Tuesday, December 09, 2008

tentang Maryamah Karpov



Setelah beberapa lama menunggu, akhirnya buku terakhir dari Tetralogi Laskar Pelangi yang berjudul “Maryamah Karpov: Mimpi-Mimpi Lintang” karya Andrea Hirata akhirnya terbit. Berikut ini adalah ulasan sederhana atas Maryamah Karpov. Patut dicatat bahwa tiga buku terdahulu dari Tetralogi Laskar Pelangi memberikan kesan tersendiri yang cukup kuat bagi para pembacanya, termasuk aku. Oleh karena itu, kesan pertamaku terhadap Maryamah Karpov pasti akan sangat bias oleh keberhasilan tiga buku sebelumnya.

Meskipun sempat terkejut dengan ketebalan bukunya, aku memilih untuk tidak pikir panjang dan mulai membaca Mozaik pertama yang berjudul Dibungkus Tilam, di Atas Nampan Pualam dengan harapan bahwa kualitas buku tersebut akan membuktikan dirinya sendiri terlepas dari tebalnya isi buku seperti halnya episode pertama Laskar Pelangi yang juga cukup tebal. Melewati mozaik-mozaik berikutnya aku cukup terpuaskan dan mulai kagum dengan masih konsistennya gaya penulisan Andrea Hirata dalam buku tersebut: mengandalkan latar belakang budaya dan bahasa Melayu Belitong dan sekitarnya serta humor yang sangat berkesan baik dari penggunaan kata dan kalimat atau penokohannya. Meskipun latah kosakata teknis akademis dengan bahasa-bahasa latin masih bertebaran di sana sini. Maryamah Karpov memuat lebih banyak lagi detil tokoh-tokoh yang menarik dan lucu. Sampai di tahap ini, Maryamah Karpov belum mengecewakanku.

Beberapa bagian yang menarik menurutku antara lain kisah tentang Arai yang akhirnya diterima oleh Zakiah serta berhasil mempersuntingnya menjadi istri. Adegan yang menggambarkan bagaimana Arai akan bertemu pertama kali dengan Zakiah setelah sekian tahun tidak bertemu sangat menghibur. Adegan yang paling mengharukan bagiku adalah saat prosesi pernikahan Arai dan Zakiah yang diakhiri dengan Arai yang mengaji dengan sepenuh hatinya (Ingat ketika Arai pertama kali menjadi anggota keluarga Ikal!). Selain kisah Arai, kisah lain yang sangat mengharukan adalah kisah Ayah-nya Ikal yang hampir naik pangkat tapi batal karena surat yang salah kirim. Juga kisah kedatangan dokter gigi Budi Ardiaz Tanuwijaya yang lama tidak mendapatkan pasien serta upaya Ketua Karmun yang menghebohkan untuk bisa membawa pasien pertama untuk sang dokter. Belum lagi kisah tentang asal muasal pemberian nama panggilan warga yang sangat kocak.

Hingga separuh tebal buku yang kubaca, aku mulai merasakan kekurangan yang terakumulasi perlahan namun pasti, dan terbukti hingga akhir buku kemudian. Sejujurnya, aku berharap terlalu banyak dengan karakter Maryamah Karpov karena terkait dengan judul, dan terutama A Ling yang sangat terkait dengan kisah pada tiga buku sebelumnya. Karakter Maryamah Karpov tidak mendapat porsi yang “cukup”, sehingga tak banyak bisa kuutarakan di sini. Tapi, yang paling kurang berkesan adalah kisah tentang A Ling yang baru mulai dibahas menjelang akhir. Hampir separuh buku berkisah terlalu berat di bagian upaya Ikal membuat perahu selama 7 bulan dengan tangannya sendiri. Walaupun bagian tersebut berhasil dikurangi fokusnya dengan kisah pelayaran yang penuh marabahaya dan cuilan riset sejarah tentang perompak dalam Mozaik ke 61 Pirates of the Caribbean yang menarik. Sebenarnya, detil-detil kisah yang ditawarkan sangat menarik tapi aku merasa banyak sekali yang tidak terkait langsung dengan A Ling. Ini agak menyebalkan untukku.

Kesimpulan: harus tetap kuakui bahwa Maryamah Karpov masih bisa dikatakan berhasil menawarkan kisah yang menarik. Detil-detil kisah dan penggunaan bahasanya sangat baik dan menghibur. Satu hal yang tetap sama ketika membaca buku ini dari halaman pertama hingga akhir, unsur kelucuan tak pernah berhenti dan sangat menggelitik. Kelucuan favoritku adalah ketika Mahar menunjukkan televisi portable bekas merk Sanyo yang dijadikan mustika keramat dalam lomba benda-benda mistik dengan Tuk Bayan Tula. Terlepas dari keistimewaan tersebut, aku merasa Maryamah Karpov tidak berhasil menjaga momentum puncak yang sudah dihantarkan oleh ketiga buku sebelumnya. Kisah Ikal dan A Ling terasa mudah sekali selesai dan menjadi penutup kisah panjang empat buku tersebut. Agak melankoli tapi kering detil. Padahal, kisah ini merupakan kisah yang ditunggu-tunggu dan ending-nya sangat patut disayangkan jika hanya demikian.

Singkat kata, aku sempat berharap bahwa Maryamah Karpov akan menutup Tetralogi Laskar Pelangi dengan ‘wah!’ seperti membaca Tetralogi Pramoedya Ananta Toer atau kisah Harry Potter. Namun, sayangnya harapanku belum terpenuhi. Walaupun demikian, untuk Anda yang sudah membaca tiga buku sebelumnya, Maryamah Karpov tetap wajib Anda baca untuk mengetahui bagaimana nasib kisah cinta Ikal dan A Ling atau menikmati kisah-kisah jenaka tokoh-tokoh yang diperkenalkan oleh Andrea Hirata.

Ulasan Maryamah Karpov yang lebih baik dan lengkap bisa dibaca di sini.

1 comment:

teh poci said...

hhhmmm...aku juga agak bingung dgn maryamah kok. ini reviewku ttg maryamah http://tehpocipanas.blogspot.com/