Kenapa tingkat pengangguran terbuka (TPT) anak muda Indonesia—usia 15–24 tahun—bisa mencapai tiga kali lipat dibanding kelompok umur lainnya? Pertanyaan ini semakin menggelitik ketika kita tahu bahwa pendidikan masyarakat Indonesia semakin tinggi, dengan makin banyak lulusan SMA, diploma, hingga sarjana. Gelar makin banyak, tapi pekerjaan justru makin sulit dicari.
Fenomena ini bukan sekadar angka. Ia menjadi cermin rapuhnya transisi sekolah–kerja di Indonesia, dan sekaligus menentukan apakah “bonus demografi” benar-benar menjadi bonus atau justru berubah menjadi beban.
Mengapa Pengangguran Muda Lebih Tinggi?
Secara teori, ada beberapa alasan mengapa pengangguran anak muda cenderung lebih tinggi:
Transisi sekolah–kerja yang belum mulus
Banyak pemuda baru lulus sekolah atau kampus, masih mencari pekerjaan pertama, dan karena itu lebih mudah tercatat sebagai penganggur.
Minim pengalaman dan keterampilan non-teknis
Pasar kerja sering menuntut “fresh graduate berpengalaman,” sebuah ironi yang menutup akses anak muda. Soft skills seperti komunikasi dan kerja tim justru menjadi penghalang nyata.
Mismatch pendidikan–pekerjaan
Ekspansi pendidikan menengah dan tinggi menaikkan aspirasi kerja. Namun, struktur ekonomi belum cukup menyediakan lapangan kerja formal dan produktif. Akibatnya, banyak lulusan menunggu pekerjaan “ideal,” yang memperpanjang masa menganggur.
Preferensi kerja anak muda
Generasi muda cenderung menolak pekerjaan kasar, bergaji rendah, atau di sektor pertanian. Aspirasi tinggi bertemu dengan realitas pasar kerja yang terbatas.
Segmentasi pasar tenaga kerja
Pekerjaan untuk pemula sering informal, kontrak pendek, atau bergaji rendah. Anak muda lebih rentan tersingkir dibanding mereka yang sudah mapan di pasar kerja.
Bonus Demografi: Pedang Bermata Dua
Indonesia sedang menikmati bonus demografi: proporsi penduduk usia produktif meningkat pesat. Secara teori, ini adalah kesempatan emas untuk pertumbuhan ekonomi. Namun, bila tenaga muda tidak terserap ke dalam pekerjaan yang produktif, justru muncul fenomena youth bulge unemployment—ledakan jumlah pengangguran muda yang berpotensi menjadi beban sosial-ekonomi.
Di sinilah letak paradoksnya: pendidikan meningkat, tetapi industrialisasi dan penciptaan lapangan kerja berkualitas tidak sejalan. Hasilnya adalah frustrasi kolektif di kalangan anak muda—sebuah tanda alarm bahwa bonus demografi bisa meleset arah.
Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah?
Untuk mengantisipasi risiko ini, ada beberapa kebijakan yang mendesak dilakukan:
Mempercepat transisi sekolah–kerja
Perkuat link & match antara dunia pendidikan dengan industri.
Jadikan program magang nyata, bukan sekadar formalitas.
Bangun career centre di sekolah dan kampus yang benar-benar aktif mendampingi.
Mendorong penciptaan kerja berkualitas
Fokus pada industrialisasi berbasis green economy dan digital economy.
Beri insentif pada sektor padat karya formal.
Fasilitasi wirausaha muda dan startup agar bisa menyerap tenaga kerja baru.
Meningkatkan sistem pelatihan & reskilling
Balai Latihan Kerja (BLK) dan kursus vokasi harus relevan dengan permintaan pasar.
Latih anak muda untuk green jobs, digital jobs, dan care jobs yang potensial di masa depan.
Memperluas perlindungan sosial yang adaptif
Banyak anak muda terjebak di pekerjaan kontrak, paruh waktu, atau gig economy.
Butuh jaminan sosial inklusif dan portable, yang mengikuti pekerja, bukan status kontrak.
Memperbaiki cara ukur & pantau kerja muda
Jangan hanya melihat TPT dan formalitas.
Perlu data lebih kaya: waktu tunggu kerja, underemployment, unpaid work, hingga aspirasi kerja, agar kebijakan lebih sesuai realitas.
Penutup
Fenomena pengangguran muda bukan sekadar persoalan statistik. Ia adalah penentu arah apakah Indonesia benar-benar mampu memetik dividen demografi atau justru terjebak dalam liabilitas demografi.
“Bonus demografi itu bukan soal banyaknya anak muda, tapi soal apakah kita bisa memberikan mereka pekerjaan yang bermakna. Tanpa itu, bonus berubah menjadi beban.”
No comments:
Post a Comment