Saturday, November 08, 2025

Bonus Demografi di Era Creative Destruction

 “Inovasi adalah momentum yang merobek masa lalu dan menenun masa depan—mereka yang tidak bertumbuh, akan digantikan.”

 

Kutipan ini, meski tidak secara eksplisit diucapkan oleh Joel Mokyr, Philippe Aghion, atau Peter Howitt, menangkap dengan tepat semangat besar Nobel Ekonomi 2025. Ketiganya menerima penghargaan tertinggi dunia ekonomi karena menjelaskan satu hal sederhana tapi mendasar: pertumbuhan sejati lahir dari inovasi yang terus memperbarui diri, bahkan ketika proses itu menghancurkan tatanan lama.

 

Aghion dan Howitt membangun teori Schumpeterian growth — pertumbuhan yang digerakkan oleh creative destruction. Dalam model mereka, perusahaan berinovasi untuk mengalahkan pesaing, menciptakan teknologi baru yang lebih efisien. Namun, ketika teknologi lama tergantikan, pekerjaan dan industri lama pun ikut hilang. Proses ini menumbuhkan ekonomi, tapi juga melahirkan ketidakpastian dan ketimpangan baru.

 

Sementara itu, Mokyr menyoroti dimensi yang lebih halus: budaya pengetahuan. Melalui karya seperti The Gifts of Athena (2002) dan A Culture of Growth (2016), ia menunjukkan bahwa kemajuan teknologi hanya mungkin terjadi jika masyarakat menghargai ide, eksperimen, dan berbagi pengetahuan. Inovasi bukan hasil kejeniusan individu semata, tetapi buah dari ekosistem yang memelihara rasa ingin tahu, toleransi terhadap kegagalan, dan keyakinan bahwa pengetahuan berguna bagi kemaslahatan.

 

Cermin untuk Indonesia

Gagasan para peraih Nobel ini terasa seperti cermin bagi Indonesia yang sedang menghadapi dua arus besar: bonus demografi dan disrupsi teknologi. Kita sedang memiliki jendela kesempatan unik—lebih dari separuh penduduk berusia produktif—namun juga dihadapkan pada risiko kehilangan pekerjaan akibat otomatisasi, digitalisasi, dan perubahan struktur industri.

 

Lebih dari 60 persen tenaga kerja Indonesia masih bekerja di sektor informal, dengan akses terbatas pada pelatihan, jaminan sosial, dan inovasi. Sementara belanja riset dan pengembangan (R&D) baru sekitar 0,3 persen dari PDB, jauh di bawah negara-negara tetangga seperti Malaysia atau Korea Selatan. Artinya, kita masih lebih banyak menjadi pengguna inovasi, bukan penciptanya.

 

Inilah wajah creative destruction di Indonesia: sebagian kecil menikmati peluang dari ekonomi digital dan teknologi hijau, sementara sebagian besar tenaga kerja masih bergulat dalam pekerjaan berisiko rendah produktivitas. Jika tidak hati-hati, inovasi bisa menjadi alat pemisah—antara mereka yang “terhubung” dan mereka yang tertinggal.

 

Inovasi yang Merangkul, Bukan Menyisih

Dalam pandangan Aghion dan Howitt, dinamika inovasi selalu disertai risiko ketimpangan. Kompetisi yang mendorong efisiensi perlu diimbangi dengan kebijakan transisi yang melindungi pekerja dari guncangan struktural. Program pelatihan ulang, insentif bagi inovator baru, dan mekanisme jaminan sosial adaptif menjadi bagian dari strategi yang seimbang.

 

Sementara itu, Joel Mokyr menyoroti pentingnya knowledge culture. Inovasi hanya tumbuh dalam masyarakat yang terbuka terhadap ide dan eksperimen. Karena itu, memperkuat riset terapan dan memperluas akses terhadap teknologi di sektor padat karya bukan semata agenda ekonomi, melainkan juga proyek kebudayaan untuk menumbuhkan kepercayaan diri kolektif dalam mencipta.

 

Care Economy dan Bonus Demografi

Satu hal yang sering luput dari wacana inovasi adalah peran ekonomi perawatan (care economy). Bonus demografi tidak akan memberi manfaat bila setengah penduduk, yakni perempuan, terkunci dalam beban kerja domestik yang tidak diakui.

 

Infrastruktur perawatan—seperti layanan anak, lansia, dan fasilitas publik yang ramah keluarga—bukan hanya kebijakan sosial, melainkan investasi inovasi. Ia memungkinkan lebih banyak perempuan masuk pasar kerja dan memperluas basis pencipta ide serta wirausaha baru. Dengan demikian, kebijakan inovasi di Indonesia seharusnya tidak berdiri sendiri, melainkan terhubung dengan kebijakan sosial dan gender.

 

Kita memerlukan strategi pertumbuhan yang bersifat Schumpeterian di sisi ekonomi—mendorong inovasi, persaingan, dan keberanian mengganti yang lama—namun juga Mokyrian di sisi budaya—membangun penghargaan terhadap pengetahuan, kolaborasi, dan keadilan sosial.

 

Menata Arah Kebijakan

Kadang kita terlalu sibuk mengejar “inovasi” hingga lupa bahwa ide besar tidak tumbuh di ruang kosong. Ia butuh fondasi: pendidikan yang memberdayakan, riset yang mengakar, dan perlindungan sosial yang membuat orang berani mencoba hal baru. R&D boleh meningkat, tapi hasilnya baru terasa jika inovasi itu hidup di pasar, di desa, di pabrik, dan di ruang keluarga.

 

Indonesia sedang berada di persimpangan: apakah kemajuan teknologi akan memperkuat masyarakat, atau justru menyingkirkannya. Pilihannya ada pada cara kita menautkan pengetahuan dengan keadilan sosial—agar perubahan besar tidak sekadar menghancurkan yang lama, tapi membangun yang lebih manusiawi.

 

 


Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Friday, October 31, 2025

Delapan Wajah “Gelembung AI” dan Implikasinya bagi Ketenagakerjaan serta Kependudukan Indonesia

Dalam euforia kecerdasan buatan (AI), ekonomi, politik teknologi, dan kultur digital menyatu dalam satu gelombang besar yang kerap kita sebut sebagai “gelembung AI”[1]. Gelembung ini bukan sekadar soal valuasi startup, tetapi campuran delapan unsur yang saling menumpuk: harapan rasional akan nilai tambah; mitologi teknoutopia[2]; dorongan iklan bertarget; arus oportunisme pascakripto; antisipasi raksasa platform terhadap disrupsi; spekulasi atas antarmuka bahasa alami; lompatan daya-analisis data skala raksasa; dan, akhirnya, transformasi cara kita berinteraksi dengan infosfera[3] melalui model-model pembelajaran mesin mutakhir. Di Indonesia, delapan unsur ini menabrak realitas pasar kerja dan dinamika demografis—mulai dari struktur pekerjaan formal–informal, stagnasi partisipasi angkatan kerja perempuan, hingga percepatan penuaan penduduk—dengan konsekuensi yang tidak bisa kita abaikan.

Sisi pertama dari gelembung ini adalah ekspektasi yang wajar bahwa AI benar-benar menciptakan nilai dan bisa ditangkap secara finansial oleh pelaku yang tepat. Dalam konteks Indonesia, peluang produktivitas paling cepat muncul di pekerjaan “klerikal” dan layanan administratif, rantai pasok, layanan pelanggan, pemasaran, dan dukungan keputusan di sektor publik. Namun justru di rumpun pekerjaan klerikal—yang di ASEAN dan Indonesia menyerap jutaan pekerja—risiko otomasi dan “augmentasi” paling tinggi, dan proporsinya sering lebih besar bagi perempuan karena segregasi komposisi okupasi berbasis gender (gendered occupational segregation). Kajian ILO tentang ASEAN sudah lama menengarai kerentanan tinggi bagi petugas administrasi dan pekerjaan kantor di Indonesia (sekitar 1,7 juta pegawai klerikal “highly vulnerable”), sementara analisis mutakhir beberapa lembaga internasional memperkirakan AI akan memengaruhi sekitar 40% pekerjaan global dengan dampak yang tajam terhadap ketimpangan jika kebijakan tidak sigap mengikuti perubahan teknologi.  

Unsur kedua adalah “iman milenarian”[4]—hasrat akan “rapture of the nerds”[5]—yang menaburkan janji keselamatan teknologi: AI akan menyelamatkan ekonomi dari stagnasi, menyembuhkan birokrasi, dan melompatkan kita ke masa depan tanpa friksi. Narasi ini menggema cukup kuat di ruang publik, tetapi sering melupakan prasyarat institusional: literasi data, tata kelola dan etika AI, kesiapan kurikulum vokasi, serta perlindungan sosial bagi pekerja terdampak. Tanpa fondasi ini, imajinasi bisa berubah jadi kekecewaan sosial: ekspektasi publik naik, kualitas layanan tidak (atau belum) mengikuti, dan jurang ketidakkepercayaan (distrust) melebar.

Ketiga, ada ekspektasi—sebagian realistis, sebagian berlebihan—bahwa AI akan meningkatkan penargetan iklan secara tajam. Bagi perusahaan, ini alat monetisasi; bagi pengguna, bisa jadi pengalaman lebih relevan, namun juga risiko manipulasi preferensi. Di pasar digital Indonesia yang terus tumbuh, konsekuensi ini menyentuh ekonomi kreator, UMKM daring, dan konsumsi rumah tangga; sementara dari sisi tenaga kerja, muncul pekerjaan baru (prompting, konten, kurasi), tetapi sebagian bersifat kontraktual, temporer, dan berisiko rendahnya proteksi – pekerjaan gig yang bersifat prekariat.

Keempat, setiap gelombang teknologi besar menarik para penunggang oportunistik. Narasi bombastis berpindah dari kripto ke AI, mencari pendanaan cepat. Dampaknya bukan hanya kerugian investor, melainkan distraksi kebijakan: perhatian publik dan regulator tersedot ke janji-janji kilat, alih-alih ke pekerjaan rumah yang lebih “membosankan” namun krusial—membangun data publik yang rapi, berbagi set data antar-instansi, memperkuat standardisasi dan audit algoritmik, serta menggelar program re-skilling yang terukur.

Kelima, raksasa platform global bereaksi terhadap potensi disrupsi ala Christensen[6]: membeli, berkolaborasi, sekaligus memagari ekosistem. Di pasar domestik, ini bisa menciptakan peluang alih-teknologi dan pasar talenta AI; tetapi juga berisiko memperdalam ketergantungan dan menggeser surplus ke luar negeri bila rantai nilai (data center hijau, chip, dan layanan profesional) tidak dilokalisasi dengan cerdas. Di sinilah pentingnya sinkronisasi agenda AI dengan RPJPN 2025–2045 dan peta jalan transformasi digital nasional agar adopsi AI melekat dengan utuh pada prioritas produktivitas, green economy, dan pemerataan. 

Keenam, antarmuka bahasa alami atau natural languange interface (NLI)[7] menjanjikan lompatan besar dalam “utilizer surplus[8]: dari layanan publik (asisten digital untuk nakes, penyuluh, dan aparatur) sampai produktivitas UMKM (pencatatan, pemasaran, logistik, dan akses pembiayaan). Tetapi antarmuka yang sama dapat menjadi mesin “peretasan perhatian” (attention hacking) yang memperburuk kesejahteraan mental dan polarisasi informasi. Secara bisnis, antarmuka ini tidak otomatis memunculkan monopoli dengan skala “Google–Apple–Facebook”—hal ini lebih mungkin tersebar ke berbagai sektor, ditopang oleh data privat dan domain pengetahuan lokal (misalnya, korpus bahasa Indonesia dan bahasa daerah, data administrasi pemerintah, dan data operasional BUMN/UMKM). Dengan kata lain, nilai AI di Indonesia akan sangat bergantung pada orkestrasi data domestik dan komputasi yang efisien, bukan sekadar mengimpor model.

Ketujuh, lompatan daya-analisis data—model berdimensi besar, alat klasifikasi fleksibel—akan “menetes” deras ke kebijakan publik: tata niaga pangan, deteksi kemiskinan mikro, penargetan program, sampai pengawasan kepatuhan. Dampak ketenagakerjaan muncul di dua sisi: peningkatan produktivitas aparatur dan analis (pekerjaan makin “bernilai tambah”), serta redesign tugas-tugas operasional. Jika desain ulang kerja tidak diimbangi upgrading kompetensi dan mobilitas karier internal, hasilnya adalah “augmentasi tanpa kenaikan kualitas kerja”—pekerja mengoperasikan alat AI, tetapi tetap berada di tangga upah yang sama.

Kedelapan, interaksi manusia-infosfera kini dimediasi model AI mutakhir (MAMLM[9]). Ini mengubah cara masyarakat mencari informasi, mengambil keputusan, dan berpartisipasi di ruang publik. Bagi kependudukan dan pasar kerja, dampak jangka panjangnya sangat struktural: preferensi fertilitas yang dipengaruhi paparan digital, dinamika migrasi internal karena peluang kerja jarak jauh, hingga pola pembelajaran sepanjang hayat yang menentukan mobilitas antar-okupasi. Di sini, arsitektur kebijakan—regulasi data, perlindungan pekerja mandiri/platform, jaring pengaman sosial adaptif, serta layanan publik yang pro-inklusi—menjadi penentu arah.

 

Mengikat ke Realitas Indonesia: Pekerjaan, Gender, dan Transisi Demografi

AI akan memperbesar permintaan atas kombinasi keterampilan: literasi data, pengetahuan domain, komunikasi antarmanusia, dan etika. Indonesia memiliki komposisi pekerjaan yang masih didominasi sektor informal dan layanan berupah menengah-rendah; banyak tugas klerikal dan operasional yang—alih-alih hilang—akan “dirombak” menjadi kerja yang mengandalkan alat bantu AI. Bukti global dan regional menyiratkan pola yang tidak netral gender: pekerjaan administrasi dan klerikal—dengan porsi perempuan lebih besar—mengalami eksposur tinggi, sehingga kebijakan ketenagakerjaan yang peka gender menjadi mutlak (upskilling, mobilitas horizontal, dan perlindungan transisi dunia kerja).  

Pada saat yang sama, partisipasi angkatan kerja perempuan Indonesia selama bertahun-tahun cenderung stagnan jauh di bawah laki-laki, dan proporsi kerja formal perempuan juga lebih rendah. Memasukkan AI ke proses kerja tanpa kebijakan pengasuhan dan perawatan (care) yang memadai hanya akan memperlebar kesenjangan; sebaliknya, AI justru dapat menjadi pengungkit tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan jika dipadukan dengan infrastruktur care yang terjangkau, fleksibilitas kerja yang dilindungi, serta desain kerja ulang (job redesign) yang menyokong produktivitas sekaligus otonomi pekerja. Data BPS terbaru menunjukkan ketimpangan formalitas menurut gender masih nyata; membaca angka-angka ini bersama tren AI memberi peringatan bahwa “augmentasi” mesti diikuti peningkatan kualitas pekerjaan, bukan sekadar penghematan biaya.  

Dari sisi kependudukan, jendela bonus demografi kian sempit sementara penuaan penduduk mulai terasa. AI dapat menaikkan produktivitas per pekerja, menahan dampak penuaan terhadap pertumbuhan, dan memperbaiki layanan kesehatan serta perawatan lansia; tetapi tanpa upgrading kompetensi dan tata kelola data lintas-instansi, peluang ini akan tertinggal jauh di belakang. Agenda besar RPJPN 2025–2045—menuju negara berpendapatan tinggi—bergantung pada lompatan produktivitas yang nyata, bukan hanya adopsi alat. Mengaitkan AI dengan prioritas RPJPN (transformasi ekonomi, talenta, layanan publik, ekonomi hijau) menjadi syarat agar adopsi teknologi berbuah pada daya saing dan kualitas hidup, alih-alih sekadar meningkatkan konsumsi digital.  

Akhirnya, semua jalan kembali ke arsitektur kebijakan: (i) ekosistem data yang aman, terbuka-terseleksi, dan bisa diaudit; (ii) standardisasi penggunaan AI di layanan publik; (iii) re-skilling dan sertifikasi berbasis keterampilan yang diakui pasar; (iv) perlindungan sosial yang menyesuaikan kerja platform/mandiri; (v) kebijakan pasar tenaga kerja yang pro-perempuan (cuti, childcare, kerja fleksibel berkualitas, anti-diskriminasi); serta (vi) tata kelola lingkungan untuk pusat data dan komputasi berdaya energi tinggi. Tanpa ini, delapan unsur gelembung AI akan lebih banyak menumpuk risiko ketimbang melepaskan nilai.

Kesimpulan
Gelembung AI adalah gabungan harapan inovasi dan ketegangan sosial. Di Indonesia, ia bisa menjadi akselerator produktivitas, pemerataan kesempatan kerja—terutama bagi perempuan—dan ketahanan menghadapi penuaan penduduk. Tetapi manfaat itu tidak hadir otomatis. Ia lahir dari desain kebijakan yang menautkan teknologi ke struktur pasar kerja, ke kebutuhan keluarga pekerja, dan ke visi demografis jangka panjang negeri ini.

 

Daftar Pustaka (pilihan)

Badan Pusat Statistik (2025). Percentage of Formal Labor According to Gender (2024).  

Badan Pusat Statistik (2024). Labor Force Situation in Indonesia, February 2024 (Sakernas).  

Kementerian PPN/Bappenas (2024). RPJPN 2025–2045 (UU No. 59/2024) & Portal Indonesia 2045.  

International Labour Organization (2016–2017). ASEAN in Transformation: The Future of Jobs at Risk of Automation.  

International Monetary Fund (2024). Kristalina Georgieva, “AI Will Transform the Global Economy. Let’s Make Sure It Benefits Humanity.” dan Gen-AI: Artificial Intelligence and the Future of Work (Staff Discussion Note).  

UNFPA Indonesia (2015). Taking Advantage of the Demographic Dividend in Indonesia: Policy Brief.  

T20 Indonesia (2022). Population Ageing and the Second Demographic Dividend: New Policy Challenges in the New Era.  

ASEAN Secretariat & E-READI (2023). ASEAN Employment Outlook.  

Reuters (2025). “AI poses a bigger threat to women’s work than men’s, says ILO report.”. 

 



[1] Gelembung AI: istilah “AI bubble” populer dalam diskursus ekonomi teknologi; salah satu pembahasan awal & pengaruh di ruang publik muncul dalam tulisan ekonom J. Bradford DeLong (2023) serta diskusi investor teknologi pasca-2019. Referensi: DeLong, J.B. (2023). Brad DeLong’s Grasping Reality blog essays on AI bubble.

[2] Teknoutopia: kepercayaan bahwa teknologi akan menciptakan masyarakat ideal; digunakan dalam kajian teknologi oleh Fred Turner dan Langdon Winner. Referensi: Winner, L. (1986). The Whale and the Reactor; Turner, F. (2006). From Counterculture to Cyberculture.

[3] Infosfera (lingkungan informasi): konsep filsuf teknologi Luciano Floridi tentang ruang informasi tempat manusia dan sistem digital berinteraksi. Referensi: Floridi, L. (2010). The Philosophy of Information.

[4] Iman milenarian (Millenarian belief/Millenarianism): keyakinan bahwa suatu perubahan besar akan membuka era keselamatan baru; istilah historis dalam studi agama & gerakan sosial. Referensi: Wessinger, C. (2011). The Oxford Handbook of Millennialism.

[5] Rapture of the Nerds: satir atas keyakinan singularitas teknologi, populer lewat novel Cory Doctorow & Charles Stross (2012), meminjam metafora “rapture” dalam kepercayaan eskatologis. Referensi: Doctorow & Stross (2012). The Rapture of the Nerds.

[6] Christensen / Disrupsi Christensen: teori inovasi Clayton Christensen bahwa teknologi baru mendisrupsi pemain dominan. Referensi: Christensen, C. (1997). The Innovator’s Dilemma.

[7] Natural Language Interface (NLI): jenis antarmuka manusia-komputer yang memungkinkan pengguna interaksi dengan sistem komputer menggunakan bahasa alami manusia (lisan atau tulis), dimana pengguna tidak perlu menguasai bahasa pemrograman atau sintaksis khusus.Referensi: Gary G. Hendrix (1982), “Natural‐Language Interface”

[8] Utilizer surplus: adaptasi konsep consumer surplus (Marshall, 1890)—nilai lebih yang diperoleh pengguna di luar harga yang dibayar; digunakan ekonom digital untuk menjelaskan manfaat non-moneter teknologi. Referensi: Marshall, A. (1890). Principles of Economics.

[9] MAMLM (Massively Advanced Multi-Modal/Agent Large Language Models): istilah analitis untuk model AI generasi lanjut yang menggabungkan teks, gambar, suara, agen, dan kemampuan reasoning; konsisten dengan deskripsi model frontier yang digunakan OpenAI/DeepMind dalam publikasi teknis. Referensi: OpenAI (2024). Frontier Model System Card; DeepMind (2023-2024) multimodal model papers.


Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Thursday, October 09, 2025

Review atas Permenaker No. 8 Tahun 2025 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Pemerintah Program Pemagangan Lulusan Perguruan Tinggi

Pendahuluan

Kementerian Ketenagakerjaan melalui Peraturan Menteri Nomor 8 Tahun 2025 menetapkan pedoman pemberian bantuan pemerintah dalam program pemagangan bagi lulusan perguruan tinggi. Kebijakan ini berangkat dari kebutuhan memperkuat kompetensi sumber daya manusia, memfasilitasi transisi lulusan baru ke dunia kerja, dan memperluas kesempatan kerja yang produktif. Secara konseptual, program ini menjadi salah satu instrumen peningkatan employabilityyang juga berpotensi berkontribusi pada pengelolaan bonus demografi Indonesia.
Namun, dalam konteks ekonomi ketenagakerjaan dan teori modal manusia, efektivitas kebijakan semacam ini sangat bergantung pada desain detailnya: apakah magang benar-benar meningkatkan keterampilan produktif (human capital formation) atau justru menjadi bentuk substitution effect dari tenaga kerja murah. Kajian ini menelaah aspek ideal yang sudah diatur, celah dan kekurangan pengaturan, isu-isu genting yang belum diatur secara rinci, serta memberikan rekomendasi berbasis teori dan pengalaman internasional.

Aspek-aspek Ideal yang Sudah Diatur

Permenaker ini memiliki sejumlah keunggulan dari sisi tata kelola dan kepastian administratif. Tujuan kebijakan sebagaimana dijelaskan pada Pasal 2 telah secara eksplisit menegaskan orientasi peningkatan kompetensi, pengalaman kerja, dan peluang kerja bagi lulusan perguruan tinggi. Penegasan bahwa setiap peserta hanya dapat menerima bantuan satu kali dan batas waktu pelaksanaan enam bulan menunjukkan kehati-hatian fiskal dan kejelasan durasi program.
Dari sisi kelembagaan, Pasal 1–6 mendefinisikan dengan jelas aktor-aktor utama seperti peserta, penyelenggara, mentor, dan pejabat pengelola anggaran. Penggunaan sistem digital nasional SIAPkerja untuk pendaftaran dan validasi data menjadi langkah penting menuju transparansi dan integrasi ekosistem ketenagakerjaan. Begitu pula kewajiban penyelenggara untuk mendaftarkan peserta pada program jaminan sosial ketenagakerjaan (Pasal 8 ayat 1 huruf c) yang menegaskan dimensi perlindungan kerja dasar. 
Selain itu, mekanisme bantuan pemerintah diatur cukup rinci, termasuk jalur pencairan melalui bank penyalur (Pasal 13), pengembalian sisa dana ke kas negara, serta kewajiban pelaporan berkala (Pasal 15–18). Dari aspek governance, Permenaker ini sudah menunjukkan prinsip akuntabilitas dan keterlacakan (traceability) yang baik.

Celah dan Kekurangan Pengaturan

Kendati aspek administrasi dan akuntabilitas cukup kuat, beberapa substansi kunci yang berkaitan langsung dengan kualitas dan outcome program belum diatur secara memadai. 
Pertama, tidak ada penjelasan mengenai standar kompetensi atau capaian pembelajaran magang yang mengacu pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) atau Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). Ketiadaan standar ini berpotensi menimbulkan ketidakkonsistenan mutu antarindustri dan mengaburkan posisi magang sebagai bentuk training investment yang diakui secara nasional. 
Kedua, peraturan hanya mengatur bantuan untuk peserta dalam bentuk uang saku (Pasal 11), namun tidak memberikan insentif kepada perusahaan penyelenggara. Padahal, teori human capital investment[1] dan training financing[2]menegaskan pentingnya mekanisme pembiayaan bersama (cost sharing) antara negara, individu, dan perusahaan. Tanpa insentif bagi industri, partisipasi jangka panjang sektor swasta akan terbatas.
Ketiga, besaran uang saku tidak ditetapkan secara proporsional terhadap biaya hidup daerah (Pasal 11 ayat 3), sehingga menimbulkan potensi disparitas. Tidak ada pula pengaturan mengenai jam kerja maksimum, hak istirahat, atau perlindungan dari pelecehan dan diskriminasi—padahal aspek ini menjadi bagian dari prinsip decent internship[3] yang diatur oleh International Labour Organization.
Keempat, aspek post-program placement tidak disebutkan sama sekali. Permenaker hanya mewajibkan laporan pelaksanaan (Pasal 10) tetapi tidak mengatur tindak lanjut berupa sertifikasi, penyaluran kerja, atau tracer study. Akibatnya, efektivitas program sulit diukur dari sisi peningkatan kesempatan kerja dan upah peserta.

Isu-Isu Penting yang Perlu Diperhatikan

Kekurangan tersebut menimbulkan beberapa isu kebijakan yang penting sebagaimana dirangkum berikut.

Bidang Kebijakan

Isu Penting

Potensi Dampak

Kualitas dan relevansi pelatihan

Tidak ada integrasi kebutuhan industri ke kurikulum magang

Terjadi mismatch antara kompetensi dan permintaan kerja

Perlindungan peserta

Ketiadaan ketentuan jam kerja, hak cuti, dan perlindungan sosial tambahan

Risiko eksploitasi dan ketimpangan perlakuan

Transparansi keuangan

Tidak dijelaskan proporsi alokasi dana dan biaya administrasi

Sulit mengukur efisiensi anggaran

Keberlanjutan program

Tidak ada mekanisme pasca-magang

Hilangnya efek jangka panjang

Koordinasi antar-kementerian

Minim sinergi dengan Kemendikbudristek dan BNSP

Keterputusan antara dunia pendidikan dan pasar kerja

Evaluasi dampak

Evaluasi bersifat administratif, bukan berbasis outcome

Tidak diketahui tingkat penyerapan kerja

Akses digital SIAPkerja

Tidak dijelaskan perlindungan data pribadi

Risiko kebocoran dan penyalahgunaan data peserta

 

Analisis Teoretis: Perspektif Human Capital dan Training

Dalam teori ekonomi ketenagakerjaan, investasi pada pendidikan dan pelatihan dianggap sebagai bentuk human capital formation yang meningkatkan produktivitas dan pendapatan[4]. Pelatihan kerja memiliki dua bentuk: pelatihan umum (general training), yang transferable antarperusahaan, dan pelatihan spesifik (firm-specific training), yang hanya bernilai di perusahaan tertentu. Untuk menciptakan manfaat sosial yang lebih luas, kebijakan pemagangan pemerintah seharusnya berorientasi pada pelatihan umum yang dapat meningkatkan mobilitas tenaga kerja lintas sektor. 
Model imperfect labor market[5] menjelaskan bahwa ketika pasar kerja bersifat wage-compressed, perusahaan dapat turut menanggung biaya pelatihan umum karena kecilnya risiko pekerja berpindah. Dengan demikian, intervensi pemerintah sebaiknya tidak hanya berupa subsidi uang saku peserta, tetapi juga insentif kepada perusahaan penyelenggara agar investasi pelatihan menjadi efisien.
Temuan empiris memperkuat teori ini. Penelitian OECD[6] menunjukkan bahwa sistem dual apprenticeship di Jerman dan Swiss berhasil meningkatkan peluang kerja dan pendapatan lulusan karena keterlibatan kuat industri dan standar kurikulum nasional. Program Jóvenes en Acción di Kolombia[7] yang mengombinasikan pelatihan kelas dan magang di perusahaan menaikkan probabilitas kerja sebesar 6–7 poin persentase dan upah 12–15%, terutama bagi perempuan muda. Sementara studi di Spanyol[8] menunjukkan lulusan jalur dual vocational memiliki pendapatan awal lebih tinggi dibanding jalur akademik murni.
Temuan empiris tersebut menegaskan bahwa desain program magang yang efektif menuntut standar kompetensi yang jelas, durasi pelatihan yang memadai, pendampingan mentor yang berkualitas, serta mekanisme evaluasi berbasis hasil. Jika elemen-elemen ini diabaikan, maka program magang berpotensi terjebak menjadi skema tenaga kerja murah yang tidak menghasilkan peningkatan modal manusia secara nyata.

Relevansi Internasional dan Potensi Indonesia

Dalam konteks Indonesia, program pemagangan juga harus dipandang dalam kaitan global. Jepang, misalnya, telah menjalankan Technical Intern Training Program (TITP) dan Specified Skilled Worker (SSW) scheme yang membuka peluang besar bagi pekerja Indonesia. Namun pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa tanpa perlindungan dan tata kelola yang kuat, program semacam itu rawan pelanggaran hak pekerja. Oleh karena itu, Permenaker 8/2025 perlu mengadopsi prinsip mutual benefit dan skill portability, sehingga magang domestik dapat menjadi batu loncatan menuju pekerjaan formal baik di dalam maupun luar negeri, sambil menjamin reintegrasi ekonomi bagi peserta yang kembali.

Rekomendasi Kebijakan

Untuk memperkuat efektivitas dan kesesuaian Permenaker dengan teori serta praktik terbaik global, sejumlah langkah perbaikan dapat diusulkan. Pemerintah perlu menambahkan lampiran standar kompetensi berbasis SKKNI, mengintegrasikan sistem sertifikasi BNSP, serta menetapkan formula uang saku yang proporsional terhadap UMP/UMK daerah. Insentif fiskal bagi perusahaan penyelenggara juga perlu dirancang, misalnya dalam bentuk subsidi mentor atau potongan pajak pelatihan.
Selanjutnya, aspek perlindungan kerja harus diperluas mencakup jam kerja, cuti, anti-diskriminasi, dan perlindungan terhadap pelecehan di tempat kerja. Program jaminan sosial bagi peserta perlu meliputi jaminan kesehatan dan jaminan kehilangan pekerjaan minimal. Di sisi evaluasi, perlu diterapkan mekanisme tracer study pasca-magang pada interval enam, dua belas, dan dua puluh empat bulan untuk menilai dampak terhadap kesempatan kerja dan peningkatan upah.
Yang tak kalah penting, keterlibatan perguruan tinggi dan asosiasi industri perlu diperkuat agar tercipta sistem dual governance seperti model Jerman/Swiss. Program magang sebaiknya diakui setara dengan kredit akademik (SKS) untuk menjembatani dunia pendidikan dan industri. Terakhir, pemerintah dapat merancang Return & Reinvest Scheme untuk alumni magang luar negeri agar remitansi mereka diarahkan ke tabungan produktif, usaha mikro, atau kegiatan pelatihan lanjutan.

Penutup

Permenaker Nomor 8 Tahun 2025 adalah langkah penting menuju sinergi kebijakan ketenagakerjaan dan pendidikan tinggi di Indonesia. Namun, agar menjadi instrumen efektif peningkatan kualitas tenaga kerja dan pengelolaan bonus demografi, kebijakan ini perlu bergerak melampaui aspek administratif menuju desain yang berbasis kompetensi, perlindungan, dan keberlanjutan[9]. Integrasi teori ekonomi ketenagakerjaan, bukti empiris global, dan praktik tata kelola yang baik akan memastikan program pemagangan benar-benar menjadi investment in human capital, bukan sekadar kegiatan jangka pendek berbasis bantuan.


[1] Becker, G. S. (1964). Human Capital: A Theoretical and Empirical Analysis, with Special Reference to Education. University of Chicago Press.

[2] Acemoglu, D., & Pischke, J.-S. (1999). Beyond Becker: Training in Imperfect Labour MarketsEconomic Journal, 109(453), F112–F142. https://doi.org/10.1111/1468-0297.00405

[3] ILO. (2017). Recommendation No. 204: Transition from the Informal to the Formal Economy. Geneva: International Labour Office. https://www.ilo.org/global/standards/recommendation-204

[4] Becker, G. S. (1964). Human Capital: A Theoretical and Empirical Analysis, with Special Reference to Education. University of Chicago Press.

[5] Acemoglu, D., & Pischke, J.-S. (1999). Beyond Becker: Training in Imperfect Labour MarketsEconomic Journal, 109(453), F112–F142. https://doi.org/10.1111/1468-0297.00405

[6] OECD. (2023). Apprenticeships and Vocational Education: Policy Review 2023. Paris: OECD Publishing. https://www.oecd.org/employment/apprenticeships.htm

[7] Attanasio, O., Kugler, A., & Meghir, C. (2011). Subsidizing Vocational Training for Disadvantaged Youth in Colombia: Evidence from a Randomized TrialAmerican Economic Journal: Applied Economics, 3(3), 188–220. https://doi.org/10.1257/app.3.3.188

[8] Hampf, F., & Woessmann, L. (2017). Vocational vs. General Education and Employment over the Life Cycle: New Evidence from PIAACCESifo Economic Studies, 63(3), 255–269. https://doi.org/10.1093/cesifo/ifx012

[9] World Bank. (2022). Skilling Up Indonesia: Harnessing the Demographic Dividend through Vocational Training. Washington, D.C.: World Bank Publications. https://documents.worldbank.org/en/publication/documents-reports/documentdetail/099020223181318

 


Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Tuesday, September 30, 2025

Policy Brief: Menjamin Keamanan Program Makan Gratis di Sekolah

Program makan gratis di sekolah merupakan salah satu instrumen utama pembangunan manusia dan jaring pengaman sosial. Berbagai studi menunjukkan bahwa intervensi ini tidak hanya meningkatkan status gizi anak, tetapi juga memperbaiki tingkat kehadiran dan capaian belajar[1]. Namun, sejumlah insiden di berbagai negara menyoroti risiko serius: apabila keamanan pangan tidak dijaga, program makan gratis dapat menjadi sumber penyakit massal, bahkan kematian[2]. Policy brief ini menguraikan akar masalah, analisis sistemik, serta rekomendasi kebijakan untuk memperkuat keamanan pangan dalam program makan gratis di sekolah.


Latar Belakang

World Food Programme (WFP) mencatat bahwa lebih dari 80 negara memiliki program makan sekolah dengan manfaat ekonomi signifikan—setiap 1 dolar AS investasi menghasilkan imbal balik hingga 35 dolar dalam jangka panjang[3]. Namun, kasus keracunan massal masih terjadi. Di India (2013), sebanyak 23 murid meninggal akibat konsumsi minyak yang tercemar pestisida dalam program Midday Meal Scheme[4]. Di Indonesia, pada 2025, ribuan murid mengalami sakit perut dan muntah setelah mengonsumsi makanan dari program makan gratis nasional[5]. Kasus-kasus ini menegaskan bahwa manfaat besar program dapat hilang jika aspek keamanan pangan tidak diprioritaskan.


Mengapa Masalah Terjadi

Masalah keamanan pangan bersifat multidimensi. Pertama, ekspansi program yang cepat sering tidak diiringi peningkatan kapasitas pengawasan, laboratorium, dan tenaga inspektur[6]Kedua, proses pengadaan yang longgar membuka peluang bahan makanan berkualitas rendah atau tercemar masuk ke rantai pasok[7]Ketiga, standar higienitas sering dilanggar akibat keterbatasan infrastruktur—mulai dari ketiadaan air bersih, pendingin, hingga dapur yang sempit[8]Keempat, fragmentasi tata kelola antar kementerian, pemerintah daerah, sekolah, dan penyedia jasa menciptakan kebingungan dalam akuntabilitas[9]Terakhir, rendahnya pelatihan serta budaya pelaporan insiden membuat masalah berulang tanpa koreksi sistematis[10].


Analisis Sistemik

Pendekatan sistemik diperlukan untuk memahami kelemahan sekaligus potensi solusi. Pertama, pada level kebijakan, standar Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) dan ISO-22000 harus menjadi kewajiban, bukan pilihan[11]Kedua, pada level rantai pasok, mekanisme traceability (penelusuran) wajib diterapkan melalui kode batch, uji laboratorium acak, serta kontrak dengan klausul penalti bagi pemasok[12]Ketiga, pada level operasional, dapur sekolah harus dilengkapi log suhu digital, prosedur FIFO (first in–first out), dan supervisi harian[13]Keempat, lingkungan sekitar sekolah perlu dikendalikan: pedagang informal di sekitar area belajar harus diawasi dan diberikan izin dengan standar higienitas yang sama[14]Terakhir, sistem surveilans dan respons cepat perlu dibangun dengan dashboard publik yang menampilkan insiden secara real-time[15].


Rekomendasi Kebijakan

Berdasarkan analisis di atas, terdapat beberapa rekomendasi kebijakan kunci. Pertama, desain menu harus berbasis risiko: mengutamakan makanan pokok, sayuran, dan lauk matang, serta menghindari makanan olahan dingin tanpa rantai dingin terverifikasi[16]Kedua, rantai pengadaan harus diperkuat melalui daftar pemasok bersertifikat, pengujian acak, dan kontrak berbasis kinerja[17]Ketiga, pemerintah perlu membiayai perbaikan infrastruktur dapur, termasuk air bersih, pendingin, dan area masak higienis[18]Keempat, tenaga pengelola makanan harus diprofesionalisasi melalui pelatihan rutin, sertifikasi, dan mekanisme pelaporan insiden tanpa sanksi[19]Kelima, pedagang di sekitar sekolah harus diatur agar tidak menimbulkan risiko tambahan[20].Keenam, transparansi publik perlu diperkuat melalui dashboard insiden, kanal pengaduan orang tua, dan publikasi audit[21]. Dengan langkah-langkah ini, program makan gratis dapat menjadi instrumen pembangunan manusia yang aman dan berkelanjutan.



[1] World Food Programme (2020). State of School Feeding Worldwide.

[2] WHO (2015). Foodborne Disease Burden Epidemiology Reference Group.

[3] WFP (2013). The Case for Investment in School Feeding.

[4] BBC News (2013). India school meal food poisoning kills 23 children.

[5] Reuters (2025). Indonesia suspends kitchens after school meal poisoning cases.

[6] FAO (2019). Good Hygienic Practices in Food Preparation.

[7] Transparency International (2021). Corruption Risks in School Feeding Programmes.

[8] UNICEF (2022). Water, Sanitation and Hygiene in Schools.

[9] South Africa Department of Basic Education (2024). National School Nutrition Programme Reports.

[10] CDC (2018). Contributing Factors to Foodborne Illness.

[11] Codex Alimentarius (2020). HACCP Guidelines.

[12] FAO & WFP (2019). Strengthening Food Safety and Quality in School Feeding.

[13] US CDC (2017). Safe Food Handling in Institutional Settings.

[14] South Africa Health Department (2023). School Food Environment Guidelines.

[15] Indonesia Ministry of Health (2025). School Meal Safety Monitoring Reports.

[16] WHO (2019). Five Keys to Safer Food.

[17] FAO (2020). Public Procurement for School Meals.

[18] World Bank (2022). Financing School Infrastructure for Health.

[19] FAO (2016). Food Handlers Training Manual.

[20] UNESCO (2021). Nutrition-Friendly Schools Framework.

[21] OECD (2020). Transparency and Accountability in Public Programmes.



Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved