Friday, August 31, 2007

Jasa Marga dengan motto "caveat emptor"

Caveat emptor is Latin for "Let the buyer beware"

Rasanya aku semakin sepakat bahwa apa pun badan usaha yang dikelola oleh pemerintah melalui berbagai departemen pasti tidak efisien dan cenderung memberi pelayanan buruk bagi para konsumen.

Kenaikan tarif tol kali ini pun seakan menunjukkan betapa PT Jasa Marga sebagai pengelola tol yang diarahkan (atau dikelola - apa lah bedanya) oleh Departemen Pekerjaan Umum tidak memiliki kinerja yang baik, bahkan sangat merugikan bagi para konsumen. Tentang kenaikan tarif tol kali ini, ada beberapa hal yang mengecewakan dari sikap pengelola tol yaitu:

  1. Sosialisasi tentang pelaksanaan kenaikan tarif tol tersebut yang tidak dilakukan sama sekali. Meskipun mereka mengakui bahwa mereka "terlambat", namun itu tidak merupakan jawaban atas usaha sosialisasi yang seharusnya mereka lakukan. Dengan kata lain, pengakuan terlambat itu cuma 'alasan' saja. Tidak patut diterima sama sekali
  2. Penentuan besaran kenaikan tarif tol tersebut tidaklah transparan, baik dari segi teknis perhitungan hingga argumen ekonomi di belakang nilai tarif tol baru yang diterapkan. Seperti kebanyakan perusahaan yang berurusan dengan kepentingan publik, alasan "merugi" selalu digunakan yang pada gilirannya menunjukkan bahwa perusahaan tersebut memang "merugikan" konsumen.
  3. Terlepas dari besaran kenaikan tarif tol tersebut, kinerja pengelola tol sendiri tidak pernah mengalami perbaikan. Kasus-kasus klasik yang terjadi seperti pengaturan lalulintas tol yang macet, derek gratis yang hanya judulnya saja gratis tapi tetap saja memungut bayaran, hingga kenaikan tarif tol yang konsisten dilakukan tanpa kompensasi perbaikan merupakan contoh riil yang tidak bisa dipungkiri tapi selalu diabaikan oleh pengelola jalan tol.
Yang menurutku agak aneh adalah pernyataan dari Direktur Jenderal Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum, Hermanto Dardak tentang fungsi jalan tol:
Fungsi jalan tol hakikatnya adalah untuk lalu lintas jarak jauh. Apabila masyarakat keberatan dengan mahalnya tarif tol untuk lalu lintas jarak dekat, mereka tidak usah menggunakan fasilitas jalan tol
Pertanyaan yang penting di sini adalah berapa km-kah jarak tempuh yang dianggap "jarak jauh"? Jika dari Taman Mini hingga Bintaro dianggap "jarak jauh", bagaimana dengan dari Taman Mini hingga Cilandak misalnya? Pernyataan si Dirjen tersebut menunjukkan bahwa dia tidak memiliki argumen sahih lainnya sehingga pada gilirannya membuat argumen "fungsi sesungguhnya" dari sebuah jalan tol lalu menyalahkan konsumen yang hanya ingin menggunakan sedikit fasilitas tersebut. Artinya, pengelola jalan tol menggunakan prinsip caveat emptor. Jadi, wahai para konsumen hati-hatilah jika ingin menggunakan fasilitas publik karena para pengelolanya hanya memikirkan kepentingan mereka sendiri tanpa peduli terhadap para konsumennya.


Powered by ScribeFire.

Thursday, August 30, 2007

Malaysia menyesal... Untuk?!

Malaysia menyatakan deeply regret alias menyesal atas insiden pemukulan wasit karate Indonesia oleh 4 orang polisi Malaysia. Apakah Indonesia puas? Banyak orang yang tidak puas, saya tidak terlalu peduli.

Tapi satu hal yang saya peduli, apa arti yang sesungguhnya deeply regret atau menyesal tersebut? Bisa ada beberapa kemungkinan arti tersebut:
  1. Malaysia 'menyesal' atas terjadinya insiden tersebut;
  2. Malysia 'menyesal' telah melakukan pemukulan terhadap wasit karate dari Indonesia
  3. Malaysia 'menyesal' karena si Indon (baca: wasit karate dari Indonesia) ternyata mengalami luka serius akibat dipukul 4 orang polisi Malaysia;
  4. Malaysia 'menyesal' karena si Indon (baca: wasit karate dari Indonesia) ternyata masih hidup setelah dipukuli 4 orang polisi Malaysia;
Silahkan pilih yang mana?
Mungkin orang-orang di Malaysia sana sesungguhnya akan pilih No.4. Karena orang Indonesia dan Malaysia sesungguhnya serumpun (sepaham?), maka Indonesia mungkin belum menerima 'penyesalan' tersebut....

Tuesday, August 28, 2007

ECON 16200: Sharing Two Story

I started ECON 16200 Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan (Environment and Natural Resource Economics) course today by informing students with reading list and suggested books related with this course. The other thing that I've been share with them today is two – supposed to be – interesting story on resources and environmental issue.

First, I distributed a two pages summary of Kenneth Boulding essay titled "The Economics of the Coming Spaceship Earth". I was quote them from Chapter 1 Box 1.1 "Natural Resource and Environmental Economics" book of Roger Perman et.al (see page 9). You may see the summary here. I believe Boulding discussion on sustainable economy in the year 1966 is becoming more relevant to see further for current and following years. Boulding initiated analysis about economic versus resource-constraint situation by contrasting two type of economy: "Cowboy economy" and "Spaceman economy". For me, the most interesting discussion from Boulding is that he already predict about today's global warming as follow:
The shadow of the future spaceship indeed is already falling over our spendthrift merriment. Oddly enough, it seems to be in pollution rather than exhaustion, that the problem Is first becoming salient. Los Angeles has run out of air, Lake Erie has become a cesspool, the oceans are getting full of lead and DDT, and the atmosphere may become man's major problem in another generation, at the rate at which we are filling it up with junk.
Does it sound like an influx-prophecy?

Secondly, I continued sharing the students with The Mystery of Easter Island. The island somehow told a story about the most extreme environmental destruction in the world and many researches indicate that it was man-made implications. Jared Diamond (2005)[*] said, "The overall picture of Easter is the most extreme example of forest destruction in the Pacific, and among the most extreme in the world: the whole forest gone, and all of its tree species extinct". The Easter Island case is one way to share concern for the future of humanity, especially using economic approach to answer several questions such as:
  • Will the environment be a constraint to human welfare?
  • What are the trade-offs: between people and nature; between the current and future generations?; and between poor and rich societies?, and finally
  • How can they be resolved?
I don't know whether the student excited or not with that two story. Hopefully, they will realize that our earth needs our attention with all knowledge that we have or gain. Since we are economist (wannabe), then obviously we should learn and use economics tools to answer the existing natural resource and environmental problems




[*] Diamond, Jared (2005). Collapse: How societies choose to fall or survive, London: Penguin Books, Ltd. p.107

Malaysia = Tukang Pukul?


Setelah sekian banyak membaca berita bahwa "majikan" Malaysia memiliki hobi memukuli para pembantu rumah tangga asal Indonesia, maka tambahan berita tentang wasit olahraga karate asal Indonesia yang dipukuli oleh polisi Malaysia hari ini membuat aku ingin mengambil kesimpulan bahwa di Malaysia penuh dengan tukang pukul. Atau, malahan aku sebenarnya ingin sekali berkesimpulan bahwa orang Malaysia semua "sakit". Entah sakit jiwa, sakit mental, atau sakit apalah. Hal tersebut karena yah itu tadi, mereka ternyata sangat ringan tangan dan mudah sekali memukul.

Meskipun demikian, orang Indonesia janganlah meniru orang Malaysia demikian. Bahkan, jika kelak bertemu orang Malaysia cobalah berterimakasih karena telah menunjukkan apa arti sesungguhnya dari "Malaysia is Truly Asia".

PS: Sangat disayangkan bahwa Presiden SBY cuma bisa prihatin (baca di sini). Tadinya aku mengharapkan dia akan bereaksi yang sama kerasnya seperti soal "kawin sebelum jadi taruna" terhadap Malaysia.


Powered by ScribeFire.

Friday, August 17, 2007

Dirgahayu!


Today is the Indonesian Independence Day.
Dirgahayu Republik Indonesia ke-62.
Merdeka!

Quo Vadis Virginity

After posting about Indramayu District Head "silly" policy on Virginity Test, I have curiosity about what does it mean to become virgin? In this case, I use the same meaning of virgin both for male and female[*]. When I am trying to look for definition, I found this web that defining various definition of virginity and you are welcome to provide your own definition. Meanwhile, it also mention about several consideration for offering new definition of virginity. You are recommended to think about several situations and ask yourself about how such situations will be adequate to give a meaning for virginity. Those situations are:
  1. Is someone who is raped or molested no longer a virgin?
  2. Is actual intercourse the only act that counts when determining ones virginity?
  3. If he/she willingly engage in other intimate sexual acts but do not have intercourse, is it fair to still consider himself/herself a virgin?
  4. Is the current definition of virginity, and all the social stigma attached to it, biased toward girls? Is this right?

So, what do you think of those situations? My very simple and whole conclusion is virginity simply health or biological condition. Judgment or consideration about virginity should be only based on that factor. If you put your social stigma, religious and norms label on this definition then used it for yourself and not to put them on others. That is why I am still feeling sick and tired when I read or hear people (especially religious leader and government officer) talking about morality and at the end put women as a convict.



[*] Using Indonesian language, virgin for female called “perawan” while for male one called “perjaka”. I believe the difference is also construct – not only by language factor – but socio-culture factor where female being in sub-ordinate position compare to male

Thursday, August 16, 2007

test keperawanan? Cape' deh...

Menarik dan ruarrr biasa!!

Mengutip kata-kata dari Ibu/Mbak Megakarti di NEWSdotCOM: Kantor Berita Republik Mimpi, "Inilah akibatnya kalau Bupatinya laki-laki!", maka akan ada test keperawanan bagi para siswi SMU di Indramayu.

Jika kugunakan pendekatan Kesehatan Reproduksi, pertanyaan umum yang seharusnya diajukan adalah apakah test tersebut signifikan akan mengurangi insiden seks pra-nikah atau video mesum?

Terlepas dari kontradiksi perlukah juga kita melakukan test keperjakaan (untuk para siswa) - salah satu kontradiksi yang pasti akan dikemukakan oleh kaum perempuan, menurutku sangatlah tidak relevan dan tidak signifikan test "seksualitas" seperti ini dilakukan, apalagi jika tujuan utamanya adalah mencegah seks pra-nikah atau pelanggaran moral seperti video mesum dan foto-foto seronok/porno.
Seperti diutarakan oleh si Bupati,
Jika hasil pemeriksaan medis diketahui terdapat siswi SMP/Mts dan SMA/SMK/MA tidak perawan lagi atau kegadisannya sudah hilang, maka orangtuanya akan dipanggil sekolah.
"Orangtuanya akan diingatkan untuk lebih waspada dalam mendidik putrinya sehingga jangan hanya bisa menyalahkan sekolah atau gurunya saja," kata Bupati Irianto MS Syarifudin.
Yang lucu di sini adalah apakah si Bupati mengetahui apa saja penyebab keperawanan atau kegadisan bisa hilang? Bukankah hilangnya keperawanan atau kegadisan bisa juga disebabkan oleh faktor di luar hubungan seksual? Bagaimana kita mengetahui penyebab pasti hilangnya sebuah keperawanan atau kegadisan?

Atau, bagaimana nasib para perempuan yang teridentifikasi "masih perawan/gadis"? Perlukah kita sanjung-sanjung perempuan tersebut, dan - ini biasanya solusi dari kaum tradisionalis - segera saja dinikahkan agar jangan sampai hilang keperawanannya dengan cara di luar institusi perkawinan.

Kesimpulanku, jika fokus kebijakan hanyalah untuk mencari "kebenaran" (takut disalahkan atau mencari kesalahan orang lain) seperti yang diutarakan si Bupati maka terjadilah penciptaan kebijakan-kebijakan "nyeleneh" seperti ini. Sama halnya seperti kebijakan razia perempuan "malam" (baca: perempuan yang kebetulan keluar di waktu malam hari) yang terjadi di Tangerang dan kebijakan-kebijakan berbau "penegakan moral" lainnya. Dan, jika diperhatikan secara seksama, ujung dari semua masalah dan solusi yang ditawarkan para pemimpin gerakan "penegakan moral" ini adalah memberangus dan menindas kelompok perempuan. Cape' deh...

Benar-benar negeri dan orang-orang yang aneh...

Update: Ternyata bukan hanya Bupati Indramayu saja yang "nyeleneh", bahkan kebijakannya tersebut juga didukung oleh pejabat-pejabat nyeleneh lainnya. Pejabat di Dinas Kesehatan (Dinkes) dan Dinas Pendidikan (Dindiknas) menyatakan mendukung penuh kebijakan tersebut. Duh cape' deh lagi... cape' banget!

Monday, August 13, 2007

On Water Shortage, Once Again!


I really want to say, "I've told you so!". But it seems useless as well like last time I wrote this post try to remind all of you about this latent problem.

This article highlighted two problem that will not be able to solve in immediate time by Indonesian government: coordination and anticipation. (Please note, I have a great doubt that the two problem will - not only unable to solve - but also 'never' be able to see and realized. They are too blind and too greedy to know that there is a serious problem in this country).

The above example of government authority statement on "water shortage that is still in normal condition" (as seen on cartoon above) is one inevitable evidence and indication of the failure of Indonesia's today government. What is the name of the president and the vice president?

Friday, August 03, 2007

Mahasiswa FEUI dan amnesia

Hari ini benar-benar menggelikan sekaligus menyebalkan. Selain itu, keduanya bisa aku jadikan satu kesatuan perasaan yaitu miris. Perasaan tersebut dipicu oleh dua orang mahasiswa/i yang datang menyerahkan tugas mereka yang sudah lewat dari tenggat waktu yang ditetapkan. Semua momen tersebut diawali ketika aku memberikan tugas dengan instruksi yang berbunyi sebagai berikut:
Tugas Review Artikel: Perekonomian indonesia

Bacalah dengan seksama artikel yang berjudul “Struktur Spasial-Sektoral dan Ekonomi Indonesia di atas lalu tulislah review Anda atas artikel tersebut.

Review yang Anda tulis sedianya mencakup: identifikasi persoalan atau pertanyaan mendasar yang Anda identifikasi dari artikel tersebut. Kemudian, kaitkan dengan teori dan atau konsep ekonomi pembangunan dan kajian kebijakan-kebijakan ekonomi yang ada di Indonesia yang telah Anda pelajari di mata kuliah Perekonomian Indonesia. Akhiri dengan kesimpulan dan atau saran konkret Anda atas identifikasi persoalan/pertanyaan di bagian awal.

Analisis kritis sangat dihargai dalam review ini, yang sedianya dilengkapi dengan literature dan kepustakaan ilmiah yang mendukung. Penggunaan data empiris baik dalam bentuk grafik dan atau tabel akan dapat menambah kekuatan analisis dari review yang Anda susun. Jangan lupa menyebutkan pustaka, sumber data, dan rujukan-rujukan lain yang dikutip atau sajikan dalam review Anda.

Ketentuan Penulisan:

- Maksimal 3 halaman, sudah termasuk tabel, grafik dan daftar pustaka.

- Mengikuti kaidah penulisan ilmiah yang baku, plagiat sangat dilarang dan berat hukumannya

- Tidak perlu sampul depan, daftar isi, dan kata pengantar.

- Tipe huruf dan tata letak (batas margin, tipe kertas, dsb) disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing namun harus wajar.

Batas Waktu:

Dikumpulkan pada saat Ujian Akhir Semester (UAS). Susulan tidak akan diterima dengan alasan apapun, kecuali didukung bukti atas situasi yang sangat memaksa. Misal: sakit dengan rawat inap.

Perlu diketahui, UAS-nya berlangsung sehari sebelumnya (2 Agustus 2007). Aku menerima berkas tugas makalah tersebut kira-kira pukul 5 atau 6 sore setelah sesi UAS berakhir.

Semua mulai terjadi ketika keesokan pagi harinya, aku menerima kedatangan satu orang mahasiswi yang ingin menyerahkan tugas tersebut. Padahal, dalam instruksi sudah jelas dikatakan pada bagian "Batas Waktu" (lihat yang berwarna merah di atas) bahwa aku tidak menerima susulan dengan alasan apapun, kecuali karena sesuatu yang sangat memaksa. Bukankah ini berarti mahasiswi tersebut tidak "membaca" instruksi dengan benar?! Dan nampaknya pendapat bahwa mahasiswa/i tidak pernah membaca instruksi dengan benar adalah BENAR. Itu karena ketika aku periksa secara cepat saja setiap tugas yang dikumpulkan masih banyak yang ternyata melanggar instruksi tentang maksimal 3 (tiga) halaman. Bahkan ada yang menulis, "NB: Pak/Bu saya mohon maaf karena isi terdiri dari 4 halaman. Belum termasuk Lampiran". Aku hanya bisa tersenyum membaca "permohonan maaf" tersebut...

Kembali lagi ke cerita mahasiswi tadi, yang menjadi masalah buatku adalah ketika aku tanya,
"Kok terlambat?"
Si mahasiswi menjawab dengan ringan sekali,
"Saya lupa, Pak. Setelah ujian, saya langsung pulang jadi saya lupa mengumpulkan tugas"
Lupa?? Aku lanjutkan dulu dengan cerita mahasiswa kedua yang datang di sore hari, juga untuk menyerahkan tugas. Lagi-lagi saya tanya tentang kenapa terlambat. Si mahasiswa ini menjawab dengan ringan dan sambil tersenyum,
"Lupa, Pak. Saya benar-benar tidak ingat mengumpulkan tugas ini. Abis, banyak tugas-tugas yang lain"
Lupa?? (Lagi??). Oh ya, kedua orang mahasiswa/i tersebut juga aku tanya,
"Apakah anda tidak membaca intruksi di tugas tersebut?"
Jawab mereka,
"Baca, Pak"
Dan aku juga bertanya tentang apa saja yang mereka baca di dalam instruksi tugas tersebut. Namun, mereka tidak menyebutkan syarat tentang batas waktu (seperti yang diwarnai merah di atas). Jadi, kesimpulan bahwa mahasiswa/i tidak pernah membaca instruksi dengan benar adalah BENAR menjadi kesimpulan semakin sahih untuk disimpulkan.

Ketika berbicara dengan kedua mahasiswa tersebut, aku bertanya lagi - sambil menyimpulkan momen yang terjadi hari ini, "Mahasiswa FEUI sekarang sering amnesia, ya?" Mereka hanya tersenyum simpul (atau mau mengejekku karena menanyakan pertanyaan bodoh tersebut, ya?).

Jika pun para mahasiswa tersebut menggunakan alasan "karena banyak tugas maka (berhak) lupa dengan tugas lain", menurutku itu bukanlah suatu hal yang lumrah. Ditambah lagi jika memang sudah terlambat, janganlah menggunakan alasan "lupa" seakan-akan itu adalah alasan yang wajar dan bisa dimaklumi karena kehidupan mahasiswa sangat sibuk dengan begitu banyaknya tugas.

Tolonglah, wahai para mahasiswa! Tugas utama anda adalah belajar, dan bagian utama dari belajar adalah menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan kepada anda semua sesuai dengan ketentuannya. Jika memang ada alasan yang sangat memaksa, maka bolehlah kita carikan solusi lain atas ketidaksesuaian-ketentuan. Selain itu, terimalah kenyataan jika anda telah melanggar ketentuan dan siap - konsekuen - menerima sangsinya. Jangan bilang, "Lupa, pak!"

Kok anda tidak lupa bawa telpon seluler dan kunci mobil Honda Jazz anda ya?

Aku sangat curiga, jangan-jangan mahasiswa/i tersebut sebenarnya tidak mengerjakan tugas tersebut sampai akhirnya sadar kalau mereka sudah lewat tenggat waktu. Ketika mereka terlambat, maka mereka berspekulasi menyerahkan saja meskipun menggunakan alasan "amnesia" (baca: Lupa, pak!). Dengan menggunakan logika hukum peradilan, jika terdakwa ada dalam kondisi yang tidak sehat, mengalami gangguan mental, dan atau amnesia maka segala tuduhan terhadap terdakwa dianggap gugur demi hukum. Bolehlah mereka tetap mengumpulkan tugas mereka dan mendapatkan penilaian yang sama dengan rekan-rekan mahasiswa/i lainnya. Ah, jika amnesia kenapa boleh kuliah di FEUI ya?

Yang aku sesalkan adalah mengapa aku masih mau menerima tugas mereka ya?

Wednesday, July 25, 2007

Antara Möller dan Sobary

Aku mengetahui kedua orang tersebut di judul, lewat media yang sama yaitu harian Kompas. Aku mulai membaca tulisan-tulisan Mohamad Sobary lebih dulu melalui versi cetaknya, sedangkan tulisan-tulisan André Möller mulai aku baca melalui versi onlinenya ketika aku belajar di negara tetangga tempat asal negara Bung Möller (semoga beliau tidak keberatan jika dipanggil dengan sebutan "Bung", dibandingkan "Pak").

Seingatku, keduanya tidak pernah menulis dalam konteks persoalan yang sama persis atau mendekati sama sekali. Namun, hari ini aku menemukan bahwa keduanya menyajikan tulisan yang memiliki konteks hampir bersinggungan (kalau belum boleh dibilang hampir sama) Mohon dicatat bahwa aku yakin sekali bahwa keduanya benar-benar tidak ingin menulis dengan konteks yang bersinggungan pun sama. André Möller memulai lebih dulu di artikel rubrik bahasa pada hari Jumat, 20 Juli 2007 lalu yang berjudul "Warna Orang-Orang". Mohammad Sobary kemudian menyusul di rubrik Asal Usul, Selasa 25 Juli 2007 dengan judul artikel "Kemiskinan".

Jika anda memperhatikan dari judulnya saja, maka jelas sekali tidak ada kaitan sama sekali antara tulisan Möller dan Sobary. Namun, jika anda baca dengan seksama dan - mungkin sedikit memaksa - maka ada satu topik besar yang sama yang sedang dibahas oleh Möller dan Sobary. Topik tersebut yaitu masalah pelik dalma penggunaan bahasa Indonesia oleh bangsa Indonesia sendiri.

Möller membahas tentang penggunaan warna-warna dalam bahasa Indonesia yang lebih sering menggunakan serapan bahasa asing (Inggris) dibanding bahasa Indonesia sendiri. Seperti ditulis oleh Möller dibagian awal tulisannya:


Sekarang ada dua warna yang bunyinya sangat keren dalam bahasa Indonesia: ping dan orinj. Dengan kata lain, pink dan orange. Atau dengan kata lain lagi: merah muda dan oranye. Atau: merah jambon dan kuning kebakaran. Ah, yang terakhir itu terlalu bahasa Swendonesia. Namun, warna itu juga disebut (warna) layung atau lembayung. Mambang kuning dan merah jingga pun tercantum dalam Tesaurus Bahasa Indonesia.

Sebagaimana (jika mungkin) disadari oleh orang Indonesia, sangat mudah dalam berbahasa Indonesia untuk menyerap bahasa asing (Inggris) dan langsung mengaplikasikannya dalam bahasa Indonesia. Contoh lain, jika boleh menambahkan apa yang sudah disebutkan oleh Möller, yaitu warna silver atau dengan kata lain perak. Aku kurang paham, apakah itu bisa dikategorikan warna atau perhiasan. Belum lagi penggunaan gaya bahasa - aku dapat istilahnya dari Möller juga yaitu - Inggronesia, seperti: 'me-manage', atau 'men-challenge' (catat: kata ini sering sekali digunakan oleh salah seorang calon rektor Universitas Indonesia ketika beliau mengikuti debat calon rektor beberapa waktu lalu).

Semangat 'ketidakjelasan' berbahasa seperti disampaikan oleh Möller, menjadi lebih ironis dan tajam dampaknya setelah membaca tulisan Sobary. Seperti ditulis oleh Sobary dibagian awal tulisannya



Secara kebudayaan kita bangsa kaya. Tetapi, mengapa dalam berbahasa para politisi, para pejabat, para artis, dan bahkan juga para pengamat dan para ilmuwan kita begitu miskin? Tiap saat kita menyaksikan pameran kemiskinan
artikulasi, kemiskinan kosakata, kemiskinan metafora, dan kemiskinan idiom, atau ungkapan. Mengapa dalam berbahasa kita tampak miskin? Banyak kaum terpelajar yang bahasa Indonesianya belum lengkap.

Pemahamanku atas tulisan Sobary secara keseluruhan adalah betapa Indonesia tidak hanya miskin secara ekonomi namun juga miskin mental, budaya, dan yang penting bahasa. Sebagai contoh bahasa yang digunakan oleh calon rektor tersebut. Padahal bahasa adalah bentuk awal untuk berkomunikasi yang pada gilirannya membawa keadaan sosial ke arah kerjasama dan perubahan. Jika berbahasa saja miskin, bagaimana perubahan bisa disampaikan dan dimengerti? Bagaimana kemajuan bisa dicapai jika tidak ada yang tahu bagaimana caranya menyampaikan dengan "bahasa yang jelas" apa dan bagaimana kemajuan harus dicapai?


Setelah membaca tulisan Möller dan Sobary, aku jadi ingat untuk lebih sering membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) untuk memastikan apakah aku sudah menggunakan kata yang tepat atau aku juga ternyata telah mengalami 'pemiskinan' bahasa (?). Padahal, aspek berbahasa bukankah tidak hanya terdiri dari kata-kata saja, melainkan juga susunan kata yang menjadi kalimat dan makna yang ingin disampaikan lewat susunan kalimat tersebut. Semoga belum terlambat untuk mempelajari lagi dan menyempurnakan penggunaan bahasa ibu sendiri.

Thursday, July 19, 2007

Sepak Bola Indonesia: Bravo!!

* Foto: Website PSSI


Aku bukanlah seorang pecinta sepak bola sejati. Karena itu, aku tidaklah tahu secara mendetail tentang dunia persepakbolaan di jagat raya ini. Namun kali ini, aku benar-benar peduli dengan sepak bola, terutama sepak bola Indonesia. Mengapa demikian?

Kemarin, Tim Nasional Sepak Bola Indonesia telah melaksanakan pertandingannya - yang sayangnya - menjadi pertandingan terakhir di ajang Piala Asia 2007 atau 2007 AFC Asian Cup. Membaca berita-berita suratkabar dan media massa lain hari ini, maka jelas sekali kekecewaan bangsa Indonesia karena kekalahan tim nasional Indonesia atas Korea Selatan kemarin. Namun, di sisi lain, terlihat juga sebuah optimisme yang cukup langka belakangan ini di Indonesia. Optimisme tersebut adalah bahwa sesungguhnya kita bisa bangkit dari keterpurukan. Tim Nasional Sepak Bola Indonesia adalah sebuah figur baru yang menunjukkan semangat tersebut.

Meskipun hanya melakukan persiapan selama 2 bulan untuk menghadapi Piala Asia 2007, prestasi dan permainan yang disajikan oleh para pemain Indonesia bisa dibilang luar biasa. Di tengah keterpurukan prestasi olahraga yang Indonesia alami di hampir semua cabang, sepakbola seakan memberi celah bercahaya terang bahwa kerja keras dan semangat untuk memperbaiki diri pasti akan membuahkan hasil yang gemilang. Dengan segala keterbatasan skill, pengalaman, serta stamina dibandingkan lawan-lawannya, tim sepakbola Indonesia menunjukkan bahwa mereka telah menemukan semangat Indonesia-nya.

Kita semua sepakat, sepakbola Indonesia telah bangkit. Jika kita boleh bercermin pada pengalaman ini, maka bolehlah pula kita secara nasional di berbagai sektor mulai dari sosial, ekonomi, budaya untuk bangkit dan menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang bermartabat, mampu menjadi bangsa yang berhasil di berbagai bidang. Menurutku, tidaklah berlebihan jika tim sepakbola Indonesia kali ini kita jadikan ikon semangat Indonesia. Jadi, terima kasih untuk tim sepak bola Indonesia atas pelajaran yang telah kalian tunjukkan kepada kami. Sepak Bola Indonesia: Bravo!!

Friday, July 13, 2007

Hindu vis-à-vis symbols and old teachings

I read an article in The Jakarta Post special column for Bali (July 12, 2007). I Wayan Juniartha is the writer of that article. The article has evoke me with one experience happened long time ago. That experience made me wonder how to find a reasonable answer to other non-Hindu people when they served me with questions related with Hindu's ritual. Let me first discuss a bit about The Jakarta Post article then I link with that experience.

The article title “Scholars call for new ritual interpretations” initially discusses about Kuningan celebration at Serangan Island that focus to Hinduism rituals and its symbols in relations with environmental condition in Bali. One quote gives me confirmation that Hindu’s teaching for sure has a spirit of environmental conservations, however not all Hindu Balinese realizing it:
"Respect for nature, for land and water, is the core teaching of Balinese Hinduism. Yet, why do only a few people really care about ecological preservation? Why do most of us fellow Balinese believe that holding a religious ritual for (honoring) nature is more than enough to reverse the ecological disaster that is threatening the island?"
However, the above statement makes me wonder, what’s wrong with Bali or particularly the Balinese Hindu?? Then, it comes to the typical reply for every question I raise about Balinese ritual, “Nak mule keto!” (It’s already just like that!), without any further logical or sensible reasons. Now my experience will apply for an example.

Once upon a time, I got one question, “Why the Balinese (Hindu) cover a big tree with that black-white-chess pattern cloth and pray against that tree?” When I asked that with my parents and relatives in Bali, they gave me argument focus with a creature that living on such tree that if we did not serve them then it will harm you. It was definitely a scary reason, but it did not satisfy my curiosity and logic at all. Continuously, I got another reason that the tree had a special power to protect the village from danger or black magic. It is another non-satisfactory answer for me.

Someday, I found the answer from non-Bahasa Indonesia book that explaining about traditional method of environmental conservation. The book said that in traditional civilization, in order to maintain big tree capability to store up underground water stock, the elderly-wise leader during ancient era create such a psychological pressure or mental-suggestion for people to prevent them of cutting the tree. At that time, people would be very difficult to accept if we used biological-environmental argument related with the function of tree in hydrological cycle as a reason of prohibiting big trees for being cut down. But, they might be believe (due to their low education and lack of scientific knowledge) if we used some ‘magic things’ or ‘scary story’ to touch – indirectly – their consciousness on environmental conservation issue. Thus, ghosts or scary creatures or even special magical power that come up from the tree becomes a reason and being spread out across the society.


That argument become basis for answers that I always served to my non-Hindu friends when they asked me about similar cases. I always give some explanation about the reason and condition of ancient time of Hindu and add further explanation by connecting those traditional believe with today scientific arguments. For example, I used the relation between ghosts or magical power as native motivation with environmental conservation purposes as scientific motivation for question of why Balinese cover trees with cloth and pray against them. So far, I found that my friends who raised the question somehow accept that argument, in a sense that they did not continue debating the logic of that reason. Hopefully, they may understand that Hindu always covered by many symbols. It is not so straight and easy to interpret the symbols since those symbols already utilize for centuries (please remind them that Hindu is one of the oldest religion on earth!).


However, for Hindu followers per se, it is a must now that they face with a new century – a new era where ancient and old symbols or rituals need to revitalize to match with current condition. Just like the article said:
"Today's Hindu followers must have the courage to reinterpret those symbols, to make the ancient teachings relevant to the challenges we are currently facing"
I could not agree more with that statement. All religions and civilizations all over the world now have been challenged by vast changes. Ignorance, fanaticism, or radicalism of religious teachings and rituals will only lead human race to stagnation of knowledge and spirituality. While combining faith with non-stop searching for universal knowledge and anticipate the dynamic of society will maintain the existence of ones religion and increase the human contribution for peace and welfare. Let's keep wishing and trying!

Thursday, July 12, 2007

Borobudur??



This editorial is a simple contemplation for me. The second paragraph that said:
"Indonesia has failed to reap much benefit from these treasures because of ignorance and an unwillingness to preserve the sites. We can blame no one but ourselves for this failure to preserve and promote the country's heritage for the betterment of the people"...
just like admitting not worthy of our Borobudur to receive the World Seven Wonder title.

Please feel free to read the editorial as I posted below and comment on how we could reduce another failure on preserving and promoting our beloved country's heritage for the betterment of - not only the people today - but for future generations as well. I made some highlights on - I feel - very important paragraph that actually punched us very hard as Indonesian. One post made by a friend also quite interesting to read.


---------------------------------
Borobudur, no wonder

This newspaper ran interesting articles about two of the country's priceless but neglected heritage sites in its Sunday and Monday editions: Lake Toba and Borobudur Temple.

Indonesia has failed to reap much benefit from these treasures because of ignorance and an unwillingness to preserve the sites. We can blame no one but ourselves for this failure to preserve and promote the country's heritage for the betterment of the people.

The first report, on the Sunday Post's Travel page, described the vast volcanic Lake Toba in North Sumatra. The lake is believed to be the result of largest volcanic eruption more than 840.000 years ago. Few Indonesians, even among the Batak tribes living around the lake, know about the violent birth of Toba.

Local residents and tourist industry people only complain about the declining number of foreign visitors to the area because of its geographical handicaps, poor infrastructure and the lack of tourist attractions. With better knowledge of the lake's history, it would be easier to attract tourists by packaging the history of the lake.

The National Geographic television station has in the past aired a wonderful program about the eruption. After watching this program most people would find it ridiculous that more people visit Singapore's Night Safari -- which offers only animals from other countries -- than Lake Toba.

The story that appeared Monday is even more concerning for Indonesia, because in it we learn that Borobudur Temple, the pride of the nation, does not appear on the new list of the Seven Wonders of the World.

When asked about Borobudur, most -- if not all -- Indonesians will repeat the old, but incorrect, conviction that the temple belongs to the Seven Wonders of the World.

Since childhood Indonesians have been taught that the world's largest Buddhist temple is included among the world's seven wonders, although the claim is not supported by documented evidence.

Indonesian officials quickly played down the new list of the world's wonders, arguing that the United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (Unesco) was not involved in drawing up the list. They probably forget that 100 million people across the globe voluntarily participated in the voting, just like the American Idol process.

A private Swiss foundation on Sunday announced the results of the poll, where 100 million Internet and phone voters chose seven out of 21 short-listed sites, from an original list of 77. Borobudur did not even make the top 21.

According to Unesco's list of 851 world heritage sites, just seven are in Indonesia, including Borobudur Temple in Central Java and the Sangiran's early man site in East Java.

Other countries, like Brazil and Peru, have been much more active in promoting their historic sites and natural assets, realizing this is one of the most effective ways to attract visitors, and their money, to the country.

Many jealous Indonesians may say Borobudur is more deserving of the honor than India's Taj Mahal or the statue of Christ overlooking Rio de Janeiro. Whether or not this is true, Indonesia has not done enough to draw the world's attention to its attractions.

As in North Sumatra, the local government in Central Java has complained that visitor numbers to Borobudur have continued to decline despite efforts to provide more commercial facilities around the Borobudur compound.

Tourists are reluctant to visit Lake Toba because of its distance from Medan, and also because, unlike culturally rich Bali, tourists can only enjoy the beauty of nature. There are no attractive cultural programs on offer for visitors.

Visitors to Borobudur Temple are often annoyed by the presence of overzealous vendors. The government apparently believes the temple alone is more than enough to bring in tourists, so no extra effort is needed.

Borobudur is our cultural pride and Lake Toba is the crown of our natural riches. But pride alone is not enough when the nation fails to compete with other countries in attracting tourists.

Saturday, July 07, 2007

Quote of the day

This is a very touching quote from Kompas by Gede Prama titled "Manusia Dengan Berkah Agung" (Human with Noble Blessing):

"Memandang perbedaan sebagai keindahan, melindungi diri dengan perisai kesadaran, kekayaan adalah rasa berkecukupan, hidupnya diterangi matahari kesadaran, dan kalau terpaksa mengeluarkan pedang, ia mengeluarkan pedang kebijaksanaan"

(To look at diversity as beauty, to protect oneself with the shield of consciousness, wealth is a sense of sufficiency, ones existence is being enlighten by the sun of consciousness, and if being forced to unsheathe the sword ones will unsheathing the sword of wisdom)

Why is it so difficult for Indonesia, a country with strong and huge religious claim, to create a simple heaven of peace on their on earth rather than "fight" for ones own heaven after life later?

Tuesday, June 26, 2007

Quote of the day

Aku bermimpi tapi aku berpikir. Aku berkhayal tapi aku mencari kenyataan. Apakah aku bisa terus melangkah maju?

Kalatidha by Seno Gumira Ajidarma

Saturday, May 19, 2007

New Home


New home means two things. First, it means a new start of life. By staying in our own house, me and my wife by definition maybe able to claim ourselves as already become one household or a family. Second, it means independence, own responsibility, and more self learning.

Well, I could not think other things about having own house besides everyday and every moments will be always new: new house (physically, of course!); new neighbors, the potential future friends; new environment meaning new comfort or discomfort feelings. And many others "new" stuff. All of that "new" stuff then becomes "old" later, in a way that life will going on as long as I lived with it. Sound easy but challenging as well as uncertain along the process.

Anyway, that is all just started today. Everyone, especially friends, are kindly welcome to my (me and my wife) house. The house is located at Depok, West Java. The detail address is “Permata Depok Regency, Cluster Ruby, Blok D25/1”. If you wish to visit us, it is quite easy to find. From Depok main road of Margonda Raya, go straight to Citayam (headed to south). You will see the estate on the left side of the road. After you enter the security gate cluster, never take right turn. Instead, just go ahead until you see a blue house with high landscape (sometimes you can see our black-cute city car on the carport). Check the picture above.

Finally, welcome to Ruby D25/1!

Wednesday, April 25, 2007

Sendiri

Hanya angin yang pasti bisa mendengar
Hanya malam yang pasti bisa memeluk

Aku telah ditinggalkan bulan
Sendiri menantang matahari
Tak ada kawan diajak berkeluh
Sendiri sekarang dan
Ditinggalkan

Hasratku menepi
Di pesisir harapan
Untuk kemudian mengurai
Air mata kesepian
Di sudut nestapa

Tuesday, March 20, 2007

Outside

Lock the door, please
Just let me outside of the room
And tell me it was nothing
Nothing but just locking the door
Because the door wanted
To be locked

Or another words, just let me
To stay outside of the room
Don't let me get inside
Never until I'm freezing
Thus, lock the door then
Nothing to say and no words necessary
To mention just for a simple explanation

All of that as a stand alone reason
For what I have done
After all, could you tell me what were that?

Even though I'm inside now
But I'm already locked for real outside
Mentally and physically

"after midnight"

Sunday, March 18, 2007

Badai

Aku menanti badai
Badai yang kutanam bibitnya
Dengan kesadaran
Namun, aku tak pernah tahu
Akan sebesar apa badai
Yang akan kutuai nanti

Aku menanti badai
Yang akan menelan
Segenap harap
Agar tersisa satu saja
Cinta yang memeluk hangat

Tuesday, February 27, 2007

Malam kelam tenggelam

Hujan tak perlu datang

Menggenangi riuh riang

Air nan berkejaran

Angin yang mengiringi

Sudah menyanyi lagu sendiri

Bukan sekedar sedih pilu

Baru tersadar bahwa nelangsa biru

Telah jadi syahdu

Tuesday, February 20, 2007

When years pass by
I found so many things
You may not see and understand them all
But clearly, I made some draw
Maybe valuable enough
Maybe nothing at all

Thursday, February 01, 2007

Langkah menghadap jalan terbuka

Kian lebar, kian panjang

Mata bagai dibutakan, tapi masih melihat

Bagaimana hingga bisa sampai di sini?

Suara kan terpapar, mengisi ruang luas

Kian tinggi, kian lapang

Nada bagai ditelan, tapi masih menyanyi

Bagaimana hingga jadi seperti ini?

Tak tahu harus melangkah ke mana

Tak bisa harus menjerit ke siapa

Kesalahan terjadi

Tak bisa menghindar

Pun memudar, pun musnahlah

Tak bisa mengingat bagaimana

Tak bisa mengingat kenapa

Tak tahu mengapa berdiri di sini

Tak tahu mengapa berucap di sini

Bilakah hanya bisa terbujur begini?

Lagu hati seperti seruling bambu

Di tengah savana kering

Tanpa ternak, tanpa gembala

Ada tapi tiada...

Wednesday, December 20, 2006

water shortage concern


As I also posted here, I want to start questioning people “when we should worry with water shortage?”

My concern begin recently after the rainy seasons come, because in this seasons we can start to accumulate stock of water and conserve them before dry seasons take over. But, I don’t know why people only concerned with water shortage during dry seasons just like curative approach, instead of also concern during rainy seasons just like preventive approach.

Why those government people never think and act well?

the origin of bluetooth

Why I talk about this - bluetooth - technology? Well, recently I really crazy with it. I love being connected with several device without wire at all. I like to see less cable cross over my table or between my gadget. It's make life looks more clean and neat.

Many people curious with the origin of bluetooth, especially why it was named so. I've read an article titled "What is Bluetooth?". So, this is their short explanation about the original name of bluetooth.

"The name Bluetooth is derived from the cognomen of a 10th century king of Denmark, Harald Bluetooth. According to the inventors of the Bluetooth technology, Harald engaged in diplomacy which led warring parties to negotiate with each other, making Bluetooth a fitting name for their technology, which allows different devices to talk to each other. The name of the king in Danish was Harald Blåtand and the Bluetooth logo is based on the H and B runes."

for detail see wikipedia

Wednesday, November 29, 2006

Happy Galungan


Rgveda V.51.5
Svasti pantham anu carema
surya candram asav iva,
punar dadata’ghnata
janatam sam gamemahi.

We will follow the path of the Truth,
Like the path of the Sun and the Moon,
We will side by side with the Munificent, the Devotion
And the Great Divine


Kami akan mengikuti jalan kebenaran,
Seperti jalannya matahari dan bulan,
Kami akan menyertai yang pemurah, yang
penyayang dan yang maha mengetahui