Sangat setuju dengan si penulis - Putu Setia. Meskipun aku tidak setuju dengan istilah "sistem yang cerdas", karena aku tidak pernah mampu membayangkan dibagian mana "kecerdasan" suatu sistem yang beralih dari suatu metode yang relatif sederhana dan mudah digunakan oleh berbagai kalangan (mencoblos) ke suatu metode yang relatif rumit, tidak ekonomis, dan sulit digunakan oleh kalangan tertentu (contreng).
Relatif rumit karena bentuk dan ukuran menjadi sensitif dan bisa mempengaruhi hasil. Mencontreng kurang jelas, maka akan tidak sah. Mencontreng kelebihan juga tidak tepat. Bentuknya tidak sesuai bisa jadi juga tidak sah. Dan seterusnya.
Sangat tidak ekonomis karena harus membeli sejumlah ballpoint atau spidol atau alat tulis lain yang mana pasti relatif mahal (bandingkan dengan bambu, kayu, atau sebatang paku yang bisa dibeli dengan sangat murah bahkan gratis). Apalagi jika kemudian bekerja tidak sebagaimana mestinya, misal karena habis tintanya, kering, atau rusak maka biaya lagi dan akan mempengaruhi proses pemilihan.
Sulit digunakan karena - seperti disebut juga oleh Putu Setia dalam artikelnya - bagi para buta huruf atau masyarakat yang kesulitan baca tulis maka metode ini jelas tidak "bersahabat" untuk mereka. Dan, mereka ini lah yang rentan menjadi media "politik uang".
Memang di Indonesia ini unik. Lembaga pemerintahan dan lembaga tinggi negara banyak manusia-manusia hebat yang pintar, beragama dan beriman, tapi tidak mampu membuat hidup lebih "sederhana, sesuai fungsi dan manfaatnya, dan berguna bagi masyarakat luas". Banyak orang-orang pintar tapi keblinger.
No comments:
Post a Comment