Friday, November 28, 2008

mahasiswa tidak mengerti lingkungan

Maksud judul posting dan foto kali ini didasari oleh beberapa hal berikut ini:
  1. Tempat sampah tersebut secara jelas sudah dibedakan antara yang organik dan non-organik
  2. Tempat sampah tersebut ada di dalam lingkungan salah satu kampus elit di bilangan Depok
  3. Tempat sampah tersebut berada cukup dekat dengan lokasi di mana mahasiswa/i sering berkumpul saat di luar jam kuliah

Atas dasar hal tersebut, fakta yang ditunjukkan oleh foto tersebut adalah:
  1. Ada botol dan gelas plastik bekas minuman yang diletakkan di tempat sampah yang tertulis "Organik"
  2. Tempat sampah tersebut hanya salah satu dari sekian banyak tempat sampah yang tertulis "Organik" tetapi tetap menampung (dimasuki?) botol atau gelas plastik
Jika aku menganggap bahwa si tempat sampah tidak bisa memilih mana sampah yang BERSEDIA dia tampung sesuai dengan peruntukannya, maka siapakah pihak yang tidak mengerti tentang mengapa si tempat sampah harus dibuat demikian?

Si mahasiswa/i kan? Dan mahasiswa kan MUSTINYA bisa memilih sampah apa yang seharusnya dimasukkan ke tempat sampah yang mana?

Foto: pribadi

Thursday, November 27, 2008

how much is a life of Indonesian student worth?


Can anybody stop complaining about morality for a while and wondering about the safety of our children that is at the edge of ignorance?

Protect our children not by cover them with blanket of "normative" morality. Instead, protect our children by providing them better facilities to go to their school and better education system that can make them think about their - bright - future life. Protect our children by keep them out from indoctrination of violence teaching.

But first, let's protect our children by giving them proper transport to their school. I cannot believe that our leader violate our children rights, instead of protecting them. Our leader only thinking about their own belly.

Photo: private

Wednesday, November 26, 2008

...not true?

When I read and wondering whether the evidence from following research findings that just recently being published is true or not:
"Some 73.1 percent of the teachers don’t want followers of other religions to build their houses of worship in their neighborhoods, it found."
My simple conclusion is "Religious rights and freedom in Indonesia just cease to exist". Then, I remember that friend of mine show me below photos... How could this be NOT TRUE...



Tuesday, November 25, 2008

catatan yang wajib dibaca...

"Prediksi yang dibuat, juga oleh para pakar ekonomi, terbentur dengan kenyataan bahwa dasarnya sebenarnya guyah. ”Kenyataan yang sangat menonjol,” tulis Keynes, ”adalah sangat guyah-lemahnya basis pengetahuan yang mendasari perkiraan yang harus dibuat tentang hasil yang prospektif.” Kita menyamarkan ketidakpastian dari diri kita sendiri, dengan berasumsi bahwa masa depan akan seperti masa lalu. Ilmu ekonomi, kata pengarang The General Theory of Employment, Interest, and Money yang terbit pada 1936 itu, hanyalah ”teknik yang cantik dan sopan” yang mencoba berurusan dengan masa kini, dengan menarik kesimpulan dari fakta bahwa kita sebetulnya tahu sedikit sekali tentang kelak."
Catatan tersebut selain mengangkat pemikiran Keynes, juga mengetengahkan sejarah pemikiran ekonomi yang cukup penting untuk diketahui terkait dengan bagaimana sistem ekonomi bekerja sepanjang sejarah. Bagiku pribadi, catatan ini mengingatkanku betapa pentingnya mengetahui dan belajar mengenai Sejarah Pemikiran Ekonomi. Sayang, mata kuliah ini tidak populer di kalangan mahasiswa...

Lengkapnya, silahkan baca Di Zaman Yang Meleset oleh Goenawan Mohamad.

No yoga in Indonesia (soon)?

Just like a true neighbor!

After Malaysia make such things like this silly rule, Indonesia would like to follow as well very soon. Great lah!

Monday, November 24, 2008

Quote of the day: non-violence vs permanent evil

I object to violence because when it appears to do good, the good is only temporary; the evil it does is permanent.
by Mahatma Gandhi - Indian political and spiritual leader (1869 - 1948)

And that permanent evil could create stigma from others that if your group or follower conducting violence systematically (based on believe, for instance). So, do not blame us if those stigma undoubtedly difficult to be removed from our mind.

No yoga in Malaysia?

It is another silly policy by scared stiff Malaysian government. I am still wondering, why Malaysia is so afraid with other culture or religion? [Another related news with Indonesia perspective]

They are too afraid with Indonesian music and banned the music to be aired in their radio. Now, they are afraid that yoga could corrupt their religious practices so they also banned it. What a ridiculous mindset and coward. If their religion as good as they believe in, why should worry with other practices? Like Gandhi said, "A living faith cannot be manufactured by the rule of majority." No matter how hard they are trying to show their greatness, it makes them look "truly ugly".

Lesson learned from Malaysia is do not be afraid if you have true faith. What is faith if it is not translated into action? And Malaysia shows a clear example of faith that translated into discrimination and numerous petrified actions.

Tuesday, November 18, 2008

welcome new "Newspaper"...

It's been two days since I received extra newspaper in front of my door. I was a subscriber of The Jakarta Post, and now another newspaper attempted to ask me to be subscriber for this new newspaper. So, please welcome The Jakarta Globe.

It looks good, full color and a lot of news or articles. I feel that it was too much information on it, but it served in full color so it well compensated then. If you are interested, please enjoy the reading.

Wednesday, November 12, 2008

Permata Depok Regency akan jadi Gudang Sampah?!

Setelah sempat hanya menjadi rumor selama beberapa bulan, akhirnya judul posting ini akan menjadi kenyataan. Di lingkungan Permata Depok Regency (PDR) akan dibangun Unit Pengolahan Sampah (UPS) yang akan digunakan untuk menampung seluruh sampah yang dihasilkan oleh Kelurahan Ratu Jaya. Setidaknya, hal tersebut sudah dikonfirmasi melalui dua hal: (1) Sudah dimulainya kegiatan pembangunan di tempat yang rencananya akan menjadi lokasi UPS tersebut, (2) Sudah beredarnya edaran dari RT/RW setempat mengenai berita tersebut dan tanggapan warga.

PDR merupakan perumahan yang dibangun oleh PT Citrakarsa Hansaprima, sebuah pengembang perumahan di wilayah Depok. Sebelumnya, aku pernah memuat posting tentang kinerja (buruk?) dari developer ini dan kali ini tampaknya mereka melakukannya lagi. Dan, mereka kali ini melakukannya dengan jauh lebih fatal dari yang sudah-sudah.

Warga PDR secara prinsip menolak keberadaan UPS tersebut. Bukan hanya karena tidak ada persetujuan sebelumnya dari warga, namun karena UPS tersebut dibangun ditengah-tengah kawasan pemukiman. Hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat tidak tepat dan sangat merugikan. Mengapa harus membangun tempat penampungan dan pengolahan sampah di tengah-tengah pemukiman? Sebagai analogi saja, apakah Boss pemilik Developer bersedia di belakang rumahnya dibangun sebuah tempat penampungan sampah? Tentu tidak kan!

Dari pihak Pemerintah Kota (Pemkot) Depok pun setali tiga uang. Pemkot yang Walikota-nya bergaya bak selebriti (karena fotonya terpampang dengan berbagai pose di setiap sudut kota Depok!), sangat tidak menghargai aspirasi rakyatnya dan cenderung berusaha mencari solusi mudah yang asal jadi. Dan, rencana pembangunan UPS tersebut tanpa dikonsultasikan dan mendapatkan ijin dari warga terus dilaksanakan. Rencananya, akan ada sosialisasi pada tanggal 16 November 2008 nanti. Tapi, jika pembangunan UPS tersebut sudah dijalankan, itu namanya bukan SOSIALISASI dong, melainkan PEMBERITAHUAN! Alias PEMAKSAAN! Jadi, beginilah gaya manajemen pemerintahan Kota Depok yang Walikota-nya religius, sangat peduli dengan budaya bangsa. Memaksakan kehendaknya kepada rakyat.

Ok, nantikan posting selanjutnya tentang UPS di PDR ini berikut analisis mengenai gaya manajemen pemerintahan Kota Depok dibawah kepemimpinan Walikota-nya yang narsis tersebut.

Inilah sebabnya "Ekskusi Mati" jadi tidak tepat...

Dari Opini Kompas berjudul "Terorisme Pasca Eksekusi" oleh Khamami Zada, beberapa hal berikut sangat tepat dan secara sederhana patut diperhitungkan:

"Sebenarnya, eksekusi mati Amrozi dan kawan-kawan tidak menyurutkan gerakan terorisme di Indonesia. Mereka tidak gentar dan takut menerima eksekusi mati. Dalam ideologi teroris, tidak ada kata menyerah. Ada doktrin agama yang selalu menjadi spirit gerakan mereka, yakni mati syahid. Mereka meyakini, apa yang dilakukan adalah demi menegakkan agama Allah sehingga ketika mereka mati maka yang diperoleh adalah mati syahid dengan jaminan surga."

Jadi, meskipun MUI dan beberapa ormas Islam mengatakan sebaliknya, namun persepsi tersebut sudah mulai melekat di pikiran banyak simpatisan. Ok, sederhana saja, apakah setiap umat mengikuti setiap hal yang dikatakan MUI? Tidak kan! Buktinya FPI dan organisasi sejenis masih tumbuh subur dan aktif menjalankan aksinya.

"Berbagai adegan yang telah diperlihatkan Amrozi dan kawan-kawan, sejak melakukan aksi terorisme hingga dieksekusi mati, menunjukkan drama perjuangan. Ini pula yang terlihat dari pemberitaan di media (khususnya televisi) yang memperlihatkan betapa Amrozi dan kawan-kawan layak dijadikan ”pahlawan, hero, pejuang, dan pengobar semangat” dalam gerakan Islam."

Nah, ini dia maksudku sebelumnya bahwa diselesaikannya akhir perjuangan mereka dengan ditambah liputan media yang sangat lengkap, maka gelar sebagai "pahlawan, hero, pejuang dan pengobar semangat!" tak terelakkan. Dengan begitu, tidak tertutup kemungkinan bahwa akan ada yang terinspirasi untuk mengikuti jejak mereka.

Tak mengherankan jika kelompok Islam garis keras banyak mengambil kesempatan untuk mendatangi Amrozi di Nusakambangan (Cilacap) dan mengunjungi keluarganya di Tenggulun (Lamongan). Mereka seolah memberi dukungan atas apa yang Amrozi dan kawan-kawan lakukan.

"Pemberitaan media yang begitu menegangkan bisa jadi telah memberi persepsi kepada masyarakat bahwa apa yang telah dilakukan Amrozi dan kawan-kawan adalah benar dan mereka sedang dizalimi oleh pemerintah dengan keputusan vonis mati. Apalagi, gambar-gambar yang ditampilkan televisi lebih banyak dalam suasana heroik yang mengobarkan semangat.

Akumulasi persepsi yang terus terbentuk oleh pemberitaan media ini bisa membalikkan persepsi publik bahwa Amrozi dan kawan-kawan hanya sebagai tumbal kepentingan politik internasional. Kondisi seperti ini bisa mempersubur aksi terorisme karena mereka dianggap sebagai pejuang agama yang dijamin mati syahid."

Tidak bisa lebih setuju lagi dengan kedua paragraf di atas. Kalau ingin membuat singkat pernyataan tersebut, maka versiku adalah: 1) hukuman mati merupakan solusi yang malah memicu aksi terorisme baru, 2) media massa terutama media cetak dan televisi ikut berkontribusi atas timbulnya aksi terorisme baru tersebut. That's why I feel that the death sentence is stupid and press is damned!


Monday, November 10, 2008

...dan akhirnya cita-cita mereka pun tercapai


Ketiganya akhirnya dieksekusi dan telah sampai diperaduan mereka yang terakhir. Satu hal yang tampak hanyalah hukuman atas perbuatan mereka. Namun, hal lain yang tampak akan semakin mencuat di masa depan adalah bahwa perbuatan mereka didasari atas cita-cita untuk menjadi martir. Dengan dieksekusinya ketiga orang tersebut, maka cita-cita mereka dan umat pengikut mereka pun tercapai sudah.

Masyarakat pun bersuka ria atas terpenuhinya cita-cita ketiganya. Mereka kini menjadi panutan dan idola baru, terbukti seperti rencana pesta untuk merayakan kematian yang sangat didambakan oleh banyak umat demi ajaran yang mulia. Bahkan seorang agamawan mengatakan bahwa hal yang ketiganya lakukan haruslah ditiru karena seperti apa yang diajarkan oleh para nabi sebelum mereka.

Selamat untuk Amrozi, Mukhlas dan Imam Samudera sekalian atas tercapainya cita-cita kalian menjadi martir umat. Selamat atas keteguhan dan 'senyum' yang tiada putus hingga akhir atas keyakinan perbuatan kalian. Selamat atas kekukuhan niat tanpa penyesalan yang telah dihasilkan dari aksi kalian. Salam untuk para malaikat di surga...

Bagaimana mengukur nafsu seks?

Artikel dari Putu Setia di Tempointeraktif.Com yang berjudul "Pornografi". Kutipan favoritku sebagai berikut:

Kenapa orang Bali, dari petani yang tak paham mengeja pornografi sampai gubernurnya yang jenderal polisi, menolak undang-undang ini? Banyak alasan, yang tak usah diperinci di sini. Yang paling utama (dalam ritual Hindu disebut utamaning utama), soal “penghinaan” itu. Pasal 1 berbunyi (draf edisi 4 September 2008): “Pornografi adalah materi seksualitas…” dan seterusnya. Lalu Pasal 14 berbunyi; “Perbuatan, penyebarluasan, dan penggunaan materi seksualitas dapat dilakukan untuk kepentingan dan memiliki nilai: (a) seni dan budaya (b) adat istiadat dan (c) ritual tradisional.

Penyusun rancangan seolah berkata: “Ritualmu itu sangat primitif, seni budaya dan adatmu itu mengandung pornografi, tapi okelah, aku izinkan untuk dapat dilakukan.”

“Ini kan penghinaan? Padahal, adat di Bali dan agama Hindu tak memberi tempat untuk pornografi,” ini kata istri saya. Masalahnya, kriteria porno itu seperti apa, dan untuk mengukur nafsu seksual itu melalui apa, apa ada alat seperti termometer, misalnya?

Sepakat dengan Putu Setia! UU Pornografi tersebut sudah bermasalah sejak pasal-pasal awalnya. Untuk berkelit dari pasal Definisi Pornografi yang terlalu sarat dengan pengaturan MORAL dibandingkan pengaturan produk-produk pornografi sendiri, pasal-pasal yang memuat PENGECUALIAN malahan sangat tampak bersemangat mengesampingkan beragam aspek yang sangat multitafsir jika ingin dinilai apakah termasuk porno atau tidak.

Pengecualian terhadap seni budaya, adat istiadat dan ritual tradisional - yang pasti awalnya bertujuan ingin mengakomodasi tuntuan pihak yang menolak UU Pornografi - malah menjadi PENGHINAAN dan PENGHAKIMAN oleh si pembuat UU (baca: para anggota DPR yang TERHORMAT dan BERMORAL) bahwa betul ketiga hal yang dikecualikan tersebut bisa dan pasti mengandung PORNO.

Jadi, pertanyaan yang paling penting di sini adalah bagaimana caranya mengukur nafsu seks? Bagaimana caranya tahu bahwa laki-laki memakai celana pendek dibandingkan perempuan memakai celana pendek itu porno atau tidak?

Aku berani jamin, jika Anggota DPR dan para agamawan melihat laki-laki memakai celana pendek pasti tidak dianggap porno. Begitu juga halnya jika perempuan yang memakai celana pendek berkulit gelap apalagi hitam. Tapi, jika perempuan tersebut memakai celana pendek dan berkulit putih mulus (apalagi bokongnya besar!) sudah pasti akan dibilang PORNO! (Karena para Anggota DPR dan agamawan terangsang dengan spesifikasi demikian).

Maka sial dan terkutuklah perempuan yang cantik dan berkulit mulus. Kecuali mereka mau berpakaian tertutup hingga hanya terlihat mata mereka saja... Tapi, jika mereka juga memiliki mata yang indah berbinar dan menggoda hasrat? Butakan saja mereka! Sanggup?

Aku yakin Tuhan tidak pernah menciptakan manusia khususnya laki-laki se-"nafsu" itu... Tapi Tuhan memang menciptakan Anggota DPR dan Agamawan yang memiliki "nafsu" terselubung.
Suara Rakyat Suara Tuhan!

Saturday, November 08, 2008

Quote of the day: "Rok Mini" dan Kemiskinan

"Lama sebelum terpilih menjadi presiden Paraguay tahun 2008 ini, Fernando Lugo pernah menggugat, mengapa kaum agamawan begitu cemas dengan ”rok mini”, tetapi tidak sensitif terhadap kemelaratan dan kemiskinan yang sangat menyiksa lahir batin rakyat?"

Dan di Indonesia, yang cemas dengan "rok mini" bukan hanya agamawan tetapi juga politisi. Tapi tidak ada satu pun diantara mereka yang peduli dengan kemiskinan. Bahkan, si miskin mati bergelimpangan ketika agamawan ingin menghapus noda dari hartanya dengan amal dan politisi ingin menambah keimanannya dengan menjeritkan nama tuhannya.

Thursday, November 06, 2008

apa sih definisi "pariwisata murni"?

Kepala Suku Dinas Pariwisata Jakarta Pusat Sahat Sitorus, Rabu (5/11), mengatakan, UU Anti Pornografi dan Porno Aksi harus didukung. Jika ada yang melanggar, akan dikenai sanksi berupa peringatan, penyegelan, dan pencabutan izin usaha.

Namun, masyarakat tidak perlu takut karena industri pariwisata murni tidak pernah menjual pornografi atau porno aksi. Hiburan malam dan perhotelan yang menjadi basis industri ini pun bukan berarti harus dibumbui hal-hal berbau seks. (Kompas, 6 November 2008)

Sungguh! Aku bingung bagaimana mendefinisikan "industri pariwisata murni" itu. Menurut Pak Kepala Suku Dinas Pariwisata Jakarta tersebut, industri tersebut haruslah tidak pernah menjual pornografi atau porno aksi. Jika ada sebuah cafe yang memutar musik dan ada pengunjungnya ber-disko atau ber-dansa dan mereka biasanya mengenakan pakaian jenis tank-top atau kaus tanpa lengan (khususnya perempuan), apakah kemudian bebas dari definisi pornografi atau porno aksi?

Aku sangat yakin, menurut definisi FPI dan MMI, cafe tersebut telah jelas-jelas melakukan aksi pornografi dan porno aksi. Dan, menurut definisi Pak Kepala Suku Dinas maka cafe tersebut tidak termasuk "industri pariwisata murni".

Mungkin Indonesia atau Jakarta seharusnya membangun Piramida seperti di Mesir, atau padang pasir seperti di Afganistan yang bisa dijadikan obyek "industri pariwisata murni". Barulah tidak akan ada warga Indonesia yang bisa menjadi pelaku pelanggaran Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi. Dan, dijamin, penerimaan pariwisata akan meningkat karena kunjungan wisatawan akan meningkat dengan pesat.

Hebat!


Monday, November 03, 2008

civil disobedience from Bali!

From The Jakarta Post
"With the passing of the porn bill on Thursday, we hereby declare that we cannot carry it out because it is not in line with Balinese philosophical and sociological values," (Made Mangku Pastika, Governor of Bali)
That is what I called Civil Disobedience, and it is really a great move from Bali. It could shows the power of "non-violence" movement. This is what we learned from the Great Mahatma Gandhi on how to keep our beloved country in unity and fight for it in a peaceful-non-violence way. And this is the best way as religious people.

Enough seeing and referring to "hardliner" groups with "God's name" behind them, but they keep brutally showing tortures, killing, violence in the name of peace and religion.

Saturday, November 01, 2008

mahal salah, murah JUGA salah...

Dari berita Kompas, tentang penundaan Operasional Bus Lorena (untuk Busway) ditunda.

Yang menarik adalah alasan penundaan karena tarif yang ditetapkan oleh "pendatang baru" yaitu Bus Lorena lebih murah. Konsorsium Busway sebelumnya "merasa" tidak puas dan menggugat. Begini saja deh, jika Bus Lorena tersebut tidak segera dioperasikan artinya penduduk Jakarta yang dirugikan, bukan konsorsium. Jika memang Konsorsium merasa tarif Bus Lorena terlalu "rendah" sehingga Konsorsium dirugkan, mereka harus bisa membuktikan.

Seperti dikatakan oleh Presiden PT Eka Sari Lorena,
”Seharusnya pemerintah provinsi bisa bersikap tegas dalam melihat persoalan ini. Semuanya harus dilihat untuk kepentingan warga Jakarta. Kami menentukan tarif sedemikian rendah bukan tanpa perhitungan
Jadi, apa yang salah dengan kompetisi? Anda mau bayar mahal atau murah? Murah kan!!

RUU Pornografi akhirnya menjadi UU Pornografi...

Berita di Kompas dan The Jakarta Post.

Akhirnya, RUU Pornografi pun disahkan menjadi UU Pornografi. Maka Bangsa Indonesia telah sampailah pada saat yang membahagiakan. Dengan selamat sentosa, diiringi pekik Nama Tuhan yang menggelegar di seantero gedung Dewan Perwakilan Rakyat yang Terhormat, maka UU Pornografi ini disahkan untuk mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemuliaan dan akhlak serta moralitas yang paling mulia di atas muka bumi ini.

Seperti selalu dijadikan dalih oleh para petinggi nusantara ini, bahwa UU Pornografi ini bertujuan untuk "melindungi segenap perempuan dan anak-anak" di Indonesia. Melindungi dari apa? Padahal, judul UU Pornografi tersebut adalah "Pornografi". Bukan "UU Perlindungan Perempuan dan Anak".

Selamat untuk para wakil rakyat yang terhormat... Selamat atas moralitas yang sudah Anda semua junjung. Moralitas sebatas kertas dan pakaian yang menutup tubuh, bukan pikiran yang jernih dan kepentingan yang luas...