Monday, February 28, 2011

Ahimsa... betapa tak gampang

Dari Catatan Pinggir (Caping) oleh Goenawan Mohamad yang berjudul Ahimsa:

"Sebab tak semua perlawanan nonkekerasan berakhir bahagia. Apalagi jika yang disebut "berhasil" bukanlah hanya makzulnya seorang penguasa, tapi hadirnya sebuah kekuasaan lain berdasarkan ahimsa. Prinsip ini memang berakar dari kata "tak melakukan tindakan yang mencederai". Tapi ia juga bagian dari sikap yang menampik untuk membenci apa pun, berdusta, dan mengutarakan kata-kata bengis.


Betapa tak gampang... "

Memang tak gampang ketika kita ingin memilih jalan yang 'ideal'. Setidaknya sebagai sebuah cara pandang dan atau cara hidup, ahimsa telah membuktikan bahwa kekerasan bisa dihindari (bukan dihapuskan) jika memang manusia menginginkannya.


Sayangnya, manusia sering kali lebih mampu untuk mendustai dirinya sendiri. Ia mengklaim dirinya pembawa kedamaian tapi membuktikan klaim tersebut dengan melakukan pembunuhan terhadap sesamanya. Yang lebih ironis, dusta dan klaim tersebut digunakan dengan dalih membela Tuhan. Dan inilah sebabnya ahimsa tak akan pernah menjadi cara yang gampang untuk dilakukan dan tak akan pernah menjadi cara yang gampang untuk berhasil. Karena manusia banyak tidak menginginkannya...

Monday, February 21, 2011

a basket of Apples


If I may recall history of the most long lasting and the best gadget or computer devices that I ever have, I would like to call them ‘a basket of Apples’. Yes, all of those non-hassle, tough, beautiful but powerful gadget or computer laptop I have so far are Apple brand.


My first introduction with Apple was the black 32GB iPod Nano (see left below). It was my third portable music player after an AIWA Walkman and [brand here] MP3 player. From this iPod, I learnt about iTunes and some interesting knowledge about Apple product especially computer. My Apple bites continue with first generation of 120GB White MacBook (see left above). After almost 3 months of intensive quest for making sure on compatibility issues, I decided to switch totally to Mac OS X Leopard and leave the idea of Microsoft product. I learnt iWork and iLife, and I used Parallel Desktop to operate several application in Microsoft Windows XP operating system which Mac OS X did not support at that moment. Now, I rarely used them since Mac OS X already supply all application I need. Since then, my white MacBook never failed me; it was a stable, fast and reliable partner in my computing work.


It is obvious that Apple devices are undeniably expensive. That is why I have to wait several years before I am able to add up the next Apple in my basket. It was used 32GB iPod Touch (see second from left below). With this new iPod Touch, I can pass the iPod Nano to my wife so she can start being indulged by Apple. After I successfully won a used 16GB iPhone 3GS from eBay, she upgrade her Apple into iPod Touch. After some hassle with her laptop, she decided that she is ready for bigger Apple stuff. So, I won another used 80GB MacBook Air from eBay and my wife start her experience with Mac OS X Snow Leopard. And my final Apple that I won it via eBay was 16GB iPhone 4 which makes my wife now used the iPhone 3GS. Overall, I can roughly claim that we are an Apple Family now. Finally, I also completed my Apple computing experience with some accessories including Magic Mouse, Mighty Mouse and Apple Wireless Keyboard (not seen in picture).


Here they are, my basket of Apples. One thing that I really proud with all of my Apple is all of them extremely reliable whether they are brand new or second hand condition. It’s something that I could not get from any other devices. They are exemplary of cutting-edge technology!

Monday, February 14, 2011

Quote of the day: Relativity

From Dan Ariely "Predictably Irrational: The Hidden Force that Shape Our Decisions"
"We not only tend to compare things with one another but also tend to focus on comparing--and avoid comparing things that cannot be compared easily."

Tuesday, February 08, 2011

déjà vu tentang kebiadaban

Kejadian pembunuhan terhadap warga Ahmadiyah yang saja terjadi, membuat saya ingin membaca sebuah 'kicauan' (tweet) di akun Twitter saya per tanggal 31 Agustus 2010 lalu. Isinya sebagai berikut:
Ide "pembubaran" satu ajaran/agama, slalu mgingatkan saya dgn "pelarangan PKI" yg berujung pd diskriminasi hingga genocide. Resiko yg mahal!
Ketika saya berkicau seperti itu, saya hanya ingin merespon pernyataan Menteri Agama yang percaya bahwa "pembubaran" Ahmadiyah hanya akan memberikan resiko yang kecil. Menurut pendapat saya, tidak akan ada resiko yang kecil atas suatu tindakan pelarangan terhadap organisasi apalagi sebuah ajaran 'agama'.

Seharusnya masih segar diingatan kita bagaimana dampak yang timbul ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) dinyatakan terlarang di bumi Indonesia. Baiklah, mungkin PKI tidak bisa disamakan dengan Ahmadiyah atau ajaran 'agama'. Tapi, jika saya ingin menyamakan semangat pelarangan PKI dengan pembubaran Ahmadiyah, maka salah satu alasan pelarangan PKI adalah karena menyebarkan ajaran atau paham komunisme. Tidak ada perbedaan mendasar dengan pembubaran Ahmadiyah yang diyakini menyebarkan ajaran sesat. Itulah sebabnya, kita tetap bisa menggunakan pelarangan PKI sebagai referensi sejarah atas resiko pembubaran Ahmadiyah.

Kembali ke 'kicauan' saya di atas, seketika saya mengalami déjà vu ketika menyaksikan tayangan di YouTube berikut ini yang seolah membuktikan betapa tidak kecilnya resiko jika ingin membubarkan atau melarang sebuah organisasi atau ajaran 'agama'. Setelah menyaksikan tayangan tersebut, kita seolah diberikan sebuah episode kecil dari kutipan sejarah kelam yang pernah terjadi ketika PKI dibubarkan dan dinyatakan "terlarang". Perihal Ahmadiyah, memang belum dilakukan pelarangan pun pembubaran secara nasional namun SKB 3 Menteri yang diterbitkan pemerintah seolah memberikan pengesahan untuk melakukan pembubaran dan pelarangan oleh masyarakat. Padahal, tanpa SKB 3 Menteri pun mereka sudah mengalami pengusiran, dirusak tempat tinggal dan tempat ibadahnya, serta didiskriminasi; yang belum terjadi hanya genosida saja. Tapi tayangan tersebut memberikan semacam 'pemanasan' untuk semangat genosida tersebut.

Saat ini saya merasa menyesal telah membuat 'kicauan' tersebut karena ternyata itu sudah dimulai saat ini. Saya tidak ingin menggugat soal keyakinan siapapun, namun saya percaya seharusnya ada solusi yang lebih bijak, damai dan tidak perlu mengulang sejarah kelam. Tidak perlu ada pembunuhan atau pembantaian. Tapi, sekarang keduanya sudah dimulai. Bilakah para pemimpin negara, agama dan masyarakat bisa mencegah ini untuk terjadi lagi?

Mudah-mudahan kita bisa belajar dari sejarah, meskipun sedikit...