Semua argumen dan penjelasan musnah—lenyap. Berguguran bagai prajurit tempur terbantai tanpa perlawanan. Mati dalam kesunyian kemenangan. Di tengah medan, dialah yang tersisa satu-satunya…
Secawan api yang berkobar kian hebat. Tak terkendali. Menyala dalam panas-terang siang hari, membakar dalam dingin-gelap malam hari. Menggerakkan, mengarahkan, menceritakan, memikirkan, dan menciptakan semuanya … tanpa visi, tanpa tujuan. Kecuali satu, kaulah yang hanya tampil menjadi teka-teki berserpihan.
Lidah-lidah api itu menjilati seluruh bangun jiwa dan raga. Boleh kalian jelaskan! Sementara semangat dan persembahan tak kan jadi lelah. Apapun perlawananku, semakin cepat memusnahkan harapan. Pertanyaan tak sempat mengemuka. Bibir hanya bisa menganga.
Kaulah yang terpandai, bisa menarik garis dan ruang untuknya. Tapi jilatan lidah merahnya tetap menghanguskan hasratku. Kaulah yang terhebat, mampu mengurai jawaban dan kebenarannya. Sedang kobaran panas baranya terus mengeringkan air mata. Tak ada kecewa, tak ada bahagia. Kau titahkan, akan kulaksanakan. Kau mohonkan, akan kusajikan. Rasa dan duka di mana?
Secawan api yang berkobar kini jadi tamu agung batinku. Penghuni jiwa pergi entah ke mana. Kupanggil-panggil mereka semua tak ada yang kembali. Sepi di kalbu namun pikuk hiruk di altar hidupku. Inikah namanya dosa-dosa kesalahan mencinta?
Tadi sejenak kuduga kau akan membantu … menemani. Tapi getir kenanganmu di masa lalu tentu tak kan sudi untuk sekedar singgah dan berlalu di medan perang hatiku. Sang Kala di luar sana yang paling bijaksana menjawabnya.
No comments:
Post a Comment