Friday, October 31, 2025

Delapan Wajah “Gelembung AI” dan Implikasinya bagi Ketenagakerjaan serta Kependudukan Indonesia

Dalam euforia kecerdasan buatan (AI), ekonomi, politik teknologi, dan kultur digital menyatu dalam satu gelombang besar yang kerap kita sebut sebagai “gelembung AI”[1]. Gelembung ini bukan sekadar soal valuasi startup, tetapi campuran delapan unsur yang saling menumpuk: harapan rasional akan nilai tambah; mitologi teknoutopia[2]; dorongan iklan bertarget; arus oportunisme pascakripto; antisipasi raksasa platform terhadap disrupsi; spekulasi atas antarmuka bahasa alami; lompatan daya-analisis data skala raksasa; dan, akhirnya, transformasi cara kita berinteraksi dengan infosfera[3] melalui model-model pembelajaran mesin mutakhir. Di Indonesia, delapan unsur ini menabrak realitas pasar kerja dan dinamika demografis—mulai dari struktur pekerjaan formal–informal, stagnasi partisipasi angkatan kerja perempuan, hingga percepatan penuaan penduduk—dengan konsekuensi yang tidak bisa kita abaikan.

Sisi pertama dari gelembung ini adalah ekspektasi yang wajar bahwa AI benar-benar menciptakan nilai dan bisa ditangkap secara finansial oleh pelaku yang tepat. Dalam konteks Indonesia, peluang produktivitas paling cepat muncul di pekerjaan “klerikal” dan layanan administratif, rantai pasok, layanan pelanggan, pemasaran, dan dukungan keputusan di sektor publik. Namun justru di rumpun pekerjaan klerikal—yang di ASEAN dan Indonesia menyerap jutaan pekerja—risiko otomasi dan “augmentasi” paling tinggi, dan proporsinya sering lebih besar bagi perempuan karena segregasi komposisi okupasi berbasis gender (gendered occupational segregation). Kajian ILO tentang ASEAN sudah lama menengarai kerentanan tinggi bagi petugas administrasi dan pekerjaan kantor di Indonesia (sekitar 1,7 juta pegawai klerikal “highly vulnerable”), sementara analisis mutakhir beberapa lembaga internasional memperkirakan AI akan memengaruhi sekitar 40% pekerjaan global dengan dampak yang tajam terhadap ketimpangan jika kebijakan tidak sigap mengikuti perubahan teknologi.  

Unsur kedua adalah “iman milenarian”[4]—hasrat akan “rapture of the nerds”[5]—yang menaburkan janji keselamatan teknologi: AI akan menyelamatkan ekonomi dari stagnasi, menyembuhkan birokrasi, dan melompatkan kita ke masa depan tanpa friksi. Narasi ini menggema cukup kuat di ruang publik, tetapi sering melupakan prasyarat institusional: literasi data, tata kelola dan etika AI, kesiapan kurikulum vokasi, serta perlindungan sosial bagi pekerja terdampak. Tanpa fondasi ini, imajinasi bisa berubah jadi kekecewaan sosial: ekspektasi publik naik, kualitas layanan tidak (atau belum) mengikuti, dan jurang ketidakkepercayaan (distrust) melebar.

Ketiga, ada ekspektasi—sebagian realistis, sebagian berlebihan—bahwa AI akan meningkatkan penargetan iklan secara tajam. Bagi perusahaan, ini alat monetisasi; bagi pengguna, bisa jadi pengalaman lebih relevan, namun juga risiko manipulasi preferensi. Di pasar digital Indonesia yang terus tumbuh, konsekuensi ini menyentuh ekonomi kreator, UMKM daring, dan konsumsi rumah tangga; sementara dari sisi tenaga kerja, muncul pekerjaan baru (prompting, konten, kurasi), tetapi sebagian bersifat kontraktual, temporer, dan berisiko rendahnya proteksi – pekerjaan gig yang bersifat prekariat.

Keempat, setiap gelombang teknologi besar menarik para penunggang oportunistik. Narasi bombastis berpindah dari kripto ke AI, mencari pendanaan cepat. Dampaknya bukan hanya kerugian investor, melainkan distraksi kebijakan: perhatian publik dan regulator tersedot ke janji-janji kilat, alih-alih ke pekerjaan rumah yang lebih “membosankan” namun krusial—membangun data publik yang rapi, berbagi set data antar-instansi, memperkuat standardisasi dan audit algoritmik, serta menggelar program re-skilling yang terukur.

Kelima, raksasa platform global bereaksi terhadap potensi disrupsi ala Christensen[6]: membeli, berkolaborasi, sekaligus memagari ekosistem. Di pasar domestik, ini bisa menciptakan peluang alih-teknologi dan pasar talenta AI; tetapi juga berisiko memperdalam ketergantungan dan menggeser surplus ke luar negeri bila rantai nilai (data center hijau, chip, dan layanan profesional) tidak dilokalisasi dengan cerdas. Di sinilah pentingnya sinkronisasi agenda AI dengan RPJPN 2025–2045 dan peta jalan transformasi digital nasional agar adopsi AI melekat dengan utuh pada prioritas produktivitas, green economy, dan pemerataan. 

Keenam, antarmuka bahasa alami atau natural languange interface (NLI)[7] menjanjikan lompatan besar dalam “utilizer surplus[8]: dari layanan publik (asisten digital untuk nakes, penyuluh, dan aparatur) sampai produktivitas UMKM (pencatatan, pemasaran, logistik, dan akses pembiayaan). Tetapi antarmuka yang sama dapat menjadi mesin “peretasan perhatian” (attention hacking) yang memperburuk kesejahteraan mental dan polarisasi informasi. Secara bisnis, antarmuka ini tidak otomatis memunculkan monopoli dengan skala “Google–Apple–Facebook”—hal ini lebih mungkin tersebar ke berbagai sektor, ditopang oleh data privat dan domain pengetahuan lokal (misalnya, korpus bahasa Indonesia dan bahasa daerah, data administrasi pemerintah, dan data operasional BUMN/UMKM). Dengan kata lain, nilai AI di Indonesia akan sangat bergantung pada orkestrasi data domestik dan komputasi yang efisien, bukan sekadar mengimpor model.

Ketujuh, lompatan daya-analisis data—model berdimensi besar, alat klasifikasi fleksibel—akan “menetes” deras ke kebijakan publik: tata niaga pangan, deteksi kemiskinan mikro, penargetan program, sampai pengawasan kepatuhan. Dampak ketenagakerjaan muncul di dua sisi: peningkatan produktivitas aparatur dan analis (pekerjaan makin “bernilai tambah”), serta redesign tugas-tugas operasional. Jika desain ulang kerja tidak diimbangi upgrading kompetensi dan mobilitas karier internal, hasilnya adalah “augmentasi tanpa kenaikan kualitas kerja”—pekerja mengoperasikan alat AI, tetapi tetap berada di tangga upah yang sama.

Kedelapan, interaksi manusia-infosfera kini dimediasi model AI mutakhir (MAMLM[9]). Ini mengubah cara masyarakat mencari informasi, mengambil keputusan, dan berpartisipasi di ruang publik. Bagi kependudukan dan pasar kerja, dampak jangka panjangnya sangat struktural: preferensi fertilitas yang dipengaruhi paparan digital, dinamika migrasi internal karena peluang kerja jarak jauh, hingga pola pembelajaran sepanjang hayat yang menentukan mobilitas antar-okupasi. Di sini, arsitektur kebijakan—regulasi data, perlindungan pekerja mandiri/platform, jaring pengaman sosial adaptif, serta layanan publik yang pro-inklusi—menjadi penentu arah.

 

Mengikat ke Realitas Indonesia: Pekerjaan, Gender, dan Transisi Demografi

AI akan memperbesar permintaan atas kombinasi keterampilan: literasi data, pengetahuan domain, komunikasi antarmanusia, dan etika. Indonesia memiliki komposisi pekerjaan yang masih didominasi sektor informal dan layanan berupah menengah-rendah; banyak tugas klerikal dan operasional yang—alih-alih hilang—akan “dirombak” menjadi kerja yang mengandalkan alat bantu AI. Bukti global dan regional menyiratkan pola yang tidak netral gender: pekerjaan administrasi dan klerikal—dengan porsi perempuan lebih besar—mengalami eksposur tinggi, sehingga kebijakan ketenagakerjaan yang peka gender menjadi mutlak (upskilling, mobilitas horizontal, dan perlindungan transisi dunia kerja).  

Pada saat yang sama, partisipasi angkatan kerja perempuan Indonesia selama bertahun-tahun cenderung stagnan jauh di bawah laki-laki, dan proporsi kerja formal perempuan juga lebih rendah. Memasukkan AI ke proses kerja tanpa kebijakan pengasuhan dan perawatan (care) yang memadai hanya akan memperlebar kesenjangan; sebaliknya, AI justru dapat menjadi pengungkit tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan jika dipadukan dengan infrastruktur care yang terjangkau, fleksibilitas kerja yang dilindungi, serta desain kerja ulang (job redesign) yang menyokong produktivitas sekaligus otonomi pekerja. Data BPS terbaru menunjukkan ketimpangan formalitas menurut gender masih nyata; membaca angka-angka ini bersama tren AI memberi peringatan bahwa “augmentasi” mesti diikuti peningkatan kualitas pekerjaan, bukan sekadar penghematan biaya.  

Dari sisi kependudukan, jendela bonus demografi kian sempit sementara penuaan penduduk mulai terasa. AI dapat menaikkan produktivitas per pekerja, menahan dampak penuaan terhadap pertumbuhan, dan memperbaiki layanan kesehatan serta perawatan lansia; tetapi tanpa upgrading kompetensi dan tata kelola data lintas-instansi, peluang ini akan tertinggal jauh di belakang. Agenda besar RPJPN 2025–2045—menuju negara berpendapatan tinggi—bergantung pada lompatan produktivitas yang nyata, bukan hanya adopsi alat. Mengaitkan AI dengan prioritas RPJPN (transformasi ekonomi, talenta, layanan publik, ekonomi hijau) menjadi syarat agar adopsi teknologi berbuah pada daya saing dan kualitas hidup, alih-alih sekadar meningkatkan konsumsi digital.  

Akhirnya, semua jalan kembali ke arsitektur kebijakan: (i) ekosistem data yang aman, terbuka-terseleksi, dan bisa diaudit; (ii) standardisasi penggunaan AI di layanan publik; (iii) re-skilling dan sertifikasi berbasis keterampilan yang diakui pasar; (iv) perlindungan sosial yang menyesuaikan kerja platform/mandiri; (v) kebijakan pasar tenaga kerja yang pro-perempuan (cuti, childcare, kerja fleksibel berkualitas, anti-diskriminasi); serta (vi) tata kelola lingkungan untuk pusat data dan komputasi berdaya energi tinggi. Tanpa ini, delapan unsur gelembung AI akan lebih banyak menumpuk risiko ketimbang melepaskan nilai.

Kesimpulan
Gelembung AI adalah gabungan harapan inovasi dan ketegangan sosial. Di Indonesia, ia bisa menjadi akselerator produktivitas, pemerataan kesempatan kerja—terutama bagi perempuan—dan ketahanan menghadapi penuaan penduduk. Tetapi manfaat itu tidak hadir otomatis. Ia lahir dari desain kebijakan yang menautkan teknologi ke struktur pasar kerja, ke kebutuhan keluarga pekerja, dan ke visi demografis jangka panjang negeri ini.

 

Daftar Pustaka (pilihan)

Badan Pusat Statistik (2025). Percentage of Formal Labor According to Gender (2024).  

Badan Pusat Statistik (2024). Labor Force Situation in Indonesia, February 2024 (Sakernas).  

Kementerian PPN/Bappenas (2024). RPJPN 2025–2045 (UU No. 59/2024) & Portal Indonesia 2045.  

International Labour Organization (2016–2017). ASEAN in Transformation: The Future of Jobs at Risk of Automation.  

International Monetary Fund (2024). Kristalina Georgieva, “AI Will Transform the Global Economy. Let’s Make Sure It Benefits Humanity.” dan Gen-AI: Artificial Intelligence and the Future of Work (Staff Discussion Note).  

UNFPA Indonesia (2015). Taking Advantage of the Demographic Dividend in Indonesia: Policy Brief.  

T20 Indonesia (2022). Population Ageing and the Second Demographic Dividend: New Policy Challenges in the New Era.  

ASEAN Secretariat & E-READI (2023). ASEAN Employment Outlook.  

Reuters (2025). “AI poses a bigger threat to women’s work than men’s, says ILO report.”. 

 



[1] Gelembung AI: istilah “AI bubble” populer dalam diskursus ekonomi teknologi; salah satu pembahasan awal & pengaruh di ruang publik muncul dalam tulisan ekonom J. Bradford DeLong (2023) serta diskusi investor teknologi pasca-2019. Referensi: DeLong, J.B. (2023). Brad DeLong’s Grasping Reality blog essays on AI bubble.

[2] Teknoutopia: kepercayaan bahwa teknologi akan menciptakan masyarakat ideal; digunakan dalam kajian teknologi oleh Fred Turner dan Langdon Winner. Referensi: Winner, L. (1986). The Whale and the Reactor; Turner, F. (2006). From Counterculture to Cyberculture.

[3] Infosfera (lingkungan informasi): konsep filsuf teknologi Luciano Floridi tentang ruang informasi tempat manusia dan sistem digital berinteraksi. Referensi: Floridi, L. (2010). The Philosophy of Information.

[4] Iman milenarian (Millenarian belief/Millenarianism): keyakinan bahwa suatu perubahan besar akan membuka era keselamatan baru; istilah historis dalam studi agama & gerakan sosial. Referensi: Wessinger, C. (2011). The Oxford Handbook of Millennialism.

[5] Rapture of the Nerds: satir atas keyakinan singularitas teknologi, populer lewat novel Cory Doctorow & Charles Stross (2012), meminjam metafora “rapture” dalam kepercayaan eskatologis. Referensi: Doctorow & Stross (2012). The Rapture of the Nerds.

[6] Christensen / Disrupsi Christensen: teori inovasi Clayton Christensen bahwa teknologi baru mendisrupsi pemain dominan. Referensi: Christensen, C. (1997). The Innovator’s Dilemma.

[7] Natural Language Interface (NLI): jenis antarmuka manusia-komputer yang memungkinkan pengguna interaksi dengan sistem komputer menggunakan bahasa alami manusia (lisan atau tulis), dimana pengguna tidak perlu menguasai bahasa pemrograman atau sintaksis khusus.Referensi: Gary G. Hendrix (1982), “Natural‐Language Interface”

[8] Utilizer surplus: adaptasi konsep consumer surplus (Marshall, 1890)—nilai lebih yang diperoleh pengguna di luar harga yang dibayar; digunakan ekonom digital untuk menjelaskan manfaat non-moneter teknologi. Referensi: Marshall, A. (1890). Principles of Economics.

[9] MAMLM (Massively Advanced Multi-Modal/Agent Large Language Models): istilah analitis untuk model AI generasi lanjut yang menggabungkan teks, gambar, suara, agen, dan kemampuan reasoning; konsisten dengan deskripsi model frontier yang digunakan OpenAI/DeepMind dalam publikasi teknis. Referensi: OpenAI (2024). Frontier Model System Card; DeepMind (2023-2024) multimodal model papers.


Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

No comments: