Thursday, January 06, 2005

Ketika...

Ketika aku berjanji pada angin musim dingin untuk tabah melewati kerasnya hari, aku tidak menyangka bahwa aku akan ada di situasi seperti sekarang ini. Sepi seakan tak putus mengurung, mendekap erat, memetakan setiap jengkal tubuhku dan perlahan mengikis jiwaku. Setiap akhir pekan, aku bagai menuai nelangsa... Mengukur setiap sudut ruangan, meski sudah pasti tak akan berubah setelah sekian purnama aku menempatinya. Sudah berkali entah berapa, jalan melepas selimut debu putihnya berganti kerikil-kerikil keras nan basah oleh lelehan air beku itu. Tak ada lagi tapak-tapak bercampur baur menciptakan garis di lapang luas seolah menunjukkan betapa janji dan hidup tak pernah linier. Betapa pun kukatakan aku tabah, tetap saja setiap senja aku menunggu gelap datang agar segera menelan jeritan sepiku.

Ketika rasa itu belum sedikit pun berkurang, aku pun merasa sia dalam usaha. Apa yang kubuat tak pernah bisa berdaya menjadi gemilang. Aku terus menciptakan kesalahan, dan tak satu pun upayaku jadi bernilai. Aku tak tahu harus bercerita bagaimana, ketika yang kudengar selalu betapa aku tak mampu... memberi apa pun, menyemangati, menunjukkan bukti, segera cepat, dan masih banyak lagi kealpaan yang terus menerus jadi bagian diriku tanpa ada satu pun yang boleh kuanggap buah upayaku. Ketika itu, aku merasa tak pernah berusaha.

Ketika kegagalan demi kegagalan ku telan, siapakah yang mau mendengar? Tak tahu pula pada siapa aku mohon didengar. Namun, kulihat itu bukanlah kegagalanku melainkan kecewanya karena kealpaanku. Aku menyesal, dan aku berusaha berubahnya. Aku tak putus semangat, maka kucoba lagi dan kucoba lagi. Meski pasti aku bagai keledai dungu yang sesekali masih terperosok ke lubang yang sama, tapi aku berusaha mengingat bilakah aku menemui lubang tersebut. Namun, mungkin upaya mengingat lubang itu tidaklah penting baginya karena sekali jadi keledai maka hanya kasihan yang layak untuk kesalahanku.

Ketika segala yang kuperbuat terlupakan... Iya, terlupakan maka yang boleh diingat hanyalah kesalahan dan kegagalan. Tak ketinggalan keburukan dan kelemahan. Aku tak pernah ingin menggali kesombongan akan keberhasilan, namun secuil apresiasi bolehlah kujadikan acuan agar yang baik dan benar bisa berulang dari usahaku. Namun, bilakah itu ada di matanya?

Ketika kata-kata cinta masih ingin kuucapkan lantang melewati benua dan samudera luas, aku kian merasa tenggelam dalam nista. Cinta tak pernah mengenal kasih dalam narasiku, melainkan air mata karena tangis bukan karena bahagia. Meski terdengar aku tak mengucapkannya lagi, jauh di dalam lubuk hati masih keras kugemakan kata-kata cinta dan sayang baginya meski tak pernah disambut tulus mengurai dalam jelmaan sebait kata-kata atau sekedar senyum dan tangis bahagia.

Ketika itu semua, aku hanya boleh mengucap syukur dan doa harap... agar segalanya jadi kian lebih baik, tak perlu lah keadaanku yang demikian.

No comments: