Thursday, July 28, 2011

dukung & pilih Bang Faisal untuk DKI 1


DKI 1 adalah istilah untuk jabatan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Dan tahun 2012 yang akan segera datang, pemilihan DKI 1 periode berikutnya akan dilangsungkan. Saat ini bursa calon pemimpin Ibukota ini sudah mulai bermunculan. Dan yang membuat pemilihan kali ini akan menjadi sangat menarik dan penting adalah mulai hadirnya calon-calon dari kubu independen alias tanpa dukungan partai politik. Apa menarik dan pentingnya calon independen ini?

Menurut saya, calon independen menjadi kian dibutuhkan sebagai sebuah upaya mendewasakan proses demokrasi di Indonesia yang saat ini masih sangat dimonopoli oleh partai-partai dengan berbagai kepentingannya. Tidak hanya soal kepentingan yang diusung oleh masing-masing partai, berbagai "transaksi politik" yang kerap dilakukan oleh para pengurus dan petinggi partai membuat demokrasi yang hanya mengandalkan pada institusi partai menjadi sarat unsul manipulasi, korupsi, dan tidak memberi hasil maksimal. Masyarakat awam sudah sadar dan kian mampu melihat betapa kinerja partai politik dan para jajaran pengurus serta elitnya cenderung sibuk mempertahankan diri dari gempuran kebobrokan yang mereka lakukan sendiri dan atau menyerang partai-partai lawannya sebagai upaya menduduki kursi kekuasaan. Singkat kata, calon pemimpin dari partai politik selalu dihadapkan pada situasi pertarungan politik sehingga tidak akan mampu secara maksimal bekerja sebagaimana seharusnya seorang pemimpin. Untuk itulah, mengedepankan dan mendukung serta memilih calon independen patut dicoba sebagai upaya mengembalikan demokrasi dan peran pemerintahan yang seharusnya.

Ada berbagai alasan lainnya yang membuat calon independen menjadi penting untuk kita perhatikan. Masyarakat pemilih juga pasti punya alasan-alasan lain yang tidak perlu senada. Menurut kabar, saat ini sudah ada tiga bakal calon independen yaitu: Faisal Basri, Adhyaksa Dault, dan Eep S. Fatah.

Dari ketiga bakal calon tersebut, saya tahu dengan baik sosok calon independen yang pertama: Faisal Basri. Beliau adalah dosen dan senior saya di FEUI. Semua orang di FEUI tahu betul bagaimana sepak terjang beliau, baik sebagai dosen, ketua jurusan hingga saat ini. Sepak terjang yang dimaksud di sini adalah bagaimana konsistennya beliau sebagai seorang individu antara perkataan dan perbuatannya. Beliau juga memiliki idealisme yang tinggi dan mampu mempertahankan idealisme tersebut.

Saya ingat betul, sosok Faisal Basri di FEUI sebagai dosen dan kepala jurusan (kajur) Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (IESP) pada saat saya pertama kali kuliah di FEUI. Beliau sangat sederhana, selalu membawa tas punggung (backpack) dan - ini yang unik - beliau dulu selalu mengenakan sandal gunung, padahal dosen-dosen lain hampir selalu mengenakan sepatu kerja yang lebih formal. Dari yang saya dengar lewat teman-teman dan senior-senior lain yang sering berinteraksi langsung dengan beliau, Bang Faisal (demikian kita di FEUI memanggil beliau) juga individu yang mumpuni di bidangnya dan sangat kritis. Kita bisa melihat dari tulisan-tulisan beliau di berbagai media cetak di Indonesia.

Bang Faisal sudah memulai langkah pertama untuk maju sebagai calon DKI 1. Saat ini beliau membutuhkan dukungan awal dari kita semua agar bisa lolos untuk maju dalam bursa pemilihan. Dengan "kejam dan egois"-nya sistem kepartaian yang saat ini dianut dan didukung oleh semua partai politik, langkah awal ini akan tampak berat dan mustahil. Namun, dengan bantuan, dukungan dan partisipasi kita semua niscaya proses demokrasi yang lebih adil, fair dan berkualitas akan mampu diwujudkan. Bang Faisal juga sudah mulai menawarkan program kerja yang akan dijalankan jika beliau terpilih.

Untuk itu, "AYO DUKUNG DAN PILIH!" Faisal Basri untuk DKI 1!
Enhanced by Zemanta

Tuesday, July 19, 2011

forget about the test, just educate!

Perhaps you already aware about 'cheating scandal' in Indonesian national exams very recently. (see the news in Indonesian here and here, or in English is here). The irony is still persist and even stronger, I believe. While the Ministry of Education indirectly denied such wide spread phenomenon, it already taken into a next level of undeniably a collective action in some society in Indonesia. The case of Al and his mother Siami in Gresik, East Java is probably only one in many cases that eventually exposed in public, yet it seems not making the authority change their mind or even curious with the situation.

Despite of all facts or arguments regarding the cheating case, I believe we need to start to change our question a little bit further back. You maybe try so hard to find out the way to avoid cheating or looking for something as an incentive to increase honesty or kejujuran (the Ministry of education use this term, but I really hate it!). Instead, I prefer what Dan Ariely conclude in his article about teachers cheating and incentives:
"Maybe it is time to think more carefully about how we want to educate in the first place, and stop worrying so much about tests"
In other words, we forgot why we send those kids to school since it seems that now we tell them to go to school to pass the minimum score exam and just obtain the diploma. We never tell them why they need to read, to learn or even to play... Poor Indonesian children.
Enhanced by Zemanta

Thursday, July 14, 2011

revisi "kutukan sumber daya"

Catatan kecil ini diawali dari artikel yang berjudul "The Myth of the Resource Curse" oleh Gavin Wright dan Jesse Czelusta yang dimuat di Challenge Maret/April 2004 silam. Ada kutipan menarik yang sudah dikutip sebelumnya di blog Cafe Hayek sebagai berikut:
There is good reason to reject the notion that American industrialization should be somehow discounted because it emerged from a setting of unique resource abundance: On close examination, the abundance of American resources should not be seen as merely a fortunate natural endowment. It is more appropriately understood as a form of collective learning, a return on large-scale investments in exploration, transportation, geological knowledge, and the technologies of mineral extraction, refining, and utilization.
Wright dan Czelusta jelas mendukung klaim yang pernah diajukan oleh Julian Simon dalam makalahnya yang berjudul The Ultimate Resource (1981 & 1996). Keduanya mengamini argumen Simon yang didukung data dari berbagai catatan empiris. Keduanya berpendapat bahwa ukuran dan besarnya suatu modal sumber daya (endowments) selalu berubah-ubah dan lebih ditentukan oleh kemampuan manusianya dalam menemukan, mengelola, dan memanfaatkannya. Dalam bahasa ekonomi, besaran modal sumber daya alam dan mineral merupakan fungsi dari kualitas sumber daya manusia. Ini berarti bahwa manusia adalah sumber daya yang 'utama', bukan berbagai mineral dan kandungan alam yang terkubur di dalam tanah. Mineral dan kandungan tersebut baru menjadi sumber daya hanya setelah melalui proses kreativitas, pilihan-pilihan dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan manusia. Lalu apa kaitannya dengan Indonesia?

Pendapat umum dan keyakinan sebagian besar masyarakat Indonesia (yang ditanamkan lewat doktrin, pendidikan, dan sebagainya sedari kecil hingga dewasa) menyatakan bahwa Indonesia adalah bangsa yang kaya raya karena kandungan alam dan tambang serta mineral di dalamnya. Hal tersebut benar namun tidak lengkap dan belum tuntas untuk menjawab persoalan bangsa. Menurut saya, Indonesia harus mulai mengubah pendapat dan keyakinan tersebut karena sebenarnya Indonesia memiliki sumber daya yang jauh lebih 'utama' yaitu manusia. Dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia dan karakteristik yang sangat beragam, sudah saatnya kita menggali konsep yang diajukan oleh Julian Simon.

Indonesia perlu mengembangkan potensi manusianya yang begitu besar. Upaya mengembangkan potensi manusia tersebut bisa dilakukan dengan banyak cara yang tidak tergantung pada teknologi saja dan atau peran dan bantuan bangsa-bangsa lain. Wright dan Czelusta menjelaskan pengalaman berbagai negara di dunia saat menanggapi temuan atas sumber daya mineral khususnya minyak. Semua pengalaman tersebut bermuara pada berbagai upaya untuk membuat manusia-manusia di negara-negara tersebut mampu dan terus mengembangkan diri mereka ketika mereka menemukan sumber daya alam minyak. Hal ini berarti negara tersebut tidak hanya ingin mengambil (sekedar 'menerima') manfaat dan nilai tambah dari sumber daya alam tersebut namun juga (ikut 'berpartisipasi') menciptakan manfaat dan nilai tambah baru lewat kualitas sumber daya manusianya.

Contoh yang diuraikan dalam artikel tersebut misalnya bagaimana Norwegia ketika pertama kali menemukan minyak pada tahun 1969. Setelah mendirikan perusahaan minyak negara dengan nama Statoil pada tahun 1973, Norwegia juga berkonsentrasi dan berinvestasi dibidang ilmu pengetahuan untuk mengembangkan teknik perminyakan (petroleum engineering) lewat institusi pendidikan misalnya di Norwegian Technical University dan Rogalan Regional College. Hasilnya, mereka secara perlahan tapi pasti mengubah paradigma dari "berkompetensi menerima" menjadi "berkompetensi partisipasi". Seperti dikutip di halaman 22:
As a result of [focusing on advance exploration techniques] approach, forecasts of impending depletion have been repeatedly overturned and reserve estimates adjusted. In effect, these advances in technology and in the infrastructure of knowledge have extended the quantity of Norway's petroleum reserves, and they have allowed Norwegians to participate in the process as well-paid professionals, not just as passive recipients of windfall economic rents.
Beberapa negara serupa yang berhasil dan kini menjadi negara maju selalu menunjukkan respon yang senada yaitu meningkatkan peran manusia ketika "durian runtuh" dari sumber daya alam terjadi. Inilah sebabnya Indonesia harus mulai berhenti mengagungkan betapa kaya akan sumber daya alam, dan mulai beralih untuk membuktikan bahwa Indonesia jauh lebih kaya akan sumber daya manusia. Jangan sampai malahan Indonesia membuktikan bahwa sesungguhnya juga mengalami "kutukan sumber daya" selain pada sumber daya alam melainkan juga sumber daya manusia.

Tuesday, July 05, 2011

perlukah manual bahasa Indonesia?


Berita tentang penangkapan penjual iPad di Indonesia beberapa waktu lalu cukup mengherankan. Para penjual iPad tersebut ditangkap dengan dakwaan menjual produk tanpa buku manual bahasa Indonesia. Hal tersebut membuat pertanyaan salahkah menjual produk tanpa manual bahasa Indonesia menjadi wajar dan harus dijawab dengan jelas namun tetap kritis. Tapi yang harus kita jawab sebelum menjawab salah atau benar adalah seberapa perlukah manual berbahasa Indonesia untuk setiap produk?

Anda pasti akan menjawab PERLU! Mengapa? Pasti alasannya sangat sederhana: agar kita bisa menggunakan produk yang kita beli atau miliki sesuai dengan fitur dan kegunaannya. Selain itu, manual dengan bahasa yang dimengerti tentu akan membuat kita mampu menghindari kesalahan ketika menggunakan produk tersebut dan pada gilirannya menghindari kita dari gagal klaim atas jaminan purna jual (after sales product warranty) yang baku tersedia dari setiap penjualan.

Jika semua hal yang PERLU tersebut benar adanya, pertanyaannya menjadi lebih kritis lagi. Apakah Anda selalu membaca buku manual dari setiap produk-produk yang Anda beli? Untuk pertanyaan tersebut, saya yakin lebih dari setengah total konsumen dari suatu produk akan menjawab TIDAK. Mengapa? Karena biasanya produk-produk yang kita beli sudah memiliki fitur dan fungsi yang penggunaannya relatif kita kenal secara baik. Misalnya kita sudah tahu berbagai fitur dan fungsi dasar dari produk-produk elektronik seperti ponsel, komputer, televisi, pemutar video, dan sebagainya. Para konsumen biasanya baru perlu membaca buku manual jika ada fitur dan kegunaan yang berbeda dibandingkan produk-produk sejenisnya. Namun, kebanyakan konsumen pasti mampu mengenali dan mengetahui fitur-fitur yang berbeda tersebut setelah mencobanya terlebih dahulu bukan dengan membaca buku manual.

Pemerintah, khususnya Kementerian Perdagangan, pasti punya alasan 'ajaib' lain untuk membuat kebijakan yang mewajibkan semua produk elektronik harus dilengkapi dengan bahasa Indonesia. Padahal, kita bisa menduga bahwa konsumen produk-produk elektronik yang tidak membaca buku manual dan atau mampu membaca buku manual berbahasa asing umumnya berasal dari kalangan yang relatif terdidik dan kelompok ekonomi menengah ke atas. Artinya, mereka pada dasarnya mampu mempelajari dan membaca buku manual bahasa asing, setidaknya bahasa Inggris.

Kecenderungan tersebut sebenarnya sudah terbaca oleh para produsen. Akhir-akhir ini kita semakin sering menjumpai produk-produk elektronik yang tidak menyediakan buku manual yang berlembar-lembar dan tebal wujudnya, melainkan hanya memberikan semacam 'panduan cepat' (Quick Start Guide) yang berwujud seperti leaflet atau selebaran yang mudah dibaca dan diikuti karena dilengkapi dengan gambar dan ilustrasi. Apakah perlu belajar bahasa Inggris dulu? Gambar dan ilustrasi di panduan cepat tersebut membuat bahasa menjadi tidak relevan lagi. Bahkan anak usia 5 tahun pun sudah mampu mengaktifkan ponsel orang tuanya, tanpa perlu membaca buku manual! Jika pun Anda masih memerlukan manual, kita bisa mendapatkannya dengan mudah di internet dan tersedia dengan berbagai bahasa.

Kita sedang menyaksikan semakin pesatnya perkembangan produk-produk elektronika, khususnya produk-produk komputer dan telematika yang bukan saja ditunjukkan dengan semakin beragamnya jenis dan merek yang ditawarkan tapi juga semakin mudahnya produk-produk tersebut digunakan. Berbagai produk telematika seperti ponsel, komputer dan perangkat tablet seperti iPad dewasa ini kian mudah digunakan tanpa perlu bergantung pada sebuah buku manual. Apple sendiri sebagai produsen iPad mengklaim bahwa para konsumen bisa menggunakan produk mereka "segera" setelah produk tersebut keluar dari kemasannya. (Apple bahkan menyediakan video panduan - Guided Tours - yang membuat konsumen semakin mudah untuk menggunakan iPad). Kondisi tersebut seolah menampik kebijakan perdagangan yang bernafaskan 'nasionalisme kerdil' - seperti kewajiban menyediakan manual bahasa Indonesia, karena tidak memiliki manfaat atau kebutuhan yang mendesak baik bagi konsumen Indonesia sendiri maupun perkembangan industri dan perdagangan dalam negeri.

Jika memang ada konsumen merasa dirugikan ketika membeli sebuah kalkulator yang tidak menyediakan manual bahasa Indonesia mengapa konsumen tersebut masih membeli kalkulator tersebut?
Enhanced by Zemanta