Wednesday, January 18, 2017

Si Alex








Working on cars teaches us patience... and every curse word imaginable #dadlife #love
Foto-foto ini saya ambil ketika Bapak akhirnya memutuskan untuk menjual mobil kesayangannya pada tahun 2016 yang lalu. Rencananya, foto-foto ini akan saya muat di OLX atau website penjualan mobil lainnya agar Bapak bisa mendapatkan pembeli yang bersaing. Tapi ternyata mobil tersebut akhirnya dijual ke salah satu tetangga yang sering sekali Bapak ajak ngobrol secara akrab. Beliau bilang, "[Dia] sudah lama nanya-nanya si Alex jadi gak apa-apa deh yang penting pembelinya pasti merawat dan sudah tahu mobil ini."
Alex adalah panggilan kami untuk mobil ini karena karoserinya bernama Alexander. Ini adalah Suzuki Carry Extra 1.0 keluaran tahun 1996. Alex adalah mobil pertama (dan terakhir) yang Bapak beli dari kondisi baru. Sebelumnya, Bapak punya mobil second hand bermerek Daihatsu Hijet 1000cc, warna merah, keluaran tahun 1986; mobil pertama yang saya gunakan untuk belajar mengemudi. Bapak membeli mobil Alex secara kredit dan beliau merawat mobil ini dengan sepenuh hatinya. 
Alex sangat sering menempuh perjalanan jauh, terutama Jakarta-Bali pulang pergi. Saking seringnya, Bapak sering guyon, "Jika si Alex ditepok pantatnya, pasti dia bisa jalan sendiri ke Ketapang sampai nyebrang Gilimanuk dan balik ke Jakarta tanpa tersesat saking seringnya." Alex dibeli dalam keadaan standar, tapi kemudian Bapak melengkapinya secara perlahan namun pasti. Alarm dan central lock dengan remote control, Velg semi racing, AC double blower (percaya atau tidak, AC-nya masih dingin sampai terakhir dilepas ke pemilik barunya), lampu kabut, klakson variasi, dan kondisi interior terawat. Hampir setiap hari, Bapak memeriksa dan memastikan Alex dalam kondisi laik jalan. Alex hanya 3 kali masuk bengkel resmi ketika masih ter-cover jasa pelayanan gratis. Setelah itu, tangan Bapak sendiri yang merawatnya dari ujung kolong knalpot belakang hingga sekujur cat di body-nya. 
Bapak memang memiliki keterampilan tangan yang luar biasa. Apa pun yang rusak, bisa beliau perbaiki. Bapak hanya lulusan STM, tapi kalau menganalisis dan memperbaiki kerusakan barang-barang elektronik atau mesin, bisa diadu dengan mereka yang mengaku insinyur atau mekanik resmi. Kadang beliau sedikit jumawa, "Kalau cuma mesin mobil atau motor, itu seperti kotak korek api bisa ditelan sekaligus." Kejumawaan tersebut karena pekerjaan Bapak sebelumnya adalah teknisi mesin disel berkapasitas besar, untuk pembangkit listrik atau mesin kapal laut serta mesin-mesin truk angkut. Dalam pekerjaannya, tidak boleh ada kata "tidak bisa!" karena mesin-mesin yang diservis atau diperbaiki mempengaruhi hajat hidup bisnis banyak orang. 
Sebenarnya Bapak ingin anak laki-laki satu-satunya ini bisa seperti beliau. Sejak kecil, Bapak sering mengajak saya nge-bengkel. Mulai dari memperbaiki elektrikfikasi hingga turun mesin atau ganti plat kopling. Saya tidak pernah betah dengan kegiatan tersebut, bukan karena tidak suka dengan mobil atau mesin-mesin tapi tidak tahan dengan kesabaran Bapak memecahkan persoalan mekanik yang dihadapi. Bapak bisa nge-bengkel hingga larut malam apabila perbaikan yang beliau inginkan belum tercapai dengan kualitas maksimal. Beliau perfeksionis jika urusan kerapihan dan ketepatan fungsi mesin atau elektronik. Pernah suatu ketika, Bapak membeli alarm mobil dan membiarkannya si penjual yang memasangnya. Begitu sampai di rumah, hasil pemasangan itu diperiksanya dan langsung dibongkar lagi keesokan harinya karena menurut Bapak, pemasangannya tidak bagus dan bisa membahayakan jaringan listrik di mobilnya. Ya ampun! Kali berikutnya adalah pemasangan karpet peredam dan kulit untuk jok mobil saya juga pernah beliau lakukan sendiri karena tidak percaya dengan kualitas pengerjaan penjualnya. Pengecatan body mobil ketika ada penyok atau kerusakan cat, Bapak lakukan sendiri. Di garasi mobil, peralatan bengkelnya hampir lengkap untuk buka bengkel resmi. 
Urusan disiplin berlalulintas Bapak juga tidak pernah santai. Bapak tidak pernah mengizinkan saya membawa motor atau mobil ke jalan raya saat saya belum punya SIM. Bapak hanya mengizinkan saya mengeluarkan mobil dari garasi atau memasukkannya. Untuk motor, saya pasti didampingi Bapak jika keluar rumah hanya sampai ke gang di ujung jalan. Waktu saya ingin mendapatkan SIM, Bapak juga melarang saya melalui jalur "nembak". Maka, terjadilah proses 3 hari mengajukan permohonan SIM. Ketika saya akhirnya boleh mengemudi mobil pun, beliau tidak berkurang rewelnya soal gaya saya mengemudi. Dan, ini yang penting, patuhilah rambu-rambu lalulintas. Betul, Bapak tidak pernah sekali pun 'santai' dengan aturan lalulintas. Si Alex, meskipun mobil tua, memiliki standar kelengkapan yang maksimal: segitiga pengaman, kotak P3K, bahkan alat pemadam api tersedi di dalamnya. Sekali lagi, Bapak tidak pernah santai kalau urusan keselamatan dan aturan. Alex adalah saksi nyata bagaimana Bapak menjalani 'tour Jakarta-Bali' sekitar 3-4 kali dalam setahun dimana setiap kilometer perjalanan Bapak selalu penuh perhitungan, perencanaan dan disiplin tinggi.

Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

No comments: