Tuesday, January 17, 2006

if anyone have (know how to get) this song?


Kali ini aku ingin kembali berkata-kata tentang lagu spesial, seperti pernah aku tulis di sini.

Tentang lagu berikut, aku tidak ingat sama sekali bagaimana lagu ini sampai bisa aku dengar untuk pertama kalinya. Aku hanya ingat bahwa aku mendengar lagu ini dari radio, dan termasuk salah satu lagu yang paling mudah aku hafal liriknya (catat ya, listening English-ku masih sangat buruk saat itu). Aku baru bisa mengetahui judulnya "I Don't Wanna Say Goodnight" lama setelah jauh menghafal liriknya, kira-kira pada tahun 1997 setelah mendengarnya di radio Hard Rock FM dan secara kebetulan disebutkan oleh penyiarnya. Ada cerita khusus di momen tersebut. Sayangnya, aku tidak mendengar nama group musik yang menyanyikannya. Wah! Kenapa aku musti mengenal lagu ini sekeping demi sekeping?!

Belum tuntas pengenalan tersebut...
Beberapa bulan lalu, lagi-lagi ada momen khusus saat itu, aku baru bisa mengetahui group musiknya yaitu The Sweet. Sounds familiar? Tentu tidak. Setidaknya aku belum pernah menemukan kaset atau CD group ini di Indonesia. Aku sudah mencoba mencarinya di Amazon, tapi terlalu banyak (CD 3 keping!) dan mahal demi satu buah lagu ini. Mohon maklum, aku hanya tertarik dengan lagu ini saja. Bolehlah bilang aku egois, tapi bagaimana pun itu semata soal daya beli dan - ini yang penting - menjaga diri agar tidak didominasi oleh sentimentil. Apalagi aku merasa, sulit sekali menahan diri untuk tidak segera memuaskan pencarian ini. (Padahal dengan menulis ini pun sesungguhnya aku sedang memanjakan sentimentil tersebut, kan?).

Jadi baru sampai di situlah pencarianku saat ini. Seluruh 'mesin pencari' (search engine, pen.) sudah aku eksplorasi dan hanya di Amazon tadi aku menemukan titik terang yang economically too costly to be true. Karena itulah, if anyone have (know how to get) this song? Jika ada, please oh please beritahu cara mendapatkannya. Aku akan sangat-sangat berterima kasih dan menghargainya. Mahal sekali ya harga sebuah kenangan dan rasa? Atau malah terlalu murah? Terserah deh...

Saturday, January 14, 2006

Yahoo! Widget


Semua berawal karena dua: Alief dan imajinasi, yang membawaku ke Yahoo! Widget. Alief-lah yang pertama kali memberitahuku akan keberadaan Widget dan aku pun tergoda. Maka, terjadilah semua...

Kemudian...
Sejatinya, aku senang melihat calendar dan analog clock di pojok kiri. Apalagi jam-nya dengan gerak detik yang melingkar berputar seolah menunjukkan tiada hentinya siklus hidup ini. Mengingatkan tujuan spiritual untuk lepas dari lingkaran kenirabadian, menyatu dengan Sang Ruh.

Aku juga senang melihat apa yang akan dihadirkan oleh weather. Membaca alam, terutama musim, kini menjadi hobi terpendamku semenjak melempar diri dengan sengaja di negeri dingin ini. Kutemukan kebetulan yang terlalu kerap, antara rasa dengan segenap pelukis semesta alam seperti: awan, angin, hujan, matahari, bulan, siang, malam, salju, dan badai. Perilaku mereka bagaikan kumpulan manuskrip yang mencoba menorehkan fakta tentang betapa kecilnya manusia di ketiak semesta alam.

Namun, yang selalu mengalihkan kesukaan, aku akan menjadi selalu (atau terlalu?) mudah terharu melihat apa yang ada di pojok kanan. Sebentuk picture frame. Yang bisa kubuat secara otomatis berganti setiap menitnya, seakan hidup, seakan sungguh tersenyum padaku. Menawarkan berbagai tatapan mata, atau tawa nan mengiringi rasa yang menggugah. Yang mampu menemani hari-hari sepi, dingin, dan nelangsa jiwa. Yang bisa menyulut semangat. Selebihnya, perkenankan rasa yang ada aku simpan sendiri, ya?

Kesimpulannya, Widget ini laik untuk dicoba jika memang demikian.

Monday, December 19, 2005

little curiosity

Something 'clicking' me at the end of this news since I realized that we are becoming very sensitive (or oversensitive?) with symbols, sacred epoch, and others religious labels. How big is the different between Mahabharata Javanese version and Hindu (originally India) version? From what I read some, there are not much different certainly. But what if significantly any, with respect to owned-interpretation and regional-historical influence?

Well, I believe that this movie will not create any "significant" critics and claims as before (read here and here). I have my own opinion regarding Garin's movie. But, this has triggered me to think further though... why a story must be maintain as a story, instead of interpreting and realizing the underlying messages creatively as lessons for todays real life of all mankind??

Anyway, nevermind... just a little meaningless curiousity.

Friday, December 16, 2005

defining the indefinable

"Before" does not outstrip Him,
"After" does not interrupt Him
"Of" does not vie with Him for precedence
"From" does not accord with Him
"To" does not join with Him
"In" does not inhabit Him
"When" does not stop Him
"If" does not consult with Him
"Over" does not overshadow Him
"Under" does not support Him
"Opposite" does not face Him
"With" does not press Him
"Behind" does not limit Him
"Previous" does not display Him
"After" does not cause Him to pass away
"All" does not unite Him
"Is" does not bring Him into being
"Is not" does not deprive Him from Being.
Concealment does not veil Him
His pre-existence preceded time,
His being preceded non-being,
His eternity preceded limit.
If thou sayest 'When', His existing has outstripped time;
If thou sayest 'Before', before is after Him;
If thou sayest 'He', 'H' and 'E' are His creation;
If thou sayest 'How', His essence is veiled from description;
If thou sayest 'Where', His being preceded space;
If thou sayest 'Ipseity' (ma huwa), His ipseity (huwiwah) is apart from things.
Other than He cannot be qualified by two (opposite) qualities at one time; yet With Him they do not create opposition.
He is hidden in His manifestation, manifest in His concealing.
He is outward and inward, near and far; and in this respect He is removed beyond the resemblance of creation.
He acts without contact,
instructs without meeting,
guides without pointing.
Desires do not conflict with Him,
thoughts do not mingle with Him:
His essence is without qualification (takyeef),
His action without effort (takleef).

(words of Al-Hallaj)

Sunday, December 11, 2005

the scripture of love

I sought love in many lives. I shed bitter tears of separation and repentance to know what love is. I sacrificed everthing, all attachment and delusion, to learn at last that I am in love with Love—with God—alone. Then I drank love through all true hearts. I saw that He is the One Cosmic Lover, the One Fragrance that permeates all the variegated blossoms of love in the garden of life.

Many souls wonder wistfully, helplessly, why love flees from one heart to another; awakened souls realize that the heart is not fickle in loving different ones, but is loving the one God-Love that is present in all hearts.

The Lord ever silently whispers to you:

I am Love. But to experience the giving and the gift of love, I divided Myself into three: love, lover, and beloved. My love is beautiful, pure, eternally joyous; and I taste it in many ways, through many forms.

As father I drink reverential love from the spring of my child’s heart. As mother I drink the nectar of unconditional love from the soul-cup of the tiny baby. As child I imbibe the protecting love of the father’s righteous reason. As infant I drink causeless love from the holy grail of maternal attraction. As master I drink sympathetic love from the flask of the servant’s thoughtfulness. As servant I sip respectful love from the goblet of the master’s appreciation. As guru-preceptor I enjoy purest love from the chalice of the disciple’s all-surrendering devotion. As friend I drink from the self-bubbling fountains of spontaneous love. As a divine friend, I quaff crystal waters of cosmic love from the reservoir of God-adoring hearts.

I am in love with Love alone, but I allow myself to be deluded when as father or mother I think and feel only for the child; when as lover I care only for the beloved; when as servant I live only for the master. But because I love Love alone, I ultimately break this delusion of My myriad human Selves. It is for this reason that I transfer the father into the astral land when he forgets that it is My love, not his, that protects the child. I lift the babe from the mother’s breast, that she might learn it is My love she adored in him. I spirit away the beloved from the lover who imagines it is she whom he loves, rather than My love responding in her.

So My love is playing hide-and-seek in all human hearts, that each might learn to discover and worship, not the temporal human receptacles of My love, but My love itself, dancing from one heart to another.

Human beings importune one another, “Love me alone, “ and so I make cold their lips and seal them forever, that they utter this untruth no more. Because they are all My children, I want them to learn to speak the ultimate truth: “Love the One Love in all of us.” To tell another, “I love you”, is false until you realize the truth: “God as the love in me is in love with His love in you.”

The moon laughs at millions of well-meaning lovers who have unknowingly lied to their beloved ones: “I love you forever.” Their skulls are strewn over the windswept sands of eternity. They can no longer use their breath to say, “I love you.” They can neither remember nor redeem their promise to love each other forever.

Without speaking a word, I have loved you always. I alone can truly say, “I love you”; for I loved you before you were born; My love gives you life and sustains you even at this moments; and I alone can love you after the gates of death imprison you where none, not even your greatest human lover, can reach you.

I am the love that dances human puppets on strings of emotions and instincts, to play the drama of love on the stage of life. My love is beautiful and endlessly enjoyable when you love it alone; but the lifeline of your peace and joy is cut when instead you become entangled in human emotion and attachment. Realize, My children, it is My love for which you yearn!

Those who love Me as only one person, or who imperfectly love Me in one person, do not know what Love is. Only they can know love who love Me wisely, faultlessly, completely, all-surrenderingly—who love Me perfectly and equally in all, and who love Me perfectly and equally as all.

The Rubaiyat of Omar Khayyam: A Spiritual Interpretation
by Sri Sri Paramahansa Yogananda

Friday, November 18, 2005

purnama


Dibalik awan gemawan itu, ia muncul. Menghangatkan angkasa malam dengan temaram sinarnya. Purnama melukiskan senyum, bagai dongeng tidur bagi anak-anak yang polos. Aku menatap senyum itu, dan menemukan rangkaian doa dan rasa yang dalam menjelajahi jiwa.

Dalam hening dan temaram sinarmu aku melantunkan kidung. Dengan penyerahan akan seluruh kesadaran dan ikatan lahir. Agar selamat seluruh kehidupan dan perjalanan yang kujalani diperkenankan demi keutuhan kewajiban sebagai manusia yang papa dan apa adanya. Swaha

Sunday, November 13, 2005

??

Apa yang bisa dirasa? Mengapa sepi mesti mati? Bukankah manusia dikaruniai akal dan kemampuan untuk melewati hari-hari. Namun, untuk apa hari-hari dilewati? Nah, mereka mengajarkan surga dan kemuliaan setelah hidup. Benarkah diri kita yang sekarang bisa menikmati itu semua setelah tahu apa itu surga dan apa itu kemuliaan? Yang jelas, aku sekarang sendiri. Di sudut ruangan ini, sendiri. Menatap buku yang penuh pertanyaan, kumpulan jawaban, yang kucorat-coret seolah menemukan solusi akhir. Lalu? Aku masih sendiri. Sepi. Sapaan atau deru angin yang tak berhembus di ruangan sesak keinginan ini seolah meneriakkan rindu…
Ah, kemana Aku sedang membawa aku…?

Saturday, November 12, 2005

Friday, November 11, 2005

Dhammapada 223

Overcome the angry by non-anger;
Overcome the wicked by goodness;
Overcome the miser by generosity;
Overcome the liar by truth.

Thursday, November 10, 2005

senja pekan ini

serasa...
semua dikurung suram digelayut mendung
awan keruh menari berlari di angkasa
air mata menitik deras di pipi sang bumi
pepohon merunduk menahan kecaman angin duka

burung-burung berhenti mengumpulkan ranting
bulu-bulu sayap dan celah-celah sarang basah menjelang beku
dedaunan dihempas keras gugur tak mampu memohon ampun
belum puas lalu dihanyut arus air mata dan terlupa oleh dunia

serasa...
musim di pekan ini bagai menyambut kematian
segala kehidupan bersemu kaku
dahan demi dahan meranggas melepas hidup
mentari akan sering pergi entah kemana

di senja pekan ini...
segala sudut alam menceritakan nelangsa
detak waktu seolah kian mempertegas nestapa

dan kAU yang mengetahui kebenaran
dapatkah membantu mencerahkan senja ini?
aku hanya sendiri menemani sang senja
berbagi senyum menghibur dan memberi asa
mencoba sejadinya menukar sedihnya
dengan setetes embun bahagiaku

namun, sadarlah aku
bilakah embun mampu memupus rasa senja pekan ini?
karena embun sendiri sudah musnah sebelum pagi menjadi

Wednesday, November 09, 2005

I will remember before I forget

Stapled shut, inside an outside world and I'm
Sealed in tight, bizarre but right at home
Claustrophobic, closing in and I'm
Catostrophic, not again
I'm smeared across the page, and doused in gasoline
I wear you like a stain, yet I'm the one who's obscene
Catch me up on all your sordid little insurrections,
I've got no time to lose, and I'm just caught up in all the cattle

Fray the strings
Throw the shapes
Hold your breath
Listen!

I am a world before I am a man
I was a creature before I could stand
I will remember before I forget
Before I forget that!

I'm ripped across the ditch, and settled in the dirt and I
Wear like a stitch, yet I'm the one who's hurt
Pay attention to your twisted little indiscretions
I've got no right to win, I'm just caught up all the battles

Locked in clutch
Pushed in place
Hold your breath
Listen!

I am a world before I am a man
I was a creature before I could stand
I will remember before I forget
Before I forget that!

I am a world before I am a man
I was a creature before I could stand
I will remember before I forget
Before I forget that!

My end
It justifies my means
All I ever do is delay
My every attempt to evade
The end of the road

Tuesday, November 08, 2005

ground zero

Where there is no more silent creature lay in pain and scream and unending cry. Where the birds would chanting no song of joy, instead of injured recollection. Where flower become none of the beauty, rather than as a pray for the lifeless. Where zero sense becomes the master. Where zero anger become a hundred percent sympathy. Where zero is the hope of new beginning. It is the beginning of everlasting peace and devotion among us, the sons and the daughters of the beloved mother earth.
*mengenang para korban bom Bali dan menentang kekerasan atas alasan apapun, apalagi agama. Ahimsa paramo dharma

cerita

Aku ingin bercerita banyak, wahai catatanku. Namun, kebingungan lebih menguasai abjad demi abjad yang menyusun kata-kataku. Tersesat dalam arti-arti kalimat, menjerat kedunguanku. Aku seperti tak punya arti, ketika aku tak tahu bagaimana berbagi dan kepada siapa. Malam ini jadi saksi, bahwa aku mengukur kepribadian yang ingin sekali diubah untuk hati yang membentukku agar menjadi karya agungnya.
Entahlah, tak mudah bagiku menentukan kedalaman diri. Entahlah, tapi kuharap bimbingan dalam pencarian. Tapi kini apa yang aku dapat, aku kehilangan di tengah-tengah penentuan kata-kata-Nya.

Nah, bisakah kau melihat, wahai catatanku? Aku tak pelak hancur dalam bercerita. Aku tak memiliki awal dan akhir. Batang tubuh ceritaku terlalu sintal dipenuhi ini itu tanpa jelas dimana puncak rasa dari cerita tersebut. Aku ingin dihakimi oleh kebenaran hati-Nya, tapi ia sibuk mengukur kepribadian-Nya untukku.

Wahai catatanku, aku ingin membeku. Aku tak ingin membangun cerita lagi. Aku mulai mati rasa, karena aku selalu sendiri jika harus bercerita. Benar-benar kehilangan sesuatu aku lalu dunia tak akan mengerti. Setelah ini, ceritaku bukanlah aku sesungguhnya….

primitif

Aku adalah produk yang diciptakan oleh masa yang lampau. Aku menjadi anak dari sebuah komunitas yang beradat-budaya menggelikan bagi mata yang memandang dengan adab kemajuan. Aku sebagai sebuah manusia, masih rela menjalankan ritual-ritual purba yang sudah tidak masuk dalam kamus-kamus pemikiran tentang kemulian masa depan. Aku yang diterima atau tidak, masih memegang teguh apa yang zaman kategorikan sebagai kehidupan primitif.
Demikianlah, aku adalah produk dari masa primitif. Aku adalah anak dari budaya dan adat yang primitif. Aku adalah umat dari ritual-ritual primitif dan masih membaca dengan teliti kamus tua, lusuh, tak berguna dan bermakna, dan tradisional serta lebih primitif dari menhir purba sekalipun.
Aku tak mungkin mengingkari pun tak bisa berdalih. Ketika aku berhadapan denganmu, modernitas, aku akan dihujami penyesalan dan kekecewaan. Karena hidup yang kuno dan primitif seperti aku bukanlah cita-citamu sejati. Aku hanya boleh berharap, bahwa aku berusaha tidak lupa dan menghormati dari mana dan bagaimana aku bermula. Senista apapun mula dari asal usul tersebut. Maafkan aku karena adalah manusia primitif.

malam pagi

Pagi nan gelap. Fajar belum menyingsing, seolah malam masih jadi penguasa angkasa. Di mana gerangan air mata? Ternyata sudah kutenggak dua cawan tanpa kawan. Aku telah melupa harapan sekaligus keinginan. Terlalu banyak penjelasan tapi hanya kehampaan dan hujatan yang tampil di depan. Aku hanya bisa mengamati. Enggan bersekutu dengan kehendak. Mungkin karena itu malam terlalu panjang hari ini. Dan mungkin aku memang tak akan mampu menemukan sang bahagia sejak pagi ini. Semua yang pernah ada bagiku, hanyalah semata kasihan...
Mengapa harus kulalui hari ini?

anjing

Berikut ini tulisan lama yang pernah ditulis semasa kuliah. Entah bagaimana bisa ada di sini bersama dengan artikel teman-teman BOE lainnya. Mungkin masih ada yang bisa dipelajari dari tulisan lama ini.

***

"Ada anjing lepas dari ikatan lalu berjalan-jalan sepanjang kompleks. Di setiap pagar rumah ia kencing sehingga anjing-anjing di balik pagar galak meraung-raung. Anjing itu sedang memagar daerah habitatnya. Tetapi begitu ia sampai kembali ke rumah tuannya, ia tertegun. Dilihatnya tali yang baru saja ia putuskan masih menunggu di situ. Tempat itu dilewatinya. Karena ia tak mau kembali terikat. Ia menyeberang jalan, tetapi lacur sebuah bajaj melindasnya. Kebebasan yang tiba-tiba itu sudah memperpendek usianya. Untuk bisa memanfaatkan kebebasan kamu harus belajar takut kepada kebebasan yang buas itu, kata pemilik anjing kepada hewan peliharaannya yang lain." [Uap - Putu Wijaya]

Saya kebetulan membaca bagian aforisma Putu Wijaya tersebut di atas setelah saya mencaci maki dan sumpah serapah dengan kata, 'Anjing!!', di daerah Pasar Minggu dan sebelumnya di pertigaan Pejaten hingga lewat perempatan pintu kereta di TB Simatupang. Bagaimana tidak fasih saya mengucapkan kata binatang tersebut? Saya seakan merasa sedang 'dikencingi' oleh para pengemudi di sepanjang jalan tersebut.


Reformasi telah menciptakan kondisi dimana segala sesuatu menjadi bebas dan lepas. Apa yang dulu tidak boleh sekarang diperbolehkan. Pers yang dulu sangat terkekang, menjadi begitu lantang dan bergema suaranya sehingga tak cukup rasanya dua buah bola mata kita memperhatikan headline-headline surat kabar yang ada di tanah air dan penuh dengan pengungkapan kebobrokan, persekongkolan, perseturan, isu dan gosip, dan sebagainya topik-topik yang kontradiktif dengan keadaan sebuah bangsa yang 'demokratis' katanya.


Saya agak terkejut, bagaimana saya yang berusaha menjadi yang taat dengan rambu lalu lintas ketika tidak ingin melanggar lampu merah karena saya percaya lampu lalulintas berguna untuk mencegah kecelakaan malahan dibentak-bentak oleh pengemudi lain yang ingin melintas meskipun lampu menyala merah. Siapa yang salah, bukan persoalan bagi saya. Tetapi sikap dan egoisme yang kini tumbuh di masyarakat Indonesia seakan menunjukkan bahwa individu-individu Indonesia menjadi anjing di wilayahnya sendiri. Persis seperti yang ditulis oleh Putu Wijaya.


Jalan raya adalah salah satu tempat dimana kita akan sering melihat anjing-anjing yang baru saja bebas dari ikatannya dan mencoba memagari daerah kekuasaannya. Supir-supir kendaraan baik itu kendaraan pribadi maupun kendaraan umum terlihat tidak lagi mengindahkan rambu-rambu lalulintas yang banyak dipasang sepanjang jalan-jalan protokol dan jalan-jalan kampung di Jakarta dan sekitarnya. Lampu merah seakan hanyalah lampu hias di pojok jalan yang tidak menandakan sebuah lampu yang berfungsi untuk menciptakan ketertiban. Marka jalan seperti hiasan di permukaan aspal jalan yang lebih manis kalau di lihat dari udara karena tidak satu pun pengemudi dan pengguna jalan yang tahu fungsi garis putih putus-putus maupun garis putih penuh. Satu lagi, jembatan penyebrangan yang sudah semakin karat oleh hujan dan panas kota Jakarta seakan sebagai monumen ketidaktertiban para pengguna jalan dan pejalan kaki yang memilih menyebrang di kolong jembatan penyebrangan. Pikiran kita -seharusnya- dibingungkan dan menjadi bertanya, "Kenapa ketika kebebasan itu kita peroleh, kita jadi seperti orang gila yang tidak tahu lagi mana baik atau buruk, mana layak atau tidak layak, mana yang betul atau salah, dan mana yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan?".

Setelah membaca aforisma yang ditulis Putu Wijaya, saya tahu jawabannya; 'Karena kita bukan manusia, melainkan anjing!'. Hanya anjing (dalam aforisma Putu Wijaya) yang tampak lupa akan kebebasannya sehingga ia menjadi 'buas' dan dan tidak tahu tujuan hidupnya selain berusaha memuaskan nafsu dan hasratnya yang sekejap. Apalah yang dikejar oleh para pengemudi dengan menerobos lampu merah? Apa yang diharapkan para penyebrang jalan dengan menyebrang tidak di jembatan penyebrangan?


Jawaban yang kita akan dengar (dan kita semua juga pasti akan menjawabnya) adalah 'mengejar setoran!', 'biar cepat!', dan lain sebagainya yang intinya adalah kebuasan kita atas kehendak kita sendiri tanpa memperdulikan orang lain. Lalu buat apa kita ribut-ribut soal peraturan, tata tertib, undang-undang dan lain sebagainya norma-norma hidup (bahkan agama juga bisa dimasukkan di sini!) jika akhirnya kebuasan dalam jiwa manusia yang menjadi motor penggerak hidup kita semua.


Ketika saya berpikir demikian, saya pasti malahan akan dibilang 'anjing!' oleh orang lain karena saya mencoba untuk tetap taat pada peraturan, tata tertib, dan lain-lain aturan hukum yang ada. Walhasil, saya bertanya dalam hati: "Siapakah yang manusia diantara kawanan anjing di wilayah Indonesia, dan siapakah yang paling anjing diantara kawanan anjing yang ada?". Satu yang jelas, jika mengacu pada aforisma Putu Wijaya, sesungguhnya di Indonesia tidak ada manusia, selain anjing. Maafkan kata-kata saya.

Monday, November 07, 2005

nothing is mine

I honor the place in you in which the entire universe inhabits
I honor the place in you which is of Love, of Trust, of Light, and of Peace

When you are in that place in you,
and I am in that place in me,
we are ONE

Sunday, November 06, 2005

picik

Sewaktu aku cari di Yahoo!, kutemukan diantaranya dua penjelasan:
1. (Peribahasa) Seperti katak dalam (di bawah) tempurung: artinya seseorang yang wawasannya kurang luas, bodoh, picik. Orang seperti ini penglihatannya tidak luas, luasnya bagaikan luas tempurung. Ini berdasarkan Wikipedia
2. Picik merupakan kata sifat atau ajektiva yang artinya sempit, tidak lebar, tidak luas (tentang pandangan, pengetahuan, pikiran, dan sebagainya). Ini menurut kamus besar bahasa Indonesia.

Apakah aku picik? Jika tidak, itu mustahil. Jika iya, itu pasti. Aku adalah manusia biasa dan bukan nabi, pun orang suci. Pikiran, pandangan, dan pengetahuan yang aku miliki dibatasi oleh segala sisi di luarku. Aku berusaha membuka pandangan dan pemikiran, menambah pengetahuan. Tapi, itu tak akan pernah cukup menandingi dunia dan semesta ini. Jadi, perkenalkan... aku manusia picik.

lagu sendu

Adakah lagu yang lebih sendu
Dari lagu tentang perginya musim panas?
Atau sirnanya cahaya mentari di pantai?

Aku merindukan cakrawala yang memeluk hangat
Yang tidak menggigit jemariku dengan titik beku
Yang boleh membakar sedikit hingga gelap kulitku

Agar masih bisa sekedar merangkai kata jadi cerita
Atau sebait puisi cinta bagi belahan jiwa

Meski aku tahu
Aku bukan siapa-siapa
Hanya manusia alpa
Yang terdampar di negeri yang dingin

Friday, October 28, 2005

inspirasi

Inspirasi ke mana pergi?
Bantu aku pulang dari keriuhan rasa
Ke rumah harapan baru

Bimbing jalan melewati rintangan ego
Ke setapak langkah tenang dan damai

Inspirasi ke mana pergi?
Aku masih mengingatmu utuh…

Friday, October 21, 2005

ahimsa paramo dharma

Salute for I Wayan Juniartha for his article "Melawan Mereka Yang Tak Takut Mati". I always admired particular idea about Ahimsa, since it was hardly to find any movement that based on such a strong effort as what Gandhi initiate in India.

I should start to learn a lot on how to complete my dharma for peace and non-violence. Thus, maybe we can share the world peacefully for ever.

Thursday, October 20, 2005

dibalik jendela

Aku... dibalik jendela malam gelap sunyi
dingin angin di luar sana bermesraan dengan gerimis
musim yang akan segera berganti
perlahan mengukir hadir menggantungkan asa

Aku...dibalik jendela malam mencari
jiwa yang selalu menghangatkan, yang selalu mengisi
hari dan masa yang selalu bersilih menjadi
memastikan keutuhan hasrat dan cinta sejati

Aku... dibalik jendela malam menatap
sosokmu yang hanya ada di sini dan tergambar luas
di seantero malam gelap sunyi
di sekelebatan angin dingin dan gerimis
di selembar foto penuh senyum dan kecantikan sejati

Aku... dibalik jendela malam memandang
kerinduan yang tak tergambarkan
kerinduan akan dirimu... seorang...
belahan cintaku...

Saturday, October 01, 2005

pancasila

Satu: Ketuhanan yang Maha Esa
Dimana Tuhan yang esa ketika ternyata banyak Tuhan dijadikan perisai hidup untuk melampaui kekuasaan dan mengenyahkan Tuhan-Tuhan lain atas nama Tuhan yang esa? Aku masih mencari Tuhan karena aku percaya Dia ada, tak peduli berapa jumlahnya karena jika memang Ia yang paling Maha, jumlah jadi tak berarti untuk diri-Nya.
Dua: Kemanusiaan yang adil dan beradab
Manusia mana yang adil dan beradab jika banyak manusia tak mengerti apa itu adil dan apa itu beradab? Kemanusiaan tak lebih baik dari sifat kebinatangan yang tahu hidup sederhana dalam memandang kemuliaan diri sendiri. Membunuh untuk kesenangan dan menindas untuk memperluas derajat. Kemanusiaan jadi kehilangan makna ketika nafsu dan kebanggaan menjadi manusia jadi lebih utama dari sekedar harmoni hidup.
Tiga: Persatuan Indonesia
Dimana Indonesia? Aku tak tahu harus dimana melukiskan gugusan pulau-pulau yang membentang penuh keragaman. Langit dan daratan seolah diguratkan harap yang ingin saling meniadakan. Memaknai persatuan sebagai segalanya SATU?
Empat: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
Apakah rakyat sungguh bisa diwakili? Apakah perwakilan telah mengemban hikmat kebijaksanaan yang merakyat? Terlalu banyak yang dikatakan dalam kebangsaan dan kenegaraan untuk sekedar mengatasnamakan rakyat.
Lima: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Mengapa harus hanya keadilan sosial? Bagaimana dengan keadilan harkat dan martabat? Mengapa harus adil, jika ternyata masih ada yang dipimpin dan yang memimpin? Mengapa, jika masih ada penguasa dan yang dikuasai? Mengapa, jika masih ada yang mayoritas dan yang minoritas?
Ternyata Pancasila tak sebesar cita-citanya. Atau cita-cita Pancasila telah dibawa pergi jauh dari nusantara… Mereka yang dikatakan barbar di belahan barat sana, mereka yang enggan mengenal agama, mereka yang penuh kenistaan - kata kalian - ternyata jauh lebih mengenal dan menghayati pancasila daripada sekedar menghafalnya di depan kelas tapi lalu melecehkannya.
*memperingati hari kesaktian pancasila*

Sunday, September 18, 2005

God=Irony?

"It is an irony that preachers always give hope of heaven in the future to the followers while letting the existence on earth turn to hell full of clashes, conflict, blood shed, all in the name of RELIGION"

Saturday, September 17, 2005

loe Indonesia banget sih!

Sungguh-sungguh, artikel opini ini luar biasa buat saya.

Saya setuju 110% dengan artikel ini!
Namun, jika pun benar, saya ragu seratus orang Indonesia mengakui kesahihan atas "teledor" yang selalu dibuatnya. Bahkan Tuhan pun dijadikan alasan dan tameng untuk pembenaran teledor yang setiap saat dibuatnya.

Jadi, jangan kaget jika kemudian Indonesia menjadi 'kata sifat' dan nanti ada celetukan "Loe indonesia banget sih!" Dan teledor hanyalah salah satu sifat indonesia tsb...