Tuesday, September 30, 2025

Policy Brief: Menjamin Keamanan Program Makan Gratis di Sekolah

Program makan gratis di sekolah merupakan salah satu instrumen utama pembangunan manusia dan jaring pengaman sosial. Berbagai studi menunjukkan bahwa intervensi ini tidak hanya meningkatkan status gizi anak, tetapi juga memperbaiki tingkat kehadiran dan capaian belajar[1]. Namun, sejumlah insiden di berbagai negara menyoroti risiko serius: apabila keamanan pangan tidak dijaga, program makan gratis dapat menjadi sumber penyakit massal, bahkan kematian[2]. Policy brief ini menguraikan akar masalah, analisis sistemik, serta rekomendasi kebijakan untuk memperkuat keamanan pangan dalam program makan gratis di sekolah.


Latar Belakang

World Food Programme (WFP) mencatat bahwa lebih dari 80 negara memiliki program makan sekolah dengan manfaat ekonomi signifikan—setiap 1 dolar AS investasi menghasilkan imbal balik hingga 35 dolar dalam jangka panjang[3]. Namun, kasus keracunan massal masih terjadi. Di India (2013), sebanyak 23 murid meninggal akibat konsumsi minyak yang tercemar pestisida dalam program Midday Meal Scheme[4]. Di Indonesia, pada 2025, ribuan murid mengalami sakit perut dan muntah setelah mengonsumsi makanan dari program makan gratis nasional[5]. Kasus-kasus ini menegaskan bahwa manfaat besar program dapat hilang jika aspek keamanan pangan tidak diprioritaskan.


Mengapa Masalah Terjadi

Masalah keamanan pangan bersifat multidimensi. Pertama, ekspansi program yang cepat sering tidak diiringi peningkatan kapasitas pengawasan, laboratorium, dan tenaga inspektur[6]Kedua, proses pengadaan yang longgar membuka peluang bahan makanan berkualitas rendah atau tercemar masuk ke rantai pasok[7]Ketiga, standar higienitas sering dilanggar akibat keterbatasan infrastruktur—mulai dari ketiadaan air bersih, pendingin, hingga dapur yang sempit[8]Keempat, fragmentasi tata kelola antar kementerian, pemerintah daerah, sekolah, dan penyedia jasa menciptakan kebingungan dalam akuntabilitas[9]Terakhir, rendahnya pelatihan serta budaya pelaporan insiden membuat masalah berulang tanpa koreksi sistematis[10].


Analisis Sistemik

Pendekatan sistemik diperlukan untuk memahami kelemahan sekaligus potensi solusi. Pertama, pada level kebijakan, standar Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) dan ISO-22000 harus menjadi kewajiban, bukan pilihan[11]Kedua, pada level rantai pasok, mekanisme traceability (penelusuran) wajib diterapkan melalui kode batch, uji laboratorium acak, serta kontrak dengan klausul penalti bagi pemasok[12]Ketiga, pada level operasional, dapur sekolah harus dilengkapi log suhu digital, prosedur FIFO (first in–first out), dan supervisi harian[13]Keempat, lingkungan sekitar sekolah perlu dikendalikan: pedagang informal di sekitar area belajar harus diawasi dan diberikan izin dengan standar higienitas yang sama[14]Terakhir, sistem surveilans dan respons cepat perlu dibangun dengan dashboard publik yang menampilkan insiden secara real-time[15].


Rekomendasi Kebijakan

Berdasarkan analisis di atas, terdapat beberapa rekomendasi kebijakan kunci. Pertama, desain menu harus berbasis risiko: mengutamakan makanan pokok, sayuran, dan lauk matang, serta menghindari makanan olahan dingin tanpa rantai dingin terverifikasi[16]Kedua, rantai pengadaan harus diperkuat melalui daftar pemasok bersertifikat, pengujian acak, dan kontrak berbasis kinerja[17]Ketiga, pemerintah perlu membiayai perbaikan infrastruktur dapur, termasuk air bersih, pendingin, dan area masak higienis[18]Keempat, tenaga pengelola makanan harus diprofesionalisasi melalui pelatihan rutin, sertifikasi, dan mekanisme pelaporan insiden tanpa sanksi[19]Kelima, pedagang di sekitar sekolah harus diatur agar tidak menimbulkan risiko tambahan[20].Keenam, transparansi publik perlu diperkuat melalui dashboard insiden, kanal pengaduan orang tua, dan publikasi audit[21]. Dengan langkah-langkah ini, program makan gratis dapat menjadi instrumen pembangunan manusia yang aman dan berkelanjutan.



[1] World Food Programme (2020). State of School Feeding Worldwide.

[2] WHO (2015). Foodborne Disease Burden Epidemiology Reference Group.

[3] WFP (2013). The Case for Investment in School Feeding.

[4] BBC News (2013). India school meal food poisoning kills 23 children.

[5] Reuters (2025). Indonesia suspends kitchens after school meal poisoning cases.

[6] FAO (2019). Good Hygienic Practices in Food Preparation.

[7] Transparency International (2021). Corruption Risks in School Feeding Programmes.

[8] UNICEF (2022). Water, Sanitation and Hygiene in Schools.

[9] South Africa Department of Basic Education (2024). National School Nutrition Programme Reports.

[10] CDC (2018). Contributing Factors to Foodborne Illness.

[11] Codex Alimentarius (2020). HACCP Guidelines.

[12] FAO & WFP (2019). Strengthening Food Safety and Quality in School Feeding.

[13] US CDC (2017). Safe Food Handling in Institutional Settings.

[14] South Africa Health Department (2023). School Food Environment Guidelines.

[15] Indonesia Ministry of Health (2025). School Meal Safety Monitoring Reports.

[16] WHO (2019). Five Keys to Safer Food.

[17] FAO (2020). Public Procurement for School Meals.

[18] World Bank (2022). Financing School Infrastructure for Health.

[19] FAO (2016). Food Handlers Training Manual.

[20] UNESCO (2021). Nutrition-Friendly Schools Framework.

[21] OECD (2020). Transparency and Accountability in Public Programmes.



Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Sunday, September 21, 2025

Cukai Rokok, Rasionalitas Perokok, dan Tantangan Kebijakan di Indonesia

Kenaikan tarif cukai hasil tembakau di Indonesia hampir selalu menjadi kebijakan tahunan. Langkah ini kerap memicu perdebatan, terutama mengenai efektivitasnya dalam meningkatkan penerimaan negara sekaligus mengendalikan konsumsi. Sebagian pihak berargumen bahwa penerimaan justru lebih tinggi ketika tarif rendah karena konsumsi tetap tinggi. Namun, teori fiskal menunjukkan bahwa hubungan antara tarif dan penerimaan mengikuti pola Laffer Curve. Dalam kerangka ini, penerimaan negara merupakan hasil perkalian antara tarif dan volume konsumsi. Jika tarif terlalu rendah, penerimaan kecil meskipun konsumsi tinggi. Sebaliknya, jika tarif terlalu tinggi, konsumsi bisa jatuh drastis sehingga penerimaan menurun. Indonesia dipandang masih berada pada sisi kurva di mana kenaikan tarif justru berdampak positif pada penerimaan. Dengan demikian, kebijakan kenaikan cukai tidak hanya dilandasi motif fiskal, tetapi juga didorong oleh tujuan kesehatan publik dan regulasi industri.

Jika dibandingkan dengan negara lain, struktur tarif cukai Indonesia terlihat jauh lebih kompleks. Sistem yang berlaku adalah specific tax per batang dengan banyak golongan atau tier berdasarkan jenis rokok, skala produksi, dan harga jual eceran. Saat ini terdapat sekitar delapan tier aktif, sehingga selisih harga antar segmen sangat lebar. Konsekuensinya, ketika harga rokok pada satu segmen naik, konsumen dapat dengan mudah berpindah ke segmen lebih murah, sebuah fenomena yang dikenal sebagai trading down. Keadaan ini mengurangi efektivitas kebijakan pengendalian konsumsi.

Negara lain memilih jalur berbeda. Thailand menggunakan sistem campuran antara specific dan ad valorem dengan dua tier harga. Vietnam menetapkan tarif ad valorem tunggal sebesar 75 persen dan telah merencanakan penambahan specific tax bertahap mulai 2027, yang berarti bergerak ke arah sistem campuran namun tetap sederhana. Australia bahkan lebih tegas dengan satu tarif specific uniform yang diindeksasi secara rutin tanpa perbedaan tier. Perbandingan ini menunjukkan semakin sederhana struktur tarif, semakin kecil peluang perokok untuk berpindah ke produk lebih murah, sehingga kebijakan lebih efektif menekan konsumsi sekaligus menjaga penerimaan negara.

Efektivitas kebijakan harga juga bergantung pada bagaimana konsumen merespons. Teori Rational Addictive Behavior yang dikembangkan Becker dan Murphy pada 1988 memberikan penjelasan penting. Menurut teori ini, rokok dikategorikan sebagai addictive good. Konsumsi hari ini memberikan kenikmatan, tetapi sekaligus menambah stok adiksi yang akan memengaruhi konsumsi di masa depan. Perokok rasional bersifat forward-looking. Mereka memahami bahwa harga akan terus naik, sehingga mulai mengurangi konsumsi sekarang agar beban adiksi di masa depan lebih ringan. Dampaknya, konsumsi menurun perlahan, terutama pada kelompok anak muda yang belum terlalu kecanduan.

Namun, tidak semua perokok bersikap rasional. Banyak di antaranya yang bersifat myopic atau irasional, hanya memikirkan kepuasan sesaat tanpa memperhitungkan biaya jangka panjang. Bagi kelompok ini, kenaikan harga tidak banyak mengubah perilaku merokok. Mereka tetap membeli meskipun harus mengorbankan pengeluaran rumah tangga untuk kebutuhan lain. Bahkan sebagian melakukan trading down ke rokok murah atau ilegal, sementara yang lain melakukan compensatory smoking dengan mengisap lebih banyak dari rokok yang sama. Perbedaan respons ini menunjukkan bahwa instrumen harga sangat efektif untuk mencegah perokok baru atau mengurangi konsumsi pada perokok rasional, tetapi kurang ampuh untuk mereka yang sudah kecanduan berat.

Perdebatan mengenai rasionalitas konsumsi rokok kemudian diperluas oleh Gruber dan Kőszegi dalam studi mereka pada 2001. Mereka mengkritisi model rational addiction dengan menambahkan unsur time-inconsistent preferences atau present bias. Temuan mereka menunjukkan bahwa perokok bersifat sebagian rasional: mereka memang merespons harga ke depan, tetapi juga terjebak dalam perilaku yang terlalu menekankan kepuasan jangka pendek. Hal ini menghasilkan eksternalitas internal, di mana perokok masa kini merugikan diri mereka di masa depan. Dari perspektif kebijakan, implikasinya sangat penting. Kenaikan cukai bukan hanya instrumen untuk menanggulangi eksternalitas kesehatan publik, tetapi juga dapat berfungsi sebagai alat komitmen bagi perokok yang ingin mengurangi konsumsi. Harga yang lebih mahal membantu mereka melawan kecenderungan irasional dalam diri sendiri.

Dalam konteks Indonesia, penelitian yang secara eksplisit menggunakan kerangka rational addiction atau present bias masih sangat terbatas. Riset-riset sejauh ini lebih menyoroti elastisitas harga permintaan rokok, dampak cukai terhadap kemiskinan, serta peran iklan dalam perilaku merokok. Padahal, dengan ketersediaan data panel seperti IFLS dan Susenas, terbuka peluang besar untuk menguji sejauh mana perilaku konsumen Indonesia konsisten dengan teori adiksi rasional maupun model preferensi yang tidak konsisten. Hasil semacam itu dapat memperkuat argumen bahwa kebijakan cukai tinggi tidak hanya relevan untuk fiskal dan kesehatan publik, tetapi juga bermanfaat secara perilaku dengan membantu perokok melawan kecanduan mereka sendiri.

Keseluruhan uraian ini menunjukkan bahwa kebijakan cukai tembakau di Indonesia sebaiknya dipandang dalam kerangka yang lebih luas. Kenaikan tarif setiap tahun memiliki dasar teoritis dan empiris yang kuat, baik untuk mengendalikan konsumsi maupun untuk menjaga penerimaan negara. Namun, efektivitas kebijakan masih tereduksi oleh struktur tarif multi-tier dan oleh perilaku perokok irasional. Penyederhanaan struktur tarif, penguatan instrumen non-harga seperti layanan berhenti merokok, dan riset berbasis teori adiksi modern akan menjadi langkah penting agar kebijakan tembakau ke depan lebih efektif dan komprehensif.


Referensi

  • Becker, G., & Murphy, K. (1988). A Theory of Rational Addiction. Journal of Political Economy.

  • Gruber, J., & Kőszegi, B. (2001). Is Addiction “Rational”? Theory and Evidence. Quarterly Journal of Economics.

  • WHO (2021). WHO Report on the Global Tobacco Epidemic.

  • SEATCA (2023). Tobacco Tax Policy and Administration in ASEAN.

  • Kementerian Keuangan RI (2024). PMK tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.

  • Cancer Council Victoria (2025). Tobacco Tax in Australia.

  • World Bank (2019). Tobacco Taxation in Vietnam.


Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Thursday, September 18, 2025

Menjahit Jembatan dari Sekolah ke Dunia Kerja: Praktik Baik Program Magang dan Dampaknya bagi Pasar Kerja

Transisi dari sekolah ke dunia kerja merupakan salah satu fase paling krusial dalam siklus hidup tenaga kerja. Bagi banyak lulusan, perbedaan antara apa yang dipelajari di bangku sekolah dan tuntutan dunia kerja menciptakan kesenjangan keterampilan, rasa tidak percaya diri, dan bahkan pengangguran muda. Dalam konteks ini, program magang hadir sebagai jembatan yang menjahit dua dunia: dunia pendidikan dan pasar kerja. Namun, tidak semua magang diciptakan sama. Praktik terbaik dari berbagai negara menunjukkan bahwa program magang yang berhasil bukan sekadar “kerja sambil belajar”, melainkan sebuah sistem terstruktur dengan kualitas, perlindungan, dan tujuan pembelajaran yang jelas.

Esensi Magang yang Berkualitas

Magang yang efektif ditandai oleh beberapa elemen inti. Pertama, adanya integrasi dengan kurikulum sehingga pengalaman di tempat kerja dihargai setara dengan pencapaian akademik. Kedua, peserta magang harus memperoleh status dan perlindungan yang jelas, termasuk kontrak tertulis, upah layak, dan jaminan keselamatan. Ketiga, magang yang baik menekankan pembelajaran yang terstruktur, melalui mentoring, rencana pelatihan, dan asesmen formal. Prinsip-prinsip ini tercermin dalam kerangka kebijakan internasional, seperti Quality Framework for Traineeships Uni Eropa dan Rekomendasi ILO tentang Quality Apprenticeships, yang menegaskan pentingnya standar mutu, hak pekerja, serta pengawasan sosial oleh serikat dan pengusaha (ILO, 2023; European Commission, 2014).

Selain itu, magang tidak boleh dipandang sebagai tenaga kerja murah. Justru, ia merupakan investasi: bagi siswa, untuk membangun keterampilan praktis dan jaringan kerja; bagi perusahaan, untuk membentuk talenta sesuai kebutuhan industri; dan bagi negara, untuk menurunkan angka pengangguran muda dan mempercepat masuknya lulusan ke pasar kerja.

Praktik Internasional: Belajar dari Berbagai Model

Sistem Ganda Jerman dan Swiss

Model “dual system” di Jerman dan Swiss sering dianggap sebagai standar emas. Siswa menghabiskan 3–4 hari di tempat kerja dan 1–2 hari di sekolah, dengan kontrak kerja formal dan gaji. Kurikulum ditetapkan oleh pemerintah bersama kamar dagang dan serikat, sementara asesmen dilakukan secara nasional. Hasilnya adalah tingkat pengangguran muda yang rendah, serta jalur transisi yang mulus dari sekolah ke pekerjaan penuh (Euler, 2013).

SkillsFuture Work-Study, Singapore

Singapura mengadaptasi pendekatan work-study untuk lulusan politeknik dan ITE. Program ini berdurasi 12–18 bulan, peserta memperoleh gaji penuh, bimbingan mentor industri, serta sertifikasi diploma lanjutan. Pemerintah bahkan memberi insentif finansial untuk peserta dan perusahaan. Pendekatan ini menekankan integrasi antara teori, praktik, dan kredensial formal (SkillsFuture SG, 2022).

Korea Selatan dan Sekolah Meister

Korea membangun sistem magang berbasis perusahaan dengan Work-Study Dual System dan Meister High Schools. Siswa dididik sesuai kebutuhan industri strategis seperti semikonduktor dan manufaktur, dengan dukungan pusat pelatihan bersama dan mentoring perusahaan. Hasilnya, lulusan memperoleh jalur kerja yang lebih pasti dan relevan (Park & Kim, 2019).

Inggris dengan T-Levels

Inggris memperkenalkan T-Levels sebagai jalur teknis menengah yang mewajibkan minimal 315 jam magang industri. Sistem ini memungkinkan penempatan secara blok atau day-release, bahkan sebagian dilakukan secara daring. Dengan struktur yang baku, peserta memperoleh pengalaman langsung yang dapat dikreditkan sebagai bagian dari kelulusan (UK Department for Education, 2021).

Indonesia dan Program Kampus Merdeka

Indonesia juga memiliki inisiatif progresif melalui Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB) dalam kerangka Kampus Merdeka. Mahasiswa dapat mengonversi pengalaman magang satu semester penuh menjadi hingga 20 SKS. Program ini dikoordinasi secara nasional dengan ribuan perusahaan mitra. Evaluasi awal menunjukkan peningkatan job-readiness mahasiswa, meski masih diperlukan perbaikan koordinasi dan standar mutu antarperusahaan (Direktorat Jenderal Dikti, 2023).

Dampak terhadap Pasar Kerja dan Transisi Lulusan

Magang yang berkualitas terbukti memberikan dampak positif bagi pasar kerja. OECD (2018) mencatat bahwa negara dengan sistem magang terstruktur seperti Jerman dan Swiss memiliki tingkat NEET (Not in Employment, Education, or Training) yang rendah. Bagi perusahaan, magang berfungsi sebagai jalur rekrutmen, mengurangi biaya pencarian tenaga kerja dan meningkatkan kecocokan antara pekerja dan pekerjaan.

Bagi lulusan, magang mempercepat pencapaian employability skills seperti kerja tim, komunikasi, dan pemecahan masalah. Lebih penting lagi, magang memberikan pengalaman nyata yang meningkatkan rasa percaya diri, memperluas jaringan profesional, dan memperbesar peluang konversi ke pekerjaan penuh. Di Indonesia, survei awal terhadap alumni MSIB menunjukkan peningkatan keterampilan digital, manajerial, serta kesiapan untuk bekerja di sektor formal yang sebelumnya sulit ditembus oleh lulusan baru.

Penutup

Magang bukan sekadar pengalaman tambahan, tetapi fondasi penting dalam membangun jembatan transisi yang adil dan efektif dari sekolah ke dunia kerja. Praktik terbaik internasional menekankan bahwa magang harus diperlakukan sebagai proses belajar yang bermakna, dengan perlindungan, pembiayaan, dan pengakuan formal. Bagi Indonesia, memperkuat mutu, kesetaraan akses, dan insentif bagi perusahaan menjadi kunci agar program seperti Kampus Merdeka benar-benar menjadi katalis transisi kerja. Dengan pendekatan terstruktur, magang dapat menjadi pintu masuk menuju pasar kerja yang lebih inklusif, kompetitif, dan berkelanjutan.


Tabel: Perbandingan Praktik Baik Program Magang

Negara/Program

Durasi & Status

Integrasi Kurikulum

Dukungan & Insentif

Dampak Utama

Jerman/Swiss – Dual System

2–4 tahun, kontrak kerja & gaji

Bagian dari VET nasional

Co-funding perusahaan & negara, asesmen nasional

Tingkat pengangguran muda rendah

Singapura – SkillsFuture Work-Study

12–18 bulan, gaji penuh

Kredensial diploma lanjutan

Insentif finansial bagi peserta & perusahaan

Peningkatan jalur karier & upskilling

Korea – Work-Study & Meister

1–2 tahun, kontrak pelatihan

Fokus pada industri strategis

Pusat pelatihan bersama, dukungan pemerintah

Jalur kerja jelas, kurangi skills mismatch

Inggris – T-Levels

Min. 315 jam, status pelajar

Kredit kelulusan (setara A-level)

Fleksibilitas jadwal, dana pendukung

Transisi lebih mudah ke pekerjaan teknis

Indonesia – MSIB (Kampus Merdeka)

1 semester penuh, setara 20 SKS

Diakui dalam kurikulum universitas

Koordinasi nasional, ribuan mitra

Tingkatkan job-readiness mahasiswa


Daftar Pustaka

  • Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi. (2023). Evaluasi Program Kampus Merdeka. Jakarta: Kemendikbudristek.
  • Euler, D. (2013). Germany’s dual vocational training system: a model for other countries? Gütersloh: Bertelsmann Stiftung.
  • European Commission. (2014). Council Recommendation on a Quality Framework for Traineeships. Brussels.
  • ILO. (2023). Recommendation No. 208 on Quality Apprenticeships. Geneva: International Labour Organisation.
  • OECD. (2018). Seven Questions about Apprenticeships: Answers from International Experience. Paris: OECD Publishing.
  • Park, S., & Kim, J. (2019). Work-Study Dual System in South Korea: Policy Design and Outcomes. Asia Pacific Education Review, 20(3), 427–442.
  • SkillsFuture Singapore. (2022). Work-Study Programme Overview. Singapore: SkillsFuture SG.
  • UK Department for Education. (2021). T Level Action Plan. London: DfE.

Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Wednesday, September 17, 2025

Magang UMR untuk Lulusan Baru: Jembatan Menuju Karier atau Perangkap Upah Murah?

Setiap tahun, jutaan lulusan perguruan tinggi memasuki pasar kerja dengan semangat dan harapan tinggi. Namun, realitas dunia kerja sering kali menyajikan tantangan yang tidak sederhana. Salah satu strategi yang kini banyak diusulkan—baik oleh pemerintah maupun sektor swasta—adalah program magang berbayar dengan upah minimum (UMR). Di atas kertas, ini tampak seperti solusi: memberikan pengalaman kerja kepada lulusan baru sekaligus mengurangi pengangguran muda.

Namun, apakah benar demikian?

Antara Peluang dan Perangkap

Bagi lulusan baru, magang bisa menjadi entry point yang penting. Mereka memperoleh pengalaman kerja pertama, belajar keterampilan yang tidak diajarkan di bangku kuliah, membangun jejaring profesional, bahkan mendapat peluang untuk direkrut secara permanen. Dalam konteks dunia kerja yang semakin kompetitif, pengalaman seperti ini tentu bernilai.

Tetapi program magang UMR juga menyimpan risiko. Bila tidak dirancang dengan hati-hati, ia berpotensi menjadi bentuk baru dari underemployment—ketika seseorang bekerja di bawah kapasitas keterampilannya. Lulusan dengan gelar sarjana atau diploma bisa saja terjebak dalam putaran magang yang terus-menerus, dengan gaji minimum, tanpa kepastian karier jangka panjang.

Hal ini tidak hanya menurunkan harapan upah di kalangan muda, tetapi juga melemahkan posisi tawar mereka dalam pasar kerja. Dalam jangka panjang, ini bisa menciptakan “generasi magang permanen”—mereka yang selalu belajar, tetapi tidak pernah benar-benar dipekerjakan secara utuh.

Siapa yang Paling Menerima?

Program magang berbayar UMR cenderung banyak diterima di sektor-sektor berikut:

  • Retail dan hospitality (kasir, staf layanan)

  • Industri kreatif dan digital (konten, desain, admin media sosial)

  • Administrasi perkantoran (entry data, asisten)

  • NGO dan lembaga pemerintahan (penelitian, survei)

  • Logistik dan manufaktur ringan (staf gudang, operator)

Sektor-sektor ini umumnya padat karya, memiliki perputaran tenaga kerja yang tinggi, dan menyambut fleksibilitas tenaga kerja baru. Namun, jika praktik ini menggantikan posisi entry-level permanen, maka magang tidak lagi menjadi “jembatan”, tetapi menjadi bentuk outsourcing terselubung.

Dampaknya terhadap Keseimbangan Pasar Kerja

Dari kacamata ekonomi tenaga kerja, program ini bisa memengaruhi keseimbangan antara penawaran dan permintaan tenaga kerja. Ketika program magang UMR membuka kran suplai tenaga kerja murah:

  • Kurva penawaran tenaga kerja bergeser ke kanan (lebih banyak tenaga kerja tersedia)

  • Jika tidak dibarengi peningkatan permintaan kerja produktif, maka upah cenderung stagnan atau bahkan menurun

  • Pekerja tetap dengan upah layak bisa tergeser oleh tenaga kerja magang yang murah dan tidak bersuara

Ini adalah bentuk “cannibalization of the entry-level job market”—magang justru menggerus peluang kerja formal yang seharusnya menjadi target dari para lulusan baru itu sendiri.

Jalan Tengah: Desain Program yang Berkeadilan

Untuk menghindari jebakan tersebut, program magang berbayar UMR harus memenuhi prinsip-prinsip berikut:

  1. Berbasis waktu (time-bound): Ada batas durasi jelas dan tidak bisa diperpanjang seenaknya.

  2. Fokus pengembangan keterampilan: Magang bukan hanya “tenaga bantu”, tetapi juga proses pembelajaran.

  3. Jalur rekrutmen terbuka: Harus ada mekanisme yang memungkinkan magang diangkat menjadi pekerja tetap.

  4. Tidak menggantikan posisi pekerja tetap: Magang tidak boleh dipakai untuk menghindari kewajiban ketenagakerjaan formal.

  5. Dilindungi sistem jaminan sosial dasar: Termasuk BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan.

Penutup: Magang Bukan Solusi Instan

Di tengah tekanan angka pengangguran terdidik dan perubahan struktur ekonomi akibat digitalisasi dan krisis iklim, program magang bisa menjadi solusi jangka pendek. Namun, jika tidak dirancang dengan prinsip keadilan dan keberlanjutan, program ini bisa merusak struktur upah, menambah ketimpangan, dan menciptakan generasi muda yang rentan secara ekonomi.

Alih-alih sekadar mempermudah akses kerja, kita perlu memastikan bahwa setiap kerja—termasuk magang—adalah kerja yang layak, bermartabat, dan berjangka panjang.


Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Tuesday, September 09, 2025

Demografi, Gig Work, dan Tantangan Ketenagakerjaan di Era Revolusi Industri dan Society 5.0

Indonesia saat ini berada dalam fase strategis bonus demografi, di mana proporsi penduduk usia produktif (15–64 tahun) mencapai sekitar 70% dari total populasi. Fenomena ini diperkirakan mencapai puncaknya pada 2030-an dan menjadi peluang besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan produktivitas dan partisipasi tenaga kerja. Namun, setelah periode tersebut, struktur umur penduduk akan mengalami transisi menuju penuaan (aging population), yang ditandai dengan meningkatnya proporsi penduduk usia 65 tahun ke atas. Fenomena ini menjadi tantangan baru bagi sistem ketenagakerjaan dan perlindungan sosial Indonesia. Dengan demikian, penting untuk memahami bagaimana dinamika demografi ini berinteraksi dengan transformasi ekonomi yang sedang terjadi, khususnya dalam konteks Revolusi Industri 4.0 menuju 5.0 dan perkembangan paradigma sosial Society 5.0.

Revolusi industri telah mengalami beberapa fase penting. Revolusi Industri pertama ditandai oleh mekanisasi produksi dengan tenaga uap. Revolusi kedua muncul melalui elektrifikasi dan produksi massal. Revolusi ketiga menghadirkan otomasi dan teknologi informasi. Saat ini, kita memasuki Revolusi Industri 4.0 yang mengintegrasikan kecerdasan buatan, Internet of Things (IoT), big data, dan otomatisasi dalam sistem produksi dan pelayanan. Tahap berikutnya, yaitu Industri 5.0, membawa pendekatan kolaboratif antara manusia dan mesin (collaborative robots/cobots), serta menekankan pada keseimbangan antara efisiensi teknologi dan nilai-nilai sosial, seperti personalisasi dan keberlanjutan. Di tengah transformasi ini, muncul konsep masyarakat supercerdas atau Society 5.0, yang pertama kali diperkenalkan di Jepang sebagai visi peradaban masa depan yang mengintegrasikan teknologi canggih dalam seluruh aspek kehidupan, mulai dari ekonomi, pendidikan, hingga layanan sosial.

Transformasi ini mengubah secara fundamental struktur ketenagakerjaan. Salah satu manifestasi terpenting adalah munculnya sistem kerja modular dan ekonomi gig, yaitu model kerja berbasis proyek atau tugas jangka pendek yang difasilitasi oleh platform digital. Di Indonesia, ekonomi gig mulai tumbuh terutama di sektor transportasi daring dan jasa pengantaran, namun proporsinya terhadap total angkatan kerja masih relatif kecil. Meskipun demikian, kecenderungan global menuju kerja fleksibel, outsourcing, dan kerja berbasis platform menunjukkan bahwa bentuk organisasi kerja tradisional yang stabil dan jangka panjang mulai tergeser oleh pola yang lebih cair dan adaptif. Dalam konteks bonus demografi, generasi muda Indonesia (terutama Gen Z dan milenial) menjadi aktor utama dalam pola kerja baru ini, karena mereka lebih terbiasa dengan teknologi dan bersifat mobile. Namun, sistem kerja gig juga membawa risiko besar berupa tidak adanya kepastian pendapatan, ketiadaan perlindungan sosial, dan lemahnya posisi tawar pekerja di hadapan algoritma platform.

Di sisi lain, perkembangan Society 5.0 juga menuntut peningkatan kualitas sumber daya manusia yang mampu mengoperasikan dan berinovasi dengan teknologi mutakhir. Dalam masyarakat yang ditopang oleh sistem berbasis data dan kecerdasan buatan, literasi digital, keterampilan adaptif, dan kemampuan berpikir sistemik menjadi kompetensi inti. Sayangnya, ketimpangan akses terhadap infrastruktur digital dan pendidikan bermutu masih menjadi kendala besar di Indonesia, terutama antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Ketimpangan ini berpotensi memperdalam jurang antara kelompok yang mampu mengambil manfaat dari transformasi digital dengan mereka yang tertinggal.

Keterkaitan antara struktur demografi dan transformasi ketenagakerjaan ini menunjukkan bahwa bonus demografi hanya akan menjadi berkah jika disertai dengan reformasi struktural dalam bidang pendidikan, pelatihan kerja, dan infrastruktur digital. Dalam hal ini, negara memiliki peran penting tidak hanya sebagai fasilitator, tetapi juga sebagai penyedia inersia—yaitu penyangga sosial dan ekonomi yang dapat menstabilkan sistem dalam menghadapi perubahan cepat dan radikal. Pemerintah perlu memperkuat investasi dalam pendidikan vokasi berbasis kebutuhan industri masa depan, memperluas akses internet dan teknologi ke seluruh wilayah, serta membangun kerangka regulasi yang mampu melindungi pekerja fleksibel tanpa menghambat inovasi. Selain itu, sistem perlindungan sosial yang portabel dan inklusif menjadi krusial untuk memastikan keberlanjutan kesejahteraan tenaga kerja dalam konteks gig economy.

Lebih jauh lagi, kebijakan ketenagakerjaan dan fiskal harus diarahkan untuk merespons dualitas tantangan: yaitu menyerap kelebihan tenaga kerja muda saat ini dan mempersiapkan transisi menuju masyarakat menua dalam dua dekade mendatang. Ini mencakup penguatan jaminan hari tua, penciptaan lapangan kerja ramah usia lanjut, serta pengembangan layanan sosial yang didukung oleh teknologi seperti robotika perawatan dan sistem tele-health. Dengan pendekatan tersebut, Indonesia dapat menjembatani bonus demografi dan era aging dengan struktur ketenagakerjaan yang inklusif, tangguh, dan adaptif terhadap perubahan teknologi.

Sebagai kesimpulan, Indonesia berada di persimpangan penting antara peluang dan tantangan. Bonus demografi dan transformasi digital menghadirkan kemungkinan lompatan produktivitas, tetapi hanya jika dikelola dengan strategi holistik dan berbasis data. Revolusi industri dan Society 5.0 bukan hanya tentang teknologi, tetapi juga tentang manusia—bagaimana membangun sistem yang menjadikan teknologi sebagai alat untuk mencapai keadilan sosial, ketahanan ekonomi, dan kesejahteraan jangka panjang. Dalam konteks ini, pengembangan sumber daya manusia, perlindungan kerja yang adaptif, dan transformasi kelembagaan menjadi fondasi utama menuju Indonesia Emas 2045.


Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Friday, September 05, 2025

PHK: Keniscayaan Pasar atau Bisa Dicegah?

Setiap kali terjadi perlambatan ekonomi, berita PHK massal hampir selalu menghiasi media. Pemerintah pun kerap mengimbau pengusaha untuk menahan diri agar tidak melakukan PHK. Namun, pertanyaannya: apakah itu realistis jika dilihat dari teori ekonomi tenaga kerja?



Mengapa PHK Terjadi?

Dalam teori ekonomi, permintaan tenaga kerja adalah derived demand—turunan dari permintaan barang dan jasa. Artinya, perusahaan hanya akan mempekerjakan pekerja jika ada permintaan terhadap output yang dihasilkan.

Secara sederhana, perusahaan membayar upah sampai titik di mana:

Upah (W) = Nilai Produk Marjinal Pekerja (VMP).

Jika upah lebih tinggi daripada kontribusi pekerja dalam menghasilkan output, maka perusahaan menanggung kerugian. Karena itu, ketika permintaan barang menurun—misalnya akibat krisis—nilai produk marjinal pekerja juga menurun. Kurva permintaan tenaga kerja pun bergeser ke kiri, dan keseimbangan jumlah pekerja berkurang. Inilah mekanisme yang memicu PHK.


Apakah PHK Bisa Dihindari?

Secara teori, sulit bagi pengusaha untuk sepenuhnya menghindari PHK jika permintaan output menurun. Menahan pekerja melebihi titik keseimbangan pasar artinya perusahaan memikul biaya lebih besar dari yang bisa ditutupi oleh pendapatan.

Dengan kata lain, meminta pengusaha untuk tidak melakukan PHK tanpa mengubah kondisi pasar sama saja dengan menyuruh nelayan tetap melaut ketika laut sedang kering ikan. Secara bisnis, hal itu tidak rasional.


Peran Pemerintah

Namun, ini bukan berarti pemerintah tak bisa berbuat apa-apa. Kebijakan publik justru menjadi kunci untuk meredam dampak negatif:

  • Subsidi upah atau insentif pajak: membantu perusahaan mempertahankan pekerja.

  • Stimulus permintaan agregat: mendorong konsumsi sehingga permintaan output pulih.

  • Program reskilling dan upskilling: menyiapkan pekerja untuk sektor-sektor baru yang justru sedang tumbuh.

Dengan cara ini, beban tidak sepenuhnya diletakkan di pundak pengusaha, melainkan ditopang oleh kebijakan negara yang proaktif.


Kesimpulan

PHK memang sulit dihindari ketika permintaan menurun. Itu hukum pasar tenaga kerja. Namun, dengan intervensi kebijakan yang tepat, dampaknya bisa diminimalisir.

Jika pemerintah hanya berhenti pada imbauan “jangan PHK” tanpa solusi konkret, maka itu bukan kebijakan—itu ilusi.


Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved

Bonus Demografi atau Bencana Demografi? Tingginya Pengangguran Anak Muda di Indonesia

Kenapa tingkat pengangguran terbuka (TPT) anak muda Indonesia—usia 15–24 tahun—bisa mencapai tiga kali lipat dibanding kelompok umur lainnya? Pertanyaan ini semakin menggelitik ketika kita tahu bahwa pendidikan masyarakat Indonesia semakin tinggi, dengan makin banyak lulusan SMA, diploma, hingga sarjana. Gelar makin banyak, tapi pekerjaan justru makin sulit dicari.

Fenomena ini bukan sekadar angka. Ia menjadi cermin rapuhnya transisi sekolah–kerja di Indonesia, dan sekaligus menentukan apakah “bonus demografi” benar-benar menjadi bonus atau justru berubah menjadi beban.


Mengapa Pengangguran Muda Lebih Tinggi?

Secara teori, ada beberapa alasan mengapa pengangguran anak muda cenderung lebih tinggi:

  1. Transisi sekolah–kerja yang belum mulus

    Banyak pemuda baru lulus sekolah atau kampus, masih mencari pekerjaan pertama, dan karena itu lebih mudah tercatat sebagai penganggur.

  2. Minim pengalaman dan keterampilan non-teknis

    Pasar kerja sering menuntut “fresh graduate berpengalaman,” sebuah ironi yang menutup akses anak muda. Soft skills seperti komunikasi dan kerja tim justru menjadi penghalang nyata.

  3. Mismatch pendidikan–pekerjaan

    Ekspansi pendidikan menengah dan tinggi menaikkan aspirasi kerja. Namun, struktur ekonomi belum cukup menyediakan lapangan kerja formal dan produktif. Akibatnya, banyak lulusan menunggu pekerjaan “ideal,” yang memperpanjang masa menganggur.

  4. Preferensi kerja anak muda

    Generasi muda cenderung menolak pekerjaan kasar, bergaji rendah, atau di sektor pertanian. Aspirasi tinggi bertemu dengan realitas pasar kerja yang terbatas.

  5. Segmentasi pasar tenaga kerja

    Pekerjaan untuk pemula sering informal, kontrak pendek, atau bergaji rendah. Anak muda lebih rentan tersingkir dibanding mereka yang sudah mapan di pasar kerja.


Bonus Demografi: Pedang Bermata Dua

Indonesia sedang menikmati bonus demografi: proporsi penduduk usia produktif meningkat pesat. Secara teori, ini adalah kesempatan emas untuk pertumbuhan ekonomi. Namun, bila tenaga muda tidak terserap ke dalam pekerjaan yang produktif, justru muncul fenomena youth bulge unemployment—ledakan jumlah pengangguran muda yang berpotensi menjadi beban sosial-ekonomi.

Di sinilah letak paradoksnya: pendidikan meningkat, tetapi industrialisasi dan penciptaan lapangan kerja berkualitas tidak sejalan. Hasilnya adalah frustrasi kolektif di kalangan anak muda—sebuah tanda alarm bahwa bonus demografi bisa meleset arah.


Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah?

Untuk mengantisipasi risiko ini, ada beberapa kebijakan yang mendesak dilakukan:

  1. Mempercepat transisi sekolah–kerja

    • Perkuat link & match antara dunia pendidikan dengan industri.

    • Jadikan program magang nyata, bukan sekadar formalitas.

    • Bangun career centre di sekolah dan kampus yang benar-benar aktif mendampingi.

  2. Mendorong penciptaan kerja berkualitas

    • Fokus pada industrialisasi berbasis green economy dan digital economy.

    • Beri insentif pada sektor padat karya formal.

    • Fasilitasi wirausaha muda dan startup agar bisa menyerap tenaga kerja baru.

  3. Meningkatkan sistem pelatihan & reskilling

    • Balai Latihan Kerja (BLK) dan kursus vokasi harus relevan dengan permintaan pasar.

    • Latih anak muda untuk green jobs, digital jobs, dan care jobs yang potensial di masa depan.

  4. Memperluas perlindungan sosial yang adaptif

    • Banyak anak muda terjebak di pekerjaan kontrak, paruh waktu, atau gig economy.

    • Butuh jaminan sosial inklusif dan portable, yang mengikuti pekerja, bukan status kontrak.

  5. Memperbaiki cara ukur & pantau kerja muda

    • Jangan hanya melihat TPT dan formalitas.

    • Perlu data lebih kaya: waktu tunggu kerja, underemployment, unpaid work, hingga aspirasi kerja, agar kebijakan lebih sesuai realitas.


Penutup

Fenomena pengangguran muda bukan sekadar persoalan statistik. Ia adalah penentu arah apakah Indonesia benar-benar mampu memetik dividen demografi atau justru terjebak dalam liabilitas demografi.


“Bonus demografi itu bukan soal banyaknya anak muda, tapi soal apakah kita bisa memberikan mereka pekerjaan yang bermakna. Tanpa itu, bonus berubah menjadi beban.”

Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved