Monday, September 10, 2007

Kenaikan Tarif Tol vis-à-vis Hasil Survei


Hasil survei yang dilakukan oleh Indonesia Development Monitoring (IDM) diberi judul oleh Detik.com dengan "Tarif Tol Naik, Kok Hasil Survei Malah Memuaskan". Judul berita tersebut bernada pertanyaan. Menurutku, kemungkinan tanggapan atas pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut.

Aku tidak memiliki laporan survey IDM ini secara lengkap. Namun, dari sumber yang berhasil kutemukan ditengarai bahwa survey IDM mengenai kepuasan penggunaan jalan tol terhadap kebutuhan dan performance jalan tol tersebut, konon dilakukan dengan tujuan umum untuk melihat seberapa persenkah kepuasan penggunaan jalan tol di daerah DKI Jakarta dan di luar DKI Jakarta yang terkenal akan kemacetan, yang berbanding dengan tingkat kebutuhan dan performance jalan tol itu sendiri(?).

Menurutku, ada kerancuan dalam menetapkan variabel dan kemungkinan hubungan (kausalitas). Yang aku pahami dari pernyataan tujuan penelitian tersebut adalah ada hubungan antara tingkat kebutuhan dan performance dengan kepuasan pengguna jalan tol. Misal, diduga bahwa seiring dengan meningkatnya kebutuhan dan performance jalan tol maka kepuasan pengguna juga meningkat. Betul demikian? Menurutku, tidaklah sesederhana ini.

Survei dilakukan bulan Agustus 2007 (berarti jauh sebelum penerapan tarif tol baru) dan dilakukan di DKI Jakarta, Medan, Jawa Barat dan Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan dengan jumlah total responden 1.200 orang yang terbagi menurut tiga (tertulis di sumber, dua?) kategori: Pengguna Kelas Atas, Kelas Menengah, dan Kelas Bawah. Lalu dari 1.200 responden tersebut ditetapkan 80% merupakan pengguna jalan tol dan 20% merupakan bukan pengguna jalan tol. Apakah maksud pemisahan ini sesungguhnya?

Jika anda responden yang tidak pernah menggunakan jalan tol, apakah jawaban anda tentang "performance" jalan tol masih sahih? Menurutku tidak! Artinya, survei ini mengandung 20% sampel yang tidak relevan sehingga temuan IDM ada kemungkinan over-estimate. Jika kita bisa melihat pemisahan antara 80% versus 20% tersebut, aku yakin akan ada hal menarik yang muncul untuk menguji kesahihan seluruh instrument survei ini. Misal, ada kemungkinan yang menjawab puas mayoritas berasal dari kelompok yang 20% tersebut. Bisa jadi kan?

Masalah lain dengan pemilihan responden adalah berapa besar komposisi responden di masing-masing wilayah survei di atas? Padahal kita tahu, jumlah jalan tol dan penggunanya yang terbesar di DKI Jakarta. Artinya, jika sebaran respondennya seimbang maka temuannya akan bias ke luar DKI Jakarta. Tidakkah ini akan mempengaruhi hasilnya? Belum lagi soal bagaimana pemilihan responden yang didasarkan pada pembagian tiga kelas penggunaan? Apa dasar pemisahan tersebut? Apa kriteria pengguna kelas atas, menengah, dan bawah? Bagaimana sebaran temuan menurut ketiga kelas tersebut?

Selanjutnya, survei ini menggunakan tiga(?) dimensi pengukuran yaitu Kebutuhan dan Performance yang terbagi lagi ke dalam beberapa atribut. Mulai dari sini saja menurutku sudah ada kejanggalan dan ketidakjelasan pelaksanaan survei ini. Misal, apa definisi kebutuhan? Jika ada dua orang responden, tinggal di sekitar atau dekat dengan akses ke tol. Lalu responden pertama pasti harus menggunakan tol karena lokasi kerjanya memaksa. Sedangkan responden kedua memiliki alternatif untuk tidak mengakses tol karena lokasi kerjanya tidak harus melalui jalan tol. Tidakkah tingkat kebutuhan kedua responden sangat berbeda? Artinya, mengukur kebutuhan responden hanya berdasarkan "pendapat" dan "persepsi" memiliki bias yang kental. Belum lagi jika kita perhitungkan responden yang masuk kategori 20% bukan pengguna tol. Tidakkah hasilnya jadi lebih "menarik" untuk dipertanyakan?!

Sebenarnya masih banyak lagi kejanggalan temuan survei IDM ini. Namun, sementara untuk menjawab pertanyaan judul berita di atas, kemungkinan yang terakhir adalah karena survei ini dilakukan sebelum ada kenaikan tarif tol. Jadi, meskipun survei mendapati bahwa 22,4% responden sangat setuju dan 32,6% setuju atas kenaikan tarif tol per 2 tahun yang didasarkan pada besaran inflasi, responden sesungguhnya tidak memberikan jawaban yang akurat karena mereka tidak mendapatkan pertanyaan yang spesifik. Maksudnya, jika mereka diberikan kemungkinan besaran kenaikan tarif tol secara nominal (bukan disuruh menghitung sendiri secara tidak langsung dengan 'inflasi' bla bla bla...), maka kita pasti akan menemukan bahwa betapa pun responden mampu membayar tol atau responden adalah pengguna tol yang intensif, maka sebagai konsumen si responden pasti akan menunjukkan sikap "price sensitive". Dengan kata lain, kenaikan tarif tol pasti akan mempengaruhi kesediaan (willingness) atau kemampuan (ability) mereka untuk menggunakan jalan tol.

Kesimpulannya, temuan yang mengatakan bahwa 64,2% responden menyatakan tidak terpengaruh oleh kenaikan tarif tol adalah omong kosong! Survei IDM patut dipertanyakan.


Powered by ScribeFire.

No comments: