Thursday, December 13, 2012

jam pelajaran

"Curriculum is more a process than a product. It should be emphasized at school level"
Slide 7, Bahan Uji Publik Kurikulum Baru 2013

Di posting sebelumnya, saya membahas sejarah perkembangan kurikulum pendidikan di Indonesia seperti disampaikan dalam Uji Publik Kurikulum Baru 2013. Di situ saya menekankan perihal seringnya kurikulum pendidikan di Indonesia berubah/diganti dan potensi masalah yang muncul akibat pergantian kurikulum yang periodik (atau musiman?). Sekarang mari kita coba lihat lagi persoalan lain di dalam kurikulum baru 2013.

Kita mulai dengan penggalan berita yang berjudul "Kurikulum 2013: Waktu Sekolah SD Tambah 10 Jam" di Harian Tempo Online. Penggalan berita yang menarik adalah sebagai berikut:
Siswa SD nanti belajar di sekolahnya kurang lebih 36 jam per pekan. Bertambah sepuluh jam dari saat ini yang hanya 26 jam per pekan. Siswa SMP yang selama ini belajar 32 jam di sekolah kini belajar 38 jam per pekan. Adapun siswa SMA relatif sama dan tak ada perubahan signifikan.
Selain itu, terkait jumlah mata ajar yang termaktub dalam kurikulum baru tersebut disebutkan,
Berdasarkan kurikulum baru, siswa SMP akan mendapatkan sepuluh mata pelajaran dari semula 12 mata pelajaran. Mata pelajaran muatan lokal dan pengembangan diri akan melebur dalam seni budaya dan prakarya. 
Adapun siswa SD yang semua mendapatkan 10 mata pelajaran berkurang menjadi enam mata pelajaran, yakni matematika, bahasa Indonesia, pendidikan agama, pendidikan jasmanai dan kesehatan, pendidikan pancasila dan kewarganegaraan, dan kesenian. IPA dan IPS menjadi tematik di pelajaran lainnya.
Menurut saya, penambahan jam pelajaran ini merupakan masalah mendasar dan paling serius yang muncul dari Kurikulum baru ini. Di dalam pengantar Uji Publik Kurikulum Baru 2013 secara tidak langsung sudah diklaim dan ditegaskan bahwa penambahan jam pelajaran adalah strategi yang akan dipilih. Tetapi apa alasan dan implikasi penambahan jam pelajaran bagi peserta didik, para guru dan sistem pendidikan secara luas tidaklah dibahas secara memadai.

Di pengantar tersebut disebutkan beberapa alasan pengembangan kurikulum 2013, yaitu antara lain:

  1. Kecenderungan banyak negara menambah jam pelajaran, misal: Amerika Serikat dan Korea Selatan
  2. Perbandingan dengan negara-negara lain menunjukkan jam pelajaran di Indonesia relatif lebih singkat
  3. Walaupun pembelajaran di Finlandia relatif singkat, tetapi didukung dengan pembelajaran tutorial

Tetapi, ironisnya, ketiga alasan tersebut tidak tepat untuk dijadikan dasar memutuskan bahwa jam pelajaran di Indonesia kurang sehingga harus ditambah. Berikut argumen saya.

Alasan pertama dan ketiga sebenarnya saling terkait dan penting untuk diperhatikan. Di kurikulum baru 2013, tidak ada kajian secara ilmiah tentang mengapa Amerika Serikat dan Korea Selatan menambah jam pelajaran. Padahal, jika Indonesia ingin meniru strategi penambahan jam pelajaran, seharusnya Indonesia juga mengerti apa latar belakang pemilihan strategi tersebut sekaligus mengerti apa syarat, kondisi dan tantangan dari pemilihan strategi tersebut. Jika dikaitkan dengan pengalaman Finlandia seperti disebut dalam alasan ketiga, sebenarnya yang perlu dikaji lebih lanjut adalah bukan berapa lama (jam) para peserta didik dan para guru harus menghabiskan waktu di sekolah. Melainkan, dari setiap jam aktivitas di sekolah para peserta didik dan para guru harus melakukan apa saja agar proses belajar mengajar bisa efektif. Dengan kata lain, yang perlu dirumuskan adalah alternatif-alternatif proses belajar mengajar yang sesuai dengan setiap tingkatan pendidikan bukan sekedar menambah jam pelajaran dan atau jenis mata pelajaran.

Alasan kedua yang mungkin lebih sulit dipahami dan cacat argumen. Jika memang jam pelajaran di Indonesia relatif lebih singkat, apakah bisa dipastikan berapa jam pelajaran yang ideal/tepat yang harus dijalani para peserta didik (dan guru) di Indonesia? Sebuah studi yang dilakukan oleh Dr. Daniel Suryadarma menunjukkan bahwa sesungguhnya rata-rata jam pelajaran di Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan negara-negara lain. Grafik dibawah menunjukkan fenomena tersebut, dengan mengambil contoh jam pelajaran matematika dibandingkan dengan Malaysia, Singapura dan Thailand.

Sumber: The Quality of Education in Indonesia

Studi dari Dr. Suryadarma tersebut membuktikan bahwa alasan jam pelajaran di Indonesia terlalu singkat tidaklah sahih dan cenderung dipaksakan. Studi tersebut juga menunjukkan bahwa masalahnya bukanlah pada berapa lama para peserta didik harus belajar dan menghabiskan waktu di sekolah melainkan kualitas setiap jam yang mereka jalani di sekolah. Ini membuktikan bahwa para perancang dan pengusul kurikulum baru 2013 ini sangat sempit pikiran dalam memandang proses belajar hanya dari jumlah jam pelajaran dan jumlah mata pelajaran.

Tidak bisa dipungkiri bahwa cara pandang dan perhatian kita terhadap strategi pendidikan harus mulai diubah dari aspek kuantitas ke aspek kualitas. Jika Kementerian Pendidikan meyakini bahwa menambah jam pelajaran dan mata pelajaran (aspek kuantitas) akan mampu meningkatkan capaian pendidikan di Indonesia, maka ini adalah keyakinan yang salah. Jika keyakinan ini yang dianut, maka fatal sekali bagi dunia pendidikan di Indonesia. Banyak pendapat para ahli menyebutkan bahwa beban pelajaran dan jam sekolah yang panjang memiliki dampak negatif pada siswa. Selain itu, dari sekian banyak perubahan kurikulum pendidikan di Indonesia hampir semuanya berkutat pada perubahan-perubahan yang bersifat kuantitas dibandingkan kualitas di dalam proses belajar mengajar.

Bahan Uji Publik Pengembangan Kurikulum 2013 ini menunjukkan bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan masih hidup dalam paradigma yang sempit dan tidak progresif. Hal ini patut disayangkan dan disesali. Saya agak pesimis bahwa konten Pengembangan Kurikulum 2013 ini akan berhasil membawa perubahan berarti yang penting bagi dunia pendidikan di Indonesia. Pengembangan Kurikulum 2013 ini tampak seperti proyek pendidikan semata; sama sekali tidak ada unsur pengembangan pendidikan bagi generasi masa depan Indonesia. Kurikulum 2013 ini akan berakhir seperti kurikulum-kurikulum sebelumnya, dianggap tidak memadai lalu diubah dan dibongkar pasang di sana sini. Dan mungkin, para pelajar di Indonesia kelak harus menginap di sekolah karena jam pelajarannya selalu dianggap kurang. Saya prihatin dengan apa yang sudah dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terhadap para pelajar dan para guru di Indonesia.  

Kerap kita memerlukan sesuatu yang kuno dan tua untuk kita terus pelajari; kadang kita juga memerlukan sesuatu yang baru. Namun, kita tidak memerlukan sesuatu yang rusak. Kurikulum 2013 ini adalah salah satu contoh sesuatu yang rusak sejak dari awal idenya. Dan Indonesia sangat tidak membutuhkan itu.


Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Wednesday, December 05, 2012

perkembangan kurikulum


Gambar di atas saya dapatkan dari Bahan Uji Coba Publik Kurikulum 2013 yang saat ini sedang diperkenalkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jika Anda tertarik untuk mempelajari detil kurikulum 'baru' tersebut, bisa ikut serta memberikan pendapat dan masukan. Saat ini saya masih mempelajari dan membaca detil kurikulum tersebut secara lebih komprehensif. Namun, berdasarkan Pengantar yang diuraikan dalam materi tersebut, kesan pertama saya adalah kurikulum ini tidak jelas dan sangat memberatkan tidak hanya para siswa namun juga para guru. Saya akan segera bahas hal tersebut di kesempatan berikutnya.

Sekarang, saya hanya ingin menelaah secara sederhana tentang perkembangan kurikulum di Indonesia. Seperti terlihat pada slide nomor 4 di atas, selama kurun waktu 66 tahun (1947-2013) telah terjadi pergantian kurikulum sebanyak 11 kali (termasuk yang saat ini sedang diujicobakan). Apa yang bisa kita lihat dari perkembangan tersebut? Sederhana saja. Di Indonesia kurikulum berubah (diubah) setiap (rata-rata) 6 (enam) tahun sekali. Jika kita hitung rata-rata tahun antar perubahan kurikulum tersebut, kita bisa dapat angka rata-rata 6.6 tahun atau hampir 7 tahun sekali.

Angka 6 tahun bisa dianalogikan sebagai lamanya tahun bersekolah untuk tingkat sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) plus atas (SMA). Artinya, Kementerian Pendidikan (dan Kebudayaan) hampir selalu merubah kurikulum setiap satu kohor (generasi) SD atau SMP+SMA. Apakah ini suatu masalah? Mungkin tidak jika kita hanya memperhatikan satu generasi saja. Tapi, menurut saya, ada masalah yang pelik ketika setiap kohor enam tahunan, setiap siswa (dan para guru) harus menghadapi perubahan kurikulum. Sederhananya, seorang siswa selama masa sekolahnya jika mengikuti wajib belajar 9 tahun plus SMA (jika mampu melanjutkan ke SMA) pasti akan mengalami minimal 2 kali pergantian kurikulum. Ini sungguh tidak sehat bagi si siswa pun guru karena setiap perubahan kurikulum lebih banyak berdampak pada proses belajar yang terus berubah. Padahal, proses belajar sendiri adalah sebuah proses yang membutuhkan kejelasan dan ketenangan. Jika perubahan kurikulum ini hampir pasti selalu dialami oleh setiap generasi siswa dan guru di Indonesia maka yang akan pasti kita lihat adalah proses adaptasi secara terus menerus yang dilakukan oleh para siswa dan guru tersebut - bukan proses belajar.

Selain konsekuensi proses adaptasi versus proses belajar, perubahan kurikulum yang terlalu sering juga berdampak pada ketidakjelasan biaya yang dihadapi oleh para orang tua dan juga pemerintah serta strategi investasi yang tidak efektif. Setiap perubahan kurikulum pasti membutuhkan biaya baru untuk mengubah buku dan materi ajar lainnya. Belum lagi jika kurikulum yang mewajibkan sarana pendidikan lain yang bersifat investasi fisik seperti perpustakaan, laboratorium, sarana praktek dan sebagainya. Jika kurikulum berubah setiap 6 tahun, berarti selama periode tersebut diperlukan modal investasi yang dibelanjakan selama satu periode kurikulum. Kemudian, di periode kurikulum baru berikutnya dibutuhkan lagi modal investasi baru untuk kurikulum berikutnya. Orang tua harus dihadapkan pada fakta bahwa setiap kurikulum baru mereka harus membeli buku, lembar kerja dan materi ajar baru. Tidakkah ini pemborosan?

Terakhir, perubahan kurikulum yang relatif sering seperti ini, sebenarnya mengindikasikan ketidakjelasan visi dan misi pendidikan di Indonesia. Apa yang dilakukan kementerian ini jauh lebih buruk dari strategi pabrik atau industri yang terus mencoba memperbaharui teknik produksi atas suatu produk barang atau jasa. Industri saja membutuhkan belasan tahun untuk 'belajar' (riset dan pengembangan atau R&D) sampai akhirnya mampu menghasilkan produk baru serta menemukan proses produksi yang lebih baik. Lalu, mengapa dalam hal mendidik dan mencetak mutu modal manusia (human capital) proses perubahan harus dilakukan dalam waktu yang relatif singkat? Selain itu, di manakah kajian serta evaluasi atas pencapaian dari setiap kurikulum lama/baru yang pernah digunakan di Indonesia? Jangan-jangan, sebenarnya jika Indonesia tidak mengganti kurikulum selama, sebut saja 17 tahun (seperti periode 1947-1964) tidak akan berdampak buruk bagi dunia pendidikan Indonesia.