Kepala Suku Dinas Pariwisata Jakarta Pusat Sahat Sitorus, Rabu (5/11), mengatakan, UU Anti Pornografi dan Porno Aksi harus didukung. Jika ada yang melanggar, akan dikenai sanksi berupa peringatan, penyegelan, dan pencabutan izin usaha.
Namun, masyarakat tidak perlu takut karena industri pariwisata murni tidak pernah menjual pornografi atau porno aksi. Hiburan malam dan perhotelan yang menjadi basis industri ini pun bukan berarti harus dibumbui hal-hal berbau seks. (Kompas, 6 November 2008)
Sungguh! Aku bingung bagaimana mendefinisikan "industri pariwisata murni" itu. Menurut Pak Kepala Suku Dinas Pariwisata Jakarta tersebut, industri tersebut haruslah tidak pernah menjual pornografi atau porno aksi. Jika ada sebuah cafe yang memutar musik dan ada pengunjungnya ber-disko atau ber-dansa dan mereka biasanya mengenakan pakaian jenis tank-top atau kaus tanpa lengan (khususnya perempuan), apakah kemudian bebas dari definisi pornografi atau porno aksi?
Aku sangat yakin, menurut definisi FPI dan MMI, cafe tersebut telah jelas-jelas melakukan aksi pornografi dan porno aksi. Dan, menurut definisi Pak Kepala Suku Dinas maka cafe tersebut tidak termasuk "industri pariwisata murni".
Mungkin Indonesia atau Jakarta seharusnya membangun Piramida seperti di Mesir, atau padang pasir seperti di Afganistan yang bisa dijadikan obyek "industri pariwisata murni". Barulah tidak akan ada warga Indonesia yang bisa menjadi pelaku pelanggaran Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi. Dan, dijamin, penerimaan pariwisata akan meningkat karena kunjungan wisatawan akan meningkat dengan pesat.
Hebat!
No comments:
Post a Comment