Wednesday, September 14, 2011

tentang hormon testosteron & menjadi ayah

Posting ini akan berbau gender, khususnya terkait dengan status 'kelaki-lakian' (malehood) dan 'kebapakan' (fatherhood). Saya mulai dengan pertanyaan sederhana: "Bilamana seorang laki-laki bisa menjadi seorang ayah?" Definisi "menjadi seorang ayah" di sini saya khususkan dalam hal kemampuan untuk mengurus dan mengasuh anak. Mohon dikesampingkan terlebih dahulu peran ayah sebagai kepala rumah tangga yang lebih cenderung fokus hanya pada tugas "mencari nafkah".

Jawaban untuk pertanyaan di atas coba dijawab oleh penelitian yang dilakukan oleh Muller et.al (2009) dengan mengkaitkan kadar testosteron laki-laki dan statusnya sebagai ayah. Studi tersebut mendapati bahwa kadar testosteron laki-laki menurun ketika mereka menjadi ayah dan mengurus anak. Kesimpulan dari studi tersebut mungkin akan mengarahkan opini yang meyakini bahwa manusia laki-laki memang "dirancang" untuk menjadi ayah. Kita masih harus mengkritisi opini tersebut.

Ada apa dengan kadar testosteron? Hormon testosteron yang ditemukan pada kelompok manusia laki-laki diyakini sangat terkait dengan kemampuannya untuk menjalankan fungsi reproduksi. Ada sebuah hipotesis yang menyatakan bahwa jika kadar hormon ini cukup tinggi maka akan mampu memfasilitias upaya reproduksi tersebut. Upaya reproduksi ini erat hubungannya dengan perilaku seksual, mencari pasangan dan persaingan antar laki-laki dalam upaya mencari pasangan tersebut. Hipotesis tersebut juga mengklaim bahwa upaya reproduksi tersebut menimbulkan dampak pada kemampuan untuk 'parenting' atau menjadi ayah. Dengan kata lain, tinggi rendah kadar testosteron digunakan untuk menentukan status malehood dihadapkan pada status fatherhood. Inilah tantangan pembuktian dari hipotesis yang mengkaitkan hormon testosteron dengan kemampuan menjadi ayah.

Beberapa studi lain yang mencoba melihat keterkaitan antara fatherhood dan penurunan kadar testosteron yang umumnya ditemukan di kelompok laki-laki yang telah memiliki keturunan. Studi-studi tersebut memiliki kelemahan mendasar bahwa mereka tidak mampu menganalisis kelompok laki-laki yang sama selama masa hidup mereka sejak masih berstatus lajang hingga menikah dan memiliki anak. Kelemahan tersebut bisa menjadi titik kritisi yang kita temukan atas opini di atas bahwa ada kemungkinan kelompok laki-laki yang memiliki kadar testosteron lebih rendah maka akan cenderung memilih untuk menikah dan menjadi seorang ayah. Dengan kata lain, ini adalah persoalan "telur-ayam", apa yang menyebabkan apa – kadar testosteron menyebabkan menjadi ayah atau sebaliknya.

Sebuah studi terbaru yang dilakukan oleh Gettler, McDade, Feranil dan Kuzawa (2011) berusaha menyempurnakan studi-studi sejenis sebelumnya dengan menutup kelemahan di atas. Studi terbaru ini menemukan bahwa spesies manusia laki-laki seperti juga pada mahkluk spesies-spesies lainnya cenderung memiliki kadar testosteron yang lebih tinggi ketika ada pada fase hidup "melajang" (mate-seeking) dan kemudian menurun atau lebih rendah ketika mereka memiliki keturunan – menjadi ayah. Secara tidak langsung, studi ini seakan berhasil membuktikan bahwa laki-laki memang "dimaksudkan" untuk menjadi ayah dan berperan serta aktif dalam mengasuh keturunannya. Apakah ini berarti benar bahwa untuk menjadi ayah maka seorang laki-laki harus menurunkan kadar testosteron-nya? Atau sebaliknya? Sayangnya, studi ini tidak secara jelas menjawab hubungan sebab-akibat dua arah tersebut.

Meskipun hasil-hasil studi ini masih menyisakan pertanyaan yang kritis, namun mereka telah berhasil memberikan gambaran yang menarik dan penting tentang hubungan fisiologis orang tua, khususnya ayah. Hasil studi ini belumlah bisa dijadikan panduan untuk setiap ayah dan keluarganya. Hasil ini juga tidak bisa digunakan untuk menakuti para bujangan atau mendorong ayah untuk berhenti menjalankan perannya. Anda – para laki-laki atau calon ayah atau sudah menjadi ayah – perlu mencari lagi alasan-alasan dan motivasi-motivasi lain untuk menentukan peran Anda. Mungkin, hasil studi ini bisa dijadikan referensi yang relevan atas alasan dan motivasi tersebut.

Daftar Pustaka:
Gettler, L., McDade, T., Feranil, A., and Kuzawa, C. (2011) Longitudinal evidence that fatherhood decreases testosteron in human males. Proceedings of the National Academy of Sciences.
DOI: 10.1073/pnas.1105403108

Muller, M., Marlowe, F., Bugumba, R., and Ellison, P. (2009) Testosteron and paternal care in East African foragers and pastoralists. Proceedings of the Royal Society B: Biological Sciences, 276(1655), p. 347–354.
DOI: 10.1098/rspb.2008.1028

No comments: