Kita sudah diingatkan berdiam di daerah rawan gempa, tapi kita menganggap remeh hal itu dengan mengabaikan persyaratan hidup di daerah rawan gempa. Kita selalu berpikir bahwa bencana adalah nasib sial, takdir buruk yang tak bisa dicegah. Bahkan sebagian dari kita sering menganggap bencana sebagai cobaan dari Tuhan, atau malah kutukan dari Tuhan. Ah, bukankah Tuhan mahapengasih, kenapa harus main kutuk segala?
Meskipun dengan kata-kata yang relatif lugas seperti ini, masih saja ada yang menulis di kolom komentar dengan menghantarkan kata-kata Tuhan. Apakah sedemikian sulitnya untuk paham bahwa "mencegah" dengan perbuatan nyata jauh lebih baik dibandingkan sekedar 'merujuk' pada kata-kata suci?
2 comments:
Bukankan pengutipan "ayat-ayat suci" (Qur'an, Injil, Zabur, Taurat, Tripitaka, Weda) dalam suatu tulisan untuk mendorong orang melakukan sesuatu yang baik, mencegah perbuatan bodoh dan merusak, untuk selalu ingat kepada Tuhan-nya adalah bagian dari perbuatan Wa? Dan itu bukan berarti mereka gak paham bahwa untuk "mencegah" dengan perbuatan nyata jauh lebih baik dibandingkan "sekedar" 'merujuk' pada kata-kata suci.
@Ahmad: Pengutipan ayat suci sebagai bagian perbuatan memang betul, namun dalam hal ini kita juga harus melihat konteksnya dan seberapa relevan untuk dilakukan.
Dalam konteks posting di atas, mengutip ayat suci atas suatu bencana yang sudah terjadi - apalagi secara terus menerus - tidak bisa meringankan beban yang sedang dialami oleh para korban. Dengan mengutip bahwa bencana yang datang karena Tuhan murka terhadap ketidakmoralan manusia, seakan-akan telah menilai (jika belum bisa dibilang "menuding") para korban sebagai orang-orang tak bermoral atau kaum berdosa. Jika kita berhenti hanya pada mengutip saja dan terus menerus, maka menurut saya ini jauh lebih merusak dibanding tidak melakukan apa pun.
Yang saya maksud dengan "perbuatan" di sini lebih dari sekedar mengutip saja. Misal, mulai detik ini mari kita kampanyekan kewaspadaan terhadap bencana alam. Tujuannya jelas, agar jika bencana datang lagi (entah karena Tuhan benar murka atau Beliau sedang iseng belaka) kita bisa meminimalisir korban yang timbul. Inilah yang membuat saya berkesimpulan bahwa mereka tidak paham.
Ada ungkapan, ora et labora. Berdoa dan bekerja. Kita boleh berusaha sambil diiringi doa. Selebihnya sudah kehendak Tuhan. Tapi mengutip ayat suci SAJA, masih jauh dari doa apalagi bekerja.
Post a Comment