Setelah membaca berita tentang tragedi yang menyebabkan 21 Orang Tewas Saat Pembagian Zakat, aku jadi berpikir bagaimana cara yang efektif memberi "bantuan" (baca: amal) kepada fakir miskin?
Sebelumnya, aku memiliki hitung-hitungan sederhana sebagai berikut:
Aku membayangkan jika seorang individu setengah kaya dan atau kaya raya, bersedia memberi "bantuan" (baca: amal) sebesar Rp. 500,- per hari.
Jika aku asumsikan, individu tersebut "membantu" setiap hari kerja, maka dalam satu bulan jumlah total bantuan yang bisa dikumpulkan adalah:
Rp.500,- x 20 hari kerja/bulan = Rp. 10.000,-.
Kemudian, sekarang kita bayangkan jika dalam satu komunitas RT atau RW bersedia membantu sejumlah tersebut. Jika aku mengasumsikan lagi, dalam satu RT atau RW ada 30 KK (kepala keluarga) saja yang bersedia membantu, maka total dana yang terkumpul menjadi:
Rp.10.000,- x 30 KK = Rp. 300.000,-
Jika saja setiap bulan kita bisa mengumpulkan dana tersebut, kemudian bandingkan dengan jumlah amal yang ingin dibagikan. Jika setiap fakir miskin menerima Rp. 30.000,- per orang, maka dengan mekanisme pengumpulan di atas, kita bisa membantu sebanyak:
10 orang fakir miskin.
Jika mereka menerima Rp. 20.000,- per orang, maka kita bisa membantuk sebanyak:
15 orang fakir miskin.
Dan yang penting adalah jika kita melakukannya secara berkala setiap bulannya, maka kita bisa membantu fakir miskin setiap bulannya. Jika jumlah bantuannya ditingkatkan hingga maksimal Rp.1.000,-, kita bisa melakukan 'trade-off': apakah menambah jumlah dana bantuan per orangnya atau menambah jumlah orang yang ingin dibantu.
Perhitungan yang kubuat ini tidak untuk muluk-muluk yang berambisi membantu seluruh fakir miskin di satu kabupaten atau kecamatan. Melainkan, untuk membantu fakir miskin secara berkelanjutan di lingkungan terdekat kita - misalnya RW atau Kelurahan dan yang penting bukan hanya saat hari raya saja. Cara membagikannya pun lebih tepat sasaran, karena yang kita berikan jelas-jelas warga yang kita lihat dan - mungkin - kenal. Jadi, bukan sekedar amal untuk mengejar surga sehari saja. Jika pola penggalangan dana ini dilakukan, maka beberapa manfaat yang bisa diambil adalah:
1. Lebih transparan dan mudah dikelola
Dengan jumlah dana yang tidak terlalu besar, maka mudah bagi kita untuk mengawasi dan mengelolanya. Tidak perlu banyak orang untuk mengatur pembagian uangnya, dan bisa menggunakan mekanisme rapat warga atau berkeliling ke rumah warga yang layak menerimanya. Tidakkah itu lebih mudah verifikasinya?
2. Lebih berdampak kohesif bagi masyarakat
Dengan mekanisme demikian, warga masyarakat menjadi tahu dan mengenal lingkungannya. Pengetahuan tersebut bukan hanya sekedar administratif atau kewilayahan, tetapi juga secara sosial. Warga jadi mengenal siapa saja 'saudara' se-lingkungan yang memang membutuhkan bantuan karena kondisi mereka yang kronis.
3. Tidak perlu lembaga besar dan jauh lebih berkelanjutan (sustainable)
Karena lebih mudah dikelola, maka tidak perlu dibentuk badan atau lembaga khusus yang mengumpulkan dana tersebut. Dengan sistem yang sederhana ini, maka keberlanjutannya ada di tangan warga masing-masing. Jika memang masih merasa ingin membantu, maka terus dijalankan. Bahkan, tidak menutup kemungkinan cakupannya diperluas jika memang ada yang perlu dibantu tapi diluar skema bantuan yang ada.
Pertanyaan yang penting kemudian, siapa saja yang harus dibantu dengan memberikan bantuan tunai seperti ini? Berikut ini adalah kriteria yang bisa kuusulkan yang paling sederhana dan paling membutuhkan:
1. Janda berumur di atas 45 tahun yang memiliki anak usia sekolah SD, SMP atau SMA dan tidak memiliki pekerjaan tetap dan tidak memiliki modal usaha.
Kalau Anda membaca karakterisik 21 korban tewas saat pembagian amal tersebut, mayoritas adalah kelompok tersebut. Cobalah Anda perhatikan, adakah kelompok masyarakat tersebut di lingkungan Anda? Jika ada dan cukup banyak, cobalah berpikir mengapa tidak mulai mencoba membantu mereka?
2. Anak-anak usia sekolah SD, SMP atau SMA dari keluarga yang orang tuanya tidak memiliki pekerjaan tetap, atau orang tuanya cacat.
Kelompok ini merupakan prioritas yang harus dibantu dalam konteks untuk terus melangsukan pendidikan mereka agar kelak mereka bisa keluar dari perangkap kemiskinan yang dialami oleh orang tua mereka. Kelompok ini tidak bisa dibantu hanya dengan "amal" sekali setahun.
Sekali lagi, cara "membantu" kaum fakir miskin yang kuusulkan tersebut bukan untuk sekedar "beramal" dalam rangka merayakan hari raya. Cara tersebut kupikir merupakan cara yang paling "harus" dibandingkan sekedar menjalankan "perintah agama". Membantu seharusnya bukan hanya "tanpa pamrih" namun juga memenuhi azas "manfaat" yang jelas. Jika kita hanya membantu sekali setahun, maka belum tentu tahun depan kita bisa membantu mereka lagi. Mengapa demikian? Karena mungkin mereka sudah meninggal karena kelaparan atau penyakit sehari setelah mereka menikmati uang amal tersebut. Dan yang penting, anak atau cucu mereka mewarisi 'keegoisan' kita yang hanya mau membantu sekali setahun tersebut.
No comments:
Post a Comment