Alkisah, di suatu era dimana terdapat pemimpin baru di sebuah Universitas terkemuka di negeri Republik. Sang Rektor dengan gagah berani mencanangkan sebuah kebijakan yang disebut Integrasi Sistem Remunerasi (baca: Peng-Upah-an) yang konon dilakukan untuk meningkatkan transparansi dan efisiensi di Universitas terkemuka tersebut. Tanpa perlawanan dan diskusi yang berlarut-larut, semua warga dan anggota Universitas tersebut mengikuti sistem baru nan hebat itu.
Dahulu, sebelum sistem 'hebat' tersebut dijalankan, jalannya sistem peng-upah-an secara kasat mata dirasakan cukup lancar dan tidak ada masalah yang sistemik pada tingkat fakultas. Entah bagaimana sistem non-integrasi tersebut dijalankan, namun secara pasti berbagai bentuk balas jasa seperti honor, upah dan sebagainya di Fakultas dibayarkan dengan mekanisme yang cukup lancar. Tidak ada keterlambatan dan semua pihak menerima jumlah yang sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan. Tidak ada keluhan atau pun hal-hal yang dirasakan mengganggu. Yang pasti, warga fakultas menerima apa yang menjadi hak mereka atas kewajiban yang telah dilaksanakan tepat pada waktunya.
Kini, sudah 3 bulan sejak Sang Rektor memaksa terlaksananya sistem integrasi tersebut. Tanpa persiapan yang memadai dan kesigapan dari sumber daya manusia di tingkat pusat (baca: Rektorat), sistem tersebut dijalankan dan mulai menuai berbagai intrik, masalah, dan ketidakadilan. Yang paling dirasakan saat ini adalah terlambatnya remunerasi dibayarkan (baca: ditransfer) kepada yang berhak. Selain ketidaktepatan waktu, masalah lain yang timbul adalah jumlah yang diterima juga tidak jelas, jika tidak bisa dibilang tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Padahal, pada saat Sang Rektor berkampanye dan menjual idealisme-nya, beliau berjanji akan meningkatkan kesejahteraan dalam bentuk menaikkan upah para pengajar.
Namun, apa lacur. Belum lama menguasai tampuk pimpinan beliau malah mengurangi "balas jasa" para pengajar bahkan membayarnya secara terlambat. Sebagai contoh, "balas jasa" beberapa dosen yang secara rajin mengajar di bulan Februari lalu sama sekali belum dibayarkan sepeser pun hingga lewat pertengahan bulan Maret ini. Tanpa penjelasan atau pemberitahuan perihal sebab musabab hal ini, banyak para dosen yang harus menerima kenyataan bahwa mereka bekerja tanpa dibayar hingga hampir 2 bulan lamanya. Ada lagi beberapa pengajar yang menerima transfer balas jasa mereka, tapi jumlah yang diterima tidak sampai sepertiga dari perhitungan jumlah kelas yang dia ajarkan. Artinya, mereka dibayar tidak sesuai dengan kewajiban yang sudah mereka laksanakan. Kembali, tidak ada penjelasan atau pemberitahuan mengapa jumlahnya tidak sesuai.
Pihak-pihak berkepentingan dan terkait sudah ditanya, namun jawaban mereka selalu berputar di hal-hal teknis: kesalahan transfer di bank, antri dan menunggu giliran, rekapitulasi dari fakultas belum lengkap, dan sebagainya. Bahkan ada yang menjawab tidak tahu. Tidakkah ini berarti bahwa sistem integrasi ternyata belum siap dijalankan secara penuh? Pertanyaan tersebut boleh digunakan untuk mengganti pernyataan bahwa mungkin sistem tersebut gagal total. Yah, hanya Sang
Rektor nan hebatlah yang bisa menjawab dengan pasti mengapa sistem 'hebat' yang beliau tawarkan tidak mengganggu transfer upah beliau sendiri melainkan menghambat pun memotong upah dari para stafnya yang langsung berhadapan dengan para mahasiswa.
Anda pasti bertanya, apa mungkin ada universitas yang demikian di Indonesia? Jika Anda bertanya pada para pejabat di negara Indonesia, mereka pasti akan menjawab tidak ada. Dan mereka akan mengatakan bahwa universitas tersebut ada di negara tetangga Indonesia yang bernama negara Republik.
Iya, negara Republik sebagai negara tetangga Indonesia mempelajari apa yang dialami oleh Indonesia dan bagaimana Indonesia selama ini menjalankan pemerintahannya. Mungkin, negara Republik mempelajari bahwa sistem desentralisasi atau otonomi daerah yang dijalankan oleh Indonesia tidak berhasil mengangkat kesejahteraannya, maka negara Republik mencoba melakukan eksperimen dengan Universitas terkemuka mereka dan menerapkan sistem sentralisasi (atau "Integrasi") agar tidak mengalami seperti apa yang dialami oleh negara Indonesia. Sang Rektor Universitas terkemuka di negara Republik tersebut dengan bangga menjalankan berbagai program sentralisasi nan hebat tersebut, dan mengklaim bahwa kebijakan tersebut akan membawa perbaikan dan kemajuan bagi Universitas. Namun, menurut berita dari harian-harian terkemuka di negara Republik, yang terjadi justru sebaliknya.
Sebuah kisah yang menarik, bukan? Aku akan tetap memberi kabar terbaru dalam posting selanjutnya.