Penulis menyajikan opini dan argumen yang menarik terkait
dengan aksi membakar diri yang dilakukan oleh Sondang Hutagalung di depan Istana Presiden beberapa waktu lalu. Di bagian awal tulisan, Penulis
menyampaikan beberapa pengalaman aksi membakar diri sebagai cara perlawanan
terhadap rezim politik tertentu di Vietnam, Ceko, Jerman Timur dan Tunisia.
Penulis kemudian mengaitkan aksi membakar diri dengan bunuh diri dan memaparkan
argumen-argumen bunuh diri dari sudut pandang agama. Di dalam paparan dari aspek-aspek
keagamaan inilah terdapat kesalahan yang mendasar dan perlu dikoreksi.
Kesalahan serius yang dilakukan oleh penulis
terdapat pada kalimat:
"Hinduisme dan Jainisme mempropagandakan bunuh diri mistis. Eksistensi individu tidak diakui dan hidup duniawi dianggap penderitaan. Kematian berarti pembebasan."
Kesalahan kalimat pertama di atas adalah karena
tidak pernah ada satu kalimat pun dalam kitab suci Hindu yang secara langsung
atau tidak langsung ‘mempropagandakan’ (membolehkan?) umat Hindu untuk bunuh
diri. Kalimat kedua dan ketiga mengandung kesalahan yang lebih mendasar dan
fatal karena mengaburkan dua konsep berbeda dalam filosofi ajaran Hindu yang
tidak terkait sama sekali dengan pembolehan atau dukungan atas aksi bunuh diri.
Jika membaca atau merujuk dari pustaka-pustaka
Hindu yang sahih khususnya tentang dalil hukum dalam agama Hindu, maka diuraikan
bahwa eksistensi individu yang “fana” (bukan ‘tidak diakui’) sangat terkait
dengan filosofi moksa. Sedangkan hidup duniawi dianggap penderitaan dan
kematian berarti pembebasan terkait dengan ajaran ‘reinkarnasi’ dan ‘karma’.
Ketiga filosofi dan ajaran tersebut tidak pernah digunakan sebagai dalil untuk
mendukung aksi bunuh diri dan ketiganya tidak pernah digunakan sebagai ajaran
yang ‘mempropagandakan’ bunuh diri – apapun jenis bunuh dirinya. Dengan kata
lain, Hindu tidak pernah mendukung atau mengajarkan apalagi ‘mempropagandakan’
tindakan bunuh diri jenis apa pun dengan menggunakan argumen-argumen tersebut kepada
umat Hindu khususnya pun umat manusia di jagad raya ini pada umumnya. Itulah
sebabnya pernyataan yang ditulis oleh penulis di atas salah dan sangat menyesatkan!
Kalimat tersebut di atas tidak jelas bersumber atau
dirujuk dari mana. Penulis hanya menyebutkan bahwa ia menggunakan sumber pustaka
yang dikutip dari Èmile Durkheim. Diduga bahwa rujukan utama – dan satu-satunya
– bagi penulis di opini ini berasal dari karya lawas Èmile Durkheim yang
berjudul Suicide (Perancis: Le Suicide,
1897). Di buku tersebut, Durkheim mengobservasi angka bunuh diri dan perilaku
di kalangan masyarakat Kristen Protestan dan Katolik di Eropa. Dia menyimpulkan
bahwa angka kasus bunuh diri yang rendah di kalangan masyarakat Katolik
disebabkan oleh kontrol sosial yang kuat. Meskipun karya Durkheim ini termasuk
rujukan pertama dan utama tentang bunuh diri, tidak sedikit kritik yang
disampaikan atas pendekatan dan penarikan kesimpulan yang dilakukannya.
Terlepas dari masalah dan kritik dalam pendekatan
yang digunakan oleh Durkheim dalam bukunya tersebut, pernyataan bahwa Hindu
‘mempropagandakan’ bunuh diri yang disimpulkan oleh penulis setelah membaca Suicide tidak memiliki kesahihan. Bukannya
berhati-hati dalam mengutip dan memenggal argumen Durkheim yang fokus pada
fenomena bunuh diri di tengah masyarakat Kristen Eropa, penulis malah
memaksakan keterkaitan fenomena tersebut dengan situasi yang terjadi di tengah
masyarakat penganut Hindu khususnya dengan menggunakan tradisi Sati di India sebagai argumen
pendukung. Padahal, praktek Sati sudah lama ditentang dan kemudian dilarang
oleh Pemerintah dan masyarakat di India.
Lakshmi Vijayakumar dalam artikel ilmiah untuk
Archives of Suicides Research yang berjudul “Altruistic Suicide in India” tahun
2004 menjelaskan aspek-aspek bunuh diri altruistis dan praktek Sati dan Jauhar yang
tidak sesuai dengan aturan hukum yang ada di India. Vijayakumar juga menggunakan
karya Durkheim sebagai referensi. Ini menunjukkan bahwa selain penggunaan
karya besar Durkheim secara tidak tepat tentang Hindu dan aksi bunuh diri,
penulis juga menggunakan bukti dan argumen yang sudah tidak sesuai dengan
situasi terkini dan sudah disanggah oleh kajian-kajian ilmiah terbaru. Dengan
kata lain, argumen yang disajikan dalam artikel tersebut salah dan harus
dikoreksi.
Kesalahan
serius yang dilakukan penulis ini bisa dihindari jika saja Editor Harian Kompas
yang memuat artikel tersebut mampu membaca keseluruhan teks yang ditulis dengan
lebih jeli. Namun, Editor seperti tidak mampu melihat sensitifitas dan kesahihan
argumen yang digunakan oleh si penulis serta lebih fokus hanya pada sensasi
tema yang ditawarkan penulis. Hal ini sungguh
patut disesalkan mengingat Harian Kompas selama ini dikenal luas oleh
masyarakat baik di dalam maupun di mancanegara sebagai salah satu suratkabar berkualitas.
Kiranya Harian Kompas masih tetap ingin dan perlu menjaga kualitas jurnalisme
dan menjaga kualitas tulisan-tulisan yang dimuat agar sesuai dengan kaidah
penulisan yang tepat, argumentatif dan jelas.
Demikian kiranya agar Redaksi/Editor Harian Kompas dapat memperhatikan kesalahan ini. Terima kasih atas perhatian dan tanggapannya.
Canberra, 3 Januari 2012
No comments:
Post a Comment