Saturday, March 22, 2008

Lengang dan Konvoi-Egoistis

Libur 2 hari ini (Kamis dan Jumat, 20-21 Maret 2008), sangat menarik bagiku. Setidaknya ada 2 hal (seperti 2 hari kan?!) yang sangat menarik atau mengusikku.

Pertama, selama 2 hari ini Jakarta bisa dikatakan relatif lengang. Artinya, jika Anda harus melakukan perjalanan di Jakarta dan sekitarnya maka Anda tidak perlu harus berhadapan dengan kemacetan dan kesemrawutan akut yang terjadi di hampir setiap jengkal jalan di Jakarta. Selain angkot-angkot dan bus umum yang masih saja ngetem dan berhenti seenaknya, suasana dan arus lalu lintas relatif lancar. Bagiku, hal ini bagaikan mimpi yang jadi kenyataan. Jika dalam setahun, Jakarta mengalami keadaan seperti ini minimal sekali dalam setahun yaitu pada saat perayaan Idul Fitri alias Lebaran; maka kali ini bisa dibilang bahwa keadaan tersebut sudah hampir dapat dipastikan terjadi 2 kali dalam setahun. Bagaimana jika kita bisa meningkatkannya menjadi 3 kali dalam setahun? Atau bahkan 4 kali mungkin?? Sepertinya hal tersebut akan menjadi kemustahilan kedua, setelah kemustahilan pertama: Mungkinkah Jakarta akan terhindar dari banjir?

Kedua, beberapa kali aku mengalami keegoisan warga Jakarta yang juga cukup akut. Hal tersebut salah satunya tercermin dari konvoi "pribadi" yang sering terlihat di jalan. Konvoi klub-klub sepeda motor seperti Tiger Club atau motor-motor merk lain, lengkap dengan bendera, jaket seragam, dan modifikasi aneh yang tidak fungsional; kerap mengganggu ketertiban lalu lintas. Tulisan yang mereka tempelkan di kotak perkakas mereka yang terbaca "Safety Riding" atau "Bantuan Polisi... bla bla bla" seakan menjadi semacam hipokrasi karena mereka sama sekali tidak mempraktekkan apa yang mereka sendiri kampanyekan di motor mereka.

Mereka dengan seenaknya zig-zag di depan mobil lain. Atau, memaksa mobil untuk berhenti ketika mereka mau lewat atau berputar di U-turn, dan masih banyak lagi kelakuan "egoistis" lain yang mereka tunjukkan. Demikian pula dengan klub-klub mobil yang suspensi-nya direndahkan (bahasa gaul mereka adalah "diceperin"), atau dimodifikasi lainnya; selalu membuat antrian panjang di belakang dan menciptakan backward travelling wave yang benar-benar menyebalkan. Satu contoh modifikasi yang menurutku paling tidak "berguna" adalah mengganti knalpot mobil atau motor sehingga suara knalpot yang dihasilkan sangat bising. Apakah dengan membuat knalpot motor atau mobil "sportif" (baca: cempreng!) akan membuat kita lebih cepat sampai ke tujuan? Atau hanya sekedar untuk intimidasi terhadap orang lain saja?

Sepertinya, konvoi dan segala apa modifikasi yang dilakukan oleh warga Jakarta cenderung untuk sekedar intimidasi saja. Hal tersebut berarti warga Jakarta tidak pernah merasa nyaman dengan kehidupan mereka sendiri. Apakah Anda merasa demikian?

No comments: