Thursday, October 08, 2009

pengadilan atau cerita-cerita seru?

Peringatan: Jika Anda termasuk orang yang tidak tahan cerita-cerita sensual dilarang membaca posting ini termasuk materi-materi yang dikutip di dalamnya.

Judul posting ini dipicu oleh berita tentang kasus Antasari dari salah satu koran ternama di Indonesia. Sehubungan itu, hanya ada satu orang yang ingin aku kecam yaitu Jaksa Penuntut Umum (JPU). Selain itu, ada satu institusi yang juga ingin aku kecam yaitu Pengadilan. Mengapa keduanya patut dikecam?

Aku hanya punya satu hal yang membuatku merasa patut mengecam mereka, yaitu mengapa isi dakwaan yang dibuat HARUS seperti kisah yang ditulis dalam buku stensilan. Berita di koran seperti ditaut di atas menunjukkan betapa pengadilan yang diwakili oleh JPU tidak mampu langsung ke titik persoalan dan dakwaannya sedemikian sehingga keadilan seakan-akan jadi pertunjukkan dagelan (jika belum bisa dikatakan menjurus ke pornografi tulisan dan lisan). Untuk memahami maksudku ini, Anda harus membaca berita tersebut dan mencoba membayangkan: apakah pengadilan adalah tempat untuk membeberkan aib atau menegakkan keadilan?

Jika gambaran pengadilan seperti di berita tersebut, aku rasa pengadilan yang diwakili oleh JPU tidak lebih dari pornografi berkedok pembeberan aib. Atau, JPU sedang membacakan cerita-cerita seru saja...

sungguh-sungguh tidak belajar...

Yang aku ingat, posting beberapa waktu lalu masih berkaitan dengan gempa yang terjadi di Tasikmalaya. Jika Anda membaca artikel yang dirujuk di situ, artikel yang ditulis oleh Putu Setia, sudah dengan gamblang sekali dinyatakan bahwa mencegah dampak yang lebih buruk jauh lebih dibutuhkan daripada sekedar legitimasi bencana dari ayat-ayat suci (di kolom komentar artikel tersebut, masih saja terdapat para komentator yang tak pernah bosan mencungkil ayat-ayat suci). Mencegah dampak yang lebih buruk bisa dilakukan dengan mengkaji kembali bagaimana membangun tempat tinggal yang "ramah" bencana.

Kemudian, datang lagi bencana gempa yang terjadi kali ini di Padang, Sumatera Barat. Sudah jelas, kita semua berduka. Namun, masih saja manusia-manusia "penguasa ayat-ayat suci" tersebut sibuk mencari-cari legitimasi bencana dari ayat-ayat suci yang mereka geluti. Mereka benar-benar bebal dan tak berperikemanusiaan. Entah bagaimana mengajarkan orang-orang yang penuh dengan kebebalan demikian.

Padahal, apa yang ditulis oleh Putu Setia masih tetap relevan dan menjadi keharusan untuk dikaji lebih jauh. Khususnya, terkait dengan bagaimana kita di Indonesia membangun tempat tinggal dan bangunan yang ramah bencana tadi. Bukan rahasia lagi bahwa prosedur dan perencanaan pembangunan hunian dan gedung-gedung di Indonesia penuh dengan praktek manipulasi yang mengabaikan baku mutu dan kelaikan bangunan yang semestinya ada. Hal tersebut sekarang terbukti di Padang. Dan dengan kesadaran tersebut, fokus kita seharusnya tidak hanya gempa, namun juga bencana alam lain yang menjadi rutinitas di Indonesia seperti: banjir, gunung berapi, kekeringan, dan sebagainya; juga tidak hanya terkait dengan tempat tinggal dan prosedur membangun namun juga tata cara kita memanfaatkan sumber daya dan lingkungan kita. Kita harus mulai memikirkan bagaimana strategi hidup di tengah-tengah lingkaran bencana. Bukan hanya berdoa, tapi juga berusaha dan berbuat...