Aku mengetahui kedua orang tersebut di judul, lewat media yang sama yaitu harian Kompas. Aku mulai membaca tulisan-tulisan Mohamad Sobary lebih dulu melalui versi cetaknya, sedangkan tulisan-tulisan André Möller mulai aku baca melalui versi onlinenya ketika aku belajar di negara tetangga tempat asal negara Bung Möller (semoga beliau tidak keberatan jika dipanggil dengan sebutan "Bung", dibandingkan "Pak").
Seingatku, keduanya tidak pernah menulis dalam konteks persoalan yang sama persis atau mendekati sama sekali. Namun, hari ini aku menemukan bahwa keduanya menyajikan tulisan yang memiliki konteks hampir bersinggungan (kalau belum boleh dibilang hampir sama) Mohon dicatat bahwa aku yakin sekali bahwa keduanya benar-benar tidak ingin menulis dengan konteks yang bersinggungan pun sama. André Möller memulai lebih dulu di artikel rubrik bahasa pada hari Jumat, 20 Juli 2007 lalu yang berjudul "Warna Orang-Orang". Mohammad Sobary kemudian menyusul di rubrik Asal Usul, Selasa 25 Juli 2007 dengan judul artikel "Kemiskinan".
Jika anda memperhatikan dari judulnya saja, maka jelas sekali tidak ada kaitan sama sekali antara tulisan Möller dan Sobary. Namun, jika anda baca dengan seksama dan - mungkin sedikit memaksa - maka ada satu topik besar yang sama yang sedang dibahas oleh Möller dan Sobary. Topik tersebut yaitu masalah pelik dalma penggunaan bahasa Indonesia oleh bangsa Indonesia sendiri.
Möller membahas tentang penggunaan warna-warna dalam bahasa Indonesia yang lebih sering menggunakan serapan bahasa asing (Inggris) dibanding bahasa Indonesia sendiri. Seperti ditulis oleh Möller dibagian awal tulisannya:
Seingatku, keduanya tidak pernah menulis dalam konteks persoalan yang sama persis atau mendekati sama sekali. Namun, hari ini aku menemukan bahwa keduanya menyajikan tulisan yang memiliki konteks hampir bersinggungan (kalau belum boleh dibilang hampir sama) Mohon dicatat bahwa aku yakin sekali bahwa keduanya benar-benar tidak ingin menulis dengan konteks yang bersinggungan pun sama. André Möller memulai lebih dulu di artikel rubrik bahasa pada hari Jumat, 20 Juli 2007 lalu yang berjudul "Warna Orang-Orang". Mohammad Sobary kemudian menyusul di rubrik Asal Usul, Selasa 25 Juli 2007 dengan judul artikel "Kemiskinan".
Jika anda memperhatikan dari judulnya saja, maka jelas sekali tidak ada kaitan sama sekali antara tulisan Möller dan Sobary. Namun, jika anda baca dengan seksama dan - mungkin sedikit memaksa - maka ada satu topik besar yang sama yang sedang dibahas oleh Möller dan Sobary. Topik tersebut yaitu masalah pelik dalma penggunaan bahasa Indonesia oleh bangsa Indonesia sendiri.
Möller membahas tentang penggunaan warna-warna dalam bahasa Indonesia yang lebih sering menggunakan serapan bahasa asing (Inggris) dibanding bahasa Indonesia sendiri. Seperti ditulis oleh Möller dibagian awal tulisannya:
Sekarang ada dua warna yang bunyinya sangat keren dalam bahasa Indonesia: ping dan orinj. Dengan kata lain, pink dan orange. Atau dengan kata lain lagi: merah muda dan oranye. Atau: merah jambon dan kuning kebakaran. Ah, yang terakhir itu terlalu bahasa Swendonesia. Namun, warna itu juga disebut (warna) layung atau lembayung. Mambang kuning dan merah jingga pun tercantum dalam Tesaurus Bahasa Indonesia.
Sebagaimana (jika mungkin) disadari oleh orang Indonesia, sangat mudah dalam berbahasa Indonesia untuk menyerap bahasa asing (Inggris) dan langsung mengaplikasikannya dalam bahasa Indonesia. Contoh lain, jika boleh menambahkan apa yang sudah disebutkan oleh Möller, yaitu warna silver atau dengan kata lain perak. Aku kurang paham, apakah itu bisa dikategorikan warna atau perhiasan. Belum lagi penggunaan gaya bahasa - aku dapat istilahnya dari Möller juga yaitu - Inggronesia, seperti: 'me-manage', atau 'men-challenge' (catat: kata ini sering sekali digunakan oleh salah seorang calon rektor Universitas Indonesia ketika beliau mengikuti debat calon rektor beberapa waktu lalu).
Semangat 'ketidakjelasan' berbahasa seperti disampaikan oleh Möller, menjadi lebih ironis dan tajam dampaknya setelah membaca tulisan Sobary. Seperti ditulis oleh Sobary dibagian awal tulisannya
Semangat 'ketidakjelasan' berbahasa seperti disampaikan oleh Möller, menjadi lebih ironis dan tajam dampaknya setelah membaca tulisan Sobary. Seperti ditulis oleh Sobary dibagian awal tulisannya
Secara kebudayaan kita bangsa kaya. Tetapi, mengapa dalam berbahasa para politisi, para pejabat, para artis, dan bahkan juga para pengamat dan para ilmuwan kita begitu miskin? Tiap saat kita menyaksikan pameran kemiskinan
artikulasi, kemiskinan kosakata, kemiskinan metafora, dan kemiskinan idiom, atau ungkapan. Mengapa dalam berbahasa kita tampak miskin? Banyak kaum terpelajar yang bahasa Indonesianya belum lengkap.
Pemahamanku atas tulisan Sobary secara keseluruhan adalah betapa Indonesia tidak hanya miskin secara ekonomi namun juga miskin mental, budaya, dan yang penting bahasa. Sebagai contoh bahasa yang digunakan oleh calon rektor tersebut. Padahal bahasa adalah bentuk awal untuk berkomunikasi yang pada gilirannya membawa keadaan sosial ke arah kerjasama dan perubahan. Jika berbahasa saja miskin, bagaimana perubahan bisa disampaikan dan dimengerti? Bagaimana kemajuan bisa dicapai jika tidak ada yang tahu bagaimana caranya menyampaikan dengan "bahasa yang jelas" apa dan bagaimana kemajuan harus dicapai?
Setelah membaca tulisan Möller dan Sobary, aku jadi ingat untuk lebih sering membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) untuk memastikan apakah aku sudah menggunakan kata yang tepat atau aku juga ternyata telah mengalami 'pemiskinan' bahasa (?). Padahal, aspek berbahasa bukankah tidak hanya terdiri dari kata-kata saja, melainkan juga susunan kata yang menjadi kalimat dan makna yang ingin disampaikan lewat susunan kalimat tersebut. Semoga belum terlambat untuk mempelajari lagi dan menyempurnakan penggunaan bahasa ibu sendiri.
Setelah membaca tulisan Möller dan Sobary, aku jadi ingat untuk lebih sering membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) untuk memastikan apakah aku sudah menggunakan kata yang tepat atau aku juga ternyata telah mengalami 'pemiskinan' bahasa (?). Padahal, aspek berbahasa bukankah tidak hanya terdiri dari kata-kata saja, melainkan juga susunan kata yang menjadi kalimat dan makna yang ingin disampaikan lewat susunan kalimat tersebut. Semoga belum terlambat untuk mempelajari lagi dan menyempurnakan penggunaan bahasa ibu sendiri.