelang waktu tidurnya tiba. Saya sudah memperkenalkan Arvind dengan iPod Touch sejak dia berumur 20 bulan. Mengapa saya perbolehkan Arvind bermain dengan iPad dan iPod sejak dini?


Alasan saya lebih didasarkan pada antisipasi atas kemampuan Arvind di masa depan. Saya lihat Arvind, seperti halnya balita lainnya, sangat cepat menyerap dan menginternalisasi informasi: rutinitas, kata-kata, dan konteks. Misalnya, ketika dia melihat saya mengaktifkan telpon genggam saya – membuka kunci (unlock) handphone, dia mampu melakukan hal yang sama setelah dua kali melihat. Tidak berhenti sampai di situ, dia juga mulai mengeksplorasi menu dan fitur yang ada di handphone saya. Sejak itulah saya berpikir bahwa cepat atau lambat ia pasti akan 'menuntut' untuk bermain dengan teknologi tersebut. Daripada menunggu tuntutan tersebut muncul tiba-tiba, lebih baik saya mulai dan arahkan secara khusus ke menu dan fitur yang sesuai dengan umur dan perkembangan pembelajarannya.


Awalnya saya tunjukkan aplikasi untuk mengenal suara musik dan gambar-gambar interaktif yang menarik jika disentuh. Saat itu, saya sendiri yang men-supervisi penggunaan iPad atau laptop yang memuat aplikasi tersebut. Ketika dia memasuki usia 22 bulan dan mulai bisa bicara, Arvind belajar ABC dari iPod Touch-nya (iPod tersebut resmi saya lungsurkan ke Arvind saat itu) dan dia mulai belajar mengoperasikannya sendiri tanpa supervisi saya. Di iPod tersebut sudah saya muat berbagai aplikasi pembelajaran (learning apps) dan toddler games. Lebih kurang, ada 12 toddler apps dan 5 buku digital (eBook) interaktif serta beberapa video serial anak-anak seperti Thomas and Friends, The Wiggles, dan Bob the Builder.


Beberapa waktu kemudian, saya amati bahwa Arvind bisa memilih aplikasi apa yang ingin ia mainkan. Dia juga sudah mulai bisa memilih video apa yang ingin dia tonton. Selain kemampuan menentukan sendiri pilihannya, dia juga mulai bisa meniru dan mengulang bahan pelajaran di aplikasi yang ia mainkan. Ia dengan cepat meniru lagu alfabet ABC, berhitung satu sampai sepuluh dalam bahasa Inggris (meskipun entah kenapa dia tidak pernah mau menyebut nine sebelum ten), membedakan big dan small, menyebut nama-nama binatang dan suaranya saat melihat gambar binatang tersebut, dan banyak hal lainnya. Satu hal yang paling diminati oleh Arvind adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan musik. Di setiap film yang disaksikan, dia paling tertarik dengan theme song film tersebut. Atau, ketika bermain dengan apps pasti dia lebih responsif terhadap musik yang dimainkan oleh apps tersebut. Begitu juga dengan ebook, dia tampak menyimak buku yang menyajikan musik pengiring di dalamnya. Contoh buku interaktif yang menarik bagi Arvind adalah The Fantastic Flying Books of Mr. Morris Lessmore.


Meskipun Arvind sudah mulai bisa memilih menu dan fitur yang tersedia di iPod tersebut, bukan berarti dia dilepaskan sendirian bermain dengan gadget tersebut. Kami tetap mengamati dan membimbing apa saja yang perlu dilakukan terutama jika dia mendapati ada fitur atau menu baru yang muncul dan dia belum tahu konteksnya. Selain itu, kami juga memilih kapan waktu yang tepat agar dia boleh bermain dengan iPod tersebut. Misal, kami tidak membolehkan dia melihat layar monitor apapun saat menjelang waktu tidur.  Artinya, kami tidak ingin keasyikan 'bermain' dengan gadget tersebut melebihi rutinitas penting yang harus dia jalani seperti tidur, makan, dan berolahraga. Kami juga masih tetap memperkenalkan Arvind dengan buku non ebook sebagai sarana belajar.


Lesson Learned Balita Digital
Dari pengalaman Arvind, saya belajar bahwa balita dan anak-anak bisa bermain sambil belajar dari gadget sejak dini. Untuk meminimalisir dampak negatif yang mungkin muncul, kita tetap harus memsupervisi si anak ketika bermain. Selain itu, kita juga perlu memperhatikan dan menyiapkan gadget tersebut secara seksama terutama apa saja yang bisa dimainkan di gadget tersebut. Saya juga belajar untuk tidak terlalu ambisius dan memasang target bahwa si anak perlu belajar ini dan itu. Melainkan, saya belajar mengenali apa minat si anak dan kemampuan apa yang dia bangun ketika bermain dengan gadget tersebut. Contohnya adalah bagaimana Arvind menunjukkan minatnya terhadap musik dan bebunyian yang memiliki nada.


Terlepas dari fungsi dan peran baik dan buruk dari gadget bagi perkembangan balita dan anak-anak, saya belajar bahwa orang tua dewasa ini dituntut untuk mampu mengenali dan mengantisipasi kemampuan dan kecepatan anak-anak untuk belajar dengan atau tanpa kehadiran gadget. Namun, kehadiran gadget dewasa ini membuat kemampuan tersebut kian penting. Hal ini berlaku dalam kaitannya dengan kemampuan anak-anak memanfaatkan teknologi karena mereka akan terpapar teknologi sejak dini, baik disengaja atau pun tidak. Mengarahkan dan memperkenalkan teknologi sejak dini untuk kepentingan pendidikan menjadi tidak terhindarkan. Memusatkan perhatian pada aspek-aspek negatif dari teknologi terhadap perkembangan anak saja tidak cukup membantu kita untuk mengenali apa sebenarnya potensi anak-anak yang pada jamannya nanti dikelilingi oleh teknologi. Tata cara pendidikan yang digunakan selama ini, mulai perlu disesuaikan agar bisa menyiapkan anak-anak yang semakin melek teknologi ini untuk mampu menggali manfaat dari pemanfaatan teknologi bagi kesejahteraan mereka di masa depan.

Itulah sebabnya, menurut saya, pertanyaan yang tepat bukanlah "Apakah boleh bermain iPad?" atau "Umur berapa yang tepat untuk mulai bermain dengan gadget?". Melainkan, "Apa yang bisa dimainkan oleh balita di iPad?", "Bagaimana membimbing balita ketika bermain gadget?", "Apa yang bisa orang tua pelajari ketika si balita bermain iPad?"....



Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Thursday, May 17, 2012

dua tahun

Mungkin terdengar klise: "Waktu cepat berlalu!" Tapi, jika kita mengamati perkembangan seorang individu maka waktu seakan bergerak melebihi semua ukuran kecepatan yang diketahui. Itu yang saat ini saya alami dan rasakan.

Hari ini, Arvind berhasil menggenapi usianya yang kedua. Ia sudah mulai menunjukkan karakternya dan belajar banyak hal dari sekitarnya. Kami sebagai orang tua juga banyak belajar dari perkembangannya. Apa yang kini mampu ia lakukan dan tunjukkan serta potensi yang masih terus muncul selalu memberi gambaran baru bagi kami sebagai orang tua.

Singkat kata, kami sangat bersyukur dan berterima kasih atas segenap karunia yang dilimpahkan-Nya atas semua perkembangan yang dialami Arvind. Kami juga bersyukur dan berterima kasih atas semua yang boleh kami rasakan dan pelajari selama menjadi orang tua. Semoga semua yang Arvind dan kami peroleh bisa menjadi manfaat bagi kami dan semua orang di sekitarnya, kini dan nanti.

Selamat ulang tahun, anakku!



Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Friday, April 20, 2012

finger print di mana-mana

Beberapa waktu lalu, saya pernah membahas tentang e-KTP yang sedang digencarkan di Indonesia. Kritik utama saya waktu itu ada dua hal: pertama, waktu pembuatan yang tidak pasti; dan kedua, keberlanjutan e-KTP tersebut mengingat sejarah menunjukkan Indonesia sudah sering mengganti-ganti jenis KTP. Kritik pertama terjawab dengan lamanya proses pembuatan e-KTP karena masih sentralistis (dibuat di pusat), sedangkan kritik kedua kita masih harus menunggu kritik pertama agar tuntas terjawab.

Saat ini yang menarik adalah fakta baru bahwa bukan Indonesia namanya jika tidak ada kartu identitas 'tandingan'. Bagi Anda yang pernah mengurus pembuatan paspor, pasti tahu apa saja dokumen-dokumen yang harus dilampirkan: KTP, Kartu Keluarga (KK), Akte Kelahiran, Ijazah, dan sebagainya. Tidakkah ada yang bertanya mengapa KTP dan KK harus dilampirkan? Tidakkah keduanya saling mengganti: kalau mau buat KTP harus ada KK dan keduanya diterbitkan oleh institusi yang sama. Sekarang bandingkan fungsi KTP dan SIM. Keduanya secara umum sudah berfungsi saling menggantikan. Jika lupa bawa KTP, boleh menggunakan SIM sebagai kartu identifikasi. Dan keduanya diterbitkan oleh institusi yang berbeda. Itu bagus, tapi belum praktis!

Sekarang akan bertambah lagi kartu identitas 'tandingan' di Indonesia. Namanya INAFIS alias Indonesia Automatic Finger Print Identification Center dan kartu ini diterbitkan oleh lembaga yang menerbitkan SIM. Jika program (atau proyek ya?) e-KTP sendiri belum rampung pun belum jelas kualitasnya seperti apa, lalu dimana bedanya si INAFIS ini dengan e-KTP. Jika dari judul kartunya, aspek pentingya adalah sidik jari. Tapi, e-KTP juga - konon - menyimpan data finger print biometric sebagai satu unique identification personal. Mungkin bedanya di kata 'biometric'... tapi intinya sama, keduanya mengandalkan cetakan unik yang ada dijemari setiap orang Indonesia.

Sebelum lanjut ke soal INAFIS, coba kita buka dompet tempat kita menyimpan berbagai kartu dan lihat apa saja yang tersimpan di dalamnya. Di dompet saya ada beberapa kartu: KTP (Anda mungkin punya lebih dari satu), SIM (ada A untuk mobil dan C untuk motor; mungkin Anda punya B untuk yang sering nyupir bus), Kartu Debit/Kredit (satu saja cukup, Anda mungkin punya lebih dari satu), Kartu Asuransi (ada dua: asuransi jiwa/kesehatan dan asuransi kendaraan), Kartu Mahasiswa, dan beberapa lembar kartu nama kolega. Saya yakin tiga atau empat kartu pertama pasti ada di dompet Anda. Ketiganya terutama pasti memuat satu identifikasi yang nyaris unik: foto dan/atau tanda tangan. Jika Anda kelak punya e-KTP (dan/atau INAFIS) maka akan ada dua kartu yang punya sidik jari. Selain itu, akan ada dua kartu yang menggunakan chip, e-KTP dan kartu debit/kredit. Oh iya, kartu mahasiswa sekarang juga sudah pakai chip, tapi jangan dihitung dulu karena tidak terlalu banyak berguna di luar sekolahan. Jika kelak semua penerbit kartu identitas latah ikut menggunakan sidik jari, Anda pasti mulai berpikir "Wah, hebat betul! Canggih semua!" Benarkah demikian?
Saya mencoba membayangkan apa yang ada dipikiran para penggemar sidik jari. Saya tahu bahwa sidik jari atau finger print manusia ada di mana-mana dan tersebar tanpa disadari. Dari hasil nonton film favorit saya: CSI, saya juga bisa membayangkan betapa pentingnya sidik jari bagi pengusutan dan pengungkapan tindak kejahatan. Saya juga bisa membayangkan keunikan sidik jari sebagai media identifikasi yang sulit dipalsukan. Patut diingat bahwa sidik jari mungkin sulit dipalsu, tapi kartu yang menyimpannya masih mungkin dipalsu, bukan? Terlepas dari itu, saya tidak bisa membayangkan apa yang terjadi jika di dompet saya tersimpan dua sampai lima kartu identitas yang semuanya merekam sidik jari. Untuk apa banyak kartu identitas dan banyak orang yang merekam sidik jari kita? Apa manfaatnya buat kita sebagai pengguna jasa? Menurut saya, ini bisa menimbulkan masalah kerahasiaan individu. Saya belum bisa memastikan apa masalah yang akan muncul, tapi jika keamanan informasi ini tidak jelas sampai sekarang maka saya pikir kita perlu  khawatir di aspek ini. 

Sekarang tentang INAFIS. Ada dua pertanyaan sederhana yang muncul. Mengapa Polri harus menerbitkan kartu INAFIS, padahal fungsi dasarnya sudah dicakup oleh e-KTP? Jika pun Polri masih perlu merekam sidik jari bagi kepentingan kepolisian, mengapa tidak disertakan dengan SIM? SIM sudah banyak digunakan masyarakat dan juga bisa berfungsi sebagai identitas. Ini lebih sesuai dengan semangat 'saling melengkapi' antar instansi dan antar kartu identitas yang diterbitkan. Selain itu, dari sisi para pengguna, penerbitan INAFIS ini semakin menambah sesak dompet dengan berbagai kartu identitas yang diterbitkan oleh berbagai institusi di Indonesia. Jika ide besarnya adalah memanfaatkan teknologi untuk kemudahan hidup, mengapa kita masih berkutat dengan berbagai macam kartu identitas? Atau, pertanyaan yang mungkin lebih mudah dijawab adalah kartu identitas apa lagi yang akan menggunakan sidik jari dan siapa yang menerbitkan? 

Sepertinya saya perlu mencari dompet baru segera... 

Monday, April 16, 2012

My Review of D-Lux Laptop Messenger Racing Stripe 2012

Originally submitted at Timbuk2

A Classic Messenger fitted with a crater laptop sleeve.

Love it!
By Dewa Wisana from Australia on 4/15/2012
5out of 5
Pros: High Quality, Comfortable , Attractive, Durable , Roomy
Best Uses: Cycling, Day Trips, Office, Computer, School, Commuting
Describe Yourself: Comfort-Oriented, Practical
Was this a gift?: No
I've looking for messenger bag as an alternative of bulky backpack for my macbook and ipad as well as my school stuff. I order this particular Timbuk2 D-Lux medium size because it's suit my budget and preferred function. I found it is a little too big for my 13" MacBook. Despite of that not so fit size, everything is wonderful and just like I expected. I'm not good at making product review, but I know this bag is worthy and have no regret to buy it. So, it is highly recommended for those who wish to have messanger bag with optimum functionality. If Timbuk2 have one that fit for 13" laptop size, I will choose that one and give two extra stars.

Wednesday, April 11, 2012

jika suami tidak bertugas semestinya

Perhatikan foto dibawah ini, terutama label yang tertulis di mobil warna putih:


Hubby adalah nama kecil untuk Suami dalam bahasa Inggris. Jika diterjemahkan secara harafiah, "Hire A Hubby" berarti "Sewalah Seorang Suami". Ini bukan lelucon, tapi sebuah bisnis perbaikan properti – rumah, kantor dan sebagainya – yang serius dan besar. Di Australia, jasa ini memiliki motto "Australia's Leading Handyman Franchise". Apa saja yang bisa dilakukan 'suami sewaan' ini? Beberapa diantaranya bisa dilihat gambar dibawah (sesuai aslinya dalam bahasa Inggris):

Apa yang menarik dari bisnis ini? Pertama, namanya yang agak berbau gender. Ada semacam segregasi gender yang melekat dari label bisnis ini yang menempatkan laki-laki sebagai pusat kemampuan dalam pekerjaan seperti membersihkan jendela, pintu atau mengecat dinding atau perbaikan rumah termasuk mengganti lampu dan sebagainya. Secara konstruksi sosial, mungkin sebagian besar pekerjaan tersebut memang domain laki-laki. Jika laki-laki di rumah tidak ada yang mampu mengerjakannya (dan kebetulan laki-laki tersebut adalah suami), maka suami lain yang mampu mengerjakan patutlah disewa. Saya tidak mampu menggambarkannya dengan gamblang, tapi rasanya ada stereotype yang tidak lazim dan kurang patut dari nama bisnis ini.

Selain soal stereotype gender, yang juga menarik dari bisnis ini mungkin bisa dibaca dari artikel yang mengacu pada survey di Australia. Menurut survey yang berjudul "Unfinished Jobs Survey 2012" ditemukan bahwa tigaperempat perempuan di Australia percaya bahwa belakangan ini laki-laki kurang mampu menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan di rumah (less handy) dibanding laki-laki limapuluh tahun lalu. Survey yang menjaring 500 perempuan berumur antara 25 hingga 65 tahun dari seluruh Australia menyebutkan bahwa hal tersebut kemungkinan besar disebabkan salah satunya oleh meningkatnya karir (pekerjaan) yang berbasis teknologi.

Akan lebih menarik jika ada perempuan-perempuan yang bisa berkomentar atas fenomena ini. Sebagai laki-laki, saya akan sangat menantikan apa saja perspektif perempuan tentang tugas para suami (laki-laki) dan apa yang musti dilakukan jika suami tidak mampu bertugas sebagaimana mestinya. Apakah bisnis Hire A Hubby ini perlu dikembangkan?

Thursday, April 05, 2012

siasat pertama sudah berlaku plus tentang solar

Di posting sebelumnya, saya membahas masalah ketika menentukan batasan kaya dan mewah dengan ukuran jenis mobil yang dikaitkan dengan perilaku konsumsi BBM bersubsidi dan non-subsidi (pertamax). Di posting tersebut, saya menyebutkan satu siasat dari para pengguna mobil yang seharusnya mengkonsumsi pertamax yaitu pemilik mobil dan motor mewah akan menjual kendaraan mereka lalu menggantinya dengan kendaraan yang tidak dikategorisasi mewah dan tetap mengkonsumsi BBM bersubsidi.

Sehari setelah posting tersebut, ada berita yang tajuknya berbunyi "Pertamax Mahal, Banyak Orang Kaya Jual Mobil Mewah". Ada dua kutipan berita yang menarik jika dibandingkan/dipertentangkan tapi mengarah pada persoalan yang sama. Kutipan pertama berbunyi:
"Bila sebelumnya banyak berita yang menyebutkan bahwa banyak mobil mewah yang memaksakan diri meminum bensin beroktan 88, di pasar mobil bekas, para orang kaya itu beramai-ramai melepas mobil mewahnya karena tidak mau meminum premium."
Kutipan kedua berbunyi:
"Di lain sisi, bila mobil mewah kini sedang banyak dilepas si pemilik, mobil bermesin diesel beda lagi. Mobil jenis ini kini menjadi barang buruan banyak orang. Konsumen yang ingin membeli mobil bekas kini berpikir ulang untuk membeli mobil bermesin bensin. Akibatnya, mobil bermesin diesel kini jadi buruan."
Beberapa hal yang patut diperhatikan dari kedua kutipan menarik tersebut. Pertama, memang masih lebih menarik dan mudah untuk mengklaim mobil mewah pasti dimiliki oleh orang kaya dan mereka tidak sepatutnya mengkonsumsi BBM bersubsidi. Meskipun klaim tersebut benar secara etika dan moral, namun si pemilik mobil mewah masih memiliki strategi rasional yang tidak mungkin dihalangi: jual mobil mewah dan ganti dengan mobil yang bukan mewah. Itu sudah terjadi di kutipan berita pertama.

Kedua, semangat pembatasan konsumsi BBM bersubsidi dengan cara menghalangi orang kaya (batasannya dari kepemilikan mobil dengan kategori mesin tertentu) untuk mengkonsumsi BBM subsidi tidak akan efektif karena kelompok kaya dan menengah pasti punya alternatif strategi lain. Yang ironis adalah alternatif strategi tersebut pasti akan selalu menyinggung subsidi yang diklaim bukan hak mereka. Contohnya adalah strategi mengganti mobil mewah ke mobil yang bukan mewah agar tetap bisa membeli BBM bersubsidi. Dan satu lagi, mengganti mobil baik mewah atau bukan mewah ke mobil diesel - beralih ke jenis BBM bersubsidi lain yaitu solar.

Ketiga, jika kita masih ingin tetap pada klaim dan semangat untuk menghalangi orang kaya mengkonsumsi BBM bersubsidi termasuk solar, berarti kita juga perlu mendefinisikan apakah jenis mobil bermesin diesel (kecuali truk dan mobil niaga) termasuk mobil mewah atau bukan. Akan sangat menarik jika ada tuntutan agar mobil diesel juga dianggap mobil mewah dan dilarang mengkonsumsi solar.

Tuesday, April 03, 2012

menentukan batas kemewahan & kekayaan

Setelah BBM tidak jadi naik, banyak pihak sekarang berlomba-lomba membuat indikator kemewahan sebagai dasar untuk membatasi penggunaan BBM bersubsidi. Di socnet seperti twitter dan Facebook, mulai ditampilkan foto-foto berbagai mobil yang dikategorisasi mewah tapi tertangkap gambar sedang mengisi bensin yang disubsidi. Selain itu para politisi oportunis juga mulai ikut serta ingin mempermalukan para pengguna mobil yang dikategorisasi mewah. Ide besar dari perlombaan ini adalah "kelompok masyarakat kaya seharusnya malu menikmati subsidi, tapi karena tidak ada aturan hukumnya maka mari dipermalukan jika menggunakan BBM bersubsidi". Pertanyaan saya adalah apa batasan mewah atau kaya dalam hal konsumsi BBM?

Beberapa orang mengusulkan bahwa mobil yang baru berusia kurang dari lima tahun dan memiliki kapasitas mesin 1500cc ke atas dapat dikategorisasi mewah (berarti penggunanya dari kelompok kaya) dan harus menggunakan pertamax - BBM non-subsidi. Ada lagi yang mengusulkan jenis dan merek mobil-mobil tertentu, misalnya mobil impor, termasuk kendaraan yang harus menggunakan pertamax. Apakah semua indikator tersebut tepat untuk menentukan batas kemewahan dan kekayaan? Mungkin tepat, bagi mereka yang tidak memiliki mobil dengan mesin 1500cc ke atas. Tapi jadi tidak logis karena batasannya bisa sangat absurd dan mudah disiasati oleh para pemilik mobil mewah. Sebentar lagi akan saya bahas hal ini.

Di sisi lain, bagaimana dengan pengguna sepeda motor? Ada yang berpendapat bahwa pengguna sepeda motor termasuk kelompok "bukan kaya" (apakah mereka miskin, kriterianya perlu dibahas di forum berikutnya). Bagaimana dengan para pemilik sepeda motor 'besar'? Karakteristik sepeda motor 'besar' - kalau boleh saya usulkan - adalah sepeda motor dengan kapasitas mesin 120cc ke atas. Ada banyak jenis sepeda motor yang 'besar' dan mereka termasuk kendaraan yang menkonsumsi bensin cukup banyak karena kapasitas tangki bensin yang memang besar. Sepeda motor jenis ini biasanya dimiliki orang-orang yang relatif mampu dan dimiliki setelah mereka memiliki mobil. Bicara konsumsi bensin, sepeda motor jenis 'bebek automatic' juga mengkonsumsi bensin (bersubsidi) yang tidak sedikit, malah cenderung boros. Jika semangat awalnya adalah penghematan dan keadilan (yang mampu harus membayar yang lebih mahal, kira-kira begitu), maka pengguna sepeda motor jenis tertentu: motor berkapasitas mesin besar atau boros bensin seperti 'bebek matic' seharusnya mengkonsumsi pertamax untuk motor mereka atau dipermalukan. Artinya, semua jenis kendaraan harus ada kategorisasi apakah mewah atau tidak dan bisa dikenakan 'paksaan' untuk mengkonsumsi pertamax.

Sekarang mari kita anggap kategorisasi tersebut benar dan kemudian dijalankan. Apa siasat yang kira-kira akan dilakukan para pemilik mobil dan motor 'mewah' (berdasarkan definisi di atas)? Ada dua kemungkinan siasat:
  1. Pemilik mobil dan motor mewah akan menjual kendaraan mereka lalu menggantinya dengan kendaraan yang tidak dikategorisasi mewah dan tetap mengkonsumsi BBM bersubsidi;
  2. Pemilik mobil dan motor mewah akan membeli tambahan kendaraan yang termasuk tidak mewah, lalu mengisinya dengan BBM bersubsidi untuk kemudian dipindahkan ke kendaraan mereka yang mewah.
Kedua siasat tersebut tetap berujung pada hasil akhir yang sama: tingkat konsumsi BBM bersubsidi tidak berkurang alias tidak terjadi penghematan. Selain itu, di tengah masyarakat akan timbul gejolak dan diskriminasi secara sosial. Akan mencul stigma dan pelabelan yang bisa menimbulkan pergesekan akibat indikator kaya-miskin yang dilihat dari kepemilikan kendaraan.

Terakhir, kita mungkin tergoda untuk menggunakan argumen etika dan moralitas tentang bagaimana seharusnya kita mengkonsumsi BBM bersubsidi. Tapi pada saat bersamaan, sangat sulit mengukur etika dan moral. Jika seorang pemuka agama saja masih bisa berbuat kriminal, mengapa orang biasa tidak boleh mengesampingkan etika dan moralnya saat ingin menghemat pengeluaran - betapa pun kayanya mereka? Artinya, selama masih ada perbedaan harga BBM yang mencolok di pasar, kita sulit memaksa dan menghukum atau menghakimi mereka yang membeli BBM murah. 

Singkat kata, penentuan batas kemewahan dan kekayaan sebagai dasar pembatasan dan penghematan BBM bersubsidi tidaklah efektif malahan bisa menimbulkan masalah sosial. Jika ingin melindungi kelompok miskin, lebih baik mari fokus menentukan siapa saja mereka dan subsidi langsung kita berikan ke mereka. Itu kalau kita memang betul-betul peduli secara etika dan moral dengan kelompok miskin.

Monday, April 02, 2012

Quotes of the day: Political Institutions

"Economic institutions shape economic incentives:... It is the political process that determines what economic institutions people live under; and it is the political institutions that determine how this process work"

fromWhy Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity and Poverty  by Daron Acemoglu and James Robinson. The complete excerpt of this statement can be find here.

Wednesday, March 28, 2012

Doa Sederhana untuk Istrinda

Apa yang bisa kuberikan sebagai persembahan atas perayaan hari kelahiranmu?
Bintang gemintang dan bulan, seperti juga sang surya dan bunga indah dari mawar hingga tulip
adalah milik dan persembahan Sang Jagad Kuasa atas cinta kelahiranmu.

Lalu apa yang bisa kupersembahkan, sekedar hadiah sederhana? Atau lagu dan puisi?
Lagu dan puisi hanya milik para penyair dan pujangga. Bagaimana aku bisa merayakan hari kelahiranmu?

Aku bisa memulainya dengan: sepenggal doa sederhana yang terus terhaturkan ke seluruh semesta,
"Semoga cinta selalu bersamamu dan kasih bahagia memeluk hangat hatimu sepanjang masa."

Selamat ulang tahun, Istrindaku - Diahhadi Setyonaluri yang ke-33!



Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Sunday, March 11, 2012

Property Right's of a Toddler


If I like it,
         ... it's mine.
If it's in my hand,
         ... it's mine.
If I can take it from you
         ... it's mine.
If I had it a little while ago
         ... it's mine.
If it's mine, it must never appear to be yours in any way.
If I am playing with, or building something
         all the pieces are mine.
If it looks like mine
         ... it is mine.
If I saw it first
         ... it is mine
If you are playing with something and you put it down
         it automatically becomes mine
If it is broken
         it is yours
I get the above poem from Arvind's day care and it is not clearly mentioned who wrote it. But, if you google it, you'll find it easily and always said "Author - Unknown". Despite of that, I am quite intrigue with the above poem and start to think that toddler sort of having a 'nice' idea about property rights.


Many people think that economic teaching on property right could lead any individual into a greedy spirit. While human naturally greedy, the lesson learned from toddler and their property right is that greed is NOT the same thing as property right. I believe I need to read and learn again about property rights to be able to teach the toddler about how to say "it's mine" in a proper but meaningful way.

Tuesday, February 14, 2012

1,2 juta artikel ilmiah

Seorang teman menulis status di dinding Facebooknya sebagai berikut:
Hasil hitungan kasar dari data SUSENAS 2010 yg dibobot: Jumlah mahasiswa D4/S1 tingkat 4 (termasuk yang sudah 5 tahun/lebih belum lulus) sekitar 1,15 juta dan mahasiswa tahun terakhir S2/S3 sekitar 50 ribu. Maka dalam 1 tahun saja akan ada 1,2 juta artikel yang harus dipublikasi atau 1 juta kalau 20% mahasiswa tsb mundur lulusnya (panik mikirin nulis jurnal). Sementara itu, sejak dulu kala sampai sekarang diperkirakan ada 50 juta artikel (Arif Jinha) yang pernah dipublikasi. Dengan demikian, hanya dibutuhkan kurang dari 50 tahun bagi Indonesia untuk menyamai rekor publikasi seluruh dunia :)
Status tersebut bisa digunakan untuk menanggapi 'perintah' Departemen Pendidikan dan Kebudayaan khususnya Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) yang mewajibkan setiap mahasiswa S1, S2 dan S3 yang akan lulus untuk menerbitkan artikel ilmiah yang dipublikasikan di jurnal ilmiah. Kebijakan tersebut juga didukung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, padahal banyak pihak yang menentang dan mengkritik kebijakan tersebut sebagai 'masalah'. Bahkan seorang Frans Magnis-Suseno pun harus menyampaikan kritik dan kecamannya terhadap kebijakan tersebut.

Prof. Magnis-Suseno sudah menguraikan apa saja permasalahan sederhana yang muncul dari kebijakan tersebut dan status teman yang tertera sebelumnya semakin memperkuat kekhawatiran yang disampaikan oleh Prof. Magnis-Suseno. Namun, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tetap bersikukuh 'memaksakan' kebijakan tersebut. Apa lacur? Jelas sekali bahwa Mendikbud tidak akan menarik keputusannya. Malu rasanya bagi seorang pejabat untuk menelan ludahnya sendiri, betapa pun banyak 'harga' yang harus dibayar (masalahnya bukan beliau yang membayar 'harga' tersebut!).

Sekarang saya memilih untuk membayangkan apa yang terjadi 25-50 tahun ke depan, mengacu pada pernyataan status di atas. Siapakah kira-kira yang akan membaca lebih dari 1,2 juta artikel setahun di Indonesia atau di seluruh dunia? Jika ada 52 minggu dalam setahun, berarti terdapat tidak kurang dari 19.230 artikel per minggu (1juta artikel dibagi 52 minggu) yang perlu dibaca di Indonesia. Mohon dicatat, saya tulis 'perlu' bukan 'harus' karena saya ragu seorang profesor sekalipun sanggup membaca 1.000 jurnal ilmiah per minggunya. Lalu, mau dikemanakan 1,2 juta artikel per tahun tersebut? Berhenti sebagai tumpukan file di server publikasi jurnal ilmiah online? Atau, menumpuk di gudang penerbitan sambil menunggu pembeli (bukan pembaca ya) jurnal tersebut?

Atau bisakah kita daur ulang kertas-kertas untuk menerbitkan artikel-artikel ilmiah tersebut menjadi kertas toilet? Itu bisa jadi potensi ekspor yang besar dari Indonesia...
*miris
Enhanced by Zemanta

Monday, January 23, 2012

kenapa Blackberry tidak bisa produksi di Indonesia? Pelajaran dari Apple dan Cina

Jawabannya mungkin bisa kita pelajari dari jawaban atas pertanyaan mengapa Amerika Serikat tidak memproduksi iPhone. Sebuah artikel yang ditulis secara komprehensif oleh The New York Times (NYT) menjelaskan mengapa Amerika Serikat tidak memproduksi iPhone.

Bukan Soal Upah Buruh Murah!
Seperti sudah diketahui secara umum bahwa iPhone dan beberapa produk dari Apple diproduksi oleh Cina. Mengapa Cina dipilih oleh Apple? Banyak orang berpendapat bahwa Cina dipilih oleh Apple karena faktor upah buruh yang murah. Namun, ternyata bukanlah soal upah buruh murah yang menjadi alasan utama bagi Apple untuk mengandalkan produksi di Cina. Ada beberapa faktor yang penting yang tidak (enggan) diperhatikan oleh banyak orang.

Pertama, artikel tersebut menyebutkan bahwa Apple memilih Cina dan negara-negara lain sebagai basis produksi karena besarnya skala produksi serta didukung fleksibilitas, ketekunan dan kemampuan industri yang tinggi di negara-negara tersebut. Terlebih, jika industri yang dimaksud adalah industri padat teknologi seperti telpon genggam atau komputer yang mengalami perubahan teknologi sedemikian cepat, skala produksi dan fleksibilitas dalam mengantisipasi perubahan menjadi syarat penting untuk dapat merebut peluang pasar.

Pentingnya fleksibilitas industri tersebut dijelaskan dalam artikel NYT dengan mengambil contoh proses perubahan yang dialami iPhone sebelum peluncuran perdana. Begitu perubahan ditetapkan, pabrik yang memproduksi layar gelas untuk iPhone mampu memproduksi 10.000 iPhone per hari dalam waktu 96 jam setelah perubahan diadaptasi. Pertanyaan yang penting di sini adalah apa syarat agar memiliki skala produksi dan fleksibilitas yang tinggi? Jawabannya adalah faktor kedua.

Faktor kedua adalah kelompok pekerja kelas menengah yang notabene adalah kelompok insinyur dan kaum teknologis. Konon Cina mampu menghasilkan banyak insinyur yang mendukung perkembangan industri dan pembangunan pabrik-pabrik yang memiliki skala produksi tinggi. Manfaat dari kemampuan menciptakan kelompok insinyur ini tidak hanya pada kemampuan skala produksi dari industri di Cina, melainkan juga dari aspek penciptaan lapangan kerja. Uraian manfaat tersebut dapat disimak secara interaktif dan menarik di "The iPhone Economy" (dalam bahasa Inggris).

Kedua faktor tersebut menghasilkan dua kondisi yang disebutkan oleh Tim Cook (CEO Apple) sebagai alasan kenapa Apple memfokuskan produksinya di Asia, khususnya Cina: 1) kecepatan meningkatkan atau menurunkan skala produksi; 2) rantai produksi (supply chain) yang sangat luas, yang tidak dimiliki oleh negara-negara maju. Khususnya untuk perusahaan-perusahan teknologi, biaya atas tenaga kerja relatif kecil porsinya dibandingkan biaya komponen dan biaya mengelola rantai produksi. Ingat, sebuah telpon genggam dibuat atas ribuan jenis komponen berbagai ukuran dengan fungsi yang sangat unik.

Hal penting yang menarik berikutnya bisa dipelajari dari Cina. Di artikel tersebut juga diuraikan bagaimana salah satu mitra industri Apple, Foxconn Technology, merancang sistem kerja dan pengaturan jam kerja yang efisien untuk mencapai skala produksi yang diinginkan. Selain itu yang lebih penting adalah kemampuan industri di Cina untuk menyediakann insinyur bagi industri seperti Foxconn Technology. Apple memperkirakan kebutuhan 8.700 insinyur industri untuk mendukung 200.000 pekerja dalam satu rangkaian produksi dan perlu waktu lebih kurang 9 bulan untuk mendapatkan insinyur dengan kualifikasi yang dibutuhkan di Amerika Serikat. Sebaliknya, di Cina hanya perlu waktu 15 hari! Ini sangat terkait dengan faktor kedua di atas. Situasi ini akan menjadi lebih vital jika ditambahkan faktor perijinan dan dukungan hukum untuk pembentukan industri di suatu negara yang tergantung dari bagaimana pemerintah menciptakan lingkungan usaha yang cepat dan efisien.

Aglomerasi & Pembagian Produksi Global
Semua hal di atas jika ingin dirangkum dapat disajikan dengan dua konsep ekonomi yang penting: aglomerasi (agglomeration) dan pembagian produksi global (global production sharing). Aglomerasi menuntut bahwa rantai produksi bukanlah sebuah kegiatan yang terisolasi di satu pabrik dan satu perusahaan (bahkan satu negara!) saja, melainkan sebuah kegiatan yang terintegrasi atas berbagai skala produksi yang maksimal namun efisien dalam upaya menekan biaya marjinal dari setiap tahapan produksi. Di sini dituntut ketersediaan fasilitas dan infrastruktur yang mampu menghubungkan setiap kegiatan dari berbagai lokasi dengan cepat, mudah dan murah! Kuncinya adalah infrastruktur. Sedangkan pembagian global production sharing (GPS) menuntut sebuah aspek keterbukaan dan kerjasama yang efektif dengan berbagai industri besar di luar negeri serta kemampuan mengadaptasi (fleksibilitas) teknologi-teknologi yang ditawarkan dalam kegiatan produksi global. Di sini dituntut kemampuan dan kapasitas produksi yang didukung oleh sumber daya manusia - insinyur dan manajemen - yang mampu menyesuaikan diri dengan cepat dan merespon setiap kebutuhan produksi global.

Kedua konsep ekonomi tersebut bisa menjawab sebagian besar alasan mengapa Blackberry tidak bisa diproduksi di Indonesia. Bukan karena upah buruh yang kurang murah. Bukan karena Indonesia tidak mampu memproduksi. Bukan karena Indonesia tidak memiliki paket insentif yang menggiurkan untuk RIM. Tapi karena RIM menghitung-hitung berapa besar biaya lain yang tidak dilihat oleh pemerintah Indonesia, seperti: rendahnya kualitas infrastruktur, ketersediaan sumber daya manusia yang sesuai dengan industri terkait, kemampuan industri mengadaptasi perubahan teknologi, aspek hukum industri yang belum jelas, dan masih banyak lagi. Kondisi ini juga berlaku untuk jenis industri lainnya, tidak hanya industri telpon seluler dan elektronika. Singkat kata, Indonesia perlu mempelajari dan mengantisipasi perkembangan industri yang berbasis produksi global, bukan sekedar industri produk utuh atau industri perakitan. Indonesia perlu menjelajahi ruang-ruang rantai produksi di pasar global dan berpartisipasi dalam jaringan besarnya. Industri Indonesia perlu meningkatkan peran dan kaitannya dalam rantai produksi global. Untuk itu mari mempersiapkan diri!


Ayo nge-gosip?

Apa manfaat nge-gosip? Istrinda menjawab berdasarkan sebuah buku yang dibacanya, "Gosip seringkali merupakan cara terbaik untuk mengerti proses politik di Indonesia".

Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh sebuah tim peneliti dari UC Berkeley menjawab bahwa, "menyebarluaskan rumor [bergosip] dapat memberikan dampak positif dalam bentuk mengawasi perilaku buruk, mencegah eksploitasi dan menekan tingkat stres. ... [gosip] memainkan peranan penting dalam menjaga ketertiban sosial"

Jadi, ada gosip apa hari ini?

Thursday, January 12, 2012

my recent wish list book: Traffic

The title is Traffic: Why We Drive the Way We Do (and What It Says About Us) by Tom Vanderbilt (2009). I've already download the eBook sample from iBook Store. Will buy it soon after I pass the first chapter. The review said it is a nice book to read on driving behaviour from sociology and psychology perspective.

I posted one interesting quote from this book here.

Tuesday, January 10, 2012

proyek satu kutipan per hari

Ternyata, Istrinda baru saja memulai proyek menarik yang ia beri judul "one day one quotation project". Ia juga mengajak saya untuk ikut serta dan tentu saja saya bersedia. Sebagai awalan, ia juga sudah memuat dua kutipan menarik tentang gosip dan kuntilanak.

Mudah-mudahan kami bisa menemukan kutipan-kutipan menarik setiap harinya. Kami juga menyambut baik jika Anda ingin berkontribusi.

mobnas perlu mempelajari Tata Nano

Mobil Nasional (Mobnas) Esemka saat ini sedang gandrung dibicarakan dan didukung oleh berbagai kalangan di Indonesia. Bagi saya pribadi, hal tersebut merupakan sebuah kebanggaan dan kagum atas capaian yang dibuat oleh siswa-siswa SMK 2 Surakarta. Mobnas Esemka selain membanggakan juga memicu semangat lama untuk membangkitkan industri mobil nasional. Namun, trend yang muncul saat ini lebih ke arah politisasi dan euforia 'nasionalisme' semata.

Mungkin sudah ada yang iseng menelusuri dan membaca sejarah pendek tentang Mobnas. Dari penelusuran di Google, sudah ada sedikitnya 8 mobil nasional yang pernah atau masih ada di Indonesia (ada yang klaim 12 mobil nasional). Dua mobnas favorit saya yang masih 'eksis' yaitu GEA dan Inobus. Keduanya buatan PT INKA, Madiun. GEA adalah mobil jenis city car, sedangkan Inobus merupakan bus yang sudah banyak digunakan khususnya oleh PT Transjakarta untuk melengkapi armada busway. 

 Courtesy image by mobnasgea.blogspot.com

Courtesy image by www.inka.co.id

Jika ternyata Indonesia sudah memiliki beberapa mobnas, bahkan beberapa diantaranya sudah digunakan secara luas, mengapa mobnas Esemka mendapat perhatian yang lebih? Saya tidak ingin menjawab pertanyaan tersebut. Melainkan saya ingin agar kita coba mendukung mobnas Esemka dan mobnas-mobnas lain agar mampu ikut serta dalam pasar otomotif nasional dan memajukan industri otomotif Indonesia.
Bagi saya, ada satu hal yang mengganjal soal definisi Mobil Nasional. Apakah mereknya harus nasional? Apakah produksinya harus nasional? Apakah komponennya harus nasional? Apakah semuanya: merek, produksi, komponen harus nasional? [kalau ingin lebih rumit lagi, apa cakupan dan batasan 'nasional'?]. Saya pikir ini perlu diperhatikan lebih dulu agar tidak terjebak pada euforia 'nasionalisme' yang hanya membuat kita terpental ketika berhadapan dengan realitas. 

Mengapa saya katakan 'realitas'? Karena faktanya industri otomotif merupakan sebuah industri yang tidak mudah dikembangkan dan memerlukan berbagai aspek penting untuk terus tumbuh. Industri otomotif tidak hanya memerlukan investasi besar, kemampuan produksi dan rekayasa teknik, melainkan juga kebutuhan identifikasi konsumen serta standard pelayanan purna jual yang memadai. Produk-produk otomotif dituntut tidak hanya murah namun mampu memberikan berbagai hal yang diperlukan dari sebuah kendaraan seperti: kenyamanan dan keselamatan. Jika mobnas ingin memiliki kemampuan meramaikan pasar dalam jangka panjang, maka euforia politik saja tidaklah cukup. 

Jika ingin benar-benar menjadi industri otomotif yang mandiri, Mobnas perlu belajar secara khusus dari pengalaman Tata Nano dari India. Tata Nano dikenal (diklaim?) sebagai mobil termurah di dunia dan sempat mendapatkan sorotan dunia internasional saat dimuat oleh Majalah Time. Dengan dukungan penuh dari Tata Motors sebagai salah satu produsen otomotif nasional terbesar di India, banyak harapan dan kebanggaan terhadap Tata Nano. Namun, Tata Nano tidaklah serta merta sukses di pasar otomotif India. Debut pemasaran Nano banyak mengalami masalah mulai dari persaingan di tengah pasar otomotif umumnya, strategi pemasaran dan keamanan dan keselamatan produk. Harga yang murah belum cukup menjadi modal mencapai keberhasilan Nano. Mobil termurah dunia ini masih harus berjuang agar dibeli.




Banyak lagi hal-hal yang bisa kita pelajari dan perhatikan dari pengalaman-pengalaman industri otomotif dunia. Kita tidak cukup hanya berkaca dan mengacu pada industri otomotif negara lain yang sudah berhasil, seperti Proton dari Malaysia. Dengan banyaknya jenis mobnas yang sudah bisa diproduksi, mungkin ini saatnya kita mulai belajar dan melihat dari aspek kegagalan yang banyak dialami oleh industri otomotif dunia.

Terakhir, sebelum saya diteriaki "tidak nasionalis", hal yang masih mengganjal benak saya adalah kenapa harus 'mobil nasional'? Tidakkah ada produk lain yang bisa dibanggakan Indonesia kecuali mobil? Tidakkah mobil nasional hanya akan menambah panjang masalah kemacetan dan polusi yang belum ada solusinya hingga saat ini?