Monday, September 10, 2007

Tentang PLTN

Menurut Abram Perdana, ada tiga risiko ekonomi PLTN. Salah satunya, dan menurutku ini yang paling 'laten' adalah:
Ketiga, risiko tanggung jawab jangka panjang. Risiko ini terkait dengan ketidakpastian biaya dekomisioning dan penyimpanan akhir limbah nuklir. Karena dana dekomisioning dikumpulkan dari setiap kWh listrik yang dibangkitkan PLTN dengan metode discounted cash flow, selalu muncul kemungkinan dana tersebut tidak cukup dikemudian hari. Kemungkinan itu bisa disebabkan oleh eskalasi biaya yang tidak diperkirakan sebelumnya. Hal ini bisa terjadi mengingat menghitung biaya dekomisioning ibarat meramal masa depan, penuh ketidakpastian
Coba perhatikan kata-kata kunci yang aku sorot: risiko tanggung jawab jangka panjang, penyimpanan akhir limbah nuklir, dan penuh ketidakpastian. Ketiga kata-kata kunci tersebut adalah alasan utamaku saat ini untuk menolak PLTN di Indonesia. Menurutku, pemerintah Indonesia belum memiliki kesiapan dan pemikiran "jangka panjang". Padahal, nuklir memiliki implikasi jangka panjang yang serius. Selain implikasi positif yang sudah sering disebut-sebut, satu implikasi negatif yang jarang sekali terdengar dari para pendukung PLTN adalah bagaimana mengelola limbah nuklir dari PLTN tersebut.

Jika memang manfaat (benefit) dari emisi nol yang dihasilkan PLTN bisa melebihi biaya (cost) pengelolaan limbah nuklir, mungkin aku bisa setuju untuk PLTN dibangun. Namun, menurutku biaya yang ditimbulkan oleh limbah nuklir bukan hanya dari aspek pengelolaannya, melainkan juga dari aspek kegagalan pengelolaan atau eksternalitas jika terjadi kebocoran radiasi. Dan dampak kegagalan tersebut memiliki sifat jangka panjang dan skala dampaknya sangat luas. Inilah juga yang menurutku termasuk dari eskalasi biaya yang tidak diperkirakan sebelumnya. Dan oleh sebab itu, sudah siapkah pemerintah untuk menanggung eskalasi biaya tersebut? Kegagalan sikap pemerintah dalam menangani kasus lumpur Lapindo merupakan contoh betapa pemerintah tidak pernah siap menghadapi eskalasi "biaya" sosial atas suatu proyek pembangunan yang mengalami kegagalan. Apa yang terjadi jika kita mengalami "lumpur radioaktif" akibat limbah nuklir atau kebocoran reaktor PLTN?

Jadi, jika Carunia Mulya Firdausy dalam opininya menanyakan "PLTN, Mengapa Dikhawatirkan?". Jawabnya, kita harus khawatir dengan PLTN karena disamping manfaat yang jelas dan pasti kita akan peroleh namun kita juga harus memperhitungkan dengan sangat seksama biaya dan risiko jangka panjang dari PLTN ini termasuk biaya paling ekstrim yang mungkin terjadi jika PLTN tersebut mengalami kegagalan. Betul bahwa korupsi bisa diatasi, tapi apakah mengatasi korupsi saja sudah cukup dan apakah mudah mengatasinya? Sudahkah Indonesia berhasil dengan korupsi hingga hari ini? Korupsi hanyalah kemasan kasat mata yang saat ini jelas masih menjadi momok bagi negara. Tapi, apakah masih perlu menambah momok tersebut dengan kegagalan lingkungan akibat limbah dan kebocoran nuklir?

Jika pemerintah sudah siap dengan segala kemungkinan tersebut, bolehlah dibangun PLTN tersebut. Tapi, selama pemerintah belum sanggup maka sedianya pemerintah jangan berjudi dengan ketidakpastian dan ketidaksiapan.

No comments: