Thursday, June 10, 2004

Kisah Burung-Burung Pagi

Sempat terlintas di dalam kesadaranku, tentang kisah burung-burung pagi yang kuingin kau mendengarnya. Beginilah kisahnya:

Di suatu pagi, ketika fajar baru saja akan menyingsing. Semburat jingga mulai menghiasi angkasa dan menandakan pagi akan segera menjelang. Adalah burung-burung pagi yang ceria menyambut hangat sang mentari yang mengesankanku begitu rupa. Kicauan mereka laksana nyanyian dan senandung nan indah dan merdu. Tanpa henti, mengisi pagi dengan riuh kegembiraan penyambutan. Rasakanlah, kebahagiaan terdengar di seantero bumi.

Percayakah kau bahwa burung-burung pagi itu akan terus berkicau—bernyanyi dan bersenandung? Meskipun pagi telah sampai pada batas waktunya, dan siang telah menanti gilirannya; kita tak lagi mendengar nyanyian dan senandung burung-burung pagi namun sesungguhnya mereka tak pernah berhenti bernyanyi dan bersenandung. Mereka akan terus bernyanyi di dalam hati. Mereka akan menyusun lagu-lagu dan senandung baru yang lebih ceria dan gembira guna menyambut pagi keesokan hari. Rasakanlah pagi ini… dan pagi esok hari… dan pagi esok esok hari lagi. Mereka akan terus bernyanyi dan bersenandung tiada henti.

Demikianlah semangat dan harapan yang kusampaikan padamu lewat kisah burung-burung pagi. Kiranya Tuhan mengijinkan cinta dan semangat kasihku untukmu seperti kisah burung-burung pagi.

Disambut Pagi

Ah, tubuh ini terlalu terlena
Jika sekujur tubuh enggan terjaga tapi fajar telah memaksa
Mengintip dari balik bukit dan alam telah mulai dengan kerjanya
Aku masih mencoba memperpanjang masa.

Lalu apa artinya catatan ini?
Ia hanya mencoba mengatakan
bahwa setiap orang telah disambut pagi…

Dua Bintang dan Bulan Belum Purnama

(*Memandang angkasa malam)
Sayang, kemarilah. Mendekatlah ke sisiku.
Mari, lihatlah langit malam ini.
Perhatikan, kau lihat dua bintang yang berkerlip itu?
Kau juga lihat bulan yang belum bulat purnama tak jauh dari kedua bintang itu?

Perhatikanlah mereka.
Mereka adalah sahabatku.
Yang berarti sahabatmu juga.
Kala aku harus pergi sesaat lagi, biarlah
kedua bintang dan bulan belum purnama ini menemani malammu.
Rasakanlah hangat cahaya sang bulan.
Rasakanlah kilau kerlip sang bintang.
Itulah kehangatan dan kerlip gita cintaku untukmu,
sejak matamu terpejam dan selama di dalam mimpimu.
Hingga sang mentari membangunkanmu di pagi esok hari.
Sapalah mereka sebelum kau tidur, Sayang. Sapalah...
(*Wahai bintang dan bulan, aku titipkan pada kalian
sayangku untuknya. Terima kasih atas ketulusan kalian*)

Kerinduan

Kau bertanya, “Kau rindu padaku?”

Demi angin musim Februari, sejak musim lalu aku selalu merindukannya.
Apalagi saat kepergiannya duabelas purnama lewat.
Rindu telah membunuh kemilau pagiku.
Namun ia masih bertanya, “Kau rindu padaku?”

Demi badai menghempas pantai, sejak hujan mengganas hingga kini
aku selalu merindukannya. Apalagi saat kesendirianku
tak boleh diramaikan oleh bahagia selama ini.
Rindu telah mengasingkanku bagai pertapa. Namun
ia masih bertanya, “Kau rindu padaku?”

Malam terakhir di bulan Januari telah terang benderang.
Dan genangan air telah surut perlahan.
Kerinduan alam akan kehangatan telah terpuaskan meski hanya semalam.
Hingga kalau ditanya, “Kau rindu padaku?”,
bisa dijawab, “Telah kau penuhi”.

Demi pertanyaanmu, “Apakah seharusnya jawabku?”

Langit Yang Suram

Demi langit yang suram, hujan deras meluncur bagai tangisan kematian tiada akhir.
Sejak dini hari hingga kembali dini hari lagi.
Langit tetap suram dan aku terpaku di bumi
seolah ikut meratapi kematian tadi.

Demi langit yang suram, awan hitam berbaris rapat pekat
bagai jalan malam kelam. Sejak senja petang
hingga kembali senja petang lagi. Langit tetap suram dan
aku terdiam di bumi seolah perlahan menapaki jalan malam kelam tadi.

Demi langit yang suram, deras air jadi aliran banjir
luapan sedih anak sungai. Sejak hari ini hingga lewat esok hari lagi.
Langit tetap suram dan aku hanyut di bumi ini
seolah mengarungi aliran luapan sedih anak sungai tadi.

Demi langit yang suram, atau demi jiwa manusia yang suram?
Langit yang suram hanya musim, atau pertanda?
Aku manusia telah lupa akan bahasa cinta…

Secawan Api Yang Berkobar

Semua argumen dan penjelasan musnah—lenyap. Berguguran bagai prajurit tempur terbantai tanpa perlawanan. Mati dalam kesunyian kemenangan. Di tengah medan, dialah yang tersisa satu-satunya…

Secawan api yang berkobar kian hebat. Tak terkendali. Menyala dalam panas-terang siang hari, membakar dalam dingin-gelap malam hari. Menggerakkan, mengarahkan, menceritakan, memikirkan, dan menciptakan semuanya … tanpa visi, tanpa tujuan. Kecuali satu, kaulah yang hanya tampil menjadi teka-teki berserpihan.

Lidah-lidah api itu menjilati seluruh bangun jiwa dan raga. Boleh kalian jelaskan! Sementara semangat dan persembahan tak kan jadi lelah. Apapun perlawananku, semakin cepat memusnahkan harapan. Pertanyaan tak sempat mengemuka. Bibir hanya bisa menganga.

Kaulah yang terpandai, bisa menarik garis dan ruang untuknya. Tapi jilatan lidah merahnya tetap menghanguskan hasratku. Kaulah yang terhebat, mampu mengurai jawaban dan kebenarannya. Sedang kobaran panas baranya terus mengeringkan air mata. Tak ada kecewa, tak ada bahagia. Kau titahkan, akan kulaksanakan. Kau mohonkan, akan kusajikan. Rasa dan duka di mana?

Secawan api yang berkobar kini jadi tamu agung batinku. Penghuni jiwa pergi entah ke mana. Kupanggil-panggil mereka semua tak ada yang kembali. Sepi di kalbu namun pikuk hiruk di altar hidupku. Inikah namanya dosa-dosa kesalahan mencinta?

Tadi sejenak kuduga kau akan membantu … menemani. Tapi getir kenanganmu di masa lalu tentu tak kan sudi untuk sekedar singgah dan berlalu di medan perang hatiku. Sang Kala di luar sana yang paling bijaksana menjawabnya.

Osaka Bay

Inikah Osaka Bay? Salam kenal. Aku putra dari negeri belasan ribu pulau di Samudera Hindia. Di tanah kelahiran ibuku, aku biasa menemukan fajar menggeliat seperti yang kini ada di batas air asinmu. Bedanya hanya riakmu tampak lebih tenang dan burung-burungmu yang beterbangan di atas kepalaku tak kukenal namanya menjeritkan nada-nada asing yang menarik telinga dan hatiku.

Udaramu sejuk dan telah penuh mengisi paru-paruku. Dan permukaan air asinmu pun indah mengisi bayangan di bola mataku. Kau belai sabar kulitku dengan hembusan angin musim dingin menjelang penghujung tahun. Kesan pertama yang tak kan mungkin kulupa, seperti halnya jumpa pertamaku dengan ia, Cinta. Pantaslah, ia mengatakan bahwa betapa inginnya mengunjungimu. Maka, salamku darinya untukmu lewat catatan ini, Osaka Bay.

Di terminal K-JET ferry Osaka menuju Kobe. 07:05 (Osaka Time)

Tuesday, June 08, 2004

Tepat satu jam lewat waktu tengah malam

Kini tepat satu jam lewat waktu tengah malam. Seketika itu aku ingin bercerita banyak, namun kecepatan pikiran ini melebihi kemampuan seorang pendengar terbaik untuk bersabar mendengar keluhku. Ketika pikiran-pikiran tersebut cepat berlalu, menguap pula keluh itu jauh lebih ringan dari debu yang ditiup badai. Meski masih nyata terasa namun nelangsa yang ada menyumbat sekedar narasi pendek tentang kenapa di tepat satu jam lewat waktu tengah malam, malam ini aku ingin bercerita.

Hanya segelintir rangkaian rasa dan peristiwa yang bisa tersusun dalam frase menjadi kalimat tak utuh. Bukan pula jadi sebab atau akibat. Jangan tanya apa. Jika bisa kujawab bukan malam menjelang pagi ini waktunya bagiku untuk mencari bintang gemintang di balik mega mendung. Sebutir kecil bintang yang mereka bilang bisa menerangi temaram relung hatiku.

Aku tak menyalahkan juga mengeluh. Aku dikutuk, mungkin, untuk tak pernah mampu bercerita tentang apapun. Terlebih tentang diriku sendiri. Mengapa aku ada tepat lewat satu jam waktu tengah malam, malam ini?

Ah, jangan bicara menyoal jargon hidup. Tak usah pula mencari dan mengajak Tuhan lewat kata-kata-Nya yang belum, bahkan separuh, Kau mengerti maknanya yang sejati. Maka aku hanya bisa mengalihkan potongan-potongan kenangan yang kuingat sebelum tepat lewat satu jam waktu tengah malam, malam ini.

Kumohon

Kumohon siang segera menelan
Jiwa dan hati yang kelaparan
Akan penjelasan dan ampunan
Tapi tak satu pun ciptaan
Yang memberi pemberkatan

Aku mencari nurani
Sedang pagiku telah kehilangan arti
Dicabut oleh yang berkecewa semalam
Atau kumpulannya yang kian dalam

Belailah kening kepala
(tapi sudah enggan sekedar balik menyapa)
Sebelum kau hujam semangat durjana
Aku yang adalah durjana
Bila segera kirim aku ke neraka

Sementara kau sembunyikan
Panas siang yang bisa menelan
Jiwa dan hati yang keliaran
Hanya di matamu jadi kebencian

Kumohon siang segera menelan
Selamat datang neraka keabadian

Hujan Februari

Deras air jatuh dari langit
Membentengi jiwa yang sepi
Lihat dinding hujan hingga pagi ini
Pagi sunyi di bulan Februari

Lalu dimana rindu?
Sepi ini jadi riuh oleh gemuruh
Hujan pagi yang belum berhenti
Harapan tinggal jeritan lantang
Di tengah padang lapang
Tak ada yang menghadang
Tapi cinta jauh di lautan seberang

Sajak Pagi Yang Membenci

Apa kubilang…
Dalam sekejap cinta datang
Dan dalam sekedipan mata
Bisa jadi benci
Apabila itu yang kau bilang cinta
Ternyata itu hanyalah pencarian
Dan aku yang kau benci
Yang sebelumnya kau cinta
Adalah peta yang kau singgahi
Selepas untuk memastikan
Di mana cintamu dan siapa bencimu

Apa yang mereka bilang…
Kau mungkin hanya percaya pada keinginan
Aku percaya penuh pada kedatangan cinta
Meski kau benci aku seribu abad lagi
Atau hingga mati dan terlahir kembali berkali
Mesti kucoba untuk tetap mencintai
Benci boleh datang, tapi tak boleh menguasai
Tetapi di dirimu:
Dalam sekejap cinta datang
Dan dalam sekedipan mata
Bisa jadi benci

Hanya boleh bertanya
Ada apa di pagi ini
Kau datang dengan benci
Padahal pagi yang lalu
Benci kau katakan selalu
Tapi hari ini kau benar-benar bisu
Hilang seribu bahasa dan kalbu

Seperti menegaskan
Bahwa pagi pun
Datang membawa benci
Untukku …

Perahu

Tambatkan tali temali
Perahu yang melaju sejak dulu
Kini menemukan labuhan
Yang lama dicari dituju

Jangkarkan sauh selamanya
Wahai perahu pencarian
Jangkarkan di dermaga harapan
Pelabuhan yang menyambut
Adalah masa depan
Yang kini ada di hadapan
Dengan lagu nyiur di pantai
Bersamanya akan ada atap bernaung

Jangan bakar itu perahu
Beri tempat dalam kenangan
Perjalanan yang datangkan cerita
Rawatlah sang perahu
Agar bisa kelak nanti
Si kecil mengangkat jangkar
Berlayar di samudera hidup
Seperti sang nahkoda perahu dahulu

Di pantaimu…
Kami yang masih berlayar
Bisa melihat rumah mungilmu
Dan perahu yang tertambat di dermaga
Itulah tanda bahagiamu
Yang juga bahagia kami sekalian

*untuk madar*
depok, 7 feb 2003

Matahari Nyanyi Sepi

Matahari bagai nyanyi sepi
Melewati hari tanpa arti
Atau aku yang mati pagi
Ingin berlari sebelum siang pergi
Tapi patah sudah kedua kaki

Coba kau jawab, Malam
Mengapa gelapmu tampak kelam
Sedang matahari jadi suram
Dan wajahku jadi lebam
Diliputi dendam
Atau aku yang kejam
Tak mengerti diam
Tapi waktu menunggu aku enggan

Matahari masih nyanyi sepi
Dan aku sendiri terpatri
Atau sedang bunuh diri
Dari serpihan pagi
Yang sedari tadi
Hanya tahu menyinari
Hati yang terlucuti
Setelah hilang nurani

Matahari yang nyanyi sepi
Aku kini menunggu kekasihmu
Gelap malam yang kelam…

Hujan Pertama

Menjelang senja ini
Kucium hujan pertama nan wangi
Rerumputan yang dibasahi
Menebarkan aroma yang hampir kulupa
Saat bersamamu
Mengulangi jalan-jalan memercik
Di kaki-kaki kita

Sejak keberangkatanmu
Dalam panas terik sang mentari
Hanya air mata yang bisa menetes
Sedangkan awan gemawan hanya bisa
Melihat dalam alunan angin hari
Dan kulewati sepi
Sendiri

Meski hujan pertama telah menanda
Panas rindu masih seperti panas yang lalu
Mengeringkan semangat meski belum tamat
Masih ada hasrat tak ingin penat
Dimanalah aku bisa mengingatmu sangat
Kecuali berharap
Agar hujan pertama ini
Nanti kelak akan kian lama… lebih lebat

Negeri kekeringan
Aku pun kehilangan
Cintaku jauh di sana, kumohon janganlah lupa
Aku menunggumu di hati
Seperti panas hari
Menunggu hujan pertama, tadi
Di negeri ini


i love you, my first love…
29 july 2003

“after the first rain sweep the heat of our beloved earth”

setelah purnama malam ini

di tengah purnama malam ini
doa-doa kian terpanjatkan dari hati
mengantar perjalanan atman
yang terpanggil oleh Sang Kejauhan
doa-doa dari berbagai hati dan jiwa
boleh berbaur satu hari saja
demi kesedihan dan kecewa
mengapa?

di tengah purnama malam ini
tiada kata bisa (katanya) terucap dari diri
mengartikan kepasrahan kian
yang tak mampu menjawab tangisan
kutukan-kutukan untuk tindak kekejaman
bisa mengangkasa berminggu lalu saja
demi berita atau cita-cita
bagaimana?

setelah purnama malam ini
doa-doa akan kembali untuk sendiri
Dan, Aaah…
kata-kata yang tercekat
hanyalah berlangsung sesaat
dan kematian tragis di rumah bejat
tinggallah catatan akhir di penghujung tahun

setelah purnama malam ini
semua akan kembali seperti biasa
tak sampai satu purnama berikutnya
tak lama tanda kenang monumen akan berdiri
tak ada yang ingat dan merasa, semua melupa

siapa yang nelangsa, siapa yang merasa
mereka yang mati, bukanlah “kita”

[21102k*2]
“ … setelah doa bersama di malam purnama”