Friday, May 02, 2008

Tentang Ujian Nasional


Sehubungan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional (HPN), aku ingin berpendapat tentang pelaksanaan Ujian Nasional (UN).

Menurutku, UN merupakan upaya sistematis yang - entah sadar atau tidak - berupaya menciptakan ketidakmerataan kualitas pendidikan di Indonesia. UN sejatinya merupakan single standard yang bukan hanya membuat kesenjangan atau gap antar daerah dan siswa serta guru. Mengapa demikian?

Faktanya kita tahu bahwa ketersediaan fasilitas, sarana dan prasarana dan guru dengan kualifikasi yang memadai berbeda-beda menurut daerah dan individu siswa masing-masing. Jika kemudian perbedaan "starting point" yang ada dipaksa untuk setara, maka sedianya dibutuhkan investasi dan program yang luar biasa besar agar hasilnya bisa seimbang mewakili kondisi siswa dan daerah masing-masing. Artinya, UN hanya menjadi ajang "kebijakan kilat" para petinggi di Departemen Pendidikan Nasional untuk mencapai angka standar pendidikan yang mereka kehendaki. Mereka sama sekali tidak memahami proses belajar mengajar sekaligus tidak mengetahui betapa posisi awal setiap sekolah, siswa, guru dan masyarakat tidaklah sama.

Dan yang lebih mengerikan atas hasil akhir dari UN ini adalah terciptanya persepsi umum bahwa UN adalah segala-galanya. Dengan kata lain, untuk apa mencari dan menggali ilmu jika hidup hanya ditentukan oleh satu kali ujian yang menentukan hidup mati seseorang.

Jika dahulu kita bisa memperoleh NEM (Nilai Ebtanas Murni) dan STTB, setidaknya kita masih punya harapan jika salah satu hasil nilai tersebut tidak sempurna. Karena salah satunya bisa memberikan gambaran tentang apa saja yang dimiliki oleh si lulusan. Artinya, berikanlah kesempatan lulus dengan standar yang dibawa oleh masing-masing individu atau entitas yang kelak akan menerima si individu bekerja atau melanjutkan sekolah. Bukan dengan memasung kesempatan untuk melanjutkan hidup, hanya dengan satu indikator saja, yaitu UN. Tidakkah ini sama dengan otoriter dan fanatik?

Fakta-fakta diatas belum lagi ditambah fenomena kebocoran dan jual beli soal ujian, mencontek, bantuan dari guru atau kepala sekolah kepada siswa (agar siswa semua lulus 100%), dan masih banyak lagi dampak buruk yang jelas-jelas terjadi karena UN melahirkan semacam 'momok' dalam dunia pendidikan di Indonesia. UN tidaklah melahirkan standar yang bisa menunjukkan seperti kualitas pendidikan di Indonesia. UN hanyalah sekedar sistem penghitungan target yang ingin digunakan menteri dan pimpinan negara untuk mengukur kinerja pemerintahannya, bukan untuk meningkatkan kecerdasan bangsanya.

Tidakkah demikian adanya, Pak Menteri Diknas dan Pak Presiden??

No comments: