Dunia kerja sedang mengalami pergeseran mendasar. Jika generasi sebelumnya tumbuh dengan cita-cita memiliki satu pekerjaan tetap dan stabil (LTE - Life Time Employment), generasi muda hari ini — Gen Z dan Gen Alpha — justru hidup dalam realitas yang lebih cair. Mereka berpindah-pindah antara berbagai sumber penghasilan: bekerja penuh waktu sekaligus menjadi freelancer, membuka usaha daring sambil menjadi content creator, atau menjalankan pekerjaan berbasis proyek yang terus berubah. Inilah wajah baru pasar tenaga kerja: multiple jobs economy — ekonomi yang ditandai oleh keberagaman bentuk dan sumber pekerjaan dalam satu individu.
Fenomena ini bukan sekadar tren gaya hidup, melainkan refleksi dari perubahan struktur ekonomi dan sosial yang mendalam. Dalam teori ekonomi tenaga kerja klasik, seperti yang dijelaskan oleh Gary Becker, individu akan membagi waktu antara leisure (waktu luang) dan labor (kerja) untuk memaksimalkan kepuasan atau utilitas. Namun, bagi generasi muda saat ini, batas antara keduanya semakin kabur. Aktivitas yang dulunya dianggap rekreatif — seperti bermain gim, membuat konten digital, atau berpartisipasi dalam komunitas daring — kini dapat menjadi sumber penghasilan. Dengan kata lain, hobi pun telah terkomodifikasi menjadi pekerjaan.
Dari perspektif ekonomi tenaga kerja, fenomena multi-pekerjaan mencerminkan rasionalitas baru dalam menghadapi pasar kerja yang penuh ketidakpastian. Teori choice under constraint menjelaskan bahwa individu beradaptasi terhadap keterbatasan yang mereka hadapi — waktu, upah, dan peluang kerja. Ketika upah riil stagnan dan pekerjaan formal semakin langka, pekerja muda secara rasional akan mencari cara lain untuk meningkatkan pendapatan dan mempertahankan daya beli. Memiliki lebih dari satu pekerjaan bukan sekadar keinginan untuk mandiri, tetapi strategi bertahan di tengah fleksibilitas pasar yang tinggi namun minim perlindungan.
Secara demografis, kondisi ini juga berkaitan erat dengan perubahan struktur usia penduduk. Indonesia tengah menikmati bonus demografi, dengan lebih dari 65 juta penduduk berusia muda yang memasuki pasar kerja. Namun, kelebihan pasokan tenaga kerja muda tidak selalu sejalan dengan penciptaan lapangan kerja formal. Banyak dari mereka menghadapi pasar kerja yang tidak pasti, di mana pekerjaan berbasis proyek, gig economy, dan self-employment menjadi lebih dominan. Multiple jobs muncul sebagai bentuk adaptasi alami terhadap pasar yang tidak lagi menawarkan stabilitas sebagaimana masa lalu.
Namun di balik fleksibilitas ini tersembunyi paradoks. Generasi muda tampak lebih bebas dan kreatif, tetapi mereka juga rentan menjadi bagian dari kelas pekerja baru yang disebut “precariat” — kelompok yang hidup di bawah bayang-bayang ketidakamanan pekerjaan, tanpa jaminan sosial, tanpa kepastian pendapatan, dan tanpa batas yang jelas antara waktu kerja dan waktu pribadi. Fenomena ini menuntut pembacaan ulang terhadap konsep pekerjaan layak (decent work) yang selama ini menjadi tujuan pembangunan ketenagakerjaan.
Pergeseran menuju ekonomi multi-pekerjaan membawa sejumlah implikasi kebijakan penting. Pertama, sistem jaminan sosial perlu bertransformasi dari berbasis hubungan kerja menjadi berbasis individu. Banyak pekerja muda kini tidak lagi memiliki kontrak formal, sehingga tidak terliput oleh perlindungan jaminan kesehatan, ketenagakerjaan, atau pensiun. Pendekatan universal social protection menjadi relevan untuk memastikan tidak ada pekerja yang tertinggal hanya karena cara mereka bekerja berbeda.
Kedua, sistem ketenagakerjaan dan perpajakan perlu menyesuaikan diri dengan realitas baru di mana satu individu bisa memiliki beberapa sumber pendapatan. Pemerintah dan lembaga statistik seperti BPS perlu terus memperbarui instrumen pengumpulan data agar fenomena multi-job holding dapat tercermin secara akurat dalam survei tenaga kerja. Tanpa data yang baik, kebijakan sulit diarahkan secara tepat sasaran.
Ketiga, kebijakan ketenagakerjaan harus menempatkan lifelong learning dan skill portability sebagai kunci. Generasi muda tidak hanya berpindah pekerjaan, tetapi juga berpindah profesi dan bahkan industri. Sistem pendidikan dan pelatihan harus dirancang agar keterampilan mereka mudah ditransfer antar sektor, memberi ruang bagi inovasi dan daya saing yang berkelanjutan.
Dari sisi demografi pembangunan manusia, tantangannya bukan sekadar menciptakan lebih banyak pekerjaan, melainkan memastikan kualitas pekerjaan tersebut. Jika multi-pekerjaan hanya memperpanjang jam kerja tanpa meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan, maka Indonesia berisiko melahirkan generasi muda yang kelelahan — sebuah burnout generation di tengah euforia ekonomi digital.
Karena itu, visi kebijakan ke depan harus lebih berani: bukan hanya menambah jumlah lapangan kerja, tetapi memastikan setiap anak muda memiliki kesempatan untuk merangkai kombinasi pekerjaan yang bermakna, aman, dan berkelanjutan. Di tengah perubahan dunia kerja yang cepat, pertanyaan yang lebih relevan bukan lagi “pekerjaan apa yang akan kamu miliki?”, melainkan “bagaimana kamu ingin bekerja dan hidup di dunia yang terus berubah?”
No comments:
Post a Comment