Tuesday, September 23, 2008

aging justice...

Bilamanakah keadilan mengalami penuaan (aging)? Jawabnnya adalah seperti Undang-Undang yang baru saja disahkan oleh (lagi-lagi) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Meminjam terminologi dari ilmu Demografi, dengan disahkannya UU ini maka Indonesia telah mengalami fenomena 'aging' lebih awal yaitu di sektor peradilan. Istilah kerennya, "aging justice".

Mengapa "aging justice" ini bisa menjadi masalah yang kritis?

Pertama, dari aspek beban ketergantungan. Dengan semakin banyaknya hakim yang berusia lanjut, maka beban ketergantungan secara ekonomi bagi lembaga peradilan tentunya akan semakin meningkat. Yang paling sederhana misalnya terlihat dari tunjangan kesehatan. Tak bisa dipungkiri bahwa meningkatnya umur juga berhubungan dengan meningkatnya kemungkinan 'kesakitan' (morbiditas) dari para hakim. Jika dipandang dari aspek beban ketergantungan ekonomi, pola demikian akan memberi dampak pada meningkatnya biaya ekonomi dalam bentuk: meningkatnya biaya kesehatan yang harus dibayar institusi peradilan untuk para pejabat mereka, dan meningkatnya manfaat yang hilang (biaya) atas tidak terselesaikannya kasus-kasus hukum yang seharusnya bisa diselesaikan tepat waktu.

Kedua, dari aspek biaya regenerasi. Dengan semakin banyaknya hakim yang berusia lanjut, maka proses regenerasi akan berjalan lambat. Hal tersebut tidak saja berimplikasi pada rendahnya tingkat regenerasi dalam artian sedikitnya jumlah hakim muda yang potensial untuk menjadi pemimpin di masa depan; melainkan juga hakim-hakim muda yang potensial tersebut akan semakin sulit untuk berkembang dan menjadi lebih baik karena dalam lingkup institusi mereka masih terkungkung oleh "budaya" dan "mentalitas" yang sudah tidak muda lagi. Biaya regenerasi tersebut misalnya biaya akibat hambatan senioritas, biaya pengembangan dan kreatifitas, dan biaya hambatan untuk belajar hal-hal baru.

Secara umum, seharusnya kita sadari bahwa saat ini Indonesia sedang memiliki proporsi penduduk "muda" yang jauh lebih besar. Artinya, Indonesia bisa menuai manfaat dari adanya perkembangan dari pemikiran-pemikiran muda yang segar. Inilah manfaat sosial (non-ekonomi) dari tingginya jumlah penduduk muda (young population) - istilah kerennya "demographic dividend". Persoalannya, kita mau menuai keuntungan tersebut atau tidak? Dan, di lembaga peradilan kita sangat jelas tidak ingin menuai keuntungan tersebut.

Ya sudah...

Sunday, September 21, 2008

Stigma tentang DPR...


Membaca berita dan pernyataan anggota DPR seperti berikut:
"Lebih lanjut, Mahfudz [Ketua FPKS] menambahkan, disahkannya RUU [Pornografi] ini merupakan hadiah terindah bagi PKS di Bulan Ramadan ini. Ia pun meminta agar publik tidak lagi disibukkan dengan perdebatan norma, namun fakta sosial yang harus diperhatikan"
Semakin memperkuat stigma yang sudah melekat di diri setiap anggota DPR. Dalam bayangku dan kesanku saat ini, stigma yang paling kuat saat ini melekat tentang DPR adalah: "pemborong undang-undang", "makelar undang-undang", "tukang jual-beli kepentingan politik", "pembual ulung", "manusia-manusia yang paling tidak setia di jagad bumi Indonesia", dan masih banyak lagi.

Stigma-stigma tersebut terbukti dari hari ke hari dengan ditandai misalnya seperti kutipan berita di atas. Betapa DPR tidak mampu menetapkan prioritas dalam pekerjaannya, kecuali uang itu sendiri. Jika ada uang, pasti mereka menyelesaikan tugas-tugasnya dengan segera dan tanpa banyak cing-cong. Sementara, tugas menyusun undang-undang yang penting, seperti undang-undang pemilu yang sebentar lagi akan dilangsungkan malah tak kunjung selesai. Eh, malah ngurusin pornografi. Apakah sudah terlalu terangsangnya mereka hingga perlu mengatur semua 'rangsangan' tersebut?

Apalagi, di masa-masa seperti sekarang ini. Mereka semua sudah terlalu sibuk memperkenalkan diri untuk pemilu 2009. Mohon maaf, Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu sekalian. Jika melihat gelagat dan pembelajaran yang kalian tunjukkan selama ini, rasanya aku ingin golput saja. Aku merasa DPR tidak berguna sama sekali. Lebih baik biarkan Presiden saja yang melakukan semua pekerjaan. Lebih mudah menyalahkan 1 orang presiden daripada segerombolan orang yang mengaku "wakil rakyat", tapi tidak pernah mengenali siapa yang mereka "wakili". Well, kalian jelas mewakili satu hal, bukan? UANG!

Tuesday, September 16, 2008

cara yang efektif memberi amal...

Setelah membaca berita tentang tragedi yang menyebabkan 21 Orang Tewas Saat Pembagian Zakat, aku jadi berpikir bagaimana cara yang efektif memberi "bantuan" (baca: amal) kepada fakir miskin?

Sebelumnya, aku memiliki hitung-hitungan sederhana sebagai berikut:
Aku membayangkan jika seorang individu setengah kaya dan atau kaya raya, bersedia memberi "bantuan" (baca: amal) sebesar Rp. 500,- per hari.
Jika aku asumsikan, individu tersebut "membantu" setiap hari kerja, maka dalam satu bulan jumlah total bantuan yang bisa dikumpulkan adalah:
Rp.500,- x 20 hari kerja/bulan = Rp. 10.000,-.
Kemudian, sekarang kita bayangkan jika dalam satu komunitas RT atau RW bersedia membantu sejumlah tersebut. Jika aku mengasumsikan lagi, dalam satu RT atau RW ada 30 KK (kepala keluarga) saja yang bersedia membantu, maka total dana yang terkumpul menjadi:
Rp.10.000,- x 30 KK = Rp. 300.000,-

Jika saja setiap bulan kita bisa mengumpulkan dana tersebut, kemudian bandingkan dengan jumlah amal yang ingin dibagikan. Jika setiap fakir miskin menerima Rp. 30.000,- per orang, maka dengan mekanisme pengumpulan di atas, kita bisa membantu sebanyak:
10 orang fakir miskin.
Jika mereka menerima Rp. 20.000,- per orang, maka kita bisa membantuk sebanyak:
15 orang fakir miskin.
Dan yang penting adalah jika kita melakukannya secara berkala setiap bulannya, maka kita bisa membantu fakir miskin setiap bulannya. Jika jumlah bantuannya ditingkatkan hingga maksimal Rp.1.000,-, kita bisa melakukan 'trade-off': apakah menambah jumlah dana bantuan per orangnya atau menambah jumlah orang yang ingin dibantu.

Perhitungan yang kubuat ini tidak untuk muluk-muluk yang berambisi membantu seluruh fakir miskin di satu kabupaten atau kecamatan. Melainkan, untuk membantu fakir miskin secara berkelanjutan di lingkungan terdekat kita - misalnya RW atau Kelurahan dan yang penting bukan hanya saat hari raya saja. Cara membagikannya pun lebih tepat sasaran, karena yang kita berikan jelas-jelas warga yang kita lihat dan - mungkin - kenal. Jadi, bukan sekedar amal untuk mengejar surga sehari saja. Jika pola penggalangan dana ini dilakukan, maka beberapa manfaat yang bisa diambil adalah:

1. Lebih transparan dan mudah dikelola
Dengan jumlah dana yang tidak terlalu besar, maka mudah bagi kita untuk mengawasi dan mengelolanya. Tidak perlu banyak orang untuk mengatur pembagian uangnya, dan bisa menggunakan mekanisme rapat warga atau berkeliling ke rumah warga yang layak menerimanya. Tidakkah itu lebih mudah verifikasinya?

2. Lebih berdampak kohesif bagi masyarakat
Dengan mekanisme demikian, warga masyarakat menjadi tahu dan mengenal lingkungannya. Pengetahuan tersebut bukan hanya sekedar administratif atau kewilayahan, tetapi juga secara sosial. Warga jadi mengenal siapa saja 'saudara' se-lingkungan yang memang membutuhkan bantuan karena kondisi mereka yang kronis.

3. Tidak perlu lembaga besar dan jauh lebih berkelanjutan (sustainable)
Karena lebih mudah dikelola, maka tidak perlu dibentuk badan atau lembaga khusus yang mengumpulkan dana tersebut. Dengan sistem yang sederhana ini, maka keberlanjutannya ada di tangan warga masing-masing. Jika memang masih merasa ingin membantu, maka terus dijalankan. Bahkan, tidak menutup kemungkinan cakupannya diperluas jika memang ada yang perlu dibantu tapi diluar skema bantuan yang ada.

Pertanyaan yang penting kemudian, siapa saja yang harus dibantu dengan memberikan bantuan tunai seperti ini? Berikut ini adalah kriteria yang bisa kuusulkan yang paling sederhana dan paling membutuhkan:
1. Janda berumur di atas 45 tahun yang memiliki anak usia sekolah SD, SMP atau SMA dan tidak memiliki pekerjaan tetap dan tidak memiliki modal usaha.
Kalau Anda membaca karakterisik 21 korban tewas saat pembagian amal tersebut, mayoritas adalah kelompok tersebut. Cobalah Anda perhatikan, adakah kelompok masyarakat tersebut di lingkungan Anda? Jika ada dan cukup banyak, cobalah berpikir mengapa tidak mulai mencoba membantu mereka?
2. Anak-anak usia sekolah SD, SMP atau SMA dari keluarga yang orang tuanya tidak memiliki pekerjaan tetap, atau orang tuanya cacat.
Kelompok ini merupakan prioritas yang harus dibantu dalam konteks untuk terus melangsukan pendidikan mereka agar kelak mereka bisa keluar dari perangkap kemiskinan yang dialami oleh orang tua mereka. Kelompok ini tidak bisa dibantu hanya dengan "amal" sekali setahun.

Sekali lagi, cara "membantu" kaum fakir miskin yang kuusulkan tersebut bukan untuk sekedar "beramal" dalam rangka merayakan hari raya. Cara tersebut kupikir merupakan cara yang paling "harus" dibandingkan sekedar menjalankan "perintah agama". Membantu seharusnya bukan hanya "tanpa pamrih" namun juga memenuhi azas "manfaat" yang jelas. Jika kita hanya membantu sekali setahun, maka belum tentu tahun depan kita bisa membantu mereka lagi. Mengapa demikian? Karena mungkin mereka sudah meninggal karena kelaparan atau penyakit sehari setelah mereka menikmati uang amal tersebut. Dan yang penting, anak atau cucu mereka mewarisi 'keegoisan' kita yang hanya mau membantu sekali setahun tersebut.


Monday, September 15, 2008

Sesuatu yang besar datang menghampiri

Belakangan ini, aku sering mengalami beberapa hal yang membuatku berpikir betapa "keberuntungan kerap datang dengan ketidaknyamanan dan kebingungan yang mutlak." Atau ada istilah lain yang lebih langsung - to the point - yaitu "blessing in disguised".

Saat ini, aku sedang berada dan mengalami situasi tersebut. Tawaran pekerjaan yang cukup 'penting', baik dari sisi peluang di masa depan maupun renumerasi, datang dan mulai kukerjakan. Karena demikian penting, tentulah ia menuntut perhatian dan curahan kontribusi yang tidak sedikit. Di saat bersamaan, aku juga mendapatkan kesempatan yang penting bagi karir dan kualitas karir tersebut di masa depan, dalam bentuk peluang untuk melanjutkan sekolah. Pihak "sponsor" telah berkenan memilih dan mendukung cita-cita untuk melanjutkan sekolah tersebut, dan selanjutnya masih harus berjuang untuk memperoleh berkenannya sekolah yang ingin kutempati belajar.

Hal menarik yang terjadi di sini adalah bagaimana semua hal tersebut datang secara bersamaan dan membuatku harus melakukan "ekstra" atau harus melakukan "trade-off". Sejauh ini, aku masih berusaha memilih untuk melakukan "ekstra" dibandingkan "trade-off". Mengapa? Karena jika aku langsung memilih "trade-off", artinya aku secara sadar menghilangkan 'blessing in disguised' yang masih mungkin kualami. Segala hal yang baik, pada akhirnya bisa kita rasakan. Hanya masalah kapan dan bagaimana datangnya. Mudah-mudahan, aku masih bisa terus melakukan "ekstra"-"ekstra" lainnya agar terus aku diberkati dengan 'blessing in disguised' berikutnya. Apapun bentuk dan pengejawantahannya...

Terima kasih, Hyang Agung...
Terima kasih atas segala pembelajaran yang coba Kau tunjukkan kepadaku, dan untuk tiada henti mengajariku melihat "yang terbaik" dari apapun yang ada di hadapanku - yang lalu, kini, dan akan datang...

Friday, September 12, 2008

... artinya seluruh masyarakat Bali divonis "bersalah"

Dari berita di Kompas:
"Deni Aryasa dituding meniru dan menyebarluaskan motif fleur atau bunga. Padahal motif ini adalah salah satu motif tradisional Bali yang kaya akan makna. Motif serupa dapat ditemui di hampir seluruh ornamen seni di Bali, seperti gapura rumah, ukiran-ukiran Bali, bahkan dapatditemui sebagaimotif pada sanggah atau tempat persembahyangan umat Hindu di Bali.

Ironisnya, motif tradisional Bali ini ternyata dipatenkan pihak asing di Direktorat Hak Cipta, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Republik Indonesia pada tahun 2006 dengan nomor 030376. Pada surat keputusan Ditjen Haki, tertulis pencipta motif fleur adalah Guy Rainier Gabriel Bedarida, warga Prancis yang bermukim di Bali. Sedangkan pemegang hak cipta adalah PT Karya Tangan Indah milik pengusaha asal Kanada, John Hardy."

Anda mungkin ikut menghujat Malaysia kita mereka mengklaim lagu "Rasa Sayange" atau melarang lagu-lagu Indonesia diputar radio-radio Malaysia. Tapi apakah Anda juga ikut menghujat ketika membaca berita tersebut? Dan pertanyaan yang penting adalah siapa yang akan Anda hujat?

Aku pribadi ingin menghujat Direktorat Hak Cipta. Mereka memang benar-benar institusi yang korup dan tidak mengenal perikemanusiaan dan perikebangsaan. Hanya silau dan tergiur oleh uang, mereka dengan mudah mengesahkan pendaftaran motif dari negeri sendiri. Tidak ada yang aneh dalam proses tersebut karena Direktorat tersebut sudah jelas hanya melaksanakan "kepuasaan" mereka sendiri atas dasar uang yang mereka terima dari si pemegang hak cipta.

Selain itu, aku juga ingin menghujat Pengadilan Negeri Denpasar khususnya dan sistem peradilan di Indonesia pada umumnya. Bagaimana mungkin mereka melanjutkan tuntutan dari suatu produk hukum - keputusan Dirjen HAKI tentang paten tersebut - yang cacat tidak hanya dari sudut pandang legal tapi juga kemanusiaan? Bagaimana mungkin pengadilan bisa menganggap bahwa si seniman bisa dijadikan tersangka atas suatu hal yang sudah menjadi darah daging mereka dan seluruh masyarakat Bali? Jika sampai Deni Aryasa dinyatakan bersalah, itu artinya sama saja dengan mengvonis seluruh masyarakat Bali yang rumahnya memiliki ornamen Bali. Sungguh suatu kekejaman yang tak terperi...

Ini membuktikan secara nyata bahwa korupsi adalah agama yang dianut oleh orang-orang di Dirjen HAKI dan sistem peradilan Republik Indonesia.

Silahkan baca juga berita terkait, juga ini.

Tuesday, September 09, 2008

Bagaimana caranya menurunkan angka kecelakaan motor?

Aku mencoba menjawabnya di KaFE Depok: How to make the motorist behave?

Faktanya: insiden kecelakaan yang melibatkan pengendara motor terus meningkat. Penyebabnya ditengarai kurangnya disiplin dari para pengendara motor dan kurangnya sarana prasarana khusus, misalnya jalur khusus untuk motor.

Namun, menurutku hal tersebut lebih disebabkan oleh perilaku para pengendara yang kurang memahami resiko mengendarai motor yang relatif lebih tinggi. Oleh karena itu, aku mengusulkan untuk mengkompensasi resiko mengendarai motor yang tinggi tersebut biaya untuk memperoleh surat ijin mengemudi (SIM) motor harus lebih mahal. Dengan harga SIM yang lebih mahal, bisa menjadi sebagai efek untuk menunjukkan bahwa mengendarai motor tidaklah semudah naik sepeda dan mengandung resiko yang tinggi. Sehingga hanya para pengendara dengan kemampuan yang cukup yang berhak mengendarai motor.

Begitu...

filosofi makan cabai...

Dari Tajuk Rencana Kompas (9 September 2008),

"Pada masa pangan dan energi menjadi komoditas mahal seperti sekarang ini, masuk akal orang terpanggil untuk mencari solusi, mencari jalan keluar.

Di bidang pangan, salah satu upaya yang dilakukan adalah menemukan benih unggul. Namun, upaya ini tak bisa dilepaskan dari praksis ilmiah, yang di dalamnya ada prosedur yang harus diikuti dengan saksama, seperti riset dan pengembangan, pengujian laboratorium dan pengujian di lapangan, yang tidak jarang membutuhkan waktu bertahun-tahun.

Jelas itu menuntut ketekunan dan kesabaran, meneguhkan kearifan yang sudah sering kita dengar, bahwa tidak ada sukses dan karya besar yang instan."


Bottom line: kita harus selalu ingat dan sadar untuk tidak mengikuti filosofi hidup "makan cabai". Jangan pernah berpikir bahwa segala sesuatu bisa cepat, secepat kita merasakan pedas setelah menggigit cabai rawit. Apalagi untuk masalah yang terlalu lama kita abaikan karena ketidakpedulian kita, yaitu masalah energi dan pangan.


Ah, Malaysia lagi Malaysia lagi... Mereka patut dikasihani

Ah, Malaysia lagi...
Dulu memukuli para pekerja asal Indonesia hanya karena memang terlalu banyak pekerja asal Indonesia. Mengapa demikian? Karena orang Malaysia tidak mencukupi untuk pekerjaan-pekerjaan yang bersedia dikerjakan oleh orang Indonesia. Jadi, cukup mengherankan jika pekerja Indonesia mau bekerja di Malaysia tapi kemudian dipukuli dan disuruh pulang setelah bekerja di Malaysia. Bagai habis manis sepah di buang.

Ah, Malaysia lagi...
Di Indonesia kita biasa mendengarkan musisi asal Malaysia dan kita mengapresiasi musik mereka dengan antusias. Siapa yang tak kenal Sheila Madjid, Amy Search, atau bahkan Siti Nurhaliza? Pernahkah kita melarang mereka tampil di Indonesia? Pernahkah kita larang lagu-lagu mereka diperdengarkan di radio-radio Indonesia? Untuk apa?! Karya seni hanya bisa diapresiasi jika memang layak kita apresiasi. Musik memiliki penggemar dan mereka memiliki selera sendiri. Jadi, jika kemudian Malaysia ingin membatasi musik Indonesia diperdengarkan di Malaysia, itu sama saja menunjukkan kedunguan sekaligus ketakutan yang luar biasa dari suatu bangsa yang mengaku "Truly Asia". Sungguh patutlah kita kasihani...