Pendahuluan
Namun, dalam konteks ekonomi ketenagakerjaan dan teori modal manusia, efektivitas kebijakan semacam ini sangat bergantung pada desain detailnya: apakah magang benar-benar meningkatkan keterampilan produktif (human capital formation) atau justru menjadi bentuk substitution effect dari tenaga kerja murah. Kajian ini menelaah aspek ideal yang sudah diatur, celah dan kekurangan pengaturan, isu-isu genting yang belum diatur secara rinci, serta memberikan rekomendasi berbasis teori dan pengalaman internasional.
Aspek-aspek Ideal yang Sudah Diatur
Dari sisi kelembagaan, Pasal 1–6 mendefinisikan dengan jelas aktor-aktor utama seperti peserta, penyelenggara, mentor, dan pejabat pengelola anggaran. Penggunaan sistem digital nasional SIAPkerja untuk pendaftaran dan validasi data menjadi langkah penting menuju transparansi dan integrasi ekosistem ketenagakerjaan. Begitu pula kewajiban penyelenggara untuk mendaftarkan peserta pada program jaminan sosial ketenagakerjaan (Pasal 8 ayat 1 huruf c) yang menegaskan dimensi perlindungan kerja dasar.
Selain itu, mekanisme bantuan pemerintah diatur cukup rinci, termasuk jalur pencairan melalui bank penyalur (Pasal 13), pengembalian sisa dana ke kas negara, serta kewajiban pelaporan berkala (Pasal 15–18). Dari aspek governance, Permenaker ini sudah menunjukkan prinsip akuntabilitas dan keterlacakan (traceability) yang baik.
Celah dan Kekurangan Pengaturan
Pertama, tidak ada penjelasan mengenai standar kompetensi atau capaian pembelajaran magang yang mengacu pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) atau Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). Ketiadaan standar ini berpotensi menimbulkan ketidakkonsistenan mutu antarindustri dan mengaburkan posisi magang sebagai bentuk training investment yang diakui secara nasional.
Kedua, peraturan hanya mengatur bantuan untuk peserta dalam bentuk uang saku (Pasal 11), namun tidak memberikan insentif kepada perusahaan penyelenggara. Padahal, teori human capital investment[1] dan training financing[2]menegaskan pentingnya mekanisme pembiayaan bersama (cost sharing) antara negara, individu, dan perusahaan. Tanpa insentif bagi industri, partisipasi jangka panjang sektor swasta akan terbatas.
Ketiga, besaran uang saku tidak ditetapkan secara proporsional terhadap biaya hidup daerah (Pasal 11 ayat 3), sehingga menimbulkan potensi disparitas. Tidak ada pula pengaturan mengenai jam kerja maksimum, hak istirahat, atau perlindungan dari pelecehan dan diskriminasi—padahal aspek ini menjadi bagian dari prinsip decent internship[3] yang diatur oleh International Labour Organization.
Keempat, aspek post-program placement tidak disebutkan sama sekali. Permenaker hanya mewajibkan laporan pelaksanaan (Pasal 10) tetapi tidak mengatur tindak lanjut berupa sertifikasi, penyaluran kerja, atau tracer study. Akibatnya, efektivitas program sulit diukur dari sisi peningkatan kesempatan kerja dan upah peserta.
Isu-Isu Penting yang Perlu Diperhatikan
Kekurangan tersebut menimbulkan beberapa isu kebijakan yang penting sebagaimana dirangkum berikut.
Bidang Kebijakan | Isu Penting | Potensi Dampak |
Kualitas dan relevansi pelatihan | Tidak ada integrasi kebutuhan industri ke kurikulum magang | Terjadi mismatch antara kompetensi dan permintaan kerja |
Perlindungan peserta | Ketiadaan ketentuan jam kerja, hak cuti, dan perlindungan sosial tambahan | Risiko eksploitasi dan ketimpangan perlakuan |
Transparansi keuangan | Tidak dijelaskan proporsi alokasi dana dan biaya administrasi | Sulit mengukur efisiensi anggaran |
Keberlanjutan program | Tidak ada mekanisme pasca-magang | Hilangnya efek jangka panjang |
Koordinasi antar-kementerian | Minim sinergi dengan Kemendikbudristek dan BNSP | Keterputusan antara dunia pendidikan dan pasar kerja |
Evaluasi dampak | Evaluasi bersifat administratif, bukan berbasis outcome | Tidak diketahui tingkat penyerapan kerja |
Akses digital SIAPkerja | Tidak dijelaskan perlindungan data pribadi | Risiko kebocoran dan penyalahgunaan data peserta |
Analisis Teoretis: Perspektif Human Capital dan Training
Model imperfect labor market[5] menjelaskan bahwa ketika pasar kerja bersifat wage-compressed, perusahaan dapat turut menanggung biaya pelatihan umum karena kecilnya risiko pekerja berpindah. Dengan demikian, intervensi pemerintah sebaiknya tidak hanya berupa subsidi uang saku peserta, tetapi juga insentif kepada perusahaan penyelenggara agar investasi pelatihan menjadi efisien.
Temuan empiris memperkuat teori ini. Penelitian OECD[6] menunjukkan bahwa sistem dual apprenticeship di Jerman dan Swiss berhasil meningkatkan peluang kerja dan pendapatan lulusan karena keterlibatan kuat industri dan standar kurikulum nasional. Program Jóvenes en Acción di Kolombia[7] yang mengombinasikan pelatihan kelas dan magang di perusahaan menaikkan probabilitas kerja sebesar 6–7 poin persentase dan upah 12–15%, terutama bagi perempuan muda. Sementara studi di Spanyol[8] menunjukkan lulusan jalur dual vocational memiliki pendapatan awal lebih tinggi dibanding jalur akademik murni.
Temuan empiris tersebut menegaskan bahwa desain program magang yang efektif menuntut standar kompetensi yang jelas, durasi pelatihan yang memadai, pendampingan mentor yang berkualitas, serta mekanisme evaluasi berbasis hasil. Jika elemen-elemen ini diabaikan, maka program magang berpotensi terjebak menjadi skema tenaga kerja murah yang tidak menghasilkan peningkatan modal manusia secara nyata.
Relevansi Internasional dan Potensi Indonesia
Dalam konteks Indonesia, program pemagangan juga harus dipandang dalam kaitan global. Jepang, misalnya, telah menjalankan Technical Intern Training Program (TITP) dan Specified Skilled Worker (SSW) scheme yang membuka peluang besar bagi pekerja Indonesia. Namun pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa tanpa perlindungan dan tata kelola yang kuat, program semacam itu rawan pelanggaran hak pekerja. Oleh karena itu, Permenaker 8/2025 perlu mengadopsi prinsip mutual benefit dan skill portability, sehingga magang domestik dapat menjadi batu loncatan menuju pekerjaan formal baik di dalam maupun luar negeri, sambil menjamin reintegrasi ekonomi bagi peserta yang kembali.
Rekomendasi Kebijakan
Penutup
[1] Becker, G. S. (1964). Human Capital: A Theoretical and Empirical Analysis, with Special Reference to Education. University of Chicago Press.
[2] Acemoglu, D., & Pischke, J.-S. (1999). Beyond Becker: Training in Imperfect Labour Markets. Economic Journal, 109(453), F112–F142. https://doi.org/10.1111/1468-0297.00405
[3] ILO. (2017). Recommendation No. 204: Transition from the Informal to the Formal Economy. Geneva: International Labour Office. https://www.ilo.org/global/standards/recommendation-204
[4] Becker, G. S. (1964). Human Capital: A Theoretical and Empirical Analysis, with Special Reference to Education. University of Chicago Press.
[5] Acemoglu, D., & Pischke, J.-S. (1999). Beyond Becker: Training in Imperfect Labour Markets. Economic Journal, 109(453), F112–F142. https://doi.org/10.1111/1468-0297.00405
[6] OECD. (2023). Apprenticeships and Vocational Education: Policy Review 2023. Paris: OECD Publishing. https://www.oecd.org/employment/apprenticeships.htm
[7] Attanasio, O., Kugler, A., & Meghir, C. (2011). Subsidizing Vocational Training for Disadvantaged Youth in Colombia: Evidence from a Randomized Trial. American Economic Journal: Applied Economics, 3(3), 188–220. https://doi.org/10.1257/app.3.3.188
[8] Hampf, F., & Woessmann, L. (2017). Vocational vs. General Education and Employment over the Life Cycle: New Evidence from PIAAC. CESifo Economic Studies, 63(3), 255–269. https://doi.org/10.1093/cesifo/ifx012
[9] World Bank. (2022). Skilling Up Indonesia: Harnessing the Demographic Dividend through Vocational Training. Washington, D.C.: World Bank Publications. https://documents.worldbank.org/en/publication/documents-reports/documentdetail/099020223181318