Thursday, December 21, 2017

quote of the day

If we didn't see it with our own eyes or hear it with our own ears, don't invent it with our small mind and share it with our big mouth.

Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Tuesday, December 12, 2017

Quote of the day

"No matter how far we come, our parents are always in us." 
~Brad Meltzer

Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

parents

Never forget your parents...They are the reason why you are who you are. #mom #dad #love #parents

Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Friday, December 08, 2017

My Father

"My father didn't tell me how to live. He lived and let me watched him do it." 
~C.B. Kelland 

I love you, Dad ❤️
RIP

Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

true love

"True love doesn't have a happy ending... Because true love doesn't end."
*In memoriam of true love who gave me precious life ðŸ’‘
I love you both, Mom and Dad
RIP

Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Sunday, December 03, 2017

My Mother

"Men are what their mothers made them." 
~Ralph Waldo Emerson

I love you, Mom ❤️
RIP

Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Friday, March 24, 2017

Happy postgrad for Reksa!

Menjadi pengajar/dosen memberikan kebahagiaan sederhana dengan siklus tanpa henti. Kebahagiaan pertama adalah saat kuliah, mahasiswa menikmati dan membicarakan materi kuliah dengan gembira. Kebahagiaan berikutnya adalah saat mereka akhirnya lulus mata kuliah tersebut. 
Kemudian, di kesempatan berikutnya kita bertemu lagi membahas materi yang sama namun lebih aplikatif lalu melanjutkannya menjadi topik skripsi. Di sini kebahagiaan terbesar adalah saat kita belajar bersama. Kebahagiaan ini bertambah ketika mereka lolos dalam konferensi internasional dan mempresentasikan materi skripsi tersebut. Puncak kebahagiaan dalam siklus perkuliahan adalah ketika si mahasiswa akhirnya berhasil mempertahankan skripsinya dan meraih gelar sarjana.
Setelah si mahasiswa mengisi pasar kerja, kebahagiaan saya belum berakhir ketika akhirnya kita bisa bekerja sama sebagai kolega. Posisi kita sekarang setara dan lebih dinamis. Banyak pengetahuan baru yang bisa dikejar bersama. Kebahagiaan ini masih berlanjut saat mendengar si mahasiswa akhirnya berhasil mendapatkan beasiswa yang diinginkannya untuk melanjutkan kuliah ke kampus yang bonafide. 
Proficiat untuk Rachmat Reksa! Selamat datang di dunia 'postgrad'. Pergilah mencari mahaguru lain yang lebih mumpuni. Temukan dunia yang lebih luas. Saya bangga pernah kuliah, belajar dan bekerja bersamamu. Tetaplah semangat belajar dan menikmati Hawai'i. Be humble and reach the stars, mate! Aloha Hawai'i 

Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Wednesday, January 18, 2017

Catatan belanja harian Ibu

Catatan belanja harian Ibu pada tahun 1977. #momlife #love

Yang memprihatinkan ketika kita menjadi dewasa adalah kita kerap melupakan kenangan masa kecil kita. Itulah sebabnya, selain foto-foto dan video, catatan-catatan harian seperti diary bisa menjadi media memanggil memori kita. 

Foto ini adalah kenangan dari Ibu terutama di masa-masa awal Ibu menetap di Jakarta. Ini adalah catatan belanja harian yang Ibu lakukan pada saat saya baru berumur lebih kurang setahun. Catatan ini bisa memanggil sebagian kenangan tentang Ibu saat saya masih kecil.

Saya ingat bagaimana Ibu bertahan hidup di Jakarta dengan kondisi apa adanya. Ketika itu, Bapak sering tugas ke luar kota dan meninggalkan Ibu berhari-hari. Dengan anggaran terbatas, Ibu mampu mencukupi kebutuhan saya serta beberapa paman yang ikut tinggal dengan keluarga kami. Saya masih ingat Ibu kerap membuat kue mangkok dan dititip-jual di beberapa warung sekitarnya. Saya tahu betapa teliti Ibu dalam pekerjaannya, tapi catatan belanja ini membuktikan bahwa ketelitian tersebut bukan main upayanya. Setiap hari (per tanggal) Ibu mencatat detil belanja harian yang dilakukannya. Luar biasa!

Catatan sejenis ini masih bisa saya temukan menjelang akhir hidup Ibu. Meskipun isinya bukan lagi belanja untuk makanan harian melainkan belanja terkait kursus keterampilan yang dikelolanya. Melihat gaya seperti ini, tidak heran Ibu suka kesal apabila anak-anaknya kurang perhatian terhadap detil-detil hidup. Ibu juga jago matematika, terutama menghitung pecahan. Skill tersebut terbukti efektif ketika Ibu membuat pola baju dan menghitung ukuran pakaian yang akan Ibu jahit. Saya sudah sering kena kritik Ibu ketika lambat berhitung atau malah salah menghitung uang. Sungguh memalukan, apalagi kemudian anaknya ini kuliah di Fakultas Ekonomi. Dan kritik tersebut terbukti ketika saya harus mengulang Pengantar Akuntansi 2 sampai 4 kali; serta sekarang bertugas menjadi Wakil Kepala Bidang Administrasi dan Keuangan. Ibu sepertinya tidak rela jika saya mengurangi latihan berhitung dan kurang menjaga ketelitian dalam bekerja.


Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Si Alex








Working on cars teaches us patience... and every curse word imaginable #dadlife #love
Foto-foto ini saya ambil ketika Bapak akhirnya memutuskan untuk menjual mobil kesayangannya pada tahun 2016 yang lalu. Rencananya, foto-foto ini akan saya muat di OLX atau website penjualan mobil lainnya agar Bapak bisa mendapatkan pembeli yang bersaing. Tapi ternyata mobil tersebut akhirnya dijual ke salah satu tetangga yang sering sekali Bapak ajak ngobrol secara akrab. Beliau bilang, "[Dia] sudah lama nanya-nanya si Alex jadi gak apa-apa deh yang penting pembelinya pasti merawat dan sudah tahu mobil ini."
Alex adalah panggilan kami untuk mobil ini karena karoserinya bernama Alexander. Ini adalah Suzuki Carry Extra 1.0 keluaran tahun 1996. Alex adalah mobil pertama (dan terakhir) yang Bapak beli dari kondisi baru. Sebelumnya, Bapak punya mobil second hand bermerek Daihatsu Hijet 1000cc, warna merah, keluaran tahun 1986; mobil pertama yang saya gunakan untuk belajar mengemudi. Bapak membeli mobil Alex secara kredit dan beliau merawat mobil ini dengan sepenuh hatinya. 
Alex sangat sering menempuh perjalanan jauh, terutama Jakarta-Bali pulang pergi. Saking seringnya, Bapak sering guyon, "Jika si Alex ditepok pantatnya, pasti dia bisa jalan sendiri ke Ketapang sampai nyebrang Gilimanuk dan balik ke Jakarta tanpa tersesat saking seringnya." Alex dibeli dalam keadaan standar, tapi kemudian Bapak melengkapinya secara perlahan namun pasti. Alarm dan central lock dengan remote control, Velg semi racing, AC double blower (percaya atau tidak, AC-nya masih dingin sampai terakhir dilepas ke pemilik barunya), lampu kabut, klakson variasi, dan kondisi interior terawat. Hampir setiap hari, Bapak memeriksa dan memastikan Alex dalam kondisi laik jalan. Alex hanya 3 kali masuk bengkel resmi ketika masih ter-cover jasa pelayanan gratis. Setelah itu, tangan Bapak sendiri yang merawatnya dari ujung kolong knalpot belakang hingga sekujur cat di body-nya. 
Bapak memang memiliki keterampilan tangan yang luar biasa. Apa pun yang rusak, bisa beliau perbaiki. Bapak hanya lulusan STM, tapi kalau menganalisis dan memperbaiki kerusakan barang-barang elektronik atau mesin, bisa diadu dengan mereka yang mengaku insinyur atau mekanik resmi. Kadang beliau sedikit jumawa, "Kalau cuma mesin mobil atau motor, itu seperti kotak korek api bisa ditelan sekaligus." Kejumawaan tersebut karena pekerjaan Bapak sebelumnya adalah teknisi mesin disel berkapasitas besar, untuk pembangkit listrik atau mesin kapal laut serta mesin-mesin truk angkut. Dalam pekerjaannya, tidak boleh ada kata "tidak bisa!" karena mesin-mesin yang diservis atau diperbaiki mempengaruhi hajat hidup bisnis banyak orang. 
Sebenarnya Bapak ingin anak laki-laki satu-satunya ini bisa seperti beliau. Sejak kecil, Bapak sering mengajak saya nge-bengkel. Mulai dari memperbaiki elektrikfikasi hingga turun mesin atau ganti plat kopling. Saya tidak pernah betah dengan kegiatan tersebut, bukan karena tidak suka dengan mobil atau mesin-mesin tapi tidak tahan dengan kesabaran Bapak memecahkan persoalan mekanik yang dihadapi. Bapak bisa nge-bengkel hingga larut malam apabila perbaikan yang beliau inginkan belum tercapai dengan kualitas maksimal. Beliau perfeksionis jika urusan kerapihan dan ketepatan fungsi mesin atau elektronik. Pernah suatu ketika, Bapak membeli alarm mobil dan membiarkannya si penjual yang memasangnya. Begitu sampai di rumah, hasil pemasangan itu diperiksanya dan langsung dibongkar lagi keesokan harinya karena menurut Bapak, pemasangannya tidak bagus dan bisa membahayakan jaringan listrik di mobilnya. Ya ampun! Kali berikutnya adalah pemasangan karpet peredam dan kulit untuk jok mobil saya juga pernah beliau lakukan sendiri karena tidak percaya dengan kualitas pengerjaan penjualnya. Pengecatan body mobil ketika ada penyok atau kerusakan cat, Bapak lakukan sendiri. Di garasi mobil, peralatan bengkelnya hampir lengkap untuk buka bengkel resmi. 
Urusan disiplin berlalulintas Bapak juga tidak pernah santai. Bapak tidak pernah mengizinkan saya membawa motor atau mobil ke jalan raya saat saya belum punya SIM. Bapak hanya mengizinkan saya mengeluarkan mobil dari garasi atau memasukkannya. Untuk motor, saya pasti didampingi Bapak jika keluar rumah hanya sampai ke gang di ujung jalan. Waktu saya ingin mendapatkan SIM, Bapak juga melarang saya melalui jalur "nembak". Maka, terjadilah proses 3 hari mengajukan permohonan SIM. Ketika saya akhirnya boleh mengemudi mobil pun, beliau tidak berkurang rewelnya soal gaya saya mengemudi. Dan, ini yang penting, patuhilah rambu-rambu lalulintas. Betul, Bapak tidak pernah sekali pun 'santai' dengan aturan lalulintas. Si Alex, meskipun mobil tua, memiliki standar kelengkapan yang maksimal: segitiga pengaman, kotak P3K, bahkan alat pemadam api tersedi di dalamnya. Sekali lagi, Bapak tidak pernah santai kalau urusan keselamatan dan aturan. Alex adalah saksi nyata bagaimana Bapak menjalani 'tour Jakarta-Bali' sekitar 3-4 kali dalam setahun dimana setiap kilometer perjalanan Bapak selalu penuh perhitungan, perencanaan dan disiplin tinggi.

Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Monday, January 09, 2017

Pentingnya Pendidikan


Foto ini merupakan sebuah 'remark' dari Ibu kepada kami anak-anak dan cucu-cucunya tentang betapa pentingnya pendidikan.
Ibu hanya lulus SKKA (sejenis SMEA atau SMK saat ini) sebelum menikah dan bermigrasi ke Jakarta. Seumur hidupnya, Ibu tidak pernah lelah atau bosan mendorong kami anak-anaknya untuk terus sekolah. Masih terngiang di kepala setiap kata-kata beliau, "Gak apa2, Ibu hanya sekolah sampai sini, tapi anak-anak Ibu harus sekolah setinggi mungkin." Di antara 12 saudara, Ibulah satu-satunya yang tidak sampai mengenyam perguruan tinggi. Di antara keluarga besar, selalu ada kesan Ibu dan Bapak agak dikecilkan karena pendidikannya. Tapi Ibu tidak pernah menyerah. 
Ibu mengambil kursus menjahit dan berbagai kursus ketrampilan tanpa henti! Semua tingkatan ijazah Ibu miliki bahkan sertifikat asesor pun diraihnya tanpa batas! Ibu juga membuka kursus sendiri dan membuat berbagai program kursus baik yang berbayar maupun dengan program beasiswa. Di sinilah jiwa sosial Ibu begitu menonjol. Setelah semua sertifikat diraihnya, pada umur yang sudah lewat 45 tahun, tiba-tiba Ibu bilang ingin kuliah. Ternyata Ibu terus menyimpan semangatnya untuk kuliah dan berusaha mewujudkannya. Entah bagaimana caranya, Ibu dapat beasiswa untuk meraih gelar S1 di bidang pendidikan keguruan. Tidak berhenti sampai di situ, Ibu juga langsung lanjut ke S2. Salute!
Untuk seseorang yang sudah cukup lama tidak masuk ke bangku sekolah, Ibu berjuang keras dengan pola standar belajar saat ini. Tapi Ibu tidak menyerah! Ibu berusaha belajar menggunakan laptop, membuat presentasi dengan powerpoint, dan menggunakan smartphone untuk mengirim email. Tentu Ibu banyak dibantu asisten-asisten dan murid-muridnya. Tapi, Ibu tidak pernah menyerah dan bilang "tidak bisa!". Ibu selalu bilang "Jika memang mau, pasti ada caranya."
Ibu menunjukkan pada anak-anaknya dan pada dunia bahwa tidak ada batasan umur untuk belajar dan meraih pendidikan. Mungkin dari Ibulah saya mendapatkan semangat untuk terus berguru dan menjadi guru. Terima kasih banyak, Bu atas bimbingan dan semangat belajarnya!

Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Friday, October 30, 2015

Parenting dan Website Sampah

Kami baru saja belajar hal yang cukup penting dan pelajaran yang kami terima juga cukup 'menyakitkan'. Pelajaran yang bisa kami ambil adalah jangan pernah memuat (publish) foto anak-anak Anda di website seperti blog atau yang sejenisnya. Jika pun Anda masih tetap ingin berbagai foto-foto lucu anak Anda, berikan penanda hak cipta (copyright signature) dan cap (watermark) di foto tersebut. Mengapa? Karena banyak sekali pencuri-pencuri foto anak dan juga pencuri materi-materi tulisan di internet. Tidak sedikit website-website dan page Facebook yang memuat artikel beserta foto-foto yang tidak jelas sumbernya dari mana. Tapi, sekarang kami mulai paham dan mengetahui bahwa artikel-artikel tersebut diambil tanpa izin atau pun pemberitahuan sama sekali dari sumber-sumber yang sebenarnya baik.

Pelajaran lain yang penting buat kami juga adalah betapa menjadi orang tua (parenting) sekarang begitu menantang. Bukan hanya karena anak-anak kita sebenarnya makin cerdas dan hebat, tetapi juga karena menjadi orang tua sekarang sangat sulit. Di satu sisi, kita perlu terus belajar dan mengetahui bagaimana trik atau tips parenting yang baik. Tapi di sisi lain, kita juga disuguhkan oleh berbagai informasi yang simpang siur dan sulit diverifikasi.

Di luar sana, sekarang banyak orang yang mengaku ahli dan pakar parenting. Mulai banyak bermunculan pakar psikologi anak, pakar komunikasi anak, ahli ini dan itu yang bicara tentang bagaimana mengasuh anak dan/atau membuat anak Anda menjadi anak pintar, sehat, jagoan dan sebagainya. Para pakar tersebut juga muncul di berbagai website, page, atau media sosial internet lain seperti Twitter, dan sebagainya. Beberapa di antara mereka memang orang-orang yang sungguh ahli di bidangnya, tapi banyak diantaranya yang sebenarnya tidak jago-jago amat selain mereka tahu mencari materi-materi kepakaran tersebut dari berbagai media internet. Apalagi kemudian diimbuhi dengan sedikit aspek-aspek keagamaan maka semakin hebat dan 'suci'-lah metode pengasuhan yang disampaikan oleh sang ahli atau pakar. Singkat kata, sekarang banyak para ahli dan pakar yang sebenarnya being expert by Google.

Akibat dari mendengarkan dan mempercayai expert by Google ini, kita juga mencari dan menemukan berbagai artikel yang ditulis dari kutipan berbagai hasil penelitian atau buku. Tapi, sayangnya artikel – yang biasanya ditulis oleh ghost writer mereka – tidak ditulis dengan kaidah penulisan yang baik dan benar. Artikel tersebut jarang (kalau tidak mau dibilang tidak pernah) mengutip (quote) sumber aslinya. Dan mereka juga mengambil foto atau gambar dari sumber-sumber yang mereka tidak minta izin sebelumnya atau tidak menyebutkan sumbernya dari mana. Hal ini kemudian diperburuk oleh para orang tua, pembaca dan para peminat parenting yang malas membaca dengan seksama serta kritis terhadap sumber-sumber yang digunakan oleh artikel tersebut. Selama artikel tersebut mendukung opini yang mereka sudah percayai sebelumnya, serta merta artikel tersebut disebar (share). Dan gelombang berbagi berikutnya pun terjadi yang berarti gelombang ketidakpedulian dan kecerobohan (kalau tidak mau dibilang kebodohan) kembali berulang dikalangan para orang tua, pembaca dan peminat parenting tersebut. Ini sungguh menyesakkan. Sungguh memprihatinkan bahwa banyak orang yang ingin belajar sebagai orang tua yang baik, tapi kita mendapatkan informasi dan pengetahuan dengan cara yang tidak baik. Banyak yang belajar menjadi orang tua yang baik tapi tidak mau bersusah payah belajar untuk kritis dan peduli pada hal-hal sederhana seperti hak cipta dan originalitas.

Kami belajar bahwa menjadi orang tua (parenting) yang baik, bukanlah soal label atau apa yang ideal berdasarkan pikiran orang lain. Betapa pun banyaknya hasil penelitian yang membuktikan suatu cara parenting adalah baik, pada akhirnya yang terpenting adalah bagaimana interaksi Anda sebagai orang tua dengan anak Anda sendiri. Yang terpenting adalah Anda belajar terus tanpa henti mengenal dan memahami anak Anda, karena itu pun yang terus dilakukan oleh anak Anda terhadap orang tuanya. Anak belajar banyak dari orang tua, mereka melihat orang tua mereka sebagai panutan (role model) oleh karena itu jadilah panutan yang baik, bukan menjadi pengikut para "expert" yang membuta. Para "expert" tersebut bisa saja bicara banyak hal yang seolah-olah menunjukkan cara parenting kita masih belum atau sudah ideal/benar, tapi mereka bukan orang tua dari Anak kita.

Jadi, ada beberapa hal yang bisa dilakukan dan perlu diperhatikan:

  1. Seksamalah ketika membaca berita-berita dan artikel-artikel tentang parenting. Apa yang setuju dengan ide Anda belum tentu didasarkan atas pemikiran yang teruji karena kebanyakan itu hanyalah opini atau kesimpulan sepihak dari penulis yang tentu apriori terhadap suatu permasalahan atau solusi.
  2. Di luar sana, banyak artikel yang memuat informasi sampah yang sulit diverifikasi serta hanya memuat informasi sepotong-sepotong. Jangan mudah percaya pada artikel parenting yang memulai atau menunggakan kata-kata "inilah parenting yang baik" atau "inilah parenting yang salah". Artikel tersebut tidak berniat berbagi informasi melainkan ingin menghakimi Anda sebagai orang tua. 
  3. Salah satu ciri-ciri artikel parenting sampah adalah tidak menyebutkan sumber kajian atau studi yang dikutip. Padahal, saat ini banyak studi dan kajian parenting yang dilakukan dengan metode ilmiah yang teruji sudah dipublikasi di media-media ilmiah online. Artinya, jika artikel parenting yang baik ditulis dengan niat yang baik maka pasti menyajikan sumber rujukan bacaan, kajian atau studi yang digunakannya sebagai dasar argumen.
  4. Ciri-ciri lain yang penting dari artikel parenting sampah adalah menggunakan foto-foto anak-anak. Yang lebih parah dari ciri-ciri ini adalah mereka menggunakan foto anak-anak tanpa menyebutkan sumber foto tersebut. Website atau artikel parenting yang begini hanya ingin menjual sensasi foto anak-anak yang lucu dan menggemaskan. 
  5. Ciri-ciri artikel parenting yang baik adalah yang memuat siapa penulisnya dan afiliasinya. Website atau page group tempat artikel tersebut dimuat memiliki administrator yang jelas dan merespon jika dihubungi. Jika kedua kriteria tersebut tidak ada, maka sudah pasti itu artikel parenting sampah dan berbahaya bagi masyarakat. 
  6. Terakhir, jangan latah berbagi berbagai artikel atau berita atau website tentang parenting. Jika pun Anda ingin berbagi artikel atau berita atau website yang menurut Anda baik, bagikanlah langsung kepada orang-orang yang menurut Anda relevan dan tertarik. 



Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Saturday, November 01, 2014

Farewell my lovely MacBook White

It's been six years when I first join the bandwagon of Apple user. It was when I bought my first MacBook and I am proud to call as a 'Mac User'. Since then, I am an avid user of all Apple product and I am very satisfy with all of them. That feeling mostly apply for my MacBook series.

I am happy to try several Apple products, especially MacBook from MacBook Air, MacBook Pro (aluminium body) and the latest one MacBook Pro with Retina Display. Yet, my MacBook White, which has plastic body, is the most favourite and loveable one. It was the most beautiful laptop in her time, I always proud to open it in public or even in my solitude moment.

Six years seems long enough and I believe my MacBook White still could serve even more. However, sometimes you need to let go something that so loveable to be in others' good hand. I rarely used her recently simply because her specification become less reliable given current progress in technology and overall features. Not to mention that I need the return on investment (yes, it is the money!) from using computing technology for my future work. Therefore, I decided to let go of this beautiful white MacBook to stay in a new owner.

I let go all of her follower and related support (read: accessories and peripherals). And, I know I deeply thankful for all six years services of her. Thank you and farewell my lovely MacBook White!
Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Saturday, June 28, 2014

Ultracrepidarianism

"Ultracrepidarianism: the habit of giving opinions or advice on matters outside of one's knowledge or competence."
A self reminder that just because you're great at something doesn't mean you're good at everything. So, don't hesitate to say 'I don't know'.

Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Sunday, August 04, 2013

'Siapa cepat dia dapat'

Suatu ketika di sebuah Alfamart di daerah jalan raya Sragen-Ngawi. Saya baru saja memilih sebuah minuman segar dan sebuah permen penyegar tenggorokan untuk saya beli. Ketika saya sampai di kasir, saya lihat ada seorang bapak dan anak laki-laki kecil yang sibuk membayar belanjaannya. Saya pun berdiri dengan niat antri di belakang si bapak yang sibuk memeriksa isi belanjaannya. 

Jarak saya berdiri dengan si bapak relatif dekat, hanya sejauh satu lengan merentang. Pokoknya cukup agar beliau bisa bergerak mundur jika sudah selesai di meja kasir. Saya pikir, posisi antri saya tersebut sudah cukup etis.

Namun, hanya beberapa detik menjelang si bapak beranjak dari meja kasir, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki muda atau Mas (kira-kira sebaya dengan saya sendiri) dan mengisi jarak sejauh satu lengan merentang antara saya dan meja kasir yang hampir kosong ditinggalkan si bapak pembeli sebelumnya. Si Mas tersebut punya ciri khas yang sangat kental, wajah yang religius dan kostum serta atribut keagamaan yang kental. Tak perlu lah saya gambarkan secara detil. Kurang etis dan mungkin tidak relevan. Si Mas tersebut membeli beberapa tablet hisap vitamin C dan langsung menyodorkannya ke mbak kasir. Mbak kasir menerimanya... 

Sungguh, saya tidak dongkol atau kesal. Jelas saya terkejut, tapi saya mulai paham dan 'mati rasa' melihat polah semacam ini. Saya sedikit tertawa geli sebelum akhirnya tak tahan untuk bertanya ke si Mbak Kasir

"Mbak, di daerah sini tidak perlu ada antrian ya?", tanya saya dengan tatapan mata dan senyum langsung ke arah si Mbak. 

Si Mbak Kasir tampaknya paham apa maksud pertanyaan saya dan sedikit gelagapan untuk menjawab. Sebelum si Mbak sempat menjawab, ternyata si Mas menjawab sambil tersenyum dengan nada bicara bangga,

"Siapa cepat dia dapat, Mas" 

"Oh ya?", kali ini saya terkejut tapi tetap tidak marah. Malahan saya kagum dengan jawaban si Mas tersebut. Ia menjawab dengan percaya diri dan menegaskan bahwa apa yang dia lakukan benar adanya dan sudah terjustifikasi. 

Sesaat setelah menjawab, Si Mas berlalu dan saya hanya bisa membalas, "Terima kasih, Mas!"

Sungguh, saya merasa berterima kasih atas jawaban si Mas tersebut. Beliau sudah mengajarkan saya filsafat penting yang ada di tengah masyarakat tentang antrian. Sekarang saya tahu apa alasan kenapa mengantri adalah hal yang sulit dilakukan oleh orang-orang Indonesia.


Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Friday, May 10, 2013

Kompetensi Kurikulum 2013

Saya pernah membahas tentang perkembangan kurikulum pendidikan di Indonesia. Setelah itu, saya juga membahas sedikit tentang aspek penambahan jam pelajaran dari kurikulum terbaru tahun 2013. Kita bisa mengikuti perdebatan tentang kurikulum baru 2013 di berbagai media, silahkan di-google lebih lanjut jika tertarik mengikuti perdebatan tersebut.

Kali ini, saya hanya ingin berbagi beberapa kompetensi dasar yang dituliskan dalam draft dokumen Kompetensi Dasar Kurikulum 2013. Menurut info yang saya peroleh, konten yang disebutkan di sini masih draft, artinya masih mungkin mengalami perubahan. Namun, saya pribadi ragu bahwa dokumen ini akan mengalami perubahan yang berarti. Jadi, mari kita simak sedikit saja bagian dari kompetensi dasar ini, khususnya dibagian yang paling 'mencolok' idenya - bagi saya.

Bagian pertama yang paling mencolok bagi saya adalah Kompetensi Inti di setiap mata pelajaran dan kelas yang terkena dampak Kurikulum 2013, khususnya Kompetensi Inti nomor 1. Saya ingin memberi label kompetensi inti pertama ini sebagai "Kompetensi Inti Kerohanian". Kompetensi Inti tersebut berbunyi,
  • "Menerima dan menjalankan ajaran agama yang dianutnya" (Untuk Tingkat SD)
  • "Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya" (Untuk Tingkat SMP)
  • "Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya" (Untuk Tingkat SMA)
Dengan kata lain, para siswa/i diharapkan memiliki kemampuan inti sebagai individu yang beragama. Kompetensi Inti ini selalu mengawali setiap pembahasan Kompetensi Dasar yang akan dijabarkan. Sangat ideal!

Berikutnya adalah Kompetensi Inti Nomor 2 yang terkait aspek perilaku dan saya beri label sebagai "Kompetensi Inti Perilaku". Kompetensi Inti tersebut berbunyi,
  • "Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, dan percaya diri dalam berinteraksi dengan keluarga, teman, dan guru." (Untuk Tingkat SD)
  • "Menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri, dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya." (Untuk Tingkat SMP)
  • "Mengembangkan perilaku (jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, santun, ramah lingkungan, gotong royong, kerjasama, cinta damai, responsif dan proaktif) dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan bangsa dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia." (Untuk Tingkat SMA)
Hebat?! Tentu! Saya tidak ingin membahas dan menjelaskan apa yang sebenarnya akan dibentuk terhadap para siswa/i dari Kurikulum 2013 tersebut. Jika Anda punya pendapat lain, saya persilahkan menyampaikan pendapatnya. Tapi bagi saya sendiri, sudah terlalu banyak pendapat dan ide-ide yang terlalu besar disampaikan di dalam Kompetensi Inti tersebut. Saya tidak ingin menambah rumit.

Bagian kedua yang paling mencolok bagi saya adalah Kompetensi Dasar yang mengikuti Kompetensi Inti. Ada beberapa mata pelajaran yang tidak menyebutkan Kompetensi Dasar terkait dengan Kompetensi Inti Kerohanian, antara lain Mata Pelajaran Bahasa Asing (Inggris, Mandarin, Perancis, dsb) untuk Tingkat SMA. Namun, ada beberapa mata pelajaran yang penting yang menyebutkan lebih dari satu Kompetensi Dasar yang terkait Kompetensi Inti Kerohanian tersebut. Berikut ini beberapa Kompetensi Dasar tersebut dan sedikit pendapat kenapa kita harus "Like" Kompetensi Dasar ini:

Kompetensi Dasar untuk Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Tingkat SD Kelas VI:
1.1 Meresapi makna anugerah Tuhan Yang Maha Esa berupa bahasa Indonesia yang diakui sebagai sarana yang lebih unggul daripada bahasa lain untuk memperoleh ilmu pengetahuan.
1.2 Meresapi makna anugerah Tuhan Yang Maha Esa atas keberadaan ciri khusus makhluk hidup, hantaran panas, energi listrik dan perubahannya, serta tata surya.
Komentar: Baru tahu bahwa Bahasa Indonesia juga sebenarnya ilmu biologi dan fisika sekaligus astronomi.

Kompetensi Dasar untuk Mata Pelajaran Matematika Tingkat SMAKelas XII Bidang Kalkulus:
2.6 Memiliki motivasi internal mempelajari integral tentu dengan merasakan kebermanfaatan konsep dan aturan integral tentu dalam memecahkan masalah nyata terkait luas daerah, volume benda putas dan panjang kurva."
2.7 Menunjukkan rasa percaya diri dan memiliki sifat konsisten dalam menerapkan konsep dan sifat-sifat integral parsial dalam menyelesaikan masalah
Komentar: Andaikan saya diajarkan kalkulus agar memiliki percaya diri dan konsisten? Mungkin yang saya perlukan motivasi untuk belajar matematika terlebih dahulu...

Kompetensi Dasar untuk Mata Pelajaran Matematika Tingkat SMA Kelas X Bidang Aljabar:
2.1. Menunjukkan sikap senang dan percaya diri dalam menerapkan konsep dan sifat-sifat fungsi eksponensial dan logaritma dalam menyelesaikan permasalahan nyata
2.3 Memiliki sikap toleran terhadap proses pemecahan masalah yang berbeda dan kreatif sebagai terapan berbagai konsep dan aturan dalam sistem pertidaksamaan kuadrat dua variabel untuk memecahkan masalah nyata
Bidang Trigonometri:
2.6 Menunjukkan sikap kritis, jujur dan bekerja sama dalam menganalisis dan memecahkan masalah terkait persamaan trigonometri sederhana.
Komentar: Mudah-mudahan anak-anak Indonesia jadi tidak takut lagi belajar matematika aljabar seperti saya dulu...

Kompetensi Dasar untuk Mata Pelajaran Ekonomi/Akuntansi Tingkat SMA Kelas XII:
1.1 Mengamalkan ajaran agama dalam melakukan pencatatan dan perhitungan akuntansi
1.2 Menghargai ajaran agama dalam melakukan kerja sama dan perdagangan internasional
Komentar: Kelak Indonesia akan memiliki akuntan dan pakar perdagangan internasional yang religius...

Kompetensi Dasar untuk Mata Pelajaran Kimia Tingkat SMA Kelas X:
1.1 Menyadari keteraturan konfigurasi elektron dalam atom sebagai anugerah Tuhan
2.1 Berperilaku disiplin dengan meniru elektron yang selalu beredar menurut lintasannya
2.2 Berpilaku peduli kepada sesama dengan mengamalkan prinsip serah terima elektron membentuk senyawa ion yang stabil dalam kehidupan sehari-hari
Komentar: Demi ahli-ahli kmia yang religius dan berakhlak mulia di masa depan...

Sebenarnya masih banyak lagi Kompetensi Dasar yang mencolok seperti di atas untuk mata pelajaran lainnya. Tapi, seperti saya sebutkan di atas, saya tidak ingin menambah rumit mimpi-mimpi dari Kurikulum 2013 ini. Kalau saya sendiri pusing membaca Kompetensi Dasar ini, entah apa yang terjadi dengan anak-anak saya yang harus bersekolah dan menelan semua kemampuan tersebut...


Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Tuesday, May 07, 2013

e-KTP tidak boleh difotokopi?

Ada hal menarik yang baru-baru ini muncul tentang e-KTP. Hal tersebut terkait diterbitkannya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri  No. 471.13/1826/SJ Tanggal 11 April 2013. Di salah satu ketentuan dalam surat edaran tersebut disebutkan bahwa:
"...e-KTP tidak diperkenankan untuk di foto copy, distapler dan perlakuan lainnya yang merusak fisik e-KTP, sebagai penggantinya dicatat "Nomor Induk Kependudukan (NIK)" dan "Nama Lengkap" 
Ketentuan tersebut menarik karena memunculkan kelucuan. Mengapa kartu tanda identitas tidak boleh dibuatkan salinan (copy)-nya? Apa istimewanya chip yang ditanam di kartu tersebut sehingga sangat sensitif dengan mesin foto copy? Apakah e-KTP hanya satu-satunya kartu yang menggunakan chip sejenis?

Saya membayangkan bahwa kartu kredit juga menggunakan chip yang sejenis. Dan saya yakin, chip dalam kartu kredit tidaklah kalah canggih dan sensitifnya dibanding chip yang tertanam di e-KTP. Chip di dalam kartu kredit menyimpan informasi-informasi yang penting dan vital bagi transaksi keuangan. Bank penerbit kartu kredit pasti menggunakan chip yang canggih dan aman bagi setiap kartu kredit yang diterbitkannya. Meskipun demikian, saya tidak ingat bahwa pihak bank penerbit kartu kredit atau kartu ATM yang menggunakan chip memberikan peringatan agar jangan memfotocopy kartu kredit. Jadi, secanggih apa pun e-KTP ketentuan tentang larangan foto copy tersebut cenderung aneh kalau tidak mau dibilang mengada-ada.

Alasan yang masih masuk akal adalah agar e-KTP digunakan secara digital dan mengurangi kebutuhan dokumen berbasis kertas. Alasan ini muncul di ketentuan lain yang menyatakan:
"Instansi pemerintah, pemerintah daerah, lembaga perbankan dan swasta wajib menyiapkan kelengkapan teknis yang diperlukan berkaitan dengan penerapan e-KTP termasuk card reader..."
dan
"Semua unit kerja/badan usaha atau nama lain yang memberikan pelayanan kepada masyarakat, sudah memiliki card reader paling lambat akhir tahun 2013, dengan alasan KTP non elektronik terhitung sejak 1 Januari 2014 tidak berlaku lagi"
Dari ketentuan tersebut, dapat diduga bahwa e-KTP diharapkan menjadi media identifikasi yang lebih cepat dan mudah. Namun, sedianya e-KTP juga masih bisa digunakan sebagai media identifikasi informasi warga negara di luar unit kerja/badan usaha pelayanan masyarakat lainnya. Misal, sekolah atau supermarket atau pusat perdagangan lain atau jasa penjualan kecil menengah, dan sebagainya. Mereka kadang masih memerlukan KTP (fotocopy-nya) sebagai persyaratan identifikasi permohonan keanggotaan atau lain sebagainya. Intinya, seharusnya e-KTP tidak hanya dibatasi penggunaannya untuk hal-hal yang terkait dengan pelayanan pemerintah tetapi juga diluar itu. Dan, tidak praktis serta terlalu mahal jika e-KTP harus tergantung pada card reader.

Terakhir, Kementerian Dalam Negeri menganjurkan agar memfotocopy e-KTP cukup sekali saja dan menggunakannya untuk memfotokopi berikutnya. Tidakkah itu anjuran yang 'bodoh'? Siapa yang tahu berapa salinan KTP yang kita perlukan di masa depan? Tidakkah mereka tahu bahwa kualitas fotokopi tidaklah bertahan lama...


Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Sunday, May 05, 2013

Tentang Si Mumun

Si Mumun adalah mobil kesayangan yang pernah melengkapi awal-awal pembentukan keluargaku. Mobil yang mungil tapi hebat. Dia telah menemani perjalanan kami selama lebih kurang 8 tahun. Aku menuliskan sedikit catatan sentimentil tentangnya di sini (Bagian 1) dan sini (Bagian 2).


Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Wednesday, January 30, 2013

Argumen

Pelajaran penting hari ini adalah berdiskusi dan berargumen dengan nalar dan fakta-fakta ilmiah tidak selalu berguna. Siapa yang diajak berdiskusi dan latar belakang mereka perlu lebih dulu dikenali. Ada kalanya pihak-pihak yang berdiskusi dan berargumen dengan kita tidak mau atau mampu menerima nalar dan fakta-fakta ilmiah yang kita ajukan. Apalagi jika nalar dan fakta-fakta tersebut tampak berlawanan dengan pendapat dan kepercayaan yang mereka miliki. Betapa pun nyata dan lugas argumen yang kita sampaikan serta entah seberapa sahih fakta ilmiah yang kita rujuk, pasti akan mereka sanggah dan mentah-mentah mereka tolak.

Apa indikasi jika argumen tersebut tidak berguna?
1) Apabila mereka tidak membaca/mendengar utuh argumen tersebut. Biasanya mereka hanya akan memperhatikan pernyataan yang bertentangan dengan ide mereka lalu 'menyerang' pernyataan tersebut dengan memutarbalik kesimpulan menurut interpretasi mereka sendiri;
2) Argumen dan pernyataan balasan mereka biasanya tidak 'menyanggah' secara poin-per-poin melainkan 'menyerang' penggalan-penggalan argumen (tidak memperhatikan keseluruhan konteks) dengan kata-kata yang umumnya bersifat mencela atau mencibir;
3) Selalu berangkat dari dugaan yang didasarkan pada pengalaman pribadi semata tanpa sedikit pun mengakui bahwa ada pengalaman orang lain yang berbeda dan kondisi setiap pengalaman pasti berbeda. Dengan kata lain, mereka senang menarik kesimpulam secara cepat dan terbatas hanya pada pengalaman sendiri tersebut.

Bagi saya pribadi ini merupakan sebuah pengalaman dan pelajaran berharga yang harus saya camkan baik-baik. Saya harus bisa melihat siapa yang sedang berdiskusi dengan saya. Saya juga harus mulai bisa mengenali apakah saya perlu meladeni sebuah diskusi dengan serius atau cukup berkelakar saja. Dan terakhir, saya harus tahu bahwa tidak semua orang siap dan mau menerima bahwa ada hal-hal di luar sana yang belum kita ketahui serta mereka takut menerima serta mengakui bahwa hal-hal tersebut mungkin benar adanya.

Selain itu juga penting untuk mengakui bahwa saya tidak tahu segalanya. Tidak perlu malu atau takut mengakui bahwa saya masih bodoh dan saya banyak "tidak tahu". Kedua hal tersebut menjadi pengingat bahwa saya masih harus terus belajar.



Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Tuesday, January 29, 2013

Quote of the day: Story

"Behind every picture hides the true story. You just have to be willing to look"
~ Jameson Rook
Heat Wave (Nikki Heat) by Richard Castle

Thursday, December 13, 2012

jam pelajaran

"Curriculum is more a process than a product. It should be emphasized at school level"
Slide 7, Bahan Uji Publik Kurikulum Baru 2013

Di posting sebelumnya, saya membahas sejarah perkembangan kurikulum pendidikan di Indonesia seperti disampaikan dalam Uji Publik Kurikulum Baru 2013. Di situ saya menekankan perihal seringnya kurikulum pendidikan di Indonesia berubah/diganti dan potensi masalah yang muncul akibat pergantian kurikulum yang periodik (atau musiman?). Sekarang mari kita coba lihat lagi persoalan lain di dalam kurikulum baru 2013.

Kita mulai dengan penggalan berita yang berjudul "Kurikulum 2013: Waktu Sekolah SD Tambah 10 Jam" di Harian Tempo Online. Penggalan berita yang menarik adalah sebagai berikut:
Siswa SD nanti belajar di sekolahnya kurang lebih 36 jam per pekan. Bertambah sepuluh jam dari saat ini yang hanya 26 jam per pekan. Siswa SMP yang selama ini belajar 32 jam di sekolah kini belajar 38 jam per pekan. Adapun siswa SMA relatif sama dan tak ada perubahan signifikan.
Selain itu, terkait jumlah mata ajar yang termaktub dalam kurikulum baru tersebut disebutkan,
Berdasarkan kurikulum baru, siswa SMP akan mendapatkan sepuluh mata pelajaran dari semula 12 mata pelajaran. Mata pelajaran muatan lokal dan pengembangan diri akan melebur dalam seni budaya dan prakarya. 
Adapun siswa SD yang semua mendapatkan 10 mata pelajaran berkurang menjadi enam mata pelajaran, yakni matematika, bahasa Indonesia, pendidikan agama, pendidikan jasmanai dan kesehatan, pendidikan pancasila dan kewarganegaraan, dan kesenian. IPA dan IPS menjadi tematik di pelajaran lainnya.
Menurut saya, penambahan jam pelajaran ini merupakan masalah mendasar dan paling serius yang muncul dari Kurikulum baru ini. Di dalam pengantar Uji Publik Kurikulum Baru 2013 secara tidak langsung sudah diklaim dan ditegaskan bahwa penambahan jam pelajaran adalah strategi yang akan dipilih. Tetapi apa alasan dan implikasi penambahan jam pelajaran bagi peserta didik, para guru dan sistem pendidikan secara luas tidaklah dibahas secara memadai.

Di pengantar tersebut disebutkan beberapa alasan pengembangan kurikulum 2013, yaitu antara lain:

  1. Kecenderungan banyak negara menambah jam pelajaran, misal: Amerika Serikat dan Korea Selatan
  2. Perbandingan dengan negara-negara lain menunjukkan jam pelajaran di Indonesia relatif lebih singkat
  3. Walaupun pembelajaran di Finlandia relatif singkat, tetapi didukung dengan pembelajaran tutorial

Tetapi, ironisnya, ketiga alasan tersebut tidak tepat untuk dijadikan dasar memutuskan bahwa jam pelajaran di Indonesia kurang sehingga harus ditambah. Berikut argumen saya.

Alasan pertama dan ketiga sebenarnya saling terkait dan penting untuk diperhatikan. Di kurikulum baru 2013, tidak ada kajian secara ilmiah tentang mengapa Amerika Serikat dan Korea Selatan menambah jam pelajaran. Padahal, jika Indonesia ingin meniru strategi penambahan jam pelajaran, seharusnya Indonesia juga mengerti apa latar belakang pemilihan strategi tersebut sekaligus mengerti apa syarat, kondisi dan tantangan dari pemilihan strategi tersebut. Jika dikaitkan dengan pengalaman Finlandia seperti disebut dalam alasan ketiga, sebenarnya yang perlu dikaji lebih lanjut adalah bukan berapa lama (jam) para peserta didik dan para guru harus menghabiskan waktu di sekolah. Melainkan, dari setiap jam aktivitas di sekolah para peserta didik dan para guru harus melakukan apa saja agar proses belajar mengajar bisa efektif. Dengan kata lain, yang perlu dirumuskan adalah alternatif-alternatif proses belajar mengajar yang sesuai dengan setiap tingkatan pendidikan bukan sekedar menambah jam pelajaran dan atau jenis mata pelajaran.

Alasan kedua yang mungkin lebih sulit dipahami dan cacat argumen. Jika memang jam pelajaran di Indonesia relatif lebih singkat, apakah bisa dipastikan berapa jam pelajaran yang ideal/tepat yang harus dijalani para peserta didik (dan guru) di Indonesia? Sebuah studi yang dilakukan oleh Dr. Daniel Suryadarma menunjukkan bahwa sesungguhnya rata-rata jam pelajaran di Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan negara-negara lain. Grafik dibawah menunjukkan fenomena tersebut, dengan mengambil contoh jam pelajaran matematika dibandingkan dengan Malaysia, Singapura dan Thailand.

Sumber: The Quality of Education in Indonesia

Studi dari Dr. Suryadarma tersebut membuktikan bahwa alasan jam pelajaran di Indonesia terlalu singkat tidaklah sahih dan cenderung dipaksakan. Studi tersebut juga menunjukkan bahwa masalahnya bukanlah pada berapa lama para peserta didik harus belajar dan menghabiskan waktu di sekolah melainkan kualitas setiap jam yang mereka jalani di sekolah. Ini membuktikan bahwa para perancang dan pengusul kurikulum baru 2013 ini sangat sempit pikiran dalam memandang proses belajar hanya dari jumlah jam pelajaran dan jumlah mata pelajaran.

Tidak bisa dipungkiri bahwa cara pandang dan perhatian kita terhadap strategi pendidikan harus mulai diubah dari aspek kuantitas ke aspek kualitas. Jika Kementerian Pendidikan meyakini bahwa menambah jam pelajaran dan mata pelajaran (aspek kuantitas) akan mampu meningkatkan capaian pendidikan di Indonesia, maka ini adalah keyakinan yang salah. Jika keyakinan ini yang dianut, maka fatal sekali bagi dunia pendidikan di Indonesia. Banyak pendapat para ahli menyebutkan bahwa beban pelajaran dan jam sekolah yang panjang memiliki dampak negatif pada siswa. Selain itu, dari sekian banyak perubahan kurikulum pendidikan di Indonesia hampir semuanya berkutat pada perubahan-perubahan yang bersifat kuantitas dibandingkan kualitas di dalam proses belajar mengajar.

Bahan Uji Publik Pengembangan Kurikulum 2013 ini menunjukkan bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan masih hidup dalam paradigma yang sempit dan tidak progresif. Hal ini patut disayangkan dan disesali. Saya agak pesimis bahwa konten Pengembangan Kurikulum 2013 ini akan berhasil membawa perubahan berarti yang penting bagi dunia pendidikan di Indonesia. Pengembangan Kurikulum 2013 ini tampak seperti proyek pendidikan semata; sama sekali tidak ada unsur pengembangan pendidikan bagi generasi masa depan Indonesia. Kurikulum 2013 ini akan berakhir seperti kurikulum-kurikulum sebelumnya, dianggap tidak memadai lalu diubah dan dibongkar pasang di sana sini. Dan mungkin, para pelajar di Indonesia kelak harus menginap di sekolah karena jam pelajarannya selalu dianggap kurang. Saya prihatin dengan apa yang sudah dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terhadap para pelajar dan para guru di Indonesia.  

Kerap kita memerlukan sesuatu yang kuno dan tua untuk kita terus pelajari; kadang kita juga memerlukan sesuatu yang baru. Namun, kita tidak memerlukan sesuatu yang rusak. Kurikulum 2013 ini adalah salah satu contoh sesuatu yang rusak sejak dari awal idenya. Dan Indonesia sangat tidak membutuhkan itu.


Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Wednesday, December 05, 2012

perkembangan kurikulum


Gambar di atas saya dapatkan dari Bahan Uji Coba Publik Kurikulum 2013 yang saat ini sedang diperkenalkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jika Anda tertarik untuk mempelajari detil kurikulum 'baru' tersebut, bisa ikut serta memberikan pendapat dan masukan. Saat ini saya masih mempelajari dan membaca detil kurikulum tersebut secara lebih komprehensif. Namun, berdasarkan Pengantar yang diuraikan dalam materi tersebut, kesan pertama saya adalah kurikulum ini tidak jelas dan sangat memberatkan tidak hanya para siswa namun juga para guru. Saya akan segera bahas hal tersebut di kesempatan berikutnya.

Sekarang, saya hanya ingin menelaah secara sederhana tentang perkembangan kurikulum di Indonesia. Seperti terlihat pada slide nomor 4 di atas, selama kurun waktu 66 tahun (1947-2013) telah terjadi pergantian kurikulum sebanyak 11 kali (termasuk yang saat ini sedang diujicobakan). Apa yang bisa kita lihat dari perkembangan tersebut? Sederhana saja. Di Indonesia kurikulum berubah (diubah) setiap (rata-rata) 6 (enam) tahun sekali. Jika kita hitung rata-rata tahun antar perubahan kurikulum tersebut, kita bisa dapat angka rata-rata 6.6 tahun atau hampir 7 tahun sekali.

Angka 6 tahun bisa dianalogikan sebagai lamanya tahun bersekolah untuk tingkat sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) plus atas (SMA). Artinya, Kementerian Pendidikan (dan Kebudayaan) hampir selalu merubah kurikulum setiap satu kohor (generasi) SD atau SMP+SMA. Apakah ini suatu masalah? Mungkin tidak jika kita hanya memperhatikan satu generasi saja. Tapi, menurut saya, ada masalah yang pelik ketika setiap kohor enam tahunan, setiap siswa (dan para guru) harus menghadapi perubahan kurikulum. Sederhananya, seorang siswa selama masa sekolahnya jika mengikuti wajib belajar 9 tahun plus SMA (jika mampu melanjutkan ke SMA) pasti akan mengalami minimal 2 kali pergantian kurikulum. Ini sungguh tidak sehat bagi si siswa pun guru karena setiap perubahan kurikulum lebih banyak berdampak pada proses belajar yang terus berubah. Padahal, proses belajar sendiri adalah sebuah proses yang membutuhkan kejelasan dan ketenangan. Jika perubahan kurikulum ini hampir pasti selalu dialami oleh setiap generasi siswa dan guru di Indonesia maka yang akan pasti kita lihat adalah proses adaptasi secara terus menerus yang dilakukan oleh para siswa dan guru tersebut - bukan proses belajar.

Selain konsekuensi proses adaptasi versus proses belajar, perubahan kurikulum yang terlalu sering juga berdampak pada ketidakjelasan biaya yang dihadapi oleh para orang tua dan juga pemerintah serta strategi investasi yang tidak efektif. Setiap perubahan kurikulum pasti membutuhkan biaya baru untuk mengubah buku dan materi ajar lainnya. Belum lagi jika kurikulum yang mewajibkan sarana pendidikan lain yang bersifat investasi fisik seperti perpustakaan, laboratorium, sarana praktek dan sebagainya. Jika kurikulum berubah setiap 6 tahun, berarti selama periode tersebut diperlukan modal investasi yang dibelanjakan selama satu periode kurikulum. Kemudian, di periode kurikulum baru berikutnya dibutuhkan lagi modal investasi baru untuk kurikulum berikutnya. Orang tua harus dihadapkan pada fakta bahwa setiap kurikulum baru mereka harus membeli buku, lembar kerja dan materi ajar baru. Tidakkah ini pemborosan?

Terakhir, perubahan kurikulum yang relatif sering seperti ini, sebenarnya mengindikasikan ketidakjelasan visi dan misi pendidikan di Indonesia. Apa yang dilakukan kementerian ini jauh lebih buruk dari strategi pabrik atau industri yang terus mencoba memperbaharui teknik produksi atas suatu produk barang atau jasa. Industri saja membutuhkan belasan tahun untuk 'belajar' (riset dan pengembangan atau R&D) sampai akhirnya mampu menghasilkan produk baru serta menemukan proses produksi yang lebih baik. Lalu, mengapa dalam hal mendidik dan mencetak mutu modal manusia (human capital) proses perubahan harus dilakukan dalam waktu yang relatif singkat? Selain itu, di manakah kajian serta evaluasi atas pencapaian dari setiap kurikulum lama/baru yang pernah digunakan di Indonesia? Jangan-jangan, sebenarnya jika Indonesia tidak mengganti kurikulum selama, sebut saja 17 tahun (seperti periode 1947-1964) tidak akan berdampak buruk bagi dunia pendidikan Indonesia.

Tuesday, November 13, 2012

Beda generasi satu selera

Kisah ini terjadi saat saya dan keluarga (istrinda & Arvind) sedang berakhir pekan di Sydney. Tepatnya, kami sedang menikmati masakan Indonesia di Cafe Joy & Take Away. Setelah kami tiba di lokasi dan langsung memesan makanan yang ingin kami santap, datang juga serombongan pelajar asal Indonesia yang menurut penjelasan mereka adalah peserta pertukaran pelajar setingkat sekolah menengah pertama dengan pelajar dari Australia. Sebelum berbincang banyak dengan rombongan pelajar tersebut, perkenalan kami sebenarnya diawali oleh salah satu lagu yang pertama kali saya kenal dengan baik di tahun 1980an.

Saat kami menyantap makanan yang sudah tiba di meja kami, terdengar lagu yang berjudul "Beautiful Girl". Saya sangat kenal lagu tersebut karena termasuk lagu pertama yang saya tahu ketika pertama kali kenal radio dan lagu pertama yang saya beli kasetnya. Oh ya, dulu saya kenal lagu tersebut saat dinyanyikan oleh Jose Mari Chan. Tapi kali ini, saya tidak kenal siapa penyanyi yang mendendangkan lagu tersebut. Tiba-tiba rombongan pelajar yang duduk di sebelah kami ikut serta menyanyikan lagu tersebut dan mereka juga hafal lirik lagu tersebut. Ketika saya tanya siapa yang menyanyikan lagu ini, mereka menjawab Christian Bautista. Alhasil, jadilah kami semua menyanyikan lagu tersebut tanpa dikomando.

Jose Mari Chan menyanyikan lagu tersebut kira-kira tahun 1989 di dalam albumnya yang berjudul Constant Change. Album ini adalah salah satu kaset pertama saya sebelum Tomy Page "Painting In My Mind". Setelah dinyanyikan lagi oleh Martin Nievera, "Beautiful Girl" kembali dipopulerkan oleh Christian Bautista tahun 2010. Lebih dari 20 tahun perbedaan rilis lagu ini diantara kedua penyanyi tersebut. Meski demikian, ternyata perbedaan generasi tidak selalu menyebabkan perbedaan yang berarti.

Siapa lagi diantara Anda - apa pun generasinya - yang juga senang dengan "Beautiful Girl"? Mari bernyanyi bersama!


Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved