Wednesday, January 18, 2017

Catatan belanja harian Ibu

Catatan belanja harian Ibu pada tahun 1977. #momlife #love

Yang memprihatinkan ketika kita menjadi dewasa adalah kita kerap melupakan kenangan masa kecil kita. Itulah sebabnya, selain foto-foto dan video, catatan-catatan harian seperti diary bisa menjadi media memanggil memori kita. 

Foto ini adalah kenangan dari Ibu terutama di masa-masa awal Ibu menetap di Jakarta. Ini adalah catatan belanja harian yang Ibu lakukan pada saat saya baru berumur lebih kurang setahun. Catatan ini bisa memanggil sebagian kenangan tentang Ibu saat saya masih kecil.

Saya ingat bagaimana Ibu bertahan hidup di Jakarta dengan kondisi apa adanya. Ketika itu, Bapak sering tugas ke luar kota dan meninggalkan Ibu berhari-hari. Dengan anggaran terbatas, Ibu mampu mencukupi kebutuhan saya serta beberapa paman yang ikut tinggal dengan keluarga kami. Saya masih ingat Ibu kerap membuat kue mangkok dan dititip-jual di beberapa warung sekitarnya. Saya tahu betapa teliti Ibu dalam pekerjaannya, tapi catatan belanja ini membuktikan bahwa ketelitian tersebut bukan main upayanya. Setiap hari (per tanggal) Ibu mencatat detil belanja harian yang dilakukannya. Luar biasa!

Catatan sejenis ini masih bisa saya temukan menjelang akhir hidup Ibu. Meskipun isinya bukan lagi belanja untuk makanan harian melainkan belanja terkait kursus keterampilan yang dikelolanya. Melihat gaya seperti ini, tidak heran Ibu suka kesal apabila anak-anaknya kurang perhatian terhadap detil-detil hidup. Ibu juga jago matematika, terutama menghitung pecahan. Skill tersebut terbukti efektif ketika Ibu membuat pola baju dan menghitung ukuran pakaian yang akan Ibu jahit. Saya sudah sering kena kritik Ibu ketika lambat berhitung atau malah salah menghitung uang. Sungguh memalukan, apalagi kemudian anaknya ini kuliah di Fakultas Ekonomi. Dan kritik tersebut terbukti ketika saya harus mengulang Pengantar Akuntansi 2 sampai 4 kali; serta sekarang bertugas menjadi Wakil Kepala Bidang Administrasi dan Keuangan. Ibu sepertinya tidak rela jika saya mengurangi latihan berhitung dan kurang menjaga ketelitian dalam bekerja.


Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Si Alex








Working on cars teaches us patience... and every curse word imaginable #dadlife #love
Foto-foto ini saya ambil ketika Bapak akhirnya memutuskan untuk menjual mobil kesayangannya pada tahun 2016 yang lalu. Rencananya, foto-foto ini akan saya muat di OLX atau website penjualan mobil lainnya agar Bapak bisa mendapatkan pembeli yang bersaing. Tapi ternyata mobil tersebut akhirnya dijual ke salah satu tetangga yang sering sekali Bapak ajak ngobrol secara akrab. Beliau bilang, "[Dia] sudah lama nanya-nanya si Alex jadi gak apa-apa deh yang penting pembelinya pasti merawat dan sudah tahu mobil ini."
Alex adalah panggilan kami untuk mobil ini karena karoserinya bernama Alexander. Ini adalah Suzuki Carry Extra 1.0 keluaran tahun 1996. Alex adalah mobil pertama (dan terakhir) yang Bapak beli dari kondisi baru. Sebelumnya, Bapak punya mobil second hand bermerek Daihatsu Hijet 1000cc, warna merah, keluaran tahun 1986; mobil pertama yang saya gunakan untuk belajar mengemudi. Bapak membeli mobil Alex secara kredit dan beliau merawat mobil ini dengan sepenuh hatinya. 
Alex sangat sering menempuh perjalanan jauh, terutama Jakarta-Bali pulang pergi. Saking seringnya, Bapak sering guyon, "Jika si Alex ditepok pantatnya, pasti dia bisa jalan sendiri ke Ketapang sampai nyebrang Gilimanuk dan balik ke Jakarta tanpa tersesat saking seringnya." Alex dibeli dalam keadaan standar, tapi kemudian Bapak melengkapinya secara perlahan namun pasti. Alarm dan central lock dengan remote control, Velg semi racing, AC double blower (percaya atau tidak, AC-nya masih dingin sampai terakhir dilepas ke pemilik barunya), lampu kabut, klakson variasi, dan kondisi interior terawat. Hampir setiap hari, Bapak memeriksa dan memastikan Alex dalam kondisi laik jalan. Alex hanya 3 kali masuk bengkel resmi ketika masih ter-cover jasa pelayanan gratis. Setelah itu, tangan Bapak sendiri yang merawatnya dari ujung kolong knalpot belakang hingga sekujur cat di body-nya. 
Bapak memang memiliki keterampilan tangan yang luar biasa. Apa pun yang rusak, bisa beliau perbaiki. Bapak hanya lulusan STM, tapi kalau menganalisis dan memperbaiki kerusakan barang-barang elektronik atau mesin, bisa diadu dengan mereka yang mengaku insinyur atau mekanik resmi. Kadang beliau sedikit jumawa, "Kalau cuma mesin mobil atau motor, itu seperti kotak korek api bisa ditelan sekaligus." Kejumawaan tersebut karena pekerjaan Bapak sebelumnya adalah teknisi mesin disel berkapasitas besar, untuk pembangkit listrik atau mesin kapal laut serta mesin-mesin truk angkut. Dalam pekerjaannya, tidak boleh ada kata "tidak bisa!" karena mesin-mesin yang diservis atau diperbaiki mempengaruhi hajat hidup bisnis banyak orang. 
Sebenarnya Bapak ingin anak laki-laki satu-satunya ini bisa seperti beliau. Sejak kecil, Bapak sering mengajak saya nge-bengkel. Mulai dari memperbaiki elektrikfikasi hingga turun mesin atau ganti plat kopling. Saya tidak pernah betah dengan kegiatan tersebut, bukan karena tidak suka dengan mobil atau mesin-mesin tapi tidak tahan dengan kesabaran Bapak memecahkan persoalan mekanik yang dihadapi. Bapak bisa nge-bengkel hingga larut malam apabila perbaikan yang beliau inginkan belum tercapai dengan kualitas maksimal. Beliau perfeksionis jika urusan kerapihan dan ketepatan fungsi mesin atau elektronik. Pernah suatu ketika, Bapak membeli alarm mobil dan membiarkannya si penjual yang memasangnya. Begitu sampai di rumah, hasil pemasangan itu diperiksanya dan langsung dibongkar lagi keesokan harinya karena menurut Bapak, pemasangannya tidak bagus dan bisa membahayakan jaringan listrik di mobilnya. Ya ampun! Kali berikutnya adalah pemasangan karpet peredam dan kulit untuk jok mobil saya juga pernah beliau lakukan sendiri karena tidak percaya dengan kualitas pengerjaan penjualnya. Pengecatan body mobil ketika ada penyok atau kerusakan cat, Bapak lakukan sendiri. Di garasi mobil, peralatan bengkelnya hampir lengkap untuk buka bengkel resmi. 
Urusan disiplin berlalulintas Bapak juga tidak pernah santai. Bapak tidak pernah mengizinkan saya membawa motor atau mobil ke jalan raya saat saya belum punya SIM. Bapak hanya mengizinkan saya mengeluarkan mobil dari garasi atau memasukkannya. Untuk motor, saya pasti didampingi Bapak jika keluar rumah hanya sampai ke gang di ujung jalan. Waktu saya ingin mendapatkan SIM, Bapak juga melarang saya melalui jalur "nembak". Maka, terjadilah proses 3 hari mengajukan permohonan SIM. Ketika saya akhirnya boleh mengemudi mobil pun, beliau tidak berkurang rewelnya soal gaya saya mengemudi. Dan, ini yang penting, patuhilah rambu-rambu lalulintas. Betul, Bapak tidak pernah sekali pun 'santai' dengan aturan lalulintas. Si Alex, meskipun mobil tua, memiliki standar kelengkapan yang maksimal: segitiga pengaman, kotak P3K, bahkan alat pemadam api tersedi di dalamnya. Sekali lagi, Bapak tidak pernah santai kalau urusan keselamatan dan aturan. Alex adalah saksi nyata bagaimana Bapak menjalani 'tour Jakarta-Bali' sekitar 3-4 kali dalam setahun dimana setiap kilometer perjalanan Bapak selalu penuh perhitungan, perencanaan dan disiplin tinggi.

Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Monday, January 09, 2017

Pentingnya Pendidikan


Foto ini merupakan sebuah 'remark' dari Ibu kepada kami anak-anak dan cucu-cucunya tentang betapa pentingnya pendidikan.
Ibu hanya lulus SKKA (sejenis SMEA atau SMK saat ini) sebelum menikah dan bermigrasi ke Jakarta. Seumur hidupnya, Ibu tidak pernah lelah atau bosan mendorong kami anak-anaknya untuk terus sekolah. Masih terngiang di kepala setiap kata-kata beliau, "Gak apa2, Ibu hanya sekolah sampai sini, tapi anak-anak Ibu harus sekolah setinggi mungkin." Di antara 12 saudara, Ibulah satu-satunya yang tidak sampai mengenyam perguruan tinggi. Di antara keluarga besar, selalu ada kesan Ibu dan Bapak agak dikecilkan karena pendidikannya. Tapi Ibu tidak pernah menyerah. 
Ibu mengambil kursus menjahit dan berbagai kursus ketrampilan tanpa henti! Semua tingkatan ijazah Ibu miliki bahkan sertifikat asesor pun diraihnya tanpa batas! Ibu juga membuka kursus sendiri dan membuat berbagai program kursus baik yang berbayar maupun dengan program beasiswa. Di sinilah jiwa sosial Ibu begitu menonjol. Setelah semua sertifikat diraihnya, pada umur yang sudah lewat 45 tahun, tiba-tiba Ibu bilang ingin kuliah. Ternyata Ibu terus menyimpan semangatnya untuk kuliah dan berusaha mewujudkannya. Entah bagaimana caranya, Ibu dapat beasiswa untuk meraih gelar S1 di bidang pendidikan keguruan. Tidak berhenti sampai di situ, Ibu juga langsung lanjut ke S2. Salute!
Untuk seseorang yang sudah cukup lama tidak masuk ke bangku sekolah, Ibu berjuang keras dengan pola standar belajar saat ini. Tapi Ibu tidak menyerah! Ibu berusaha belajar menggunakan laptop, membuat presentasi dengan powerpoint, dan menggunakan smartphone untuk mengirim email. Tentu Ibu banyak dibantu asisten-asisten dan murid-muridnya. Tapi, Ibu tidak pernah menyerah dan bilang "tidak bisa!". Ibu selalu bilang "Jika memang mau, pasti ada caranya."
Ibu menunjukkan pada anak-anaknya dan pada dunia bahwa tidak ada batasan umur untuk belajar dan meraih pendidikan. Mungkin dari Ibulah saya mendapatkan semangat untuk terus berguru dan menjadi guru. Terima kasih banyak, Bu atas bimbingan dan semangat belajarnya!

Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved