Setiap tahun, jutaan lulusan perguruan tinggi memasuki pasar kerja dengan semangat dan harapan tinggi. Namun, realitas dunia kerja sering kali menyajikan tantangan yang tidak sederhana. Salah satu strategi yang kini banyak diusulkan—baik oleh pemerintah maupun sektor swasta—adalah program magang berbayar dengan upah minimum (UMR). Di atas kertas, ini tampak seperti solusi: memberikan pengalaman kerja kepada lulusan baru sekaligus mengurangi pengangguran muda.
Namun, apakah benar demikian?
Antara Peluang dan Perangkap
Bagi lulusan baru, magang bisa menjadi entry point yang penting. Mereka memperoleh pengalaman kerja pertama, belajar keterampilan yang tidak diajarkan di bangku kuliah, membangun jejaring profesional, bahkan mendapat peluang untuk direkrut secara permanen. Dalam konteks dunia kerja yang semakin kompetitif, pengalaman seperti ini tentu bernilai.
Tetapi program magang UMR juga menyimpan risiko. Bila tidak dirancang dengan hati-hati, ia berpotensi menjadi bentuk baru dari underemployment—ketika seseorang bekerja di bawah kapasitas keterampilannya. Lulusan dengan gelar sarjana atau diploma bisa saja terjebak dalam putaran magang yang terus-menerus, dengan gaji minimum, tanpa kepastian karier jangka panjang.
Hal ini tidak hanya menurunkan harapan upah di kalangan muda, tetapi juga melemahkan posisi tawar mereka dalam pasar kerja. Dalam jangka panjang, ini bisa menciptakan “generasi magang permanen”—mereka yang selalu belajar, tetapi tidak pernah benar-benar dipekerjakan secara utuh.
Siapa yang Paling Menerima?
Program magang berbayar UMR cenderung banyak diterima di sektor-sektor berikut:
Retail dan hospitality (kasir, staf layanan)
Industri kreatif dan digital (konten, desain, admin media sosial)
Administrasi perkantoran (entry data, asisten)
NGO dan lembaga pemerintahan (penelitian, survei)
Logistik dan manufaktur ringan (staf gudang, operator)
Sektor-sektor ini umumnya padat karya, memiliki perputaran tenaga kerja yang tinggi, dan menyambut fleksibilitas tenaga kerja baru. Namun, jika praktik ini menggantikan posisi entry-level permanen, maka magang tidak lagi menjadi “jembatan”, tetapi menjadi bentuk outsourcing terselubung.
Dampaknya terhadap Keseimbangan Pasar Kerja
Dari kacamata ekonomi tenaga kerja, program ini bisa memengaruhi keseimbangan antara penawaran dan permintaan tenaga kerja. Ketika program magang UMR membuka kran suplai tenaga kerja murah:
Kurva penawaran tenaga kerja bergeser ke kanan (lebih banyak tenaga kerja tersedia)
Jika tidak dibarengi peningkatan permintaan kerja produktif, maka upah cenderung stagnan atau bahkan menurun
Pekerja tetap dengan upah layak bisa tergeser oleh tenaga kerja magang yang murah dan tidak bersuara
Ini adalah bentuk “cannibalization of the entry-level job market”—magang justru menggerus peluang kerja formal yang seharusnya menjadi target dari para lulusan baru itu sendiri.
Jalan Tengah: Desain Program yang Berkeadilan
Untuk menghindari jebakan tersebut, program magang berbayar UMR harus memenuhi prinsip-prinsip berikut:
Berbasis waktu (time-bound): Ada batas durasi jelas dan tidak bisa diperpanjang seenaknya.
Fokus pengembangan keterampilan: Magang bukan hanya “tenaga bantu”, tetapi juga proses pembelajaran.
Jalur rekrutmen terbuka: Harus ada mekanisme yang memungkinkan magang diangkat menjadi pekerja tetap.
Tidak menggantikan posisi pekerja tetap: Magang tidak boleh dipakai untuk menghindari kewajiban ketenagakerjaan formal.
Dilindungi sistem jaminan sosial dasar: Termasuk BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan.
Penutup: Magang Bukan Solusi Instan
Di tengah tekanan angka pengangguran terdidik dan perubahan struktur ekonomi akibat digitalisasi dan krisis iklim, program magang bisa menjadi solusi jangka pendek. Namun, jika tidak dirancang dengan prinsip keadilan dan keberlanjutan, program ini bisa merusak struktur upah, menambah ketimpangan, dan menciptakan generasi muda yang rentan secara ekonomi.
Alih-alih sekadar mempermudah akses kerja, kita perlu memastikan bahwa setiap kerja—termasuk magang—adalah kerja yang layak, bermartabat, dan berjangka panjang.