Tuesday, December 02, 2025

Kenaikan Upah Minimum di Indonesia: Antara Proteksi Pekerja, Distorsi Pasar Tenaga Kerja, dan Risiko Jangka Panjang


Perdebatan mengenai efektivitas upah minimum di Indonesia bukanlah isu baru. Setiap tahun, proses penetapan Upah Minimum Provinsi dan Kabupaten/Kota menjadi ritual politik dan ekonomi yang selalu menimbulkan perdebatan hangat. Pekerja menuntut kenaikan untuk mengejar biaya hidup, pelaku usaha mengkhawatirkan kenaikan biaya produksi, sementara pemerintah mencari keseimbangan di tengah tekanan publik. Pola yang terus terjadi ini mencerminkan ketergantungan Indonesia pada upah minimum sebagai instrumen kebijakan ekonomi yang paling mudah terlihat hasilnya, meskipun dampak strukturalnya sering kali lebih kompleks. Artikel The Economist berjudul “Why governments should stop raising the minimum wage” memperingatkan bahwa kenaikan upah minimum yang dilakukan terus menerus berpotensi membawa risiko jangka panjang dan menciptakan distorsi pasar tenaga kerja yang memperburuk kualitas pekerjaan para pekerja.[1]

Dalam argumentasinya, The Economist menyoroti konsekuensi yang sering luput dari perhatian publik: meski upah minimum dapat meningkatkan pendapatan nominal pekerja formal, banyak perusahaan merespons dengan menyesuaikan struktur pekerjaan, misalnya memotong jam kerja, mengalihkan pekerja ke kontrak fleksibel, atau bahkan mempercepat automasi. Dampak ini mungkin tidak langsung terlihat dalam statistik pengangguran, tetapi sangat terasa dalam keseharian pekerja yang mendapati pendapatannya semakin tidak stabil dan hubungan kerja semakin rapuh. Artikel tersebut pada dasarnya mengingatkan bahwa upah minimum merupakan instrumen kebijakan yang “kasar” – mudah diberlakukan tetapi efek sampingnya tidak selalu mudah dikendalikan. 

Dalam konteks Indonesia, peringatan tersebut menjadi sangat relevan. Kenaikan UMP rata-rata 6,5 persen pada 2025 kembali menimbulkan perdebatan yang sama: pekerja merasa kemenangan kecil, pengusaha menilai beban bertambah, sementara banyak ekonom menyoroti bahwa kenaikan upah tidak otomatis meningkatkan kesejahteraan apabila tidak disertai pertumbuhan produktivitas. [2] Banyak perusahaan padat karya di sektor tekstil, garmen, alas kaki, dan elektronik beroperasi dengan margin keuntungan sangat tipis. Ketika upah naik tanpa peningkatan output, perusahaan tidak selalu mampu menyerap kenaikan tersebut. Sebagian perusahaan memilih merelokasi pabrik, sebagian lagi mengurangi pekerja, dan tidak sedikit yang beralih pada strategi efisiensi ketat yang berdampak langsung pada kualitas pekerjaan. 

Salah satu isu yang jarang diperhatikan dalam perdebatan upah minimum di Indonesia – meskipun sangat penting dari perspektif ekonomi tenaga kerja – adalah bagaimana kenaikan upah minimum memengaruhi sektor informal yang jumlah pekerjanya jauh lebih besar daripada sektor formal. Di negara seperti Indonesia, lebih dari separuh angkatan kerja berada di sektor informal, dan mayoritas pekerja miskin justru berada di sektor ini. Dengan demikian, jika kebijakan upah minimum tidak menjangkau mereka, maka dampaknya terhadap kemiskinan nasional menjadi terbatas. 

Dimensi krusial yang menjelaskan hubungan antara upah minimum dan sektor informal dalam teori ekonomi dijelaskan dengan konsep “lighthouse effect”. Konsep ini menjelaskan fenomena di mana kenaikan upah minimum di sektor formal ‘memancarkan sinyal’ ke sektor informal, sehingga upah informal ikut naik meskipun tidak diatur. Studi Besley dan Burgess tentang regulasi ketenagakerjaan di India menunjukkan bagaimana reformasi upah dan perlindungan buruh dapat memiliki efek menyeluruh terhadap struktur pasar tenaga kerja.[3] Gasasan dasarnya adalah bahwa upah minimum dapat menjadi tolok ukur moral dan sosial, bukan hanya regulasi formal, sehingga pemberi kerja informal ikut menyesuaikan upah untuk mempertahankan pekerja. 

Namun, studi lain mengenai Brasil menemukan bahwa lighthouse effect tidak selalu muncul; kenaikan upah minimum kadang justru menyebabkan peningkatan ukuran sektor informal karena perusahaan kecil menghindari regulasi.[4] Efek tersebut sangat tergantung pada struktur pasar tenaga kerja, daya tawar pekerja informal, dan tingkat kompetisi di sektor informal. Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, di mana lebih dari separuh angkatan kerja berada di sektor informal, efek ini tidak otomatis terjadi. Banyak studi menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum tidak mengalir masuk ke sektor informal dan hanya berdampak pada sebagian kecil pekerja formal.[5] Sebaliknya, kenaikan upah dapat mendorong peningkatan suplai tenaga kerja informal, sehingga menekan upah riil di sektor tersebut. 

Ketika upah minimum naik, sebagian kecil pekerja muda atau pekerja dengan skill tertentu di sektor informal mungkin dapat menegosiasikan upah lebih tinggi, tetapi mayoritas pekerja informal tetap tidak terpengaruh. Hal ini menunjukkan bahwa lighthouse effect tidak bekerja secara luas di Indonesia. Justru, dalam beberapa kasus, sektor informal menyerap pekerja yang keluar dari sektor formal akibat pengurangan tenaga kerja, sehingga pasokan tenaga kerja informal meningkat dan upah informal justru mengalami tekanan turun. 

Kegagalan lighthouse effect di Indonesia memperkuat argumen bahwa kenaikan upah minimum tidak dapat dijadikan instrumen tunggal untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja. Jika upah minimum hanya membantu sebagian kecil pekerja formal, sementara jutaan pekerja informal tetap berada dalam kondisi rentan, maka kebijakan tersebut hanya menghasilkan dampak parsial. Sebuah ironi pun muncul: kelompok yang paling membutuhkan peningkatan pendapatan justru yang paling tidak merasakannya. Kesalahan umum dalam diskusi publik adalah anggapan bahwa upah minimum merepresentasikan keseluruhan pasar tenaga kerja, padahal kenyataannya struktur pasar tenaga kerja Indonesia sangat dualistik, dan mayoritas pekerja berada di luar sistem yang dilindungi oleh kebijakan upah minimum. 

Selain persoalan formal-informal, fenomena lain yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kenaikan upah minimum memengaruhi kualitas pekerjaan. Ketika upah minimum yang meningkat terlalu cepat akan memicu risiko “substitution effect”: Perusahaan mengganti pekerja berupah rendah dengan teknologi, proses otomatis, atau pekerja yang lebih produktif. Dalam jangka pendek, efek ini membuat sebagian pekerja kehilangan pekerjaan atau terdegradasi ke bentuk kerja yang lebih fleksibel namun lebih tidak aman. Penelitian internasional, termasuk studi Grace Lordan dkk., menunjukkan bahwa perusahaan cenderung mengganti pekerja berupah rendah dengan teknologi otomatis ketika biaya tenaga kerja meningkat.[6] Studi dari Federal Reserve Bank of St. Louis juga menyimpulkan bahwa kenaikan upah minimum dapat mempercepat automasi, terutama pekerjaan berulang dan mudah digantikan.[7] Di Indonesia, gejala ini mulai terlihat di beberapa sektor padat karya dan ritel besar, di mana sistem kasir otomatis, layanan digital, atau mekanisme produksi semi-otomatis menggantikan pekerjaan repetitif berupah rendah. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum yang tidak diimbangi strategi peningkatan produktivitas pekerja hanya akan mempercepat proses substitusi tenaga kerja dan memperbesar risiko pengangguran struktural. 

Dari perspektif jangka panjang, risiko terbesar dari ketergantungan pada kenaikan upah minimum adalah munculnya ilusi kesejahteraan. Upah nominal naik setiap tahun, tetapi biaya hidup meningkat akibat inflasi dan industri beradaptasi dengan mengurangi kualitas pekerjaan. Jika produktivitas nasional tidak tumbuh, kenaikan upah minimum hanya akan menghasilkan lingkaran setan antara kenaikan biaya produksi, kenaikan harga barang dan jasa, serta tuntutan pekerja terhadap upah yang lebih tinggi. Pada titik tertentu, kenaikan upah minimum tidak lagi mencerminkan kondisi ekonomi, tetapi menjadi tekanan politik yang terus berulang. Dalam situasi ini, pasar tenaga kerja menjadi semakin tidak seimbang, perusahaan kehilangan daya saing, dan pekerja menghadapi ketidakpastian yang lebih besar. 

Risiko-risiko inilah yang membuat kenaikan upah minimum perlu diarahkan ulang. Pertanyaan yang harus diajukan bukan lagi apakah upah minimum harus naik, melainkan bagaimana kenaikan tersebut ditempatkan dalam kerangka pembangunan ekonomi yang lebih luas. Kenaikan upah minimum seharusnya menjadi bagian dari strategi komprehensif yang mencakup peningkatan keterampilan tenaga kerja, investasi pada teknologi dan produktivitas, perlindungan sosial universal, serta perbaikan kualitas regulasi ketenagakerjaan. Tanpa semua strategi tersebut, kenaikan upah minimum dapat menciptakan ilusi kesejahteraan yang tidak berkelanjutan. Upah nominal naik, tetapi risiko kehilangan pekerjaan, tekanan jam kerja, dan ketidakpastian pendapatan justru meningkat. Dalam situasi seperti itu, kenaikan upah minimum tidak lagi menjadi instrumen perlindungan pekerja melainkan sumber volatilitas baru dalam pasar tenaga kerja.

Oleh sebab itu, Indonesia perlu menempatkan kebijakan upah minimum dalam kerangka pembangunan jangka panjang yang terintegrasi. Kenaikan upah harus disertai dengan reformasi produktivitas, investasi pendidikan vokasi, insentif teknologi yang inklusif, serta perluasan perlindungan sosial universal. Kenaikan upah minimum memang memberikan secercah harapan bagi sebagian pekerja formal, tetapi tanpa reformasi struktural yang menyeluruh, harapan itu hanya akan menjadi cahaya samar seperti mercusuar yang tidak pernah benar-benar menjangkau kapal-kapal kecil di laut luas sektor informal Indonesia. 

Referensi

[1] The Economist (2025). Why governments should stop raising the minimum wage. https://www.economist.com/leaders/2025/11/20/why-governments-should-stop-raising-the-minimum-wage

[2] Pemerintah Indonesia. Pengumuman kenaikan UMP 2025. https://www.presidenri.go.id/siaran-pers/presiden-prabowo-umumkan-kenaikan-upah-minimum-nasional-tahun-2025

[3] Besley, T. & Burgess, R. (2004). Can Labor Regulation Hinder Economic Performance? Evidence from India. https://www.jstor.org/stable/3592894

[4] International Labour Organization (ILO) – Brazil minimum wage and informal sector study. https://www.ilo.org

[5] World Bank. Indonesia Labor Market Outlook – Informal Sector Responses to Minimum Wage Policies. https://www.worldbank.org

[6] Lordan, G. & Neumark, D. (2018). People Versus Machines: The Impact of Minimum Wages on Automatable Jobs. https://www.nber.org/papers/w23667

[7] Federal Reserve Bank of St. Louis. Minimum Wage Effects and Automation. https://research.stlouisfed.org


Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

No comments: