“Inovasi adalah momentum yang merobek masa lalu dan menenun masa depan—mereka yang tidak bertumbuh, akan digantikan.”
Kutipan ini, meski tidak secara eksplisit diucapkan oleh Joel Mokyr, Philippe Aghion, atau Peter Howitt, menangkap dengan tepat semangat besar Nobel Ekonomi 2025. Ketiganya menerima penghargaan tertinggi dunia ekonomi karena menjelaskan satu hal sederhana tapi mendasar: pertumbuhan sejati lahir dari inovasi yang terus memperbarui diri, bahkan ketika proses itu menghancurkan tatanan lama.
Aghion dan Howitt membangun teori Schumpeterian growth — pertumbuhan yang digerakkan oleh creative destruction. Dalam model mereka, perusahaan berinovasi untuk mengalahkan pesaing, menciptakan teknologi baru yang lebih efisien. Namun, ketika teknologi lama tergantikan, pekerjaan dan industri lama pun ikut hilang. Proses ini menumbuhkan ekonomi, tapi juga melahirkan ketidakpastian dan ketimpangan baru.
Sementara itu, Mokyr menyoroti dimensi yang lebih halus: budaya pengetahuan. Melalui karya seperti The Gifts of Athena (2002) dan A Culture of Growth (2016), ia menunjukkan bahwa kemajuan teknologi hanya mungkin terjadi jika masyarakat menghargai ide, eksperimen, dan berbagi pengetahuan. Inovasi bukan hasil kejeniusan individu semata, tetapi buah dari ekosistem yang memelihara rasa ingin tahu, toleransi terhadap kegagalan, dan keyakinan bahwa pengetahuan berguna bagi kemaslahatan.
Cermin untuk Indonesia
Gagasan para peraih Nobel ini terasa seperti cermin bagi Indonesia yang sedang menghadapi dua arus besar: bonus demografi dan disrupsi teknologi. Kita sedang memiliki jendela kesempatan unik—lebih dari separuh penduduk berusia produktif—namun juga dihadapkan pada risiko kehilangan pekerjaan akibat otomatisasi, digitalisasi, dan perubahan struktur industri.
Lebih dari 60 persen tenaga kerja Indonesia masih bekerja di sektor informal, dengan akses terbatas pada pelatihan, jaminan sosial, dan inovasi. Sementara belanja riset dan pengembangan (R&D) baru sekitar 0,3 persen dari PDB, jauh di bawah negara-negara tetangga seperti Malaysia atau Korea Selatan. Artinya, kita masih lebih banyak menjadi pengguna inovasi, bukan penciptanya.
Inilah wajah creative destruction di Indonesia: sebagian kecil menikmati peluang dari ekonomi digital dan teknologi hijau, sementara sebagian besar tenaga kerja masih bergulat dalam pekerjaan berisiko rendah produktivitas. Jika tidak hati-hati, inovasi bisa menjadi alat pemisah—antara mereka yang “terhubung” dan mereka yang tertinggal.
Inovasi yang Merangkul, Bukan Menyisih
Dalam pandangan Aghion dan Howitt, dinamika inovasi selalu disertai risiko ketimpangan. Kompetisi yang mendorong efisiensi perlu diimbangi dengan kebijakan transisi yang melindungi pekerja dari guncangan struktural. Program pelatihan ulang, insentif bagi inovator baru, dan mekanisme jaminan sosial adaptif menjadi bagian dari strategi yang seimbang.
Sementara itu, Joel Mokyr menyoroti pentingnya knowledge culture. Inovasi hanya tumbuh dalam masyarakat yang terbuka terhadap ide dan eksperimen. Karena itu, memperkuat riset terapan dan memperluas akses terhadap teknologi di sektor padat karya bukan semata agenda ekonomi, melainkan juga proyek kebudayaan untuk menumbuhkan kepercayaan diri kolektif dalam mencipta.
Care Economy dan Bonus Demografi
Satu hal yang sering luput dari wacana inovasi adalah peran ekonomi perawatan (care economy). Bonus demografi tidak akan memberi manfaat bila setengah penduduk, yakni perempuan, terkunci dalam beban kerja domestik yang tidak diakui.
Infrastruktur perawatan—seperti layanan anak, lansia, dan fasilitas publik yang ramah keluarga—bukan hanya kebijakan sosial, melainkan investasi inovasi. Ia memungkinkan lebih banyak perempuan masuk pasar kerja dan memperluas basis pencipta ide serta wirausaha baru. Dengan demikian, kebijakan inovasi di Indonesia seharusnya tidak berdiri sendiri, melainkan terhubung dengan kebijakan sosial dan gender.
Kita memerlukan strategi pertumbuhan yang bersifat Schumpeterian di sisi ekonomi—mendorong inovasi, persaingan, dan keberanian mengganti yang lama—namun juga Mokyrian di sisi budaya—membangun penghargaan terhadap pengetahuan, kolaborasi, dan keadilan sosial.
Menata Arah Kebijakan
Kadang kita terlalu sibuk mengejar “inovasi” hingga lupa bahwa ide besar tidak tumbuh di ruang kosong. Ia butuh fondasi: pendidikan yang memberdayakan, riset yang mengakar, dan perlindungan sosial yang membuat orang berani mencoba hal baru. R&D boleh meningkat, tapi hasilnya baru terasa jika inovasi itu hidup di pasar, di desa, di pabrik, dan di ruang keluarga.
Indonesia sedang berada di persimpangan: apakah kemajuan teknologi akan memperkuat masyarakat, atau justru menyingkirkannya. Pilihannya ada pada cara kita menautkan pengetahuan dengan keadilan sosial—agar perubahan besar tidak sekadar menghancurkan yang lama, tapi membangun yang lebih manusiawi.
No comments:
Post a Comment