Embun hanyalah setetes pagi yang mencoba menyusun kata. Namun kata selalu mencari makna. Gerombolan pikiran yang berduyun mencari ruang. Tanpa aturan, tanpa batasan. Ada yang memicu, ada yang menginspirasi. Cetak peristiwa masa lalu, baru tadi atau cita-cita ke depan belum pasti. Dan... embun pun menetes jatuh lenyap terserap bumi tatkala fajar kian hangat. Bila kenan kan, nantilah hingga esok hari sebelum jadi pagi. Semoga masih kan ada susunan kata baru...
Wednesday, August 27, 2008
I Don't Wanna Say Goodnight
Biar bagaimanapun, silahkan nikmati lagu kesayanganku berikut ini:
The Sweet Lyrics
I Don't Wanna Say Goodnight Lyrics
Quote of the day: politik sinetron Indonesia
Ketika politik jadi versi lain dari sinetron, ia menjangkau orang ramai—tapi bukan karena sesuatu imbauan yang menggugah secara universal. Kalaupun ia berseru mengutuk ketidakadilan, itu pun hanya berlangsung untuk satu episode. Sejarah manusia yang dulu terdiri atas kemarahan dan pembebasan diganti dengan sesuatu yang jinak. Kini cerita manusia tetap masih gaduh, tapi itu kegaduhan suara merdu, tangis + ketawa galak yang palsu, dan bentrokan yang akan selesai ketika sutradara (atas titah produser, tentu saja), berseru, ”Cut!”
Nihilisme itu memang bisa asyik. Ia memperdaya.
Catatan Pinggir - Majalah Tempo Edisi. 25/XXXVIII/25 - 31 Agustus 2008
Tuesday, August 26, 2008
pemilikan versus penggunaan
"Tarif empat jenis pajak kendaraan bermotor akan dinaikkan dan satu jenis retribusi baru akan diterapkan sebagai bagian dari kebijakan penurunan konsumsi bahan bakar minyak. Pemerintah menginginkan daerah berperan optimal dalam penghematan BBM."Dari berita Kompas tersebut, sebenarnya ada yang patut kita perhatikan. Menurutku, kita harus membedakan antara konsep "pemilikan" versus "penggunaan". Jika pemerintah ingin berupaya menekan tingkat konsumsi BBM, seharusnya yang menjadi fokus adalah penggunaan bukan pemilikan. Maksudku begini:
Secara ekonomi, pajak dan retribusi kendaraan bermotor lebih menargetkan pada biaya "pemilikan". Artinya, sebagai instrumen ekonomi pajak dan retribusi yang dipungut sekali dalam setahun bahkan dengan tingkat yang paling mahal sekali pun hanya akan mengurangi kepemilikan kendaraan bermotor. Hal tersebut tidak dapat menjadi jaminan bahwa penggunaan kendaraan akan berkurang. Dengan kata lain, hal tersebut juga tidak akan menjamin bahwa tingkat konsumsi BBM akan berkurang. Oleh sebab itu, kebijakan ini memang rentan dampaknya pada industri otomotif dalam bentuk penurunan tingkat permintaan terhadap kendaraan.
Jika pemerintah memang ingin menurunkan tingkat konsumsi BBM - yang dituduh terbesar untuk kendaraan bermotor - maka seharusnya pemerintah fokus pada bagaimana caranya mengurangi "penggunaan" kendaraan bermotor. Artinya, silahkan saja individu atau penduduk memiliki mobil atau motor sebanyak yang mereka inginkan. Namun, jika ingin menggunakannya mereka harus "membayar" biaya penggunaan jalan raya yang semakin 'langka'.
Ingat, jumlah dan panjang jalan tidak meningkat dalam tingkat yang sama dengan tingkat penggunaannya (baca: jumlah mobil dan motor yang beredar di jalan). Jalan raya menjadi relatif lebih langka dari sisi ketersediaanya. Kelangkaan menunjukkan secara relatif semakin mahalnya 'jalan' untuk digunakan oleh kendaraan bermotor. Oleh karena itu, harus dipikirkan instrumen ekonomi apa saja yang bisa diterapkan untuk mengurangi "penggunaan" kendaraan bermotor?
Menurutku, ada beberapa solusi untuk mengurangi tingkat "penggunaan" kendaraan bermotor:
- Menyediakan sarana transportasi umum yang lebih baik, memadai, lengkap dan terintegrasi. Ini untuk menampung yang melakukan substitusi dari pengguna kendaraan pribadi.
- Menerapkan "biaya" yang lebih tinggi untuk aspek penggunaan kendaraan pribadi, antara lain: jalan tol, parkir di lokasi-lokasi tertentu, dan pembatasan penggunaan pada jam-jam tertentu.
Khusus untuk solusi kedua, salah satu contoh radikal dari kebijakan yang bisa adalah menaikkan tarif parkir di mal-mal mewah dan besar serta menurunkan tarif parkir di pusat-pusat transportasi umum seperti stasiun kereta atau terminal bus untuk kompensasi bagi penduduk yang menggunakan kendaraan pribadi hanya untuk penghubung dari rumah ke tempat-tempat transportasi umum. Pendapatan dari tarif parkir yang semakin tinggi bisa dialihkan untuk mendukung (baca: subsidi) transportasi massal yang - sedianya - terus ditingkat ketersediaan dan kualitasnya.
Bagaimana? Ada yang tidak setuju?
Friday, August 22, 2008
... dan terbukti sudah!
Dan berita hari ini seolah menyatakan... dan terbukti sudah bahwa BETUL kepentingan industri rokok jauh lebih penting dibandingkan kesehatan penduduk Indonesia.
Ok, back to smoking as usual...
What?
Who care about tobacco related diseases?!
Wednesday, August 20, 2008
rokok bermerek lebih "tidak" berbahaya?
"Cigarettes which are harmful to human health are perhaps those that are illegal or those that have high (levels of) nicotine. Branded cigarettes have less nicotine," [Anwar Surpijadi - the Finance Ministry's Director General of Customs and Excise] saidAnwar Surpijadi mengatakan - terjemahan bebas - bahwa rokok yang berbahaya untuk kesehatan merupakan rokok ilegal atau rokok yang memiliki kadar nikotin yang tinggi. Sementara itu, rokok bermerek memiliki kadar nikotin yang rendah. Dengan pernyataan berbeda, rokok bermerek dan rokok yang dijual resmi (tidak ilegal) lebih tidak berbahaya. Benarkah?
Ada satu fakta yang jelas tidak bisa dipungkiri bahwa rokok merupakan barang yang bersifat adiktif, alias dapat menimbulkan ketagihan. Salah satu komponen dalam rokok yang menyebabkan sifat adiktif tersebut adalah nikotin. Nah, mari kita bahas pernyataan "luar biasa" dari Pak Anwar Surpijadi tersebut.
PERTAMA, tentang rokok ilegal yang lebih tidak berbahaya bagi kesehatan. Secara akal sehat saja, apakah betul rokok yang diselundupkan - anggaplah dari Vietnam misalnya - lebih berbahaya bagi kesehatan kita dibanding rokok lokal yang kita beli di pedagang asongan? Tidak kan! Rokok dengan kandungan nikotin setinggi atau serendah apa pun, jika diakumulasi dalam tubuh akan memberikan dampak buruk bagi kesehatan. Terlepas apakah rokok tersebut kita konsumsi secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan. Hal ini berarti, Pak Anwar memberikan jawaban yang mengada-ada dan tidak memiliki dasar berpikir yang jelas.
KEDUA, tentang rokok bermerek memiliki kadar nikotin rendah sehingga lebih tidak berbahaya bagi kesehatan. Ada dua pernyataan dalam hal ini: 1) rokok bermerek memiliki kadar nikotin rendah; 2) rokok bermerek lebih tidak berbahaya bagi kesehatan. Untuk pernyataan pertama, dapat dibenarkan mengingat umumnya rokok bermerek menawarkan rokok yang memiliki kadar tar rendah. Namun, apakah dengan kadar tar rendah itu berarti bahaya rokok berkadar tar rendah terhadap kesehatan juga rendah? Bisa iya, bisa juga tidak. Penjelasannya sebagai berikut:
Jika seorang perokok mengkonsumsi jumlah batang rokok yang sama per minggu, maka si perokok tentu akan mengkonsumsi nikotin (baca: rokok) yang relatif rendah jika mengkonsumsi rokok "bermerek" (baca: kadar nikotin rendah); dibandingkan jika si perokok mengkonsumsi nikotin dari rokok "tidak bermerek" (kadar nikotin tinggi). Sampai di sini, pernyataan Pak Anwar bisa benar namun dengan asumsi bahwa si perokok mengkonsumsi jumlah batang rokok yang sama. Padahal...
Karena rokok bersifat adiktif, kadar nikotin yang rendah akan membuat si perokok pasti menambah jumlah batang rokok yang dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan akan nikotin yang sudah semakin membuat si perokok ketagihan. Meskipun si perokok mengkonsumsi rokok "bermerek" (kadar nikotin rendah), namun karena jumlah batang rokok yang dikonsumsi lebih banyak maka dampak akhirnya adalah nikotin yang dikonsumsi si perokok seperti dia mengkonsumsi rokok "tidak bermerek". Maka, tidakkah hal tersebut berarti bahwa bahaya terhadap kesehatannya tetap sama antara rokok "bermerek" dengan "tidak bermerek"?
Pernyataan di atas memiliki implikasi yang luas karena pernyataan tersebut menunjukkan bahwa bagi pemerintah kepentingan industri jauh di atas segalanya. Bahkan, kesimpulan tentang dampak kesehatan pun bisa diucapkan tanpa dasar berpikir dan argumen yang jelas. Hanya demi membela kepentingan industri. Atau, dengan kalimat yang lebih langsung, industri rokok jauh lebih penting dibandingkan kesehatan warga negara Indonesia.
Itulah maksudnya kan, Pak Anwar?? Jadi, ayo merokoklah lebih banyak...
Catatan: aku tidak anti perokok. Jika Anda merokok silahkan, aku tidak akan melarang. Namun, karena rokok adalah kenikmatan individu yang memberikan dampak tidak langsung kepada non-perokok (perokok pasif) maka seharusnya Anda yang merokok memberikan kompensasi kepada kami yang non-perokok untuk dampak buruk dari asap rokok yang Anda hembuskan namun kami rasakan juga. Untuk itu, bentuk kompensasi yang paling sederhana dan menguntungkan bagi bangsa dan negara adalah dengan membayar cukai rokok yang lebih tinggi dari tingkat yang berlaku saat ini.
Paling tidak, cukai rokok yang lebih tinggi tersebut akan memberikan tambahan penerimaan bagi negara. Mengapa subsidi BBM harus dikurangi, padahal menentukan hajat hidup orang banyak; sedangkan cukai rokok sulit untuk ditingkatkan padahal hanya menyenangkan para perokok dan merugikan non-perokok??
Sunday, August 17, 2008
Dirgahayu
Kemerdekaan Republik Indonesia Ke-63
Semoga kian jaya dan utama dalam pembangunan di segala bidang.
Monday, August 11, 2008
Sebulan tanpa plastik?
Chris Jeavans dari Inggris mencoba suatu hal yang pastinya sangat sulit dilakukan di Indonesia yaitu hidup selama satu bulan tanpa plastik. Latar belakang kegiatan ini bisa Anda baca di artikel A Month Without Plastic. Atau, jika Anda enggan membaca artikel panjang pun berbahasa Inggris tersebut, cobalah lihat video berikut.
Tanpa perlu paham dengan bahasa, Anda bisa melihat dan membayangkan - tentu jika Anda pernah sekali saja memperhatikan - betapa banyak plastik yang kita gunakan selama satu bulan. Dan jika kita ingin menjawab pertanyaan awal di atas, aku pasti akan menjawab "Kita belum sanggup!"
Tapi, aku sudah mulai mencoba melakukan kegiatan yang hampir mirip dengan Chris Jeavans. Berikut ini adalah cara-cara sederhana yang mulai aku lakukan:
- Jika membeli makanan, khususnya kudapan (snack), sebisa mungkin aku tidak mau memakai kantong plastik. Misal, aku membeli satu minuman kotak dan 2 potong roti maka aku pasti akan membawanya sendiri dengan tanganku. Yang penting di sini adalah kemauan menolak untuk menggunakan kantong plastik.
- Di tas kerjaku ada sebuah kantong plastik yang aku selalu bawa, jika terpaksa mampir ke toko untuk berbelanja kebutuhan rumah tangga yang tidak terlalu banyak. Dengan begini, aku mengurangi jumlah kantong plastik yang tidak terpakai di rumah jika setiap kali belanja kita diberikan kantong plastik.
- Sehari hanya boleh membeli maksimal satu minuman ringan yang dikemas dalam botol plastik. Jika ingin minum minuman ringan tambahan di hari yang sama, sedapat mungkin memilih yang menggunakan botol kaca. Jadi, aku harus minum di tempat membeli karena botol kaca tidak boleh dibawa pergi. Sisi positif dalam hal ini adalah kita tidak direpotkan dengan botol minuman yang dibawa ke mana-mana.
Friday, August 01, 2008
Merokok boleh, tapi cukai rokok harus naik...
”Orang yang kaya bolehlah merokok, tetapi penduduk miskin perlu diupayakan tidak merokok. Golongan masyarakat miskin lebih sensitif terhadap harga sehingga kenaikan cukai bisa mengurangi konsumsi rokok di kalangan ini,” ujar Abdillah.
Dampak kenaikan cukai terhadap petani tembakau dan industri, menurut peneliti Lembaga Demografi FE UI, Diahhadi Setyonaluri, relatif kecil karena perubahan permintaan rokok cenderung lamban.Intinya, merokok boleh-boleh saja. Tapi, karena permintaannya tetap (akan) tinggi maka harusnya cukai yang dibayar juga harus (tetap) tinggi.
Berita lain yang terkait: Excise tax hike will not kill off industry