Friday, April 20, 2012

finger print di mana-mana

Beberapa waktu lalu, saya pernah membahas tentang e-KTP yang sedang digencarkan di Indonesia. Kritik utama saya waktu itu ada dua hal: pertama, waktu pembuatan yang tidak pasti; dan kedua, keberlanjutan e-KTP tersebut mengingat sejarah menunjukkan Indonesia sudah sering mengganti-ganti jenis KTP. Kritik pertama terjawab dengan lamanya proses pembuatan e-KTP karena masih sentralistis (dibuat di pusat), sedangkan kritik kedua kita masih harus menunggu kritik pertama agar tuntas terjawab.

Saat ini yang menarik adalah fakta baru bahwa bukan Indonesia namanya jika tidak ada kartu identitas 'tandingan'. Bagi Anda yang pernah mengurus pembuatan paspor, pasti tahu apa saja dokumen-dokumen yang harus dilampirkan: KTP, Kartu Keluarga (KK), Akte Kelahiran, Ijazah, dan sebagainya. Tidakkah ada yang bertanya mengapa KTP dan KK harus dilampirkan? Tidakkah keduanya saling mengganti: kalau mau buat KTP harus ada KK dan keduanya diterbitkan oleh institusi yang sama. Sekarang bandingkan fungsi KTP dan SIM. Keduanya secara umum sudah berfungsi saling menggantikan. Jika lupa bawa KTP, boleh menggunakan SIM sebagai kartu identifikasi. Dan keduanya diterbitkan oleh institusi yang berbeda. Itu bagus, tapi belum praktis!

Sekarang akan bertambah lagi kartu identitas 'tandingan' di Indonesia. Namanya INAFIS alias Indonesia Automatic Finger Print Identification Center dan kartu ini diterbitkan oleh lembaga yang menerbitkan SIM. Jika program (atau proyek ya?) e-KTP sendiri belum rampung pun belum jelas kualitasnya seperti apa, lalu dimana bedanya si INAFIS ini dengan e-KTP. Jika dari judul kartunya, aspek pentingya adalah sidik jari. Tapi, e-KTP juga - konon - menyimpan data finger print biometric sebagai satu unique identification personal. Mungkin bedanya di kata 'biometric'... tapi intinya sama, keduanya mengandalkan cetakan unik yang ada dijemari setiap orang Indonesia.

Sebelum lanjut ke soal INAFIS, coba kita buka dompet tempat kita menyimpan berbagai kartu dan lihat apa saja yang tersimpan di dalamnya. Di dompet saya ada beberapa kartu: KTP (Anda mungkin punya lebih dari satu), SIM (ada A untuk mobil dan C untuk motor; mungkin Anda punya B untuk yang sering nyupir bus), Kartu Debit/Kredit (satu saja cukup, Anda mungkin punya lebih dari satu), Kartu Asuransi (ada dua: asuransi jiwa/kesehatan dan asuransi kendaraan), Kartu Mahasiswa, dan beberapa lembar kartu nama kolega. Saya yakin tiga atau empat kartu pertama pasti ada di dompet Anda. Ketiganya terutama pasti memuat satu identifikasi yang nyaris unik: foto dan/atau tanda tangan. Jika Anda kelak punya e-KTP (dan/atau INAFIS) maka akan ada dua kartu yang punya sidik jari. Selain itu, akan ada dua kartu yang menggunakan chip, e-KTP dan kartu debit/kredit. Oh iya, kartu mahasiswa sekarang juga sudah pakai chip, tapi jangan dihitung dulu karena tidak terlalu banyak berguna di luar sekolahan. Jika kelak semua penerbit kartu identitas latah ikut menggunakan sidik jari, Anda pasti mulai berpikir "Wah, hebat betul! Canggih semua!" Benarkah demikian?
Saya mencoba membayangkan apa yang ada dipikiran para penggemar sidik jari. Saya tahu bahwa sidik jari atau finger print manusia ada di mana-mana dan tersebar tanpa disadari. Dari hasil nonton film favorit saya: CSI, saya juga bisa membayangkan betapa pentingnya sidik jari bagi pengusutan dan pengungkapan tindak kejahatan. Saya juga bisa membayangkan keunikan sidik jari sebagai media identifikasi yang sulit dipalsukan. Patut diingat bahwa sidik jari mungkin sulit dipalsu, tapi kartu yang menyimpannya masih mungkin dipalsu, bukan? Terlepas dari itu, saya tidak bisa membayangkan apa yang terjadi jika di dompet saya tersimpan dua sampai lima kartu identitas yang semuanya merekam sidik jari. Untuk apa banyak kartu identitas dan banyak orang yang merekam sidik jari kita? Apa manfaatnya buat kita sebagai pengguna jasa? Menurut saya, ini bisa menimbulkan masalah kerahasiaan individu. Saya belum bisa memastikan apa masalah yang akan muncul, tapi jika keamanan informasi ini tidak jelas sampai sekarang maka saya pikir kita perlu  khawatir di aspek ini. 

Sekarang tentang INAFIS. Ada dua pertanyaan sederhana yang muncul. Mengapa Polri harus menerbitkan kartu INAFIS, padahal fungsi dasarnya sudah dicakup oleh e-KTP? Jika pun Polri masih perlu merekam sidik jari bagi kepentingan kepolisian, mengapa tidak disertakan dengan SIM? SIM sudah banyak digunakan masyarakat dan juga bisa berfungsi sebagai identitas. Ini lebih sesuai dengan semangat 'saling melengkapi' antar instansi dan antar kartu identitas yang diterbitkan. Selain itu, dari sisi para pengguna, penerbitan INAFIS ini semakin menambah sesak dompet dengan berbagai kartu identitas yang diterbitkan oleh berbagai institusi di Indonesia. Jika ide besarnya adalah memanfaatkan teknologi untuk kemudahan hidup, mengapa kita masih berkutat dengan berbagai macam kartu identitas? Atau, pertanyaan yang mungkin lebih mudah dijawab adalah kartu identitas apa lagi yang akan menggunakan sidik jari dan siapa yang menerbitkan? 

Sepertinya saya perlu mencari dompet baru segera... 

Monday, April 16, 2012

My Review of D-Lux Laptop Messenger Racing Stripe 2012

Originally submitted at Timbuk2

A Classic Messenger fitted with a crater laptop sleeve.

Love it!
By Dewa Wisana from Australia on 4/15/2012
5out of 5
Pros: High Quality, Comfortable , Attractive, Durable , Roomy
Best Uses: Cycling, Day Trips, Office, Computer, School, Commuting
Describe Yourself: Comfort-Oriented, Practical
Was this a gift?: No
I've looking for messenger bag as an alternative of bulky backpack for my macbook and ipad as well as my school stuff. I order this particular Timbuk2 D-Lux medium size because it's suit my budget and preferred function. I found it is a little too big for my 13" MacBook. Despite of that not so fit size, everything is wonderful and just like I expected. I'm not good at making product review, but I know this bag is worthy and have no regret to buy it. So, it is highly recommended for those who wish to have messanger bag with optimum functionality. If Timbuk2 have one that fit for 13" laptop size, I will choose that one and give two extra stars.

Wednesday, April 11, 2012

jika suami tidak bertugas semestinya

Perhatikan foto dibawah ini, terutama label yang tertulis di mobil warna putih:


Hubby adalah nama kecil untuk Suami dalam bahasa Inggris. Jika diterjemahkan secara harafiah, "Hire A Hubby" berarti "Sewalah Seorang Suami". Ini bukan lelucon, tapi sebuah bisnis perbaikan properti – rumah, kantor dan sebagainya – yang serius dan besar. Di Australia, jasa ini memiliki motto "Australia's Leading Handyman Franchise". Apa saja yang bisa dilakukan 'suami sewaan' ini? Beberapa diantaranya bisa dilihat gambar dibawah (sesuai aslinya dalam bahasa Inggris):

Apa yang menarik dari bisnis ini? Pertama, namanya yang agak berbau gender. Ada semacam segregasi gender yang melekat dari label bisnis ini yang menempatkan laki-laki sebagai pusat kemampuan dalam pekerjaan seperti membersihkan jendela, pintu atau mengecat dinding atau perbaikan rumah termasuk mengganti lampu dan sebagainya. Secara konstruksi sosial, mungkin sebagian besar pekerjaan tersebut memang domain laki-laki. Jika laki-laki di rumah tidak ada yang mampu mengerjakannya (dan kebetulan laki-laki tersebut adalah suami), maka suami lain yang mampu mengerjakan patutlah disewa. Saya tidak mampu menggambarkannya dengan gamblang, tapi rasanya ada stereotype yang tidak lazim dan kurang patut dari nama bisnis ini.

Selain soal stereotype gender, yang juga menarik dari bisnis ini mungkin bisa dibaca dari artikel yang mengacu pada survey di Australia. Menurut survey yang berjudul "Unfinished Jobs Survey 2012" ditemukan bahwa tigaperempat perempuan di Australia percaya bahwa belakangan ini laki-laki kurang mampu menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan di rumah (less handy) dibanding laki-laki limapuluh tahun lalu. Survey yang menjaring 500 perempuan berumur antara 25 hingga 65 tahun dari seluruh Australia menyebutkan bahwa hal tersebut kemungkinan besar disebabkan salah satunya oleh meningkatnya karir (pekerjaan) yang berbasis teknologi.

Akan lebih menarik jika ada perempuan-perempuan yang bisa berkomentar atas fenomena ini. Sebagai laki-laki, saya akan sangat menantikan apa saja perspektif perempuan tentang tugas para suami (laki-laki) dan apa yang musti dilakukan jika suami tidak mampu bertugas sebagaimana mestinya. Apakah bisnis Hire A Hubby ini perlu dikembangkan?

Thursday, April 05, 2012

siasat pertama sudah berlaku plus tentang solar

Di posting sebelumnya, saya membahas masalah ketika menentukan batasan kaya dan mewah dengan ukuran jenis mobil yang dikaitkan dengan perilaku konsumsi BBM bersubsidi dan non-subsidi (pertamax). Di posting tersebut, saya menyebutkan satu siasat dari para pengguna mobil yang seharusnya mengkonsumsi pertamax yaitu pemilik mobil dan motor mewah akan menjual kendaraan mereka lalu menggantinya dengan kendaraan yang tidak dikategorisasi mewah dan tetap mengkonsumsi BBM bersubsidi.

Sehari setelah posting tersebut, ada berita yang tajuknya berbunyi "Pertamax Mahal, Banyak Orang Kaya Jual Mobil Mewah". Ada dua kutipan berita yang menarik jika dibandingkan/dipertentangkan tapi mengarah pada persoalan yang sama. Kutipan pertama berbunyi:
"Bila sebelumnya banyak berita yang menyebutkan bahwa banyak mobil mewah yang memaksakan diri meminum bensin beroktan 88, di pasar mobil bekas, para orang kaya itu beramai-ramai melepas mobil mewahnya karena tidak mau meminum premium."
Kutipan kedua berbunyi:
"Di lain sisi, bila mobil mewah kini sedang banyak dilepas si pemilik, mobil bermesin diesel beda lagi. Mobil jenis ini kini menjadi barang buruan banyak orang. Konsumen yang ingin membeli mobil bekas kini berpikir ulang untuk membeli mobil bermesin bensin. Akibatnya, mobil bermesin diesel kini jadi buruan."
Beberapa hal yang patut diperhatikan dari kedua kutipan menarik tersebut. Pertama, memang masih lebih menarik dan mudah untuk mengklaim mobil mewah pasti dimiliki oleh orang kaya dan mereka tidak sepatutnya mengkonsumsi BBM bersubsidi. Meskipun klaim tersebut benar secara etika dan moral, namun si pemilik mobil mewah masih memiliki strategi rasional yang tidak mungkin dihalangi: jual mobil mewah dan ganti dengan mobil yang bukan mewah. Itu sudah terjadi di kutipan berita pertama.

Kedua, semangat pembatasan konsumsi BBM bersubsidi dengan cara menghalangi orang kaya (batasannya dari kepemilikan mobil dengan kategori mesin tertentu) untuk mengkonsumsi BBM subsidi tidak akan efektif karena kelompok kaya dan menengah pasti punya alternatif strategi lain. Yang ironis adalah alternatif strategi tersebut pasti akan selalu menyinggung subsidi yang diklaim bukan hak mereka. Contohnya adalah strategi mengganti mobil mewah ke mobil yang bukan mewah agar tetap bisa membeli BBM bersubsidi. Dan satu lagi, mengganti mobil baik mewah atau bukan mewah ke mobil diesel - beralih ke jenis BBM bersubsidi lain yaitu solar.

Ketiga, jika kita masih ingin tetap pada klaim dan semangat untuk menghalangi orang kaya mengkonsumsi BBM bersubsidi termasuk solar, berarti kita juga perlu mendefinisikan apakah jenis mobil bermesin diesel (kecuali truk dan mobil niaga) termasuk mobil mewah atau bukan. Akan sangat menarik jika ada tuntutan agar mobil diesel juga dianggap mobil mewah dan dilarang mengkonsumsi solar.

Tuesday, April 03, 2012

menentukan batas kemewahan & kekayaan

Setelah BBM tidak jadi naik, banyak pihak sekarang berlomba-lomba membuat indikator kemewahan sebagai dasar untuk membatasi penggunaan BBM bersubsidi. Di socnet seperti twitter dan Facebook, mulai ditampilkan foto-foto berbagai mobil yang dikategorisasi mewah tapi tertangkap gambar sedang mengisi bensin yang disubsidi. Selain itu para politisi oportunis juga mulai ikut serta ingin mempermalukan para pengguna mobil yang dikategorisasi mewah. Ide besar dari perlombaan ini adalah "kelompok masyarakat kaya seharusnya malu menikmati subsidi, tapi karena tidak ada aturan hukumnya maka mari dipermalukan jika menggunakan BBM bersubsidi". Pertanyaan saya adalah apa batasan mewah atau kaya dalam hal konsumsi BBM?

Beberapa orang mengusulkan bahwa mobil yang baru berusia kurang dari lima tahun dan memiliki kapasitas mesin 1500cc ke atas dapat dikategorisasi mewah (berarti penggunanya dari kelompok kaya) dan harus menggunakan pertamax - BBM non-subsidi. Ada lagi yang mengusulkan jenis dan merek mobil-mobil tertentu, misalnya mobil impor, termasuk kendaraan yang harus menggunakan pertamax. Apakah semua indikator tersebut tepat untuk menentukan batas kemewahan dan kekayaan? Mungkin tepat, bagi mereka yang tidak memiliki mobil dengan mesin 1500cc ke atas. Tapi jadi tidak logis karena batasannya bisa sangat absurd dan mudah disiasati oleh para pemilik mobil mewah. Sebentar lagi akan saya bahas hal ini.

Di sisi lain, bagaimana dengan pengguna sepeda motor? Ada yang berpendapat bahwa pengguna sepeda motor termasuk kelompok "bukan kaya" (apakah mereka miskin, kriterianya perlu dibahas di forum berikutnya). Bagaimana dengan para pemilik sepeda motor 'besar'? Karakteristik sepeda motor 'besar' - kalau boleh saya usulkan - adalah sepeda motor dengan kapasitas mesin 120cc ke atas. Ada banyak jenis sepeda motor yang 'besar' dan mereka termasuk kendaraan yang menkonsumsi bensin cukup banyak karena kapasitas tangki bensin yang memang besar. Sepeda motor jenis ini biasanya dimiliki orang-orang yang relatif mampu dan dimiliki setelah mereka memiliki mobil. Bicara konsumsi bensin, sepeda motor jenis 'bebek automatic' juga mengkonsumsi bensin (bersubsidi) yang tidak sedikit, malah cenderung boros. Jika semangat awalnya adalah penghematan dan keadilan (yang mampu harus membayar yang lebih mahal, kira-kira begitu), maka pengguna sepeda motor jenis tertentu: motor berkapasitas mesin besar atau boros bensin seperti 'bebek matic' seharusnya mengkonsumsi pertamax untuk motor mereka atau dipermalukan. Artinya, semua jenis kendaraan harus ada kategorisasi apakah mewah atau tidak dan bisa dikenakan 'paksaan' untuk mengkonsumsi pertamax.

Sekarang mari kita anggap kategorisasi tersebut benar dan kemudian dijalankan. Apa siasat yang kira-kira akan dilakukan para pemilik mobil dan motor 'mewah' (berdasarkan definisi di atas)? Ada dua kemungkinan siasat:
  1. Pemilik mobil dan motor mewah akan menjual kendaraan mereka lalu menggantinya dengan kendaraan yang tidak dikategorisasi mewah dan tetap mengkonsumsi BBM bersubsidi;
  2. Pemilik mobil dan motor mewah akan membeli tambahan kendaraan yang termasuk tidak mewah, lalu mengisinya dengan BBM bersubsidi untuk kemudian dipindahkan ke kendaraan mereka yang mewah.
Kedua siasat tersebut tetap berujung pada hasil akhir yang sama: tingkat konsumsi BBM bersubsidi tidak berkurang alias tidak terjadi penghematan. Selain itu, di tengah masyarakat akan timbul gejolak dan diskriminasi secara sosial. Akan mencul stigma dan pelabelan yang bisa menimbulkan pergesekan akibat indikator kaya-miskin yang dilihat dari kepemilikan kendaraan.

Terakhir, kita mungkin tergoda untuk menggunakan argumen etika dan moralitas tentang bagaimana seharusnya kita mengkonsumsi BBM bersubsidi. Tapi pada saat bersamaan, sangat sulit mengukur etika dan moral. Jika seorang pemuka agama saja masih bisa berbuat kriminal, mengapa orang biasa tidak boleh mengesampingkan etika dan moralnya saat ingin menghemat pengeluaran - betapa pun kayanya mereka? Artinya, selama masih ada perbedaan harga BBM yang mencolok di pasar, kita sulit memaksa dan menghukum atau menghakimi mereka yang membeli BBM murah. 

Singkat kata, penentuan batas kemewahan dan kekayaan sebagai dasar pembatasan dan penghematan BBM bersubsidi tidaklah efektif malahan bisa menimbulkan masalah sosial. Jika ingin melindungi kelompok miskin, lebih baik mari fokus menentukan siapa saja mereka dan subsidi langsung kita berikan ke mereka. Itu kalau kita memang betul-betul peduli secara etika dan moral dengan kelompok miskin.

Monday, April 02, 2012

Quotes of the day: Political Institutions

"Economic institutions shape economic incentives:... It is the political process that determines what economic institutions people live under; and it is the political institutions that determine how this process work"

fromWhy Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity and Poverty  by Daron Acemoglu and James Robinson. The complete excerpt of this statement can be find here.