"...e-KTP tidak diperkenankan untuk di foto copy, distapler dan perlakuan lainnya yang merusak fisik e-KTP, sebagai penggantinya dicatat "Nomor Induk Kependudukan (NIK)" dan "Nama Lengkap"Ketentuan tersebut menarik karena memunculkan kelucuan. Mengapa kartu tanda identitas tidak boleh dibuatkan salinan (copy)-nya? Apa istimewanya chip yang ditanam di kartu tersebut sehingga sangat sensitif dengan mesin foto copy? Apakah e-KTP hanya satu-satunya kartu yang menggunakan chip sejenis?
Saya membayangkan bahwa kartu kredit juga menggunakan chip yang sejenis. Dan saya yakin, chip dalam kartu kredit tidaklah kalah canggih dan sensitifnya dibanding chip yang tertanam di e-KTP. Chip di dalam kartu kredit menyimpan informasi-informasi yang penting dan vital bagi transaksi keuangan. Bank penerbit kartu kredit pasti menggunakan chip yang canggih dan aman bagi setiap kartu kredit yang diterbitkannya. Meskipun demikian, saya tidak ingat bahwa pihak bank penerbit kartu kredit atau kartu ATM yang menggunakan chip memberikan peringatan agar jangan memfotocopy kartu kredit. Jadi, secanggih apa pun e-KTP ketentuan tentang larangan foto copy tersebut cenderung aneh kalau tidak mau dibilang mengada-ada.
Alasan yang masih masuk akal adalah agar e-KTP digunakan secara digital dan mengurangi kebutuhan dokumen berbasis kertas. Alasan ini muncul di ketentuan lain yang menyatakan:
"Instansi pemerintah, pemerintah daerah, lembaga perbankan dan swasta wajib menyiapkan kelengkapan teknis yang diperlukan berkaitan dengan penerapan e-KTP termasuk card reader..."dan
"Semua unit kerja/badan usaha atau nama lain yang memberikan pelayanan kepada masyarakat, sudah memiliki card reader paling lambat akhir tahun 2013, dengan alasan KTP non elektronik terhitung sejak 1 Januari 2014 tidak berlaku lagi"Dari ketentuan tersebut, dapat diduga bahwa e-KTP diharapkan menjadi media identifikasi yang lebih cepat dan mudah. Namun, sedianya e-KTP juga masih bisa digunakan sebagai media identifikasi informasi warga negara di luar unit kerja/badan usaha pelayanan masyarakat lainnya. Misal, sekolah atau supermarket atau pusat perdagangan lain atau jasa penjualan kecil menengah, dan sebagainya. Mereka kadang masih memerlukan KTP (fotocopy-nya) sebagai persyaratan identifikasi permohonan keanggotaan atau lain sebagainya. Intinya, seharusnya e-KTP tidak hanya dibatasi penggunaannya untuk hal-hal yang terkait dengan pelayanan pemerintah tetapi juga diluar itu. Dan, tidak praktis serta terlalu mahal jika e-KTP harus tergantung pada card reader.
Terakhir, Kementerian Dalam Negeri menganjurkan agar memfotocopy e-KTP cukup sekali saja dan menggunakannya untuk memfotokopi berikutnya. Tidakkah itu anjuran yang 'bodoh'? Siapa yang tahu berapa salinan KTP yang kita perlukan di masa depan? Tidakkah mereka tahu bahwa kualitas fotokopi tidaklah bertahan lama...
Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved
No comments:
Post a Comment