Kenaikan tarif cukai hasil tembakau di Indonesia hampir selalu menjadi kebijakan tahunan. Langkah ini kerap memicu perdebatan, terutama mengenai efektivitasnya dalam meningkatkan penerimaan negara sekaligus mengendalikan konsumsi. Sebagian pihak berargumen bahwa penerimaan justru lebih tinggi ketika tarif rendah karena konsumsi tetap tinggi. Namun, teori fiskal menunjukkan bahwa hubungan antara tarif dan penerimaan mengikuti pola Laffer Curve. Dalam kerangka ini, penerimaan negara merupakan hasil perkalian antara tarif dan volume konsumsi. Jika tarif terlalu rendah, penerimaan kecil meskipun konsumsi tinggi. Sebaliknya, jika tarif terlalu tinggi, konsumsi bisa jatuh drastis sehingga penerimaan menurun. Indonesia dipandang masih berada pada sisi kurva di mana kenaikan tarif justru berdampak positif pada penerimaan. Dengan demikian, kebijakan kenaikan cukai tidak hanya dilandasi motif fiskal, tetapi juga didorong oleh tujuan kesehatan publik dan regulasi industri.
Jika dibandingkan dengan negara lain, struktur tarif cukai Indonesia terlihat jauh lebih kompleks. Sistem yang berlaku adalah specific tax per batang dengan banyak golongan atau tier berdasarkan jenis rokok, skala produksi, dan harga jual eceran. Saat ini terdapat sekitar delapan tier aktif, sehingga selisih harga antar segmen sangat lebar. Konsekuensinya, ketika harga rokok pada satu segmen naik, konsumen dapat dengan mudah berpindah ke segmen lebih murah, sebuah fenomena yang dikenal sebagai trading down. Keadaan ini mengurangi efektivitas kebijakan pengendalian konsumsi.
Negara lain memilih jalur berbeda. Thailand menggunakan sistem campuran antara specific dan ad valorem dengan dua tier harga. Vietnam menetapkan tarif ad valorem tunggal sebesar 75 persen dan telah merencanakan penambahan specific tax bertahap mulai 2027, yang berarti bergerak ke arah sistem campuran namun tetap sederhana. Australia bahkan lebih tegas dengan satu tarif specific uniform yang diindeksasi secara rutin tanpa perbedaan tier. Perbandingan ini menunjukkan semakin sederhana struktur tarif, semakin kecil peluang perokok untuk berpindah ke produk lebih murah, sehingga kebijakan lebih efektif menekan konsumsi sekaligus menjaga penerimaan negara.
Efektivitas kebijakan harga juga bergantung pada bagaimana konsumen merespons. Teori Rational Addictive Behavior yang dikembangkan Becker dan Murphy pada 1988 memberikan penjelasan penting. Menurut teori ini, rokok dikategorikan sebagai addictive good. Konsumsi hari ini memberikan kenikmatan, tetapi sekaligus menambah stok adiksi yang akan memengaruhi konsumsi di masa depan. Perokok rasional bersifat forward-looking. Mereka memahami bahwa harga akan terus naik, sehingga mulai mengurangi konsumsi sekarang agar beban adiksi di masa depan lebih ringan. Dampaknya, konsumsi menurun perlahan, terutama pada kelompok anak muda yang belum terlalu kecanduan.
Namun, tidak semua perokok bersikap rasional. Banyak di antaranya yang bersifat myopic atau irasional, hanya memikirkan kepuasan sesaat tanpa memperhitungkan biaya jangka panjang. Bagi kelompok ini, kenaikan harga tidak banyak mengubah perilaku merokok. Mereka tetap membeli meskipun harus mengorbankan pengeluaran rumah tangga untuk kebutuhan lain. Bahkan sebagian melakukan trading down ke rokok murah atau ilegal, sementara yang lain melakukan compensatory smoking dengan mengisap lebih banyak dari rokok yang sama. Perbedaan respons ini menunjukkan bahwa instrumen harga sangat efektif untuk mencegah perokok baru atau mengurangi konsumsi pada perokok rasional, tetapi kurang ampuh untuk mereka yang sudah kecanduan berat.
Perdebatan mengenai rasionalitas konsumsi rokok kemudian diperluas oleh Gruber dan Kőszegi dalam studi mereka pada 2001. Mereka mengkritisi model rational addiction dengan menambahkan unsur time-inconsistent preferences atau present bias. Temuan mereka menunjukkan bahwa perokok bersifat sebagian rasional: mereka memang merespons harga ke depan, tetapi juga terjebak dalam perilaku yang terlalu menekankan kepuasan jangka pendek. Hal ini menghasilkan eksternalitas internal, di mana perokok masa kini merugikan diri mereka di masa depan. Dari perspektif kebijakan, implikasinya sangat penting. Kenaikan cukai bukan hanya instrumen untuk menanggulangi eksternalitas kesehatan publik, tetapi juga dapat berfungsi sebagai alat komitmen bagi perokok yang ingin mengurangi konsumsi. Harga yang lebih mahal membantu mereka melawan kecenderungan irasional dalam diri sendiri.
Dalam konteks Indonesia, penelitian yang secara eksplisit menggunakan kerangka rational addiction atau present bias masih sangat terbatas. Riset-riset sejauh ini lebih menyoroti elastisitas harga permintaan rokok, dampak cukai terhadap kemiskinan, serta peran iklan dalam perilaku merokok. Padahal, dengan ketersediaan data panel seperti IFLS dan Susenas, terbuka peluang besar untuk menguji sejauh mana perilaku konsumen Indonesia konsisten dengan teori adiksi rasional maupun model preferensi yang tidak konsisten. Hasil semacam itu dapat memperkuat argumen bahwa kebijakan cukai tinggi tidak hanya relevan untuk fiskal dan kesehatan publik, tetapi juga bermanfaat secara perilaku dengan membantu perokok melawan kecanduan mereka sendiri.
Keseluruhan uraian ini menunjukkan bahwa kebijakan cukai tembakau di Indonesia sebaiknya dipandang dalam kerangka yang lebih luas. Kenaikan tarif setiap tahun memiliki dasar teoritis dan empiris yang kuat, baik untuk mengendalikan konsumsi maupun untuk menjaga penerimaan negara. Namun, efektivitas kebijakan masih tereduksi oleh struktur tarif multi-tier dan oleh perilaku perokok irasional. Penyederhanaan struktur tarif, penguatan instrumen non-harga seperti layanan berhenti merokok, dan riset berbasis teori adiksi modern akan menjadi langkah penting agar kebijakan tembakau ke depan lebih efektif dan komprehensif.
Referensi
Becker, G., & Murphy, K. (1988). A Theory of Rational Addiction. Journal of Political Economy.
Gruber, J., & Kőszegi, B. (2001). Is Addiction “Rational”? Theory and Evidence. Quarterly Journal of Economics.
WHO (2021). WHO Report on the Global Tobacco Epidemic.
SEATCA (2023). Tobacco Tax Policy and Administration in ASEAN.
Kementerian Keuangan RI (2024). PMK tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
Cancer Council Victoria (2025). Tobacco Tax in Australia.
World Bank (2019). Tobacco Taxation in Vietnam.
No comments:
Post a Comment