Wednesday, September 17, 2025

Magang UMR untuk Lulusan Baru: Jembatan Menuju Karier atau Perangkap Upah Murah?

Setiap tahun, jutaan lulusan perguruan tinggi memasuki pasar kerja dengan semangat dan harapan tinggi. Namun, realitas dunia kerja sering kali menyajikan tantangan yang tidak sederhana. Salah satu strategi yang kini banyak diusulkan—baik oleh pemerintah maupun sektor swasta—adalah program magang berbayar dengan upah minimum (UMR). Di atas kertas, ini tampak seperti solusi: memberikan pengalaman kerja kepada lulusan baru sekaligus mengurangi pengangguran muda.

Namun, apakah benar demikian?

Antara Peluang dan Perangkap

Bagi lulusan baru, magang bisa menjadi entry point yang penting. Mereka memperoleh pengalaman kerja pertama, belajar keterampilan yang tidak diajarkan di bangku kuliah, membangun jejaring profesional, bahkan mendapat peluang untuk direkrut secara permanen. Dalam konteks dunia kerja yang semakin kompetitif, pengalaman seperti ini tentu bernilai.

Tetapi program magang UMR juga menyimpan risiko. Bila tidak dirancang dengan hati-hati, ia berpotensi menjadi bentuk baru dari underemployment—ketika seseorang bekerja di bawah kapasitas keterampilannya. Lulusan dengan gelar sarjana atau diploma bisa saja terjebak dalam putaran magang yang terus-menerus, dengan gaji minimum, tanpa kepastian karier jangka panjang.

Hal ini tidak hanya menurunkan harapan upah di kalangan muda, tetapi juga melemahkan posisi tawar mereka dalam pasar kerja. Dalam jangka panjang, ini bisa menciptakan “generasi magang permanen”—mereka yang selalu belajar, tetapi tidak pernah benar-benar dipekerjakan secara utuh.

Siapa yang Paling Menerima?

Program magang berbayar UMR cenderung banyak diterima di sektor-sektor berikut:

  • Retail dan hospitality (kasir, staf layanan)

  • Industri kreatif dan digital (konten, desain, admin media sosial)

  • Administrasi perkantoran (entry data, asisten)

  • NGO dan lembaga pemerintahan (penelitian, survei)

  • Logistik dan manufaktur ringan (staf gudang, operator)

Sektor-sektor ini umumnya padat karya, memiliki perputaran tenaga kerja yang tinggi, dan menyambut fleksibilitas tenaga kerja baru. Namun, jika praktik ini menggantikan posisi entry-level permanen, maka magang tidak lagi menjadi “jembatan”, tetapi menjadi bentuk outsourcing terselubung.

Dampaknya terhadap Keseimbangan Pasar Kerja

Dari kacamata ekonomi tenaga kerja, program ini bisa memengaruhi keseimbangan antara penawaran dan permintaan tenaga kerja. Ketika program magang UMR membuka kran suplai tenaga kerja murah:

  • Kurva penawaran tenaga kerja bergeser ke kanan (lebih banyak tenaga kerja tersedia)

  • Jika tidak dibarengi peningkatan permintaan kerja produktif, maka upah cenderung stagnan atau bahkan menurun

  • Pekerja tetap dengan upah layak bisa tergeser oleh tenaga kerja magang yang murah dan tidak bersuara

Ini adalah bentuk “cannibalization of the entry-level job market”—magang justru menggerus peluang kerja formal yang seharusnya menjadi target dari para lulusan baru itu sendiri.

Jalan Tengah: Desain Program yang Berkeadilan

Untuk menghindari jebakan tersebut, program magang berbayar UMR harus memenuhi prinsip-prinsip berikut:

  1. Berbasis waktu (time-bound): Ada batas durasi jelas dan tidak bisa diperpanjang seenaknya.

  2. Fokus pengembangan keterampilan: Magang bukan hanya “tenaga bantu”, tetapi juga proses pembelajaran.

  3. Jalur rekrutmen terbuka: Harus ada mekanisme yang memungkinkan magang diangkat menjadi pekerja tetap.

  4. Tidak menggantikan posisi pekerja tetap: Magang tidak boleh dipakai untuk menghindari kewajiban ketenagakerjaan formal.

  5. Dilindungi sistem jaminan sosial dasar: Termasuk BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan.

Penutup: Magang Bukan Solusi Instan

Di tengah tekanan angka pengangguran terdidik dan perubahan struktur ekonomi akibat digitalisasi dan krisis iklim, program magang bisa menjadi solusi jangka pendek. Namun, jika tidak dirancang dengan prinsip keadilan dan keberlanjutan, program ini bisa merusak struktur upah, menambah ketimpangan, dan menciptakan generasi muda yang rentan secara ekonomi.

Alih-alih sekadar mempermudah akses kerja, kita perlu memastikan bahwa setiap kerja—termasuk magang—adalah kerja yang layak, bermartabat, dan berjangka panjang.


Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Tuesday, September 09, 2025

Demografi, Gig Work, dan Tantangan Ketenagakerjaan di Era Revolusi Industri dan Society 5.0

Indonesia saat ini berada dalam fase strategis bonus demografi, di mana proporsi penduduk usia produktif (15–64 tahun) mencapai sekitar 70% dari total populasi. Fenomena ini diperkirakan mencapai puncaknya pada 2030-an dan menjadi peluang besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan produktivitas dan partisipasi tenaga kerja. Namun, setelah periode tersebut, struktur umur penduduk akan mengalami transisi menuju penuaan (aging population), yang ditandai dengan meningkatnya proporsi penduduk usia 65 tahun ke atas. Fenomena ini menjadi tantangan baru bagi sistem ketenagakerjaan dan perlindungan sosial Indonesia. Dengan demikian, penting untuk memahami bagaimana dinamika demografi ini berinteraksi dengan transformasi ekonomi yang sedang terjadi, khususnya dalam konteks Revolusi Industri 4.0 menuju 5.0 dan perkembangan paradigma sosial Society 5.0.

Revolusi industri telah mengalami beberapa fase penting. Revolusi Industri pertama ditandai oleh mekanisasi produksi dengan tenaga uap. Revolusi kedua muncul melalui elektrifikasi dan produksi massal. Revolusi ketiga menghadirkan otomasi dan teknologi informasi. Saat ini, kita memasuki Revolusi Industri 4.0 yang mengintegrasikan kecerdasan buatan, Internet of Things (IoT), big data, dan otomatisasi dalam sistem produksi dan pelayanan. Tahap berikutnya, yaitu Industri 5.0, membawa pendekatan kolaboratif antara manusia dan mesin (collaborative robots/cobots), serta menekankan pada keseimbangan antara efisiensi teknologi dan nilai-nilai sosial, seperti personalisasi dan keberlanjutan. Di tengah transformasi ini, muncul konsep masyarakat supercerdas atau Society 5.0, yang pertama kali diperkenalkan di Jepang sebagai visi peradaban masa depan yang mengintegrasikan teknologi canggih dalam seluruh aspek kehidupan, mulai dari ekonomi, pendidikan, hingga layanan sosial.

Transformasi ini mengubah secara fundamental struktur ketenagakerjaan. Salah satu manifestasi terpenting adalah munculnya sistem kerja modular dan ekonomi gig, yaitu model kerja berbasis proyek atau tugas jangka pendek yang difasilitasi oleh platform digital. Di Indonesia, ekonomi gig mulai tumbuh terutama di sektor transportasi daring dan jasa pengantaran, namun proporsinya terhadap total angkatan kerja masih relatif kecil. Meskipun demikian, kecenderungan global menuju kerja fleksibel, outsourcing, dan kerja berbasis platform menunjukkan bahwa bentuk organisasi kerja tradisional yang stabil dan jangka panjang mulai tergeser oleh pola yang lebih cair dan adaptif. Dalam konteks bonus demografi, generasi muda Indonesia (terutama Gen Z dan milenial) menjadi aktor utama dalam pola kerja baru ini, karena mereka lebih terbiasa dengan teknologi dan bersifat mobile. Namun, sistem kerja gig juga membawa risiko besar berupa tidak adanya kepastian pendapatan, ketiadaan perlindungan sosial, dan lemahnya posisi tawar pekerja di hadapan algoritma platform.

Di sisi lain, perkembangan Society 5.0 juga menuntut peningkatan kualitas sumber daya manusia yang mampu mengoperasikan dan berinovasi dengan teknologi mutakhir. Dalam masyarakat yang ditopang oleh sistem berbasis data dan kecerdasan buatan, literasi digital, keterampilan adaptif, dan kemampuan berpikir sistemik menjadi kompetensi inti. Sayangnya, ketimpangan akses terhadap infrastruktur digital dan pendidikan bermutu masih menjadi kendala besar di Indonesia, terutama antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Ketimpangan ini berpotensi memperdalam jurang antara kelompok yang mampu mengambil manfaat dari transformasi digital dengan mereka yang tertinggal.

Keterkaitan antara struktur demografi dan transformasi ketenagakerjaan ini menunjukkan bahwa bonus demografi hanya akan menjadi berkah jika disertai dengan reformasi struktural dalam bidang pendidikan, pelatihan kerja, dan infrastruktur digital. Dalam hal ini, negara memiliki peran penting tidak hanya sebagai fasilitator, tetapi juga sebagai penyedia inersia—yaitu penyangga sosial dan ekonomi yang dapat menstabilkan sistem dalam menghadapi perubahan cepat dan radikal. Pemerintah perlu memperkuat investasi dalam pendidikan vokasi berbasis kebutuhan industri masa depan, memperluas akses internet dan teknologi ke seluruh wilayah, serta membangun kerangka regulasi yang mampu melindungi pekerja fleksibel tanpa menghambat inovasi. Selain itu, sistem perlindungan sosial yang portabel dan inklusif menjadi krusial untuk memastikan keberlanjutan kesejahteraan tenaga kerja dalam konteks gig economy.

Lebih jauh lagi, kebijakan ketenagakerjaan dan fiskal harus diarahkan untuk merespons dualitas tantangan: yaitu menyerap kelebihan tenaga kerja muda saat ini dan mempersiapkan transisi menuju masyarakat menua dalam dua dekade mendatang. Ini mencakup penguatan jaminan hari tua, penciptaan lapangan kerja ramah usia lanjut, serta pengembangan layanan sosial yang didukung oleh teknologi seperti robotika perawatan dan sistem tele-health. Dengan pendekatan tersebut, Indonesia dapat menjembatani bonus demografi dan era aging dengan struktur ketenagakerjaan yang inklusif, tangguh, dan adaptif terhadap perubahan teknologi.

Sebagai kesimpulan, Indonesia berada di persimpangan penting antara peluang dan tantangan. Bonus demografi dan transformasi digital menghadirkan kemungkinan lompatan produktivitas, tetapi hanya jika dikelola dengan strategi holistik dan berbasis data. Revolusi industri dan Society 5.0 bukan hanya tentang teknologi, tetapi juga tentang manusia—bagaimana membangun sistem yang menjadikan teknologi sebagai alat untuk mencapai keadilan sosial, ketahanan ekonomi, dan kesejahteraan jangka panjang. Dalam konteks ini, pengembangan sumber daya manusia, perlindungan kerja yang adaptif, dan transformasi kelembagaan menjadi fondasi utama menuju Indonesia Emas 2045.


Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Friday, September 05, 2025

PHK: Keniscayaan Pasar atau Bisa Dicegah?

Setiap kali terjadi perlambatan ekonomi, berita PHK massal hampir selalu menghiasi media. Pemerintah pun kerap mengimbau pengusaha untuk menahan diri agar tidak melakukan PHK. Namun, pertanyaannya: apakah itu realistis jika dilihat dari teori ekonomi tenaga kerja?



Mengapa PHK Terjadi?

Dalam teori ekonomi, permintaan tenaga kerja adalah derived demand—turunan dari permintaan barang dan jasa. Artinya, perusahaan hanya akan mempekerjakan pekerja jika ada permintaan terhadap output yang dihasilkan.

Secara sederhana, perusahaan membayar upah sampai titik di mana:

Upah (W) = Nilai Produk Marjinal Pekerja (VMP).

Jika upah lebih tinggi daripada kontribusi pekerja dalam menghasilkan output, maka perusahaan menanggung kerugian. Karena itu, ketika permintaan barang menurun—misalnya akibat krisis—nilai produk marjinal pekerja juga menurun. Kurva permintaan tenaga kerja pun bergeser ke kiri, dan keseimbangan jumlah pekerja berkurang. Inilah mekanisme yang memicu PHK.


Apakah PHK Bisa Dihindari?

Secara teori, sulit bagi pengusaha untuk sepenuhnya menghindari PHK jika permintaan output menurun. Menahan pekerja melebihi titik keseimbangan pasar artinya perusahaan memikul biaya lebih besar dari yang bisa ditutupi oleh pendapatan.

Dengan kata lain, meminta pengusaha untuk tidak melakukan PHK tanpa mengubah kondisi pasar sama saja dengan menyuruh nelayan tetap melaut ketika laut sedang kering ikan. Secara bisnis, hal itu tidak rasional.


Peran Pemerintah

Namun, ini bukan berarti pemerintah tak bisa berbuat apa-apa. Kebijakan publik justru menjadi kunci untuk meredam dampak negatif:

  • Subsidi upah atau insentif pajak: membantu perusahaan mempertahankan pekerja.

  • Stimulus permintaan agregat: mendorong konsumsi sehingga permintaan output pulih.

  • Program reskilling dan upskilling: menyiapkan pekerja untuk sektor-sektor baru yang justru sedang tumbuh.

Dengan cara ini, beban tidak sepenuhnya diletakkan di pundak pengusaha, melainkan ditopang oleh kebijakan negara yang proaktif.


Kesimpulan

PHK memang sulit dihindari ketika permintaan menurun. Itu hukum pasar tenaga kerja. Namun, dengan intervensi kebijakan yang tepat, dampaknya bisa diminimalisir.

Jika pemerintah hanya berhenti pada imbauan “jangan PHK” tanpa solusi konkret, maka itu bukan kebijakan—itu ilusi.


Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Bonus Demografi atau Bencana Demografi? Tingginya Pengangguran Anak Muda di Indonesia

Kenapa tingkat pengangguran terbuka (TPT) anak muda Indonesia—usia 15–24 tahun—bisa mencapai tiga kali lipat dibanding kelompok umur lainnya? Pertanyaan ini semakin menggelitik ketika kita tahu bahwa pendidikan masyarakat Indonesia semakin tinggi, dengan makin banyak lulusan SMA, diploma, hingga sarjana. Gelar makin banyak, tapi pekerjaan justru makin sulit dicari.

Fenomena ini bukan sekadar angka. Ia menjadi cermin rapuhnya transisi sekolah–kerja di Indonesia, dan sekaligus menentukan apakah “bonus demografi” benar-benar menjadi bonus atau justru berubah menjadi beban.


Mengapa Pengangguran Muda Lebih Tinggi?

Secara teori, ada beberapa alasan mengapa pengangguran anak muda cenderung lebih tinggi:

  1. Transisi sekolah–kerja yang belum mulus

    Banyak pemuda baru lulus sekolah atau kampus, masih mencari pekerjaan pertama, dan karena itu lebih mudah tercatat sebagai penganggur.

  2. Minim pengalaman dan keterampilan non-teknis

    Pasar kerja sering menuntut “fresh graduate berpengalaman,” sebuah ironi yang menutup akses anak muda. Soft skills seperti komunikasi dan kerja tim justru menjadi penghalang nyata.

  3. Mismatch pendidikan–pekerjaan

    Ekspansi pendidikan menengah dan tinggi menaikkan aspirasi kerja. Namun, struktur ekonomi belum cukup menyediakan lapangan kerja formal dan produktif. Akibatnya, banyak lulusan menunggu pekerjaan “ideal,” yang memperpanjang masa menganggur.

  4. Preferensi kerja anak muda

    Generasi muda cenderung menolak pekerjaan kasar, bergaji rendah, atau di sektor pertanian. Aspirasi tinggi bertemu dengan realitas pasar kerja yang terbatas.

  5. Segmentasi pasar tenaga kerja

    Pekerjaan untuk pemula sering informal, kontrak pendek, atau bergaji rendah. Anak muda lebih rentan tersingkir dibanding mereka yang sudah mapan di pasar kerja.


Bonus Demografi: Pedang Bermata Dua

Indonesia sedang menikmati bonus demografi: proporsi penduduk usia produktif meningkat pesat. Secara teori, ini adalah kesempatan emas untuk pertumbuhan ekonomi. Namun, bila tenaga muda tidak terserap ke dalam pekerjaan yang produktif, justru muncul fenomena youth bulge unemployment—ledakan jumlah pengangguran muda yang berpotensi menjadi beban sosial-ekonomi.

Di sinilah letak paradoksnya: pendidikan meningkat, tetapi industrialisasi dan penciptaan lapangan kerja berkualitas tidak sejalan. Hasilnya adalah frustrasi kolektif di kalangan anak muda—sebuah tanda alarm bahwa bonus demografi bisa meleset arah.


Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah?

Untuk mengantisipasi risiko ini, ada beberapa kebijakan yang mendesak dilakukan:

  1. Mempercepat transisi sekolah–kerja

    • Perkuat link & match antara dunia pendidikan dengan industri.

    • Jadikan program magang nyata, bukan sekadar formalitas.

    • Bangun career centre di sekolah dan kampus yang benar-benar aktif mendampingi.

  2. Mendorong penciptaan kerja berkualitas

    • Fokus pada industrialisasi berbasis green economy dan digital economy.

    • Beri insentif pada sektor padat karya formal.

    • Fasilitasi wirausaha muda dan startup agar bisa menyerap tenaga kerja baru.

  3. Meningkatkan sistem pelatihan & reskilling

    • Balai Latihan Kerja (BLK) dan kursus vokasi harus relevan dengan permintaan pasar.

    • Latih anak muda untuk green jobs, digital jobs, dan care jobs yang potensial di masa depan.

  4. Memperluas perlindungan sosial yang adaptif

    • Banyak anak muda terjebak di pekerjaan kontrak, paruh waktu, atau gig economy.

    • Butuh jaminan sosial inklusif dan portable, yang mengikuti pekerja, bukan status kontrak.

  5. Memperbaiki cara ukur & pantau kerja muda

    • Jangan hanya melihat TPT dan formalitas.

    • Perlu data lebih kaya: waktu tunggu kerja, underemployment, unpaid work, hingga aspirasi kerja, agar kebijakan lebih sesuai realitas.


Penutup

Fenomena pengangguran muda bukan sekadar persoalan statistik. Ia adalah penentu arah apakah Indonesia benar-benar mampu memetik dividen demografi atau justru terjebak dalam liabilitas demografi.


“Bonus demografi itu bukan soal banyaknya anak muda, tapi soal apakah kita bisa memberikan mereka pekerjaan yang bermakna. Tanpa itu, bonus berubah menjadi beban.”

Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Saturday, July 19, 2025

Hukum dan Vonis On Demand

Di dalam demokrasi, sistem hukum seharusnya menjadi pilar keadilan yang melindungi hak warga dan menyeimbangkan kekuasaan. Namun kenyataan saat ini di Indonesia menunjukkan sebaliknya: hukum kerap menjadi instrumen kekuasaan dan transaksi elite. Fenomena “vonis on demand” muncul ketika keputusan pengadilan tidak lagi diambil atas dasar objektivitas hukum, melainkan berdasarkan pesanan politik, tekanan publik, atau bahkan imbalan ekonomi.

 

Dalam analogi pasar berbasis platform yang kekinian, hukum kini berfungsi seperti layanan digital “on demand”—bisa dipesan sesuai kebutuhan pelanggan yang membayar lebih, dengan menu “pasal”, “vonis”, dan “dalil” yang bisa disesuaikan dengan tujuan akhir sang pemesan. Seperti dalam layanan pesan-antar instan, aktor-aktor hukum menjadi kurir yang mengantarkan vonis dengan cepat, asal sesuai dengan “alamat” yang telah ditentukan oleh kekuasaan, modal, atau koneksi politik. Akibatnya, rasa keadilan dikorbankan demi kepentingan elite, kesejahteraan publik tergadaikan, keselamatan hukum bagi warga rentan terabaikan, kepastian hukum menjadi cair dan manipulatif, dan integritas aparat terperosok ke dalam absurditas moral.

 

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa diskresi jaksa dan hakim kerap disalahgunakan dalam kasus-kasus ekonomi dan korupsi, dengan memanipulasi bukti atau menafsirkan kerugian negara secara spekulatif tanpa dasar ekonomi yang sahih (Green & Levine, 2016; Davis, 2008). Sering kali, argumen hukum yang diungkap di muka pengadilan tidak mengacu pada prinsip dasar ekonomi pasar, seperti supply-demand atau mekanisme kompetisi terbuka (Vagle, 2022).

 

Ironi besar terjadi ketika jaksa dan hakim menggunakan istilah “kerugian negara” dalam kasus perdagangan yang sah secara hukum. Mereka menilai margin keuntungan sebagai kejahatan, padahal dalam konteks bisnis, itu adalah prinsip operasional dasar dalam transaksi dan mekanisme pasar. Argumentasi hukum mereka justru bertentangan dengan teori ekonomi modern, sebagaimana dikritisi dalam literatur hukum ekonomi (Garoupa, 2012; Boyne, 2013).

 

Di banyak kasus, kerugian negara dihitung berdasarkan asumsi harga ideal versi kejaksaan, bukan pada nilai pasar aktual. Penalaran ini tidak hanya keliru, tetapi juga mencerminkan kegagalan lembaga hukum dalam memahami praktik ekonomi global (Henning, 1999). Dalam banyak kasus pidana ekonomi, perhitungan kerugian negara sering kali tidak didasarkan pada nilai pasar aktual, melainkan pada asumsi harga ideal yang dibentuk secara sepihak oleh pihak jaksa penuntut. Asumsi ini mengabaikan bahkan menghancurkan prinsip dasar ekonomi modern, bahwa harga pasar adalah hasil dari proses dinamis antara penawaran dan permintaan di pasar bebas. Ketika aparat hukum menciptakan harga ideal—yang sering kali tidak sesuai dengan harga pasar aktual—lalu menyimpulkan bahwa selisih tersebut merupakan kerugian negara, mereka sebenarnya sedang menyederhanakan proses ekonomi kompleks menjadi logika formalistik on demandyang menyesatkan (Henning, 1999).

 

Kegagalan memahami prinsip ini telah menyebabkan kriminalisasi terhadap banyak kegiatan perdagangan yang sah. Hal ini juga menciptakan preseden bahwa siapa pun dapat dituduh merugikan negara hanya karena menjual barang atau jasa “terlalu murah”—padahal harga tersebut bisa jadi adalah hasil kompromi bisnis internasional, kompetisi, bahkan ketersediaan stok global. Salah satu studi kasus yang relevan adalah vonis terhadap Tom Lembong, yang dinyatakan bersalah karena mengimpor komoditas strategis yang dianggap tidak sesuai dengan “harga wajar versi kejaksaan.” Dalam dakwaan, kejaksaan menyatakan bahwa nilai pasar komoditas saat transaksi “tidak mencerminkan potensi keuntungan maksimal yang bisa diraih negara,” dan dari situ dikalkulasi kerugian negara dalam jumlah besar. Namun, tidak ada acuan pasar global atau teori ekonomi yang dijadikan dasar dalam kalkulasi tersebut—kejaksaan hanya menggunakan pembanding fiktif dari laporan internal yang tidak diuji secara empiris.

 

Padahal, nilai pasar bukan entitas tetap yang bisa ditentukan dari atas, melainkan refleksi real-time dari dinamika persaingan, akses pasar, dan negosiasi antara pelaku usaha. Dalam konteks perdagangan internasional, penjualan pada harga tertentu (lebih rendah atau tinggi) sering kali dilakukan demi mempertahankan pangsa pasar atau menghindari kerugian lebih besar, dan strategi ini tidak serta-merta ilegal secara ekonomi maupun hukum (Garoupa, 2012; Boyne, 2013).

 

Vonis terhadap Tom Lembong menjadi simbol penyalahgunaan hukum ekonomi untuk kepentingan politik atau pencitraan kinerja penegakan hukum. Atau bahkan penyalahgunaan hukum untuk memenuhi ‘demand’ dari customer penguasa tertentu. Kasus ini menggarisbawahi pentingnya keterlibatan ahli ekonomi perdagangan internasional dalam setiap dakwaan yang menyangkut pasar, serta perlunya pengadilan untuk menguji argumen ekonomi dengan metodologi ilmiah, bukan dengan asumsi moralistik yang kaku. Sistem hukum pun akhirnya terjerat oleh ambisi jabatan. Ketika promosi jabatan ditentukan oleh popularitas, maka penegakan hukum bergeser menjadi pertunjukan drama publik. Jaksa dan hakim hanya akan mengejar kasus-kasus yang memberi sorotan media, bukan yang memberi manfaat hukum jangka panjang (Salau, 2024; Gordon & Huber, 2009).

 

Fenomena ini menciptakan kontradiksi akut: mereka yang menyatakan diri anti-kapitalis dalam vonisnya justru adalah pelaku kapitalisme tanpa etika. Mereka menjual vonis, membeli pengaruh, dan memperdagangkan jabatan atas nama hukum. Akibatnya, hukum kehilangan makna substansialnya. Ia bukan lagi tempat mencari keadilan, tetapi ladang bagi para pemain kekuasaan untuk mencetak keuntungan.

 

 

Daftar Pustaka

Boyne, S. M. (2013). A Closer Look at Discretion: The Prosecution of Serious Economic Crimes. The German Prosecution Service. Springer. PDF Link

Davis, A. J. (2008). The American Prosecutor—Power, Discretion, and Misconduct. Criminal Justice Journal. PDF Link

Garoupa, N. (2012). The Economics of Prosecutors. The Prosecutor in Transnational Perspective. Edward Elgar. PDF Link

Gordon, S. C., & Huber, G. A. (2009). The Political Economy of Prosecution. Annual Review of Law and Social Science, 5, 135–161. PDF Link

Green, B. A., & Levine, S. J. (2016). Disciplinary Regulation of Prosecutors as a Remedy for Abuses of Prosecutorial Discretion. Ohio State Journal of Criminal Law, 14. PDF Link

Henning, P. J. (1999). Prosecutorial Misconduct and Constitutional Remedies. Washington University Law Quarterly, 77. PDF Link

Salau, A. O. (2024). The Abuse and Misuse of Prosecutorial Discretion in High-Profile Corruption Cases in Nigeria: A Call for Paradigm Shift. Journal of Anti-Corruption Law. PDF Link

Vagle, K. (2022). The Law and Economics of Anti-Corruption: The Prosecutor’s Role in Negotiated Settlements and Efficient Law Enforcement. Norwegian School of Economics. PDF Link


Catatan: versi X (was Twitter) bisa dibaca di sini.

Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Tuesday, April 30, 2019

wrong

"There are two circumstances that lead to arrogance: one is when you're wrong and you can't face it; the other is when you're right and nobody else can face it."
~Criss Jami.
#reminder

Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Thursday, April 25, 2019

sihir sains

Statistik adalah sihir sains. Oleh karena itu, semester depan matkul EMET para dosen akan mengenakan jubah; tidak mengajarkan do-file melainkan menyusun mantra & merapal ajian2 kesaktian, dan tidak menggunakan powerpoint+clicker melainkan magic wand. Yang gak lulus, bakalan dikutuk jadi batu. 🎩🧙‍♂️
#sihirsains #abragedubrak

Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Tuesday, April 16, 2019

Baik

Kemampuan berpikir yang baik itu diawali dengan kemampuan mendengar dengan baik. Agar mampu mendengar dengan baik, tidak hanya telinga mesti bersih tapi hati juga mesti baik. Maka tak heran jika terus mengumbar benci dan agitasi, apa yang terucap akan mengikuti semua kemampuan dasar tersebut.

Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Tuesday, April 09, 2019

yardstick

"The modern educational system provides numerous other examples of reality bowing down to written records. When measuring the width of my desk, the yardstick I am using matters little. My desk remains the same width regardless of whether I say it is 200 centimetres or 78.74 inches. However, when bureaucracies measure people, the yardsticks they choose make all the difference. When schools began assessing people according to precise marks, the lives of millions of students and teachers changed dramatically.”
Excerpt from
Homo Deus: A Brief History of Tomorrow
Yuval Noah Harari

Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Tuesday, January 29, 2019

Statistik WAG

Di sebuah grup, ia aktif mengirimkan 'chat' dengan total 990 chat sejak awal tahun selama 29 hari berturut-turut tanpa henti yang berarti. Artinya, ia mengirimkan tidak kurang dari 34 pesan per hari atau rata-rata 3 sd 4 pesan per jam (asumsi hanya aktif 12 jam per hari). Itu hanya berlaku untuk satu peserta yang paling aktif di bulan tersebut. Silahkan hitung sendiri berapa banyak pesan yang bertebaran berjam-jam apabila ada peserta dengan derajat keaktifan yang hampir sama sebanyak tidak kurang dari 6 orang. Silahkan hitung juga jika Anda mengobservasi beberapa grup sekaligus. 

Berapa banyak pesan bertebaran di hari-hari sibuk Anda. Seru sekali, bukan?


#socmedstat #basicresearch #dontaskaboutwhat

Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Friday, December 28, 2018

Bumblebee (2018) very short review

Short review on Bumblebee (2018): "the best Transformers movie." 


1) best & sweet story plot+scripts; 
2) recommended family movie-good for kids; 
3) enough robots-humans interaction; 
4) best soundtracks! (Just downloaded them in Spotify)


#bumblebee #transformers #spotify

Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Monday, December 10, 2018

Kepergian Pasangan Sejati



"But true love is a durable fire, in the mind ever burning, never sick, never old, never dead, from itself never turning." ~Walter Raleigh
Setahun lalu, di hari Jumat 8 Desember 2017, merupakan hari di mana Ibu dan Bapak kami diperabukan dalam sebuah upacara kremasi yang panjang. Panjangnya prosesi tersebut bukan karena prosesinya yang memang panjang, melainkan karena mereka berdua memutuskan untuk menuntaskan janji bersama sehidup semati hingga api terakhir yang melebur raga mereka padam. 
Enam hari sebelumnya, Ibu pergi lebih awal meninggalkan Bapak setelah 5 hari sakit. Lima hari menjelang kremasi Ibu yang dijadwalkan, Bapak juga jatuh sakit hingga akhirnya menyusul Ibu juga. Uniknya, Bapak menarik nafas terakhirnya sesaat setelah abu kremasi Ibu selesai diproses. Semua orang mencoba membaca apa tanda yang muncul dari urutan peristiwa tersebut dan akhirnya kami putuskan melanjutkan prosesi kremasi untuk Bapak. Abu Ibu pun menunggu diselesaikannya prosesi untuk Bapak agar abu mereka berdua bisa berkumpul bersama hingga akhir prosesi nanti.
Ibu dan Bapak bukanlah figur pasangan yang romantis. Saya tak pernah mendengar mereka berdua saling mengumbar kata cinta atau sayang atau kecupan2 ala film-film drama. Pokoknya mereka bukan 'role model' pasangan percintaan yang mungkin dibayangkan atau bahkan diimpikan banyak orang. Sejauh yang saya ingat, satu-satunya film yang pernah mereka tonton di bioskop (berdua saja!) adalah film 'Ghost' yang diperankan oleh Patrick Swazye dan Demi Moore. Bisa dibilang itulah satu-satunya hal romantis yang pernah kami lihat langsung dari mereka.
Tapi, mereka adalah orang tua yang penuh kasih sayang dan perhatian pada anak-anaknya. Meskipun mereka tetap tidak terlalu mudah mengumbar kata sayang pada anak-anaknya. Jika ada konflik dan perselisihan pendapat, mereka mengajarkan agar tidak berlarut-larut dan 'move on'. Mereka juga pasangan yang memiliki semangat sosial yang tinggi. Ibu aktif di kegiatan sosial kemasyarakatan lewat pendidikan luar sekolah/kursus. Bapak terkenal akrab dengan siapa saja dan kenal dengan banyak orang, termasuk kolega dan 'inner circle' yang Ibu miliki. Bapak mungkin orang yang paling supel dalam berbagai pergaulan dan terkenal karena cerita-ceritanya yang memeriahkan suasana.
Kini setahun sudah keduanya absen dari kehidupan kami. Sulit menjelaskan rasa kehilangan yang kami rasakan karena masih tak menyangka mereka berdua pergi hanya selisih beberapa hari. Entah apa tanda yang dimunculkan dalam 5 hari penantian mereka berdua sejak sakit hingga akhirnya abu mereka dilarung ke sumber air yang bermuara ke laut. Tapi satu hal yang pasti, mereka telah menyelesaikan janji suci cinta dan pernikahan berdua hingga akhir waktu. Sesuatu yang mungkin diimpikan juga oleh banyak pasangan kekasih lain di muka bumi ini. 
Ibu dan Bapak menunjukkan bahwa cinta sejati tak pernah memiliki akhir yang membahagiakan karena cinta sejati sesungguhnya tak pernah berakhir. Terima kasih Ibu dan Bapak atas cinta kasih kalian. 

Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

1st Year Anniversary of Dad's Death


"He never looks for praises.
He's never one to boast.
He just goes on quietly working
for those he loves the most."
~ Karen K. Boyer
Siang ini sekitar pukul 2, tepat setahun lalu tanggal 8 Desember 2017, Bapak pergi meninggalkan kami semua. Bapak mungkin bukanlah seorang ayah kebanyakan yang memiliki posisi atau status tertentu terkait pekerjaannya. Bapak adalah seorang pekerja lepas yang bisa mengerjakan apa saja. Hampir segala hal yang rusak atau tak bekerja, bisa diperbaikinya. Bapak punya tangan yang terampil dan keahlian mekanik yang mumpuni, meskipun beliau bukan insinyur.
Bapak adalah orang yang murah senyum, mudah akrab, banyak cerita tapi beliau juga seorang penyabar dan mengajarkan anak2nya agar berpikir yang detil dan teliti sebelum mengambil keputusan. Dari Bapak juga kami belajar tentang tertib dan disiplin. Bapak juga seorang penyayang keluarga, bukan hanya keluarga inti tapi juga keluarga besarnya. Bapak akan melakukan apa pun semampunya demi membela seluruh keluarganya. Dari Bapak saya diajarkan bahwa apa pun yang terjadi, ikatan darah tak mungkin diputus dan perlu selalu dijaga kedamaian dan kesejahteraannya. Betapa pun perlakuan atau kata-kata yang diterimanya, tak pernah menggoyahkan semangatnya. 
Kami kangen cerita-ceritamu, Pak. 😌
#RIP #dad #missyousomuch

Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Tuesday, December 04, 2018

Ibu dan Sulaman Karawo, Gorontalo

Menemukan berita tentang Ibu bagaimana sebuah harta karun yang berisi pengingat tentang perjalanan kehidupan beliau yang begitu membanggakan. Berita dari Gorontalo tentang Sulaman Karawo ini menunjukkan sedikit kiprah Ibu untuk ketrampilan atau pendidikan luar sekolah di Indonesia. Kami anak-anaknya yang tumbuh dan besar melihat bagaimana Ibu berjuang mempelajari dan menguasai seluk beluk dunia ketrampilan perempuan. Banyak orang yang tak sadar mungkin bahwa beliau sebenarnya jenius dalam menemukan teknik menjahit sederhana yang cocok untuk industri kecil dan mudah dipelajari.

Sungguh sebuah langkah senyap yang beliau ambil. I salute you, Mom!

#missmymom

Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Monday, December 03, 2018

1st Year Anniversary of Mom's Death

"A mother's love for her child never ends; it grows and grows
and never stops, even after her death."
~Mary E. Martinez

Malam ini, tepat setahun yang lalu 3 Desember 2017, Ibu pergi meninggalkan kami semua. Kami masih terus berusaha merayakan kehidupan yang Ibu jalani. Betapa banyak kisah perjuangan dan kesan-kesan indah yang ditinggalkan yang masih terus kami dengar dari banyak orang. Seolah-olah belum pergi. Ibu masih di sini, berkisah dengan siapa saja yang kami temui. Luar biasa perjalananmu, Bu.
Rasanya sulit menjelaskan rasa rindu ini. Tapi kami percaya cinta kasihmu pada kami akan selalu ada, di sanalah kami selalu yakin Ibu masih bersama kami. Kami sayang Ibu. 


Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Saturday, November 03, 2018

Botol dan Isinya

Jadi ingat kata2 mutiara yang bilang "ujilah isinya bukan botolnya" 🙏
Tetiba banyak yg ngaku ngerti "isi" padahal baru megang2 "botol" doang. 🧐
#data

Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Monday, October 22, 2018

logika

Bagaimana kalau melihat/membaca argumen-argumen ad hominem, ad ignorantum dan burden of proof reversal terus digunakan oleh pihak-pihak yang dulu kerap merasa menjadi korban ketiga kesalahan logika tersebut? 
Perlu diingatkan? 
Perlu dikasih tahu? 
Atau saksikan saja? 


#everybodythesame #bandwagoneffect #nocomment #nomention

Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Sunday, October 21, 2018

Quotes on Democracy


"Democracy is based on Abraham Lincoln's principle that 'you can fool all the people some of the time, and some of the people all the time, but you cannot fool all the people all the time'. If a government is corrupt and fails to improve people's lives, enough citizens will eventually realise this and replace the government. But government control of the media undermines Lincoln's logic, because it prevents citizens from realising the truth." ~ 21 Lessons for the 21st Century, Yuval Noah Harari.
#reading #quotes

Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Friday, October 19, 2018

Harari's Latest Book

"If mosquitoes buzzed in our ears and disturbed our sleep, we know how to kill the mosquitoes; but if a thought buzzed in our mind and kept us awake at night, most of us did not know how to kill the thought" 

"Perhaps in the twenty-first century populist revolts will be staged not against an economic elite that exploits people, but against an economic elite that does not need them anymore. It is much harder to struggle against irrelevance than against exploitation"
Those are several interesting quotes from Harari's latest book. Another exciting reading of the week!

Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Monday, October 08, 2018

Pertemanan yang Membanggakan

Beberapa hal yang patut disyukuri dalam pertemanan adalah apabila ada di antara mereka yang memang terlibat langsung dalam aksi atau kegiatan sosial kemanusiaan serta meng-updatenya sehingga gw dan teman2 lain yang belum beruntung mampu ikut dalam aksi atau kegiatan tersebut menjadi tahu dan paham pentingnya hal tersebut. Gw juga jadi tahu bahwa memang ada hal-hal yang belum sempurna, tapi proses perbaikan dan pemulihan masih terus dilakukan. 
Hal lain yang juga patut disyukuri adalah teman-teman yang tulus dan giat bekerja tersebut memberikan fakta yang sederhana yang tak perlu dibumbui oleh jargon heroisme apalagi politik yang sedang latah saat ini. Mungkin orang lain belum seberuntung gw yang mengenal teman-teman tersebut dan mereka cenderung mengandalkan semua sumber informasi hanya dari 'katanya' grup chat, berita-berita yang parsial pun tendensius, pernyataan-pernyataan pemerintah dan politisi, atau bahkan sekedar meme atau skrinsyut-skrinsyut ndak nggenah. Beberapa diantaranya memang benar saat informasi tersebut diviralkan, namun banyak diantaranya sebenarnya hanya untuk 'hura-hura agitasi' saja. Gak apa sih jika memang mereka menikmati hal tersebut. Itu hak mereka kok. Tapi, gw lebih bersyukur mampu fokus ke informasi-informasi yang bersentuhan langsung dengan seluruh proses yang masih berlangsung. Situasi ini bukanlah ritual memasak mie instan, melainkan sebuah ikhtiar berbangsa dan bermasyarakat yang sedianya hanya didasarkan pada semangat kemanusiaan, bukan hal-hal yang egois. 
Terima kasih banyak teman-teman atas update laporan kalian. Semoga Tuhan selalu memberkati upaya kalian dan jagalah kesehatan karena gw masih ingin mengetahui update terbaru demi Indonesia yang lebih baik. Kami bangga dengan kalian! Terima kasih!

Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Wednesday, September 05, 2018

LINE vs WhatsApp

Salah satu bukti nyata transisi demografi adalah keniscayaan untuk membentuk grup dengan mahasiswa di LINE bukan di WhatsApp. Ditambah lagi, mesti belajar mengekspresikan diri dengan stiker. 
#Millennials #dosenjadul

Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Thursday, August 16, 2018

Stereotype pengguna jalan raya

Di jalan raya (atau di parkiran kendaraan), saya selalu punya stereotype bahwa pemilik kendaraan yang kebanyakan melakukan modifikasi yang tidak fungsional maka kelakuan orang tersebut di jalan raya akan cenderung ngawur dan tidak disiplin serta jumawa, egois gak peduli sama orang lain. Dan tabiat tersebut juga tercermin saat mereka tidak di jalan raya. 
Jadi, kalau motor atau mobil Anda knalpotnya dibikin berisik -ditambah sering digeber-geber gak jelas saat berkendara; atau, suspensi diceperin dan/atau ukuran ban dan velg dibesarin melebihi hitungan baku; atau, pakai body kit yang bikin mobil atau motor kelihatan seperti racing (padahal jadi kayak odong-odong); atau, nyalain lampu strobo dan sirine yang toat-toet gak jelas pas macet; atau, pengemudinya pakai atribut klub (khusus pemotor, biasanya pakai jaket yang ada tulisan+logo klubnya besar2)...
(PS: khusus yang anggota klub, kalau pas sendirian level jumawa Anda untungnya cuma 3 out of 5. Begitu kalian konvoi, level jumawanya naik jadi 10 out of 5. Okelah saya hiperbolik, tapi intinya saat kalian konvoi maka lengkap sudah tabiat minus kalian). 
Jangan marah yah kalau saya beranggapan Anda itu membahayakan para pengguna jalan raya lain. Kalau mau instrospeksi, maka Puji Tuhan 

Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Friday, July 20, 2018

Data Analysis

We tend to exaggerate the relevance of our own experience. We 'weight' our data, and give far too much weight to one particular data point: ourselves. 
Thus, we are often wrong about how the world works when we rely just on what we hear or personally experience. 
#data #analysis

Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Tuesday, July 17, 2018

Melawan Arus

Jadi ingat obrolan di warkop saat nunggu KRL.
X: "Penyebab macet di lokasi [simpul kemacetan rutin] sebenarnya motor2 dan angkot yg lawan arus."
Saya: "Betul, Pak. Dan gak bisa sembuh tuh."
X: "Saya juga kadang2 lawan arus sih pas perlu." 😜
Kadang2 itu sinonim dari sering... 😔

Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Perilaku Macet

Gw gak komplain soal macet ya, saudara2 dan kawan2 semua. Buat gw, kalau loe tinggal di perkotaan, macet itu keniscayaan. Jadi, kalau ada pemimpin yang bilang mengurai kemacetan itu mudah, gw gak percaya. Kalau ada yang berargumen, "tambah angkutan umum" akan mengurangi kemacetan, gw gak percaya. Kalau ada yang berargumen, "tambah jalan" akan mengurangi kemacetan, gw gak percaya. Kalau ada yang berargumen, "pajak kendaraan dinaikin pasti macet berkurang," gw ngakak aja deh...kayak dia rela aja pajak kendaraannya naik setiap tahun. Gw menerima bahwa sumber kemacetan adalah gw sendiri sebagai pengguna jalan (I'm traffic!).
Yang gw komplain itu 'perilaku' kita di jalan raya. Kota2 besar lain juga macet, tapi mereka tetap 'sadar' dan berupaya agar kemacetan tidak diperburuk dengan kelakuan yang barbar serta tak berperikemanusiaan (buat gw, nyerobot antrian dan tak memberi kesempatan penyeberang itu adalah kelakuan tak berperikemanusiaan). 
Jadi, kalau ada yang komplain "macet tambah parah nih!" coba deh introspeksi diri loe sendiri dulu.
1. Antri kendaraan loe lurus gak? Atau, masih suka gonta-ganti jalur dan motong kiri-kanan?
2. Happy kalau melawan arus? Atau, antri di sisi kanan terluar sehingga bikin macet arah sebaliknya?
3. Suka melanggar larangan putar-balik (U-Turn)? Kalau pernah, hipokrit tuh namanya. Apalagi kalau loe pakai alasan, "Abis jauh sih!"
4. Merasa maklum jika parkir sembarang sambil nyalain lampu hazard di wilayah larangan parkir? Itu namanya egois akut
5. Biasanya bersuka cita kalau mendahului dari bahu jalan (khusus untuk di jalan tol)? Ini orang yang berasa tuhan sekaligus pembalap, menyedihkan.
6. Sering nyalahin polisi yang menilang sambil sembunyi2 di wilayah yang loe tahu ada rambu larangan tapi masih dilanggar juga? Kayak keledai yang jatuh ke lubang yang sama dua kali, tapi loe lebih parah karena yang disalahin lubangnya. 
Dan masih banyak lagi lho ya... coba deh ngaca dan inget2 tadi gaya nyupir atau nunggang motor loe kayak gimana. Gampang lho nyalahin orang lain dan anggap orang lain gak ngerti aturan lalulintas, tapi susah banget melihat apalagi mengakui kalau kelakuan kita yang senang menang sendiri dan berasa surga punya kita sendiri lah yang bikin semua masalah ini jadi menahun dan jadi praktek umum semua umat. Sempurna!

Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved