Rgveda V.51.5
Svasti pantham anu carema
surya candram asav iva,
punar dadata’ghnata
janatam sam gamemahi.
We will follow the path of the Truth,
Like the path of the Sun and the Moon,
We will side by side with the Munificent, the Devotion
And the Great Divine
Kami akan mengikuti jalan kebenaran,
Seperti jalannya matahari dan bulan,
Kami akan menyertai yang pemurah, yang
penyayang dan yang maha mengetahui
Embun hanyalah setetes pagi yang mencoba menyusun kata. Namun kata selalu mencari makna. Gerombolan pikiran yang berduyun mencari ruang. Tanpa aturan, tanpa batasan. Ada yang memicu, ada yang menginspirasi. Cetak peristiwa masa lalu, baru tadi atau cita-cita ke depan belum pasti. Dan... embun pun menetes jatuh lenyap terserap bumi tatkala fajar kian hangat. Bila kenan kan, nantilah hingga esok hari sebelum jadi pagi. Semoga masih kan ada susunan kata baru...
Wednesday, November 29, 2006
Happy Galungan
with the rain
Rain always makes me feel blue. Not because it take place of blue sky or create mud or even create floods and came along with thunder. Actually, rain makes me feel blue because it comes at all times in perfect moment especially downcast feeling.
Like this afternoon, the rain comes heavily after I’m being hit by big wave of mute and mistakes that – said – I’ve done. It comes right the way when so many things judged that I never done something right. Never! Then rain comes in sudden and saddened.
Its’ best friend, big and deafeningly thunder, passing by and shouting at me saying, “I’ve told you, you’re not up to it! I’ve told you!” And, even skies also support both of them by changing into, not dark and gloomy background; instead it shades grey smiling to blind me with the hope of flood of mud and debris on the street. After all, I can’t do nothing except waiting or let myself wet during walking through the totality of such atmosphere. Whatever I do, I’ve already trampled.
No one will understand situation of heavy water fallen from the firmament since instinctively human always run or hide away or cover the body to make them less soak up with wet. Traffic full of crowd of people and vehicles try so hard to keep away from brown muddy water. Umbrella intersects each other covered people’s panic head and cars and motorcycles jamming one by one blocking the flow of others. In such a classical exhilaration, should I joined and ruin the show??
The rain today has strike me down by something so intense but cold and mute. No one know what it is, even my flawed heart could not clearly explain what. One thing for sure, today’s rain, like ceaselessly before, has confirmed me again about the gloomy day of my entire soul.
Tuesday, November 28, 2006
Tahukah cara membunuh yang paling tenang dan kejam di dunia ini?
Bagiku, menunggu diam seribu bahasa tanpa senyum tanpa sapa apa pun jua. Itulah saat dimana aku sudah pasti mati. Bukan hanya mati secara fisik tapi juga mental dan jiwa. Jika mental dan jiwa tidak ada, untuk apa tubuh ada? Mati saja!!
Anda pasti berpikir, aku patut dikasihani. Anda tak perlu mengasihani seperti itu, setiap orang pasti akan mati. Hanya masalah cara saja, ada yang elegan, ada yang tidak elegan. Ada yang religius, ada yang di tengah kriminal. Kalau sudah mati, hanya si roh yang tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Selebihnya sudah jelas, mati adalah mati!
Itu saja!
Bagiku, menunggu diam seribu bahasa tanpa senyum tanpa sapa apa pun jua. Itulah saat dimana aku sudah pasti mati. Bukan hanya mati secara fisik tapi juga mental dan jiwa. Jika mental dan jiwa tidak ada, untuk apa tubuh ada? Mati saja!!
Anda pasti berpikir, aku patut dikasihani. Anda tak perlu mengasihani seperti itu, setiap orang pasti akan mati. Hanya masalah cara saja, ada yang elegan, ada yang tidak elegan. Ada yang religius, ada yang di tengah kriminal. Kalau sudah mati, hanya si roh yang tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Selebihnya sudah jelas, mati adalah mati!
Itu saja!
Thursday, November 02, 2006
Lebih mudah bertemu Allah ketimbang Presiden?
Jadi, Allah bisa disetarakan dengan Presiden. Atau dengan kata lain, Presiden kita adalah Allah… Adakah logika yang ganjil di sini? Jelas logikaku salah di sini, tapi logika sederhana itu kusimpulkan dari pernyataan seorang pemimpin organisasi agama untuk tingkat nasional. Pernyataan ini ada di sini, tepatnya di detik.com tanggal 3 November 2006 dengan headline yang berjudul: "Din: Lebih Mudah Bertemu Allah Ketimbang Presiden"
Menurutku, paling tidak ada 2 (dua) hal yang lumayan ganjil dari pernyataan seorang Ketua Umum salah satu organisasi agama terbesar di Indonesia ini yang tersebut di atas:
1. Mungkinkah membandingkan apel dengan semangka? Bukankah kita seharusnya membandingkan apel dengan apel? Dalam pernyataan di atas, jelas sekali bahwa dia membandingkan apel dengan langit.
2. Jika tidak ingin membandingkan, bisa dianggap bahwa hal tersebut untuk menunjukkan penyetaraan. Maka, apakah mungkin menyetarakan Presiden dengan Allah? Siapa yang harus menyesuaikan? Apakah Presiden naik derajat setara dengan Allah, atau Allah yang turun derajat setara dengan presiden? Asumsi, kita sudah sepakat kalau Allah adalah Maha Derajat-Nya. Kecuali anda berpendapat lain, seperti halnya Din tadi, Allah bisa dibandingkan dengan Presiden maka hal ini bolehlah dianggap tidak sahih.
Yang mungkin jadi miris adalah sebenarnya pernyataan tokoh tersebut mungkin semata-mata untuk menunjukkan betapa religius-nya beliau (apalagi beliau mengatasnamakan organisasi keagamaan). Padahal, menurutku, esensi persoalannya adalah kesibukan presiden yang sulit (atau tidak punya) meluangkan waktu untuk kunjungan/pertemuan. Bukan bermaksud membela sang presiden, tapi apakah memang seharusnya sangat mudah bertemu seorang presiden? Semudah kita bertemu ketua RT misalnya... Kalau begitu pilih saja ketua RT jadi presiden nanti.
Menurutku, paling tidak ada 2 (dua) hal yang lumayan ganjil dari pernyataan seorang Ketua Umum salah satu organisasi agama terbesar di Indonesia ini yang tersebut di atas:
1. Mungkinkah membandingkan apel dengan semangka? Bukankah kita seharusnya membandingkan apel dengan apel? Dalam pernyataan di atas, jelas sekali bahwa dia membandingkan apel dengan langit.
2. Jika tidak ingin membandingkan, bisa dianggap bahwa hal tersebut untuk menunjukkan penyetaraan. Maka, apakah mungkin menyetarakan Presiden dengan Allah? Siapa yang harus menyesuaikan? Apakah Presiden naik derajat setara dengan Allah, atau Allah yang turun derajat setara dengan presiden? Asumsi, kita sudah sepakat kalau Allah adalah Maha Derajat-Nya. Kecuali anda berpendapat lain, seperti halnya Din tadi, Allah bisa dibandingkan dengan Presiden maka hal ini bolehlah dianggap tidak sahih.
Yang mungkin jadi miris adalah sebenarnya pernyataan tokoh tersebut mungkin semata-mata untuk menunjukkan betapa religius-nya beliau (apalagi beliau mengatasnamakan organisasi keagamaan). Padahal, menurutku, esensi persoalannya adalah kesibukan presiden yang sulit (atau tidak punya) meluangkan waktu untuk kunjungan/pertemuan. Bukan bermaksud membela sang presiden, tapi apakah memang seharusnya sangat mudah bertemu seorang presiden? Semudah kita bertemu ketua RT misalnya... Kalau begitu pilih saja ketua RT jadi presiden nanti.
Subscribe to:
Posts (Atom)