Tuesday, November 08, 2005

anjing

Berikut ini tulisan lama yang pernah ditulis semasa kuliah. Entah bagaimana bisa ada di sini bersama dengan artikel teman-teman BOE lainnya. Mungkin masih ada yang bisa dipelajari dari tulisan lama ini.

***

"Ada anjing lepas dari ikatan lalu berjalan-jalan sepanjang kompleks. Di setiap pagar rumah ia kencing sehingga anjing-anjing di balik pagar galak meraung-raung. Anjing itu sedang memagar daerah habitatnya. Tetapi begitu ia sampai kembali ke rumah tuannya, ia tertegun. Dilihatnya tali yang baru saja ia putuskan masih menunggu di situ. Tempat itu dilewatinya. Karena ia tak mau kembali terikat. Ia menyeberang jalan, tetapi lacur sebuah bajaj melindasnya. Kebebasan yang tiba-tiba itu sudah memperpendek usianya. Untuk bisa memanfaatkan kebebasan kamu harus belajar takut kepada kebebasan yang buas itu, kata pemilik anjing kepada hewan peliharaannya yang lain." [Uap - Putu Wijaya]

Saya kebetulan membaca bagian aforisma Putu Wijaya tersebut di atas setelah saya mencaci maki dan sumpah serapah dengan kata, 'Anjing!!', di daerah Pasar Minggu dan sebelumnya di pertigaan Pejaten hingga lewat perempatan pintu kereta di TB Simatupang. Bagaimana tidak fasih saya mengucapkan kata binatang tersebut? Saya seakan merasa sedang 'dikencingi' oleh para pengemudi di sepanjang jalan tersebut.


Reformasi telah menciptakan kondisi dimana segala sesuatu menjadi bebas dan lepas. Apa yang dulu tidak boleh sekarang diperbolehkan. Pers yang dulu sangat terkekang, menjadi begitu lantang dan bergema suaranya sehingga tak cukup rasanya dua buah bola mata kita memperhatikan headline-headline surat kabar yang ada di tanah air dan penuh dengan pengungkapan kebobrokan, persekongkolan, perseturan, isu dan gosip, dan sebagainya topik-topik yang kontradiktif dengan keadaan sebuah bangsa yang 'demokratis' katanya.


Saya agak terkejut, bagaimana saya yang berusaha menjadi yang taat dengan rambu lalu lintas ketika tidak ingin melanggar lampu merah karena saya percaya lampu lalulintas berguna untuk mencegah kecelakaan malahan dibentak-bentak oleh pengemudi lain yang ingin melintas meskipun lampu menyala merah. Siapa yang salah, bukan persoalan bagi saya. Tetapi sikap dan egoisme yang kini tumbuh di masyarakat Indonesia seakan menunjukkan bahwa individu-individu Indonesia menjadi anjing di wilayahnya sendiri. Persis seperti yang ditulis oleh Putu Wijaya.


Jalan raya adalah salah satu tempat dimana kita akan sering melihat anjing-anjing yang baru saja bebas dari ikatannya dan mencoba memagari daerah kekuasaannya. Supir-supir kendaraan baik itu kendaraan pribadi maupun kendaraan umum terlihat tidak lagi mengindahkan rambu-rambu lalulintas yang banyak dipasang sepanjang jalan-jalan protokol dan jalan-jalan kampung di Jakarta dan sekitarnya. Lampu merah seakan hanyalah lampu hias di pojok jalan yang tidak menandakan sebuah lampu yang berfungsi untuk menciptakan ketertiban. Marka jalan seperti hiasan di permukaan aspal jalan yang lebih manis kalau di lihat dari udara karena tidak satu pun pengemudi dan pengguna jalan yang tahu fungsi garis putih putus-putus maupun garis putih penuh. Satu lagi, jembatan penyebrangan yang sudah semakin karat oleh hujan dan panas kota Jakarta seakan sebagai monumen ketidaktertiban para pengguna jalan dan pejalan kaki yang memilih menyebrang di kolong jembatan penyebrangan. Pikiran kita -seharusnya- dibingungkan dan menjadi bertanya, "Kenapa ketika kebebasan itu kita peroleh, kita jadi seperti orang gila yang tidak tahu lagi mana baik atau buruk, mana layak atau tidak layak, mana yang betul atau salah, dan mana yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan?".

Setelah membaca aforisma yang ditulis Putu Wijaya, saya tahu jawabannya; 'Karena kita bukan manusia, melainkan anjing!'. Hanya anjing (dalam aforisma Putu Wijaya) yang tampak lupa akan kebebasannya sehingga ia menjadi 'buas' dan dan tidak tahu tujuan hidupnya selain berusaha memuaskan nafsu dan hasratnya yang sekejap. Apalah yang dikejar oleh para pengemudi dengan menerobos lampu merah? Apa yang diharapkan para penyebrang jalan dengan menyebrang tidak di jembatan penyebrangan?


Jawaban yang kita akan dengar (dan kita semua juga pasti akan menjawabnya) adalah 'mengejar setoran!', 'biar cepat!', dan lain sebagainya yang intinya adalah kebuasan kita atas kehendak kita sendiri tanpa memperdulikan orang lain. Lalu buat apa kita ribut-ribut soal peraturan, tata tertib, undang-undang dan lain sebagainya norma-norma hidup (bahkan agama juga bisa dimasukkan di sini!) jika akhirnya kebuasan dalam jiwa manusia yang menjadi motor penggerak hidup kita semua.


Ketika saya berpikir demikian, saya pasti malahan akan dibilang 'anjing!' oleh orang lain karena saya mencoba untuk tetap taat pada peraturan, tata tertib, dan lain-lain aturan hukum yang ada. Walhasil, saya bertanya dalam hati: "Siapakah yang manusia diantara kawanan anjing di wilayah Indonesia, dan siapakah yang paling anjing diantara kawanan anjing yang ada?". Satu yang jelas, jika mengacu pada aforisma Putu Wijaya, sesungguhnya di Indonesia tidak ada manusia, selain anjing. Maafkan kata-kata saya.

1 comment:

elm said...

nice post, bagus tulisannnya...

---
Jika Anda membutuhkan info tentang kampus STMIK silahkan klik website kami di http://jak-stik.ac.id