Saturday, July 19, 2025

Hukum dan Vonis On Demand

Di dalam demokrasi, sistem hukum seharusnya menjadi pilar keadilan yang melindungi hak warga dan menyeimbangkan kekuasaan. Namun kenyataan saat ini di Indonesia menunjukkan sebaliknya: hukum kerap menjadi instrumen kekuasaan dan transaksi elite. Fenomena “vonis on demand” muncul ketika keputusan pengadilan tidak lagi diambil atas dasar objektivitas hukum, melainkan berdasarkan pesanan politik, tekanan publik, atau bahkan imbalan ekonomi.

 

Dalam analogi pasar berbasis platform yang kekinian, hukum kini berfungsi seperti layanan digital “on demand”—bisa dipesan sesuai kebutuhan pelanggan yang membayar lebih, dengan menu “pasal”, “vonis”, dan “dalil” yang bisa disesuaikan dengan tujuan akhir sang pemesan. Seperti dalam layanan pesan-antar instan, aktor-aktor hukum menjadi kurir yang mengantarkan vonis dengan cepat, asal sesuai dengan “alamat” yang telah ditentukan oleh kekuasaan, modal, atau koneksi politik. Akibatnya, rasa keadilan dikorbankan demi kepentingan elite, kesejahteraan publik tergadaikan, keselamatan hukum bagi warga rentan terabaikan, kepastian hukum menjadi cair dan manipulatif, dan integritas aparat terperosok ke dalam absurditas moral.

 

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa diskresi jaksa dan hakim kerap disalahgunakan dalam kasus-kasus ekonomi dan korupsi, dengan memanipulasi bukti atau menafsirkan kerugian negara secara spekulatif tanpa dasar ekonomi yang sahih (Green & Levine, 2016; Davis, 2008). Sering kali, argumen hukum yang diungkap di muka pengadilan tidak mengacu pada prinsip dasar ekonomi pasar, seperti supply-demand atau mekanisme kompetisi terbuka (Vagle, 2022).

 

Ironi besar terjadi ketika jaksa dan hakim menggunakan istilah “kerugian negara” dalam kasus perdagangan yang sah secara hukum. Mereka menilai margin keuntungan sebagai kejahatan, padahal dalam konteks bisnis, itu adalah prinsip operasional dasar dalam transaksi dan mekanisme pasar. Argumentasi hukum mereka justru bertentangan dengan teori ekonomi modern, sebagaimana dikritisi dalam literatur hukum ekonomi (Garoupa, 2012; Boyne, 2013).

 

Di banyak kasus, kerugian negara dihitung berdasarkan asumsi harga ideal versi kejaksaan, bukan pada nilai pasar aktual. Penalaran ini tidak hanya keliru, tetapi juga mencerminkan kegagalan lembaga hukum dalam memahami praktik ekonomi global (Henning, 1999). Dalam banyak kasus pidana ekonomi, perhitungan kerugian negara sering kali tidak didasarkan pada nilai pasar aktual, melainkan pada asumsi harga ideal yang dibentuk secara sepihak oleh pihak jaksa penuntut. Asumsi ini mengabaikan bahkan menghancurkan prinsip dasar ekonomi modern, bahwa harga pasar adalah hasil dari proses dinamis antara penawaran dan permintaan di pasar bebas. Ketika aparat hukum menciptakan harga ideal—yang sering kali tidak sesuai dengan harga pasar aktual—lalu menyimpulkan bahwa selisih tersebut merupakan kerugian negara, mereka sebenarnya sedang menyederhanakan proses ekonomi kompleks menjadi logika formalistik on demandyang menyesatkan (Henning, 1999).

 

Kegagalan memahami prinsip ini telah menyebabkan kriminalisasi terhadap banyak kegiatan perdagangan yang sah. Hal ini juga menciptakan preseden bahwa siapa pun dapat dituduh merugikan negara hanya karena menjual barang atau jasa “terlalu murah”—padahal harga tersebut bisa jadi adalah hasil kompromi bisnis internasional, kompetisi, bahkan ketersediaan stok global. Salah satu studi kasus yang relevan adalah vonis terhadap Tom Lembong, yang dinyatakan bersalah karena mengimpor komoditas strategis yang dianggap tidak sesuai dengan “harga wajar versi kejaksaan.” Dalam dakwaan, kejaksaan menyatakan bahwa nilai pasar komoditas saat transaksi “tidak mencerminkan potensi keuntungan maksimal yang bisa diraih negara,” dan dari situ dikalkulasi kerugian negara dalam jumlah besar. Namun, tidak ada acuan pasar global atau teori ekonomi yang dijadikan dasar dalam kalkulasi tersebut—kejaksaan hanya menggunakan pembanding fiktif dari laporan internal yang tidak diuji secara empiris.

 

Padahal, nilai pasar bukan entitas tetap yang bisa ditentukan dari atas, melainkan refleksi real-time dari dinamika persaingan, akses pasar, dan negosiasi antara pelaku usaha. Dalam konteks perdagangan internasional, penjualan pada harga tertentu (lebih rendah atau tinggi) sering kali dilakukan demi mempertahankan pangsa pasar atau menghindari kerugian lebih besar, dan strategi ini tidak serta-merta ilegal secara ekonomi maupun hukum (Garoupa, 2012; Boyne, 2013).

 

Vonis terhadap Tom Lembong menjadi simbol penyalahgunaan hukum ekonomi untuk kepentingan politik atau pencitraan kinerja penegakan hukum. Atau bahkan penyalahgunaan hukum untuk memenuhi ‘demand’ dari customer penguasa tertentu. Kasus ini menggarisbawahi pentingnya keterlibatan ahli ekonomi perdagangan internasional dalam setiap dakwaan yang menyangkut pasar, serta perlunya pengadilan untuk menguji argumen ekonomi dengan metodologi ilmiah, bukan dengan asumsi moralistik yang kaku. Sistem hukum pun akhirnya terjerat oleh ambisi jabatan. Ketika promosi jabatan ditentukan oleh popularitas, maka penegakan hukum bergeser menjadi pertunjukan drama publik. Jaksa dan hakim hanya akan mengejar kasus-kasus yang memberi sorotan media, bukan yang memberi manfaat hukum jangka panjang (Salau, 2024; Gordon & Huber, 2009).

 

Fenomena ini menciptakan kontradiksi akut: mereka yang menyatakan diri anti-kapitalis dalam vonisnya justru adalah pelaku kapitalisme tanpa etika. Mereka menjual vonis, membeli pengaruh, dan memperdagangkan jabatan atas nama hukum. Akibatnya, hukum kehilangan makna substansialnya. Ia bukan lagi tempat mencari keadilan, tetapi ladang bagi para pemain kekuasaan untuk mencetak keuntungan.

 

 

Daftar Pustaka

Boyne, S. M. (2013). A Closer Look at Discretion: The Prosecution of Serious Economic Crimes. The German Prosecution Service. Springer. PDF Link

Davis, A. J. (2008). The American Prosecutor—Power, Discretion, and Misconduct. Criminal Justice Journal. PDF Link

Garoupa, N. (2012). The Economics of Prosecutors. The Prosecutor in Transnational Perspective. Edward Elgar. PDF Link

Gordon, S. C., & Huber, G. A. (2009). The Political Economy of Prosecution. Annual Review of Law and Social Science, 5, 135–161. PDF Link

Green, B. A., & Levine, S. J. (2016). Disciplinary Regulation of Prosecutors as a Remedy for Abuses of Prosecutorial Discretion. Ohio State Journal of Criminal Law, 14. PDF Link

Henning, P. J. (1999). Prosecutorial Misconduct and Constitutional Remedies. Washington University Law Quarterly, 77. PDF Link

Salau, A. O. (2024). The Abuse and Misuse of Prosecutorial Discretion in High-Profile Corruption Cases in Nigeria: A Call for Paradigm Shift. Journal of Anti-Corruption Law. PDF Link

Vagle, K. (2022). The Law and Economics of Anti-Corruption: The Prosecutor’s Role in Negotiated Settlements and Efficient Law Enforcement. Norwegian School of Economics. PDF Link


Catatan: versi X (was Twitter) bisa dibaca di sini.

Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

No comments: