Ketika aku menulis posting ini, aku sedang bersyukur luar biasa setelah lolos dari 'kekacauan' yang selalu terjadi ketika hujan datang. Oh ya, mohon dicatat ini bukan sekedar hujan biasa melainkan hujan yang datang sejak tadi pagi dengan intensitas yang - mungkin belum bisa dikatakan paling tinggi - tapi cukup sedemikian hingga boleh membuat banyak genangan air keruh berwarna coklat setinggi mata kaki atau bahkan pinggang orang dewasa di mana-mana di sekitar Jakarta. Betul sekali, aku bicara tentang banjir yang - seperti sudah kebanyakan kita tahu - terjadi setiap hujan deras datang.
Jadi, siang tadi aku harus ke Depdagri untuk rapat dengan beberapa orang petinggi di sana dan juga seorang anggota dari salah satu lembaga donor yang turut mendukung petinggi-petinggi tersebut. Aku tak akan menceritakan apa isi pertemuan kami, tapi seorang anggota lembaga donor tersebut menyebutkan sebuah istilah yang sederhana tapi bagiku cukup mengena. Istilah tersebut yaitu MANJIR.
Karena tak pandai berbahasa Indonesia, istilah si anggota lembaga donor tersebut mungkin terdengar 'maksa' dan singkatannya jadi ganjil. Manjir adalah singkatan dari Macet dan Banjir. Dia mengucapkan istilah tersebut karena aku (dan anggota tim) terjebak macet dalam perjalanan dari Depok menuju kantor Depdagri di kawasan Gambir. Perlu lebih kurang 3 jam untuk mencapai lokasi, padahal waktu normal (dengan kemacetan yang cukup rutin jika minus hujan deras) untuk menempuh lokasi tersebut tidaklah lebih dari satu setengah jam.
Ketika pulang kembali ke Depok aku juga harus berhadapan dengan kekacauan karena banjir yang belum surut, sehingga harus memutar balik dan bersitegang dengan berbagai pengendara yang... yah, pasti Anda semua tahu bagaimana kelakuan penduduk Jakarta jika ada kekacauan... Membuat kekacauan lebih hebat lagi dengan saling serobot, mengambil keuntungan sesaat, tidak mau antri, dan sebagainya.
Mau bilang apa lagi? Inilah Jakarta, Bung! Di jalan raya, jika Anda tidak berteriak lebih keras dan kencang dibandingkan orang lain, maka Anda akan dilibas, ditelan bulat-bulat, bahkan dimaki-maki oleh orang seantero jagat. Yang ironis adalah semua orang selalu punya mantra yang sama dalam menanggapi (baca: mengomentari) fenomena ini... "Yang sabar yah...". Aku sih tidak mau munafik. Aku mengaku, jika di jalan raya Aku sulit untuk sabar, karena yah itu tadi. Aku pasti dilibas, ditelan bulat-bulat, bahkan dimaki-maki oleh orang lain hanya karena kita ikut antrian dengan apa adanya. Memangnya jika sudah Manjir seperti ini, kita bisa secepat apa untuk bisa sampai di tempat tujuan kita?
Tolonglah, kita semua kan sabar hanya ketika kita meminta (baca: berdoa) kepada Tuhan. Selebihnya, naluri alamiah manusia biasa yang akan menguasai... Egois, tamak, dan selalu merasa benar.
Itulah pelajaran yang aku dapat hari ini. Selain "Manjir" yah itu tadi... Mantra utama pengemudi di Jakarta... "Yang sabar yah..." Yang masih hingga detik ini terngiang di kepalaku adalah Aku diklakson dari belakang sementara ada motor yang memotong dari kiri dan hampir terserempet kepala mobilku. Sedangkan dari kanan, ada mobil minibus besar yang sudah memalangkan kepalanya yang bongsor menghadang di depan mobilku untuk masuk ke antrianku. Hal terbaik yang bisa Aku lakukan hanyalah menekan klakson mobilku sebisanya. Tapi siapa yang mendengar? Siapa yang peduli? Ini Jakarta, Bung!
3 comments:
hahaha...Manjir, gue pikir tadinya itu kata banjir diucapin dengan suara bindeng...
sempat kepikiran ide buat ngasih klakson di belakang mobil, gak tanggung2 pake klakson truk sekalian. Jadi kalo ada yang ngelakson bolak balik padahal jalan juga gak bisa tinggal di klakson balik aja supirnya. Biar dia tau betapa berisiknya suara klakson mobilnya...
Pokoknya jangan emosi dgn lalu lintas ya sayang, kalau ikutan "panas" yang "numpang" dimobil bisa ikutan panik (yaitu istrimu ini). Cool down, babe.
Nice post. keep it up. Thanks for sharing.
Windows 7 Loader By Daz Full Crack
CCleaner Pro Crack
Wondershare Filmora Crack
Post a Comment