Indonesia saat ini berada dalam fase strategis bonus demografi, di mana proporsi penduduk usia produktif (15–64 tahun) mencapai sekitar 70% dari total populasi. Fenomena ini diperkirakan mencapai puncaknya pada 2030-an dan menjadi peluang besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan produktivitas dan partisipasi tenaga kerja. Namun, setelah periode tersebut, struktur umur penduduk akan mengalami transisi menuju penuaan (aging population), yang ditandai dengan meningkatnya proporsi penduduk usia 65 tahun ke atas. Fenomena ini menjadi tantangan baru bagi sistem ketenagakerjaan dan perlindungan sosial Indonesia. Dengan demikian, penting untuk memahami bagaimana dinamika demografi ini berinteraksi dengan transformasi ekonomi yang sedang terjadi, khususnya dalam konteks Revolusi Industri 4.0 menuju 5.0 dan perkembangan paradigma sosial Society 5.0.
Revolusi industri telah mengalami beberapa fase penting. Revolusi Industri pertama ditandai oleh mekanisasi produksi dengan tenaga uap. Revolusi kedua muncul melalui elektrifikasi dan produksi massal. Revolusi ketiga menghadirkan otomasi dan teknologi informasi. Saat ini, kita memasuki Revolusi Industri 4.0 yang mengintegrasikan kecerdasan buatan, Internet of Things (IoT), big data, dan otomatisasi dalam sistem produksi dan pelayanan. Tahap berikutnya, yaitu Industri 5.0, membawa pendekatan kolaboratif antara manusia dan mesin (collaborative robots/cobots), serta menekankan pada keseimbangan antara efisiensi teknologi dan nilai-nilai sosial, seperti personalisasi dan keberlanjutan. Di tengah transformasi ini, muncul konsep masyarakat supercerdas atau Society 5.0, yang pertama kali diperkenalkan di Jepang sebagai visi peradaban masa depan yang mengintegrasikan teknologi canggih dalam seluruh aspek kehidupan, mulai dari ekonomi, pendidikan, hingga layanan sosial.
Transformasi ini mengubah secara fundamental struktur ketenagakerjaan. Salah satu manifestasi terpenting adalah munculnya sistem kerja modular dan ekonomi gig, yaitu model kerja berbasis proyek atau tugas jangka pendek yang difasilitasi oleh platform digital. Di Indonesia, ekonomi gig mulai tumbuh terutama di sektor transportasi daring dan jasa pengantaran, namun proporsinya terhadap total angkatan kerja masih relatif kecil. Meskipun demikian, kecenderungan global menuju kerja fleksibel, outsourcing, dan kerja berbasis platform menunjukkan bahwa bentuk organisasi kerja tradisional yang stabil dan jangka panjang mulai tergeser oleh pola yang lebih cair dan adaptif. Dalam konteks bonus demografi, generasi muda Indonesia (terutama Gen Z dan milenial) menjadi aktor utama dalam pola kerja baru ini, karena mereka lebih terbiasa dengan teknologi dan bersifat mobile. Namun, sistem kerja gig juga membawa risiko besar berupa tidak adanya kepastian pendapatan, ketiadaan perlindungan sosial, dan lemahnya posisi tawar pekerja di hadapan algoritma platform.
Di sisi lain, perkembangan Society 5.0 juga menuntut peningkatan kualitas sumber daya manusia yang mampu mengoperasikan dan berinovasi dengan teknologi mutakhir. Dalam masyarakat yang ditopang oleh sistem berbasis data dan kecerdasan buatan, literasi digital, keterampilan adaptif, dan kemampuan berpikir sistemik menjadi kompetensi inti. Sayangnya, ketimpangan akses terhadap infrastruktur digital dan pendidikan bermutu masih menjadi kendala besar di Indonesia, terutama antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Ketimpangan ini berpotensi memperdalam jurang antara kelompok yang mampu mengambil manfaat dari transformasi digital dengan mereka yang tertinggal.
Keterkaitan antara struktur demografi dan transformasi ketenagakerjaan ini menunjukkan bahwa bonus demografi hanya akan menjadi berkah jika disertai dengan reformasi struktural dalam bidang pendidikan, pelatihan kerja, dan infrastruktur digital. Dalam hal ini, negara memiliki peran penting tidak hanya sebagai fasilitator, tetapi juga sebagai penyedia inersia—yaitu penyangga sosial dan ekonomi yang dapat menstabilkan sistem dalam menghadapi perubahan cepat dan radikal. Pemerintah perlu memperkuat investasi dalam pendidikan vokasi berbasis kebutuhan industri masa depan, memperluas akses internet dan teknologi ke seluruh wilayah, serta membangun kerangka regulasi yang mampu melindungi pekerja fleksibel tanpa menghambat inovasi. Selain itu, sistem perlindungan sosial yang portabel dan inklusif menjadi krusial untuk memastikan keberlanjutan kesejahteraan tenaga kerja dalam konteks gig economy.
Lebih jauh lagi, kebijakan ketenagakerjaan dan fiskal harus diarahkan untuk merespons dualitas tantangan: yaitu menyerap kelebihan tenaga kerja muda saat ini dan mempersiapkan transisi menuju masyarakat menua dalam dua dekade mendatang. Ini mencakup penguatan jaminan hari tua, penciptaan lapangan kerja ramah usia lanjut, serta pengembangan layanan sosial yang didukung oleh teknologi seperti robotika perawatan dan sistem tele-health. Dengan pendekatan tersebut, Indonesia dapat menjembatani bonus demografi dan era aging dengan struktur ketenagakerjaan yang inklusif, tangguh, dan adaptif terhadap perubahan teknologi.
Sebagai kesimpulan, Indonesia berada di persimpangan penting antara peluang dan tantangan. Bonus demografi dan transformasi digital menghadirkan kemungkinan lompatan produktivitas, tetapi hanya jika dikelola dengan strategi holistik dan berbasis data. Revolusi industri dan Society 5.0 bukan hanya tentang teknologi, tetapi juga tentang manusia—bagaimana membangun sistem yang menjadikan teknologi sebagai alat untuk mencapai keadilan sosial, ketahanan ekonomi, dan kesejahteraan jangka panjang. Dalam konteks ini, pengembangan sumber daya manusia, perlindungan kerja yang adaptif, dan transformasi kelembagaan menjadi fondasi utama menuju Indonesia Emas 2045.