Embun hanyalah setetes pagi yang mencoba menyusun kata. Namun kata selalu mencari makna. Gerombolan pikiran yang berduyun mencari ruang. Tanpa aturan, tanpa batasan. Ada yang memicu, ada yang menginspirasi. Cetak peristiwa masa lalu, baru tadi atau cita-cita ke depan belum pasti. Dan... embun pun menetes jatuh lenyap terserap bumi tatkala fajar kian hangat. Bila kenan kan, nantilah hingga esok hari sebelum jadi pagi. Semoga masih kan ada susunan kata baru...
Friday, November 18, 2005
purnama
Dibalik awan gemawan itu, ia muncul. Menghangatkan angkasa malam dengan temaram sinarnya. Purnama melukiskan senyum, bagai dongeng tidur bagi anak-anak yang polos. Aku menatap senyum itu, dan menemukan rangkaian doa dan rasa yang dalam menjelajahi jiwa.
Dalam hening dan temaram sinarmu aku melantunkan kidung. Dengan penyerahan akan seluruh kesadaran dan ikatan lahir. Agar selamat seluruh kehidupan dan perjalanan yang kujalani diperkenankan demi keutuhan kewajiban sebagai manusia yang papa dan apa adanya. Swaha
Sunday, November 13, 2005
??
Apa yang bisa dirasa? Mengapa sepi mesti mati? Bukankah manusia dikaruniai akal dan kemampuan untuk melewati hari-hari. Namun, untuk apa hari-hari dilewati? Nah, mereka mengajarkan surga dan kemuliaan setelah hidup. Benarkah diri kita yang sekarang bisa menikmati itu semua setelah tahu apa itu surga dan apa itu kemuliaan? Yang jelas, aku sekarang sendiri. Di sudut ruangan ini, sendiri. Menatap buku yang penuh pertanyaan, kumpulan jawaban, yang kucorat-coret seolah menemukan solusi akhir. Lalu? Aku masih sendiri. Sepi. Sapaan atau deru angin yang tak berhembus di ruangan sesak keinginan ini seolah meneriakkan rindu…
Ah, kemana Aku sedang membawa aku…?
Ah, kemana Aku sedang membawa aku…?
Saturday, November 12, 2005
Friday, November 11, 2005
Dhammapada 223
Overcome the angry by non-anger;
Overcome the wicked by goodness;
Overcome the miser by generosity;
Overcome the liar by truth.
Overcome the wicked by goodness;
Overcome the miser by generosity;
Overcome the liar by truth.
Thursday, November 10, 2005
senja pekan ini
serasa...
semua dikurung suram digelayut mendung
awan keruh menari berlari di angkasa
air mata menitik deras di pipi sang bumi
pepohon merunduk menahan kecaman angin duka
burung-burung berhenti mengumpulkan ranting
bulu-bulu sayap dan celah-celah sarang basah menjelang beku
dedaunan dihempas keras gugur tak mampu memohon ampun
belum puas lalu dihanyut arus air mata dan terlupa oleh dunia
serasa...
musim di pekan ini bagai menyambut kematian
segala kehidupan bersemu kaku
dahan demi dahan meranggas melepas hidup
mentari akan sering pergi entah kemana
di senja pekan ini...
segala sudut alam menceritakan nelangsa
detak waktu seolah kian mempertegas nestapa
dan kAU yang mengetahui kebenaran
dapatkah membantu mencerahkan senja ini?
aku hanya sendiri menemani sang senja
berbagi senyum menghibur dan memberi asa
mencoba sejadinya menukar sedihnya
dengan setetes embun bahagiaku
namun, sadarlah aku
bilakah embun mampu memupus rasa senja pekan ini?
karena embun sendiri sudah musnah sebelum pagi menjadi
semua dikurung suram digelayut mendung
awan keruh menari berlari di angkasa
air mata menitik deras di pipi sang bumi
pepohon merunduk menahan kecaman angin duka
burung-burung berhenti mengumpulkan ranting
bulu-bulu sayap dan celah-celah sarang basah menjelang beku
dedaunan dihempas keras gugur tak mampu memohon ampun
belum puas lalu dihanyut arus air mata dan terlupa oleh dunia
serasa...
musim di pekan ini bagai menyambut kematian
segala kehidupan bersemu kaku
dahan demi dahan meranggas melepas hidup
mentari akan sering pergi entah kemana
di senja pekan ini...
segala sudut alam menceritakan nelangsa
detak waktu seolah kian mempertegas nestapa
dan kAU yang mengetahui kebenaran
dapatkah membantu mencerahkan senja ini?
aku hanya sendiri menemani sang senja
berbagi senyum menghibur dan memberi asa
mencoba sejadinya menukar sedihnya
dengan setetes embun bahagiaku
namun, sadarlah aku
bilakah embun mampu memupus rasa senja pekan ini?
karena embun sendiri sudah musnah sebelum pagi menjadi
Wednesday, November 09, 2005
I will remember before I forget
Stapled shut, inside an outside world and I'm
Sealed in tight, bizarre but right at home
Claustrophobic, closing in and I'm
Catostrophic, not again
I'm smeared across the page, and doused in gasoline
I wear you like a stain, yet I'm the one who's obscene
Catch me up on all your sordid little insurrections,
I've got no time to lose, and I'm just caught up in all the cattle
Fray the strings
Throw the shapes
Hold your breath
Listen!
I am a world before I am a man
I was a creature before I could stand
I will remember before I forget
Before I forget that!
I'm ripped across the ditch, and settled in the dirt and I
Wear like a stitch, yet I'm the one who's hurt
Pay attention to your twisted little indiscretions
I've got no right to win, I'm just caught up all the battles
Locked in clutch
Pushed in place
Hold your breath
Listen!
I am a world before I am a man
I was a creature before I could stand
I will remember before I forget
Before I forget that!
I am a world before I am a man
I was a creature before I could stand
I will remember before I forget
Before I forget that!
My end
It justifies my means
All I ever do is delay
My every attempt to evade
The end of the road
Sealed in tight, bizarre but right at home
Claustrophobic, closing in and I'm
Catostrophic, not again
I'm smeared across the page, and doused in gasoline
I wear you like a stain, yet I'm the one who's obscene
Catch me up on all your sordid little insurrections,
I've got no time to lose, and I'm just caught up in all the cattle
Fray the strings
Throw the shapes
Hold your breath
Listen!
I am a world before I am a man
I was a creature before I could stand
I will remember before I forget
Before I forget that!
I'm ripped across the ditch, and settled in the dirt and I
Wear like a stitch, yet I'm the one who's hurt
Pay attention to your twisted little indiscretions
I've got no right to win, I'm just caught up all the battles
Locked in clutch
Pushed in place
Hold your breath
Listen!
I am a world before I am a man
I was a creature before I could stand
I will remember before I forget
Before I forget that!
I am a world before I am a man
I was a creature before I could stand
I will remember before I forget
Before I forget that!
My end
It justifies my means
All I ever do is delay
My every attempt to evade
The end of the road
Tuesday, November 08, 2005
ground zero
Where there is no more silent creature lay in pain and scream and unending cry. Where the birds would chanting no song of joy, instead of injured recollection. Where flower become none of the beauty, rather than as a pray for the lifeless. Where zero sense becomes the master. Where zero anger become a hundred percent sympathy. Where zero is the hope of new beginning. It is the beginning of everlasting peace and devotion among us, the sons and the daughters of the beloved mother earth.
*mengenang para korban bom Bali dan menentang kekerasan atas alasan apapun, apalagi agama. Ahimsa paramo dharma
cerita
Aku ingin bercerita banyak, wahai catatanku. Namun, kebingungan lebih menguasai abjad demi abjad yang menyusun kata-kataku. Tersesat dalam arti-arti kalimat, menjerat kedunguanku. Aku seperti tak punya arti, ketika aku tak tahu bagaimana berbagi dan kepada siapa. Malam ini jadi saksi, bahwa aku mengukur kepribadian yang ingin sekali diubah untuk hati yang membentukku agar menjadi karya agungnya.
Entahlah, tak mudah bagiku menentukan kedalaman diri. Entahlah, tapi kuharap bimbingan dalam pencarian. Tapi kini apa yang aku dapat, aku kehilangan di tengah-tengah penentuan kata-kata-Nya.
Nah, bisakah kau melihat, wahai catatanku? Aku tak pelak hancur dalam bercerita. Aku tak memiliki awal dan akhir. Batang tubuh ceritaku terlalu sintal dipenuhi ini itu tanpa jelas dimana puncak rasa dari cerita tersebut. Aku ingin dihakimi oleh kebenaran hati-Nya, tapi ia sibuk mengukur kepribadian-Nya untukku.
Wahai catatanku, aku ingin membeku. Aku tak ingin membangun cerita lagi. Aku mulai mati rasa, karena aku selalu sendiri jika harus bercerita. Benar-benar kehilangan sesuatu aku lalu dunia tak akan mengerti. Setelah ini, ceritaku bukanlah aku sesungguhnya….
Entahlah, tak mudah bagiku menentukan kedalaman diri. Entahlah, tapi kuharap bimbingan dalam pencarian. Tapi kini apa yang aku dapat, aku kehilangan di tengah-tengah penentuan kata-kata-Nya.
Nah, bisakah kau melihat, wahai catatanku? Aku tak pelak hancur dalam bercerita. Aku tak memiliki awal dan akhir. Batang tubuh ceritaku terlalu sintal dipenuhi ini itu tanpa jelas dimana puncak rasa dari cerita tersebut. Aku ingin dihakimi oleh kebenaran hati-Nya, tapi ia sibuk mengukur kepribadian-Nya untukku.
Wahai catatanku, aku ingin membeku. Aku tak ingin membangun cerita lagi. Aku mulai mati rasa, karena aku selalu sendiri jika harus bercerita. Benar-benar kehilangan sesuatu aku lalu dunia tak akan mengerti. Setelah ini, ceritaku bukanlah aku sesungguhnya….
primitif
Aku adalah produk yang diciptakan oleh masa yang lampau. Aku menjadi anak dari sebuah komunitas yang beradat-budaya menggelikan bagi mata yang memandang dengan adab kemajuan. Aku sebagai sebuah manusia, masih rela menjalankan ritual-ritual purba yang sudah tidak masuk dalam kamus-kamus pemikiran tentang kemulian masa depan. Aku yang diterima atau tidak, masih memegang teguh apa yang zaman kategorikan sebagai kehidupan primitif.
Demikianlah, aku adalah produk dari masa primitif. Aku adalah anak dari budaya dan adat yang primitif. Aku adalah umat dari ritual-ritual primitif dan masih membaca dengan teliti kamus tua, lusuh, tak berguna dan bermakna, dan tradisional serta lebih primitif dari menhir purba sekalipun.
Aku tak mungkin mengingkari pun tak bisa berdalih. Ketika aku berhadapan denganmu, modernitas, aku akan dihujami penyesalan dan kekecewaan. Karena hidup yang kuno dan primitif seperti aku bukanlah cita-citamu sejati. Aku hanya boleh berharap, bahwa aku berusaha tidak lupa dan menghormati dari mana dan bagaimana aku bermula. Senista apapun mula dari asal usul tersebut. Maafkan aku karena adalah manusia primitif.
Demikianlah, aku adalah produk dari masa primitif. Aku adalah anak dari budaya dan adat yang primitif. Aku adalah umat dari ritual-ritual primitif dan masih membaca dengan teliti kamus tua, lusuh, tak berguna dan bermakna, dan tradisional serta lebih primitif dari menhir purba sekalipun.
Aku tak mungkin mengingkari pun tak bisa berdalih. Ketika aku berhadapan denganmu, modernitas, aku akan dihujami penyesalan dan kekecewaan. Karena hidup yang kuno dan primitif seperti aku bukanlah cita-citamu sejati. Aku hanya boleh berharap, bahwa aku berusaha tidak lupa dan menghormati dari mana dan bagaimana aku bermula. Senista apapun mula dari asal usul tersebut. Maafkan aku karena adalah manusia primitif.
malam pagi
Pagi nan gelap. Fajar belum menyingsing, seolah malam masih jadi penguasa angkasa. Di mana gerangan air mata? Ternyata sudah kutenggak dua cawan tanpa kawan. Aku telah melupa harapan sekaligus keinginan. Terlalu banyak penjelasan tapi hanya kehampaan dan hujatan yang tampil di depan. Aku hanya bisa mengamati. Enggan bersekutu dengan kehendak. Mungkin karena itu malam terlalu panjang hari ini. Dan mungkin aku memang tak akan mampu menemukan sang bahagia sejak pagi ini. Semua yang pernah ada bagiku, hanyalah semata kasihan...
Mengapa harus kulalui hari ini?
anjing
Berikut ini tulisan lama yang pernah ditulis semasa kuliah. Entah bagaimana bisa ada di sini bersama dengan artikel teman-teman BOE lainnya. Mungkin masih ada yang bisa dipelajari dari tulisan lama ini.
***
"Ada anjing lepas dari ikatan lalu berjalan-jalan sepanjang kompleks. Di setiap pagar rumah ia kencing sehingga anjing-anjing di balik pagar galak meraung-raung. Anjing itu sedang memagar daerah habitatnya. Tetapi begitu ia sampai kembali ke rumah tuannya, ia tertegun. Dilihatnya tali yang baru saja ia putuskan masih menunggu di situ. Tempat itu dilewatinya. Karena ia tak mau kembali terikat. Ia menyeberang jalan, tetapi lacur sebuah bajaj melindasnya. Kebebasan yang tiba-tiba itu sudah memperpendek usianya. Untuk bisa memanfaatkan kebebasan kamu harus belajar takut kepada kebebasan yang buas itu, kata pemilik anjing kepada hewan peliharaannya yang lain." [Uap - Putu Wijaya]
Saya kebetulan membaca bagian aforisma Putu Wijaya tersebut di atas setelah saya mencaci maki dan sumpah serapah dengan kata, 'Anjing!!', di daerah Pasar Minggu dan sebelumnya di pertigaan Pejaten hingga lewat perempatan pintu kereta di TB Simatupang. Bagaimana tidak fasih saya mengucapkan kata binatang tersebut? Saya seakan merasa sedang 'dikencingi' oleh para pengemudi di sepanjang jalan tersebut.
Reformasi telah menciptakan kondisi dimana segala sesuatu menjadi bebas dan lepas. Apa yang dulu tidak boleh sekarang diperbolehkan. Pers yang dulu sangat terkekang, menjadi begitu lantang dan bergema suaranya sehingga tak cukup rasanya dua buah bola mata kita memperhatikan headline-headline surat kabar yang ada di tanah air dan penuh dengan pengungkapan kebobrokan, persekongkolan, perseturan, isu dan gosip, dan sebagainya topik-topik yang kontradiktif dengan keadaan sebuah bangsa yang 'demokratis' katanya.
Saya agak terkejut, bagaimana saya yang berusaha menjadi yang taat dengan rambu lalu lintas ketika tidak ingin melanggar lampu merah karena saya percaya lampu lalulintas berguna untuk mencegah kecelakaan malahan dibentak-bentak oleh pengemudi lain yang ingin melintas meskipun lampu menyala merah. Siapa yang salah, bukan persoalan bagi saya. Tetapi sikap dan egoisme yang kini tumbuh di masyarakat Indonesia seakan menunjukkan bahwa individu-individu Indonesia menjadi anjing di wilayahnya sendiri. Persis seperti yang ditulis oleh Putu Wijaya.
Jalan raya adalah salah satu tempat dimana kita akan sering melihat anjing-anjing yang baru saja bebas dari ikatannya dan mencoba memagari daerah kekuasaannya. Supir-supir kendaraan baik itu kendaraan pribadi maupun kendaraan umum terlihat tidak lagi mengindahkan rambu-rambu lalulintas yang banyak dipasang sepanjang jalan-jalan protokol dan jalan-jalan kampung di Jakarta dan sekitarnya. Lampu merah seakan hanyalah lampu hias di pojok jalan yang tidak menandakan sebuah lampu yang berfungsi untuk menciptakan ketertiban. Marka jalan seperti hiasan di permukaan aspal jalan yang lebih manis kalau di lihat dari udara karena tidak satu pun pengemudi dan pengguna jalan yang tahu fungsi garis putih putus-putus maupun garis putih penuh. Satu lagi, jembatan penyebrangan yang sudah semakin karat oleh hujan dan panas kota Jakarta seakan sebagai monumen ketidaktertiban para pengguna jalan dan pejalan kaki yang memilih menyebrang di kolong jembatan penyebrangan. Pikiran kita -seharusnya- dibingungkan dan menjadi bertanya, "Kenapa ketika kebebasan itu kita peroleh, kita jadi seperti orang gila yang tidak tahu lagi mana baik atau buruk, mana layak atau tidak layak, mana yang betul atau salah, dan mana yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan?".
Setelah membaca aforisma yang ditulis Putu Wijaya, saya tahu jawabannya; 'Karena kita bukan manusia, melainkan anjing!'. Hanya anjing (dalam aforisma Putu Wijaya) yang tampak lupa akan kebebasannya sehingga ia menjadi 'buas' dan dan tidak tahu tujuan hidupnya selain berusaha memuaskan nafsu dan hasratnya yang sekejap. Apalah yang dikejar oleh para pengemudi dengan menerobos lampu merah? Apa yang diharapkan para penyebrang jalan dengan menyebrang tidak di jembatan penyebrangan?
Jawaban yang kita akan dengar (dan kita semua juga pasti akan menjawabnya) adalah 'mengejar setoran!', 'biar cepat!', dan lain sebagainya yang intinya adalah kebuasan kita atas kehendak kita sendiri tanpa memperdulikan orang lain. Lalu buat apa kita ribut-ribut soal peraturan, tata tertib, undang-undang dan lain sebagainya norma-norma hidup (bahkan agama juga bisa dimasukkan di sini!) jika akhirnya kebuasan dalam jiwa manusia yang menjadi motor penggerak hidup kita semua.
Ketika saya berpikir demikian, saya pasti malahan akan dibilang 'anjing!' oleh orang lain karena saya mencoba untuk tetap taat pada peraturan, tata tertib, dan lain-lain aturan hukum yang ada. Walhasil, saya bertanya dalam hati: "Siapakah yang manusia diantara kawanan anjing di wilayah Indonesia, dan siapakah yang paling anjing diantara kawanan anjing yang ada?". Satu yang jelas, jika mengacu pada aforisma Putu Wijaya, sesungguhnya di Indonesia tidak ada manusia, selain anjing. Maafkan kata-kata saya.
***
"Ada anjing lepas dari ikatan lalu berjalan-jalan sepanjang kompleks. Di setiap pagar rumah ia kencing sehingga anjing-anjing di balik pagar galak meraung-raung. Anjing itu sedang memagar daerah habitatnya. Tetapi begitu ia sampai kembali ke rumah tuannya, ia tertegun. Dilihatnya tali yang baru saja ia putuskan masih menunggu di situ. Tempat itu dilewatinya. Karena ia tak mau kembali terikat. Ia menyeberang jalan, tetapi lacur sebuah bajaj melindasnya. Kebebasan yang tiba-tiba itu sudah memperpendek usianya. Untuk bisa memanfaatkan kebebasan kamu harus belajar takut kepada kebebasan yang buas itu, kata pemilik anjing kepada hewan peliharaannya yang lain." [Uap - Putu Wijaya]
Saya kebetulan membaca bagian aforisma Putu Wijaya tersebut di atas setelah saya mencaci maki dan sumpah serapah dengan kata, 'Anjing!!', di daerah Pasar Minggu dan sebelumnya di pertigaan Pejaten hingga lewat perempatan pintu kereta di TB Simatupang. Bagaimana tidak fasih saya mengucapkan kata binatang tersebut? Saya seakan merasa sedang 'dikencingi' oleh para pengemudi di sepanjang jalan tersebut.
Reformasi telah menciptakan kondisi dimana segala sesuatu menjadi bebas dan lepas. Apa yang dulu tidak boleh sekarang diperbolehkan. Pers yang dulu sangat terkekang, menjadi begitu lantang dan bergema suaranya sehingga tak cukup rasanya dua buah bola mata kita memperhatikan headline-headline surat kabar yang ada di tanah air dan penuh dengan pengungkapan kebobrokan, persekongkolan, perseturan, isu dan gosip, dan sebagainya topik-topik yang kontradiktif dengan keadaan sebuah bangsa yang 'demokratis' katanya.
Saya agak terkejut, bagaimana saya yang berusaha menjadi yang taat dengan rambu lalu lintas ketika tidak ingin melanggar lampu merah karena saya percaya lampu lalulintas berguna untuk mencegah kecelakaan malahan dibentak-bentak oleh pengemudi lain yang ingin melintas meskipun lampu menyala merah. Siapa yang salah, bukan persoalan bagi saya. Tetapi sikap dan egoisme yang kini tumbuh di masyarakat Indonesia seakan menunjukkan bahwa individu-individu Indonesia menjadi anjing di wilayahnya sendiri. Persis seperti yang ditulis oleh Putu Wijaya.
Jalan raya adalah salah satu tempat dimana kita akan sering melihat anjing-anjing yang baru saja bebas dari ikatannya dan mencoba memagari daerah kekuasaannya. Supir-supir kendaraan baik itu kendaraan pribadi maupun kendaraan umum terlihat tidak lagi mengindahkan rambu-rambu lalulintas yang banyak dipasang sepanjang jalan-jalan protokol dan jalan-jalan kampung di Jakarta dan sekitarnya. Lampu merah seakan hanyalah lampu hias di pojok jalan yang tidak menandakan sebuah lampu yang berfungsi untuk menciptakan ketertiban. Marka jalan seperti hiasan di permukaan aspal jalan yang lebih manis kalau di lihat dari udara karena tidak satu pun pengemudi dan pengguna jalan yang tahu fungsi garis putih putus-putus maupun garis putih penuh. Satu lagi, jembatan penyebrangan yang sudah semakin karat oleh hujan dan panas kota Jakarta seakan sebagai monumen ketidaktertiban para pengguna jalan dan pejalan kaki yang memilih menyebrang di kolong jembatan penyebrangan. Pikiran kita -seharusnya- dibingungkan dan menjadi bertanya, "Kenapa ketika kebebasan itu kita peroleh, kita jadi seperti orang gila yang tidak tahu lagi mana baik atau buruk, mana layak atau tidak layak, mana yang betul atau salah, dan mana yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan?".
Setelah membaca aforisma yang ditulis Putu Wijaya, saya tahu jawabannya; 'Karena kita bukan manusia, melainkan anjing!'. Hanya anjing (dalam aforisma Putu Wijaya) yang tampak lupa akan kebebasannya sehingga ia menjadi 'buas' dan dan tidak tahu tujuan hidupnya selain berusaha memuaskan nafsu dan hasratnya yang sekejap. Apalah yang dikejar oleh para pengemudi dengan menerobos lampu merah? Apa yang diharapkan para penyebrang jalan dengan menyebrang tidak di jembatan penyebrangan?
Jawaban yang kita akan dengar (dan kita semua juga pasti akan menjawabnya) adalah 'mengejar setoran!', 'biar cepat!', dan lain sebagainya yang intinya adalah kebuasan kita atas kehendak kita sendiri tanpa memperdulikan orang lain. Lalu buat apa kita ribut-ribut soal peraturan, tata tertib, undang-undang dan lain sebagainya norma-norma hidup (bahkan agama juga bisa dimasukkan di sini!) jika akhirnya kebuasan dalam jiwa manusia yang menjadi motor penggerak hidup kita semua.
Ketika saya berpikir demikian, saya pasti malahan akan dibilang 'anjing!' oleh orang lain karena saya mencoba untuk tetap taat pada peraturan, tata tertib, dan lain-lain aturan hukum yang ada. Walhasil, saya bertanya dalam hati: "Siapakah yang manusia diantara kawanan anjing di wilayah Indonesia, dan siapakah yang paling anjing diantara kawanan anjing yang ada?". Satu yang jelas, jika mengacu pada aforisma Putu Wijaya, sesungguhnya di Indonesia tidak ada manusia, selain anjing. Maafkan kata-kata saya.
Monday, November 07, 2005
nothing is mine
I honor the place in you in which the entire universe inhabits
I honor the place in you which is of Love, of Trust, of Light, and of Peace
When you are in that place in you,
and I am in that place in me,
we are ONE
Sunday, November 06, 2005
picik
Sewaktu aku cari di Yahoo!, kutemukan diantaranya dua penjelasan:
1. (Peribahasa) Seperti katak dalam (di bawah) tempurung: artinya seseorang yang wawasannya kurang luas, bodoh, picik. Orang seperti ini penglihatannya tidak luas, luasnya bagaikan luas tempurung. Ini berdasarkan Wikipedia
2. Picik merupakan kata sifat atau ajektiva yang artinya sempit, tidak lebar, tidak luas (tentang pandangan, pengetahuan, pikiran, dan sebagainya). Ini menurut kamus besar bahasa Indonesia.
Apakah aku picik? Jika tidak, itu mustahil. Jika iya, itu pasti. Aku adalah manusia biasa dan bukan nabi, pun orang suci. Pikiran, pandangan, dan pengetahuan yang aku miliki dibatasi oleh segala sisi di luarku. Aku berusaha membuka pandangan dan pemikiran, menambah pengetahuan. Tapi, itu tak akan pernah cukup menandingi dunia dan semesta ini. Jadi, perkenalkan... aku manusia picik.
1. (Peribahasa) Seperti katak dalam (di bawah) tempurung: artinya seseorang yang wawasannya kurang luas, bodoh, picik. Orang seperti ini penglihatannya tidak luas, luasnya bagaikan luas tempurung. Ini berdasarkan Wikipedia
2. Picik merupakan kata sifat atau ajektiva yang artinya sempit, tidak lebar, tidak luas (tentang pandangan, pengetahuan, pikiran, dan sebagainya). Ini menurut kamus besar bahasa Indonesia.
Apakah aku picik? Jika tidak, itu mustahil. Jika iya, itu pasti. Aku adalah manusia biasa dan bukan nabi, pun orang suci. Pikiran, pandangan, dan pengetahuan yang aku miliki dibatasi oleh segala sisi di luarku. Aku berusaha membuka pandangan dan pemikiran, menambah pengetahuan. Tapi, itu tak akan pernah cukup menandingi dunia dan semesta ini. Jadi, perkenalkan... aku manusia picik.
lagu sendu
Adakah lagu yang lebih sendu
Dari lagu tentang perginya musim panas?
Atau sirnanya cahaya mentari di pantai?
Aku merindukan cakrawala yang memeluk hangat
Yang tidak menggigit jemariku dengan titik beku
Yang boleh membakar sedikit hingga gelap kulitku
Agar masih bisa sekedar merangkai kata jadi cerita
Atau sebait puisi cinta bagi belahan jiwa
Meski aku tahu
Aku bukan siapa-siapa
Hanya manusia alpa
Yang terdampar di negeri yang dingin
Dari lagu tentang perginya musim panas?
Atau sirnanya cahaya mentari di pantai?
Aku merindukan cakrawala yang memeluk hangat
Yang tidak menggigit jemariku dengan titik beku
Yang boleh membakar sedikit hingga gelap kulitku
Agar masih bisa sekedar merangkai kata jadi cerita
Atau sebait puisi cinta bagi belahan jiwa
Meski aku tahu
Aku bukan siapa-siapa
Hanya manusia alpa
Yang terdampar di negeri yang dingin
Subscribe to:
Posts (Atom)