Thursday, October 09, 2025

Review atas Permenaker No. 8 Tahun 2025 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Pemerintah Program Pemagangan Lulusan Perguruan Tinggi

Pendahuluan

Kementerian Ketenagakerjaan melalui Peraturan Menteri Nomor 8 Tahun 2025 menetapkan pedoman pemberian bantuan pemerintah dalam program pemagangan bagi lulusan perguruan tinggi. Kebijakan ini berangkat dari kebutuhan memperkuat kompetensi sumber daya manusia, memfasilitasi transisi lulusan baru ke dunia kerja, dan memperluas kesempatan kerja yang produktif. Secara konseptual, program ini menjadi salah satu instrumen peningkatan employabilityyang juga berpotensi berkontribusi pada pengelolaan bonus demografi Indonesia.
Namun, dalam konteks ekonomi ketenagakerjaan dan teori modal manusia, efektivitas kebijakan semacam ini sangat bergantung pada desain detailnya: apakah magang benar-benar meningkatkan keterampilan produktif (human capital formation) atau justru menjadi bentuk substitution effect dari tenaga kerja murah. Kajian ini menelaah aspek ideal yang sudah diatur, celah dan kekurangan pengaturan, isu-isu genting yang belum diatur secara rinci, serta memberikan rekomendasi berbasis teori dan pengalaman internasional.

Aspek-aspek Ideal yang Sudah Diatur

Permenaker ini memiliki sejumlah keunggulan dari sisi tata kelola dan kepastian administratif. Tujuan kebijakan sebagaimana dijelaskan pada Pasal 2 telah secara eksplisit menegaskan orientasi peningkatan kompetensi, pengalaman kerja, dan peluang kerja bagi lulusan perguruan tinggi. Penegasan bahwa setiap peserta hanya dapat menerima bantuan satu kali dan batas waktu pelaksanaan enam bulan menunjukkan kehati-hatian fiskal dan kejelasan durasi program.
Dari sisi kelembagaan, Pasal 1–6 mendefinisikan dengan jelas aktor-aktor utama seperti peserta, penyelenggara, mentor, dan pejabat pengelola anggaran. Penggunaan sistem digital nasional SIAPkerja untuk pendaftaran dan validasi data menjadi langkah penting menuju transparansi dan integrasi ekosistem ketenagakerjaan. Begitu pula kewajiban penyelenggara untuk mendaftarkan peserta pada program jaminan sosial ketenagakerjaan (Pasal 8 ayat 1 huruf c) yang menegaskan dimensi perlindungan kerja dasar. 
Selain itu, mekanisme bantuan pemerintah diatur cukup rinci, termasuk jalur pencairan melalui bank penyalur (Pasal 13), pengembalian sisa dana ke kas negara, serta kewajiban pelaporan berkala (Pasal 15–18). Dari aspek governance, Permenaker ini sudah menunjukkan prinsip akuntabilitas dan keterlacakan (traceability) yang baik.

Celah dan Kekurangan Pengaturan

Kendati aspek administrasi dan akuntabilitas cukup kuat, beberapa substansi kunci yang berkaitan langsung dengan kualitas dan outcome program belum diatur secara memadai. 
Pertama, tidak ada penjelasan mengenai standar kompetensi atau capaian pembelajaran magang yang mengacu pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) atau Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). Ketiadaan standar ini berpotensi menimbulkan ketidakkonsistenan mutu antarindustri dan mengaburkan posisi magang sebagai bentuk training investment yang diakui secara nasional. 
Kedua, peraturan hanya mengatur bantuan untuk peserta dalam bentuk uang saku (Pasal 11), namun tidak memberikan insentif kepada perusahaan penyelenggara. Padahal, teori human capital investment[1] dan training financing[2]menegaskan pentingnya mekanisme pembiayaan bersama (cost sharing) antara negara, individu, dan perusahaan. Tanpa insentif bagi industri, partisipasi jangka panjang sektor swasta akan terbatas.
Ketiga, besaran uang saku tidak ditetapkan secara proporsional terhadap biaya hidup daerah (Pasal 11 ayat 3), sehingga menimbulkan potensi disparitas. Tidak ada pula pengaturan mengenai jam kerja maksimum, hak istirahat, atau perlindungan dari pelecehan dan diskriminasi—padahal aspek ini menjadi bagian dari prinsip decent internship[3] yang diatur oleh International Labour Organization.
Keempat, aspek post-program placement tidak disebutkan sama sekali. Permenaker hanya mewajibkan laporan pelaksanaan (Pasal 10) tetapi tidak mengatur tindak lanjut berupa sertifikasi, penyaluran kerja, atau tracer study. Akibatnya, efektivitas program sulit diukur dari sisi peningkatan kesempatan kerja dan upah peserta.

Isu-Isu Penting yang Perlu Diperhatikan

Kekurangan tersebut menimbulkan beberapa isu kebijakan yang penting sebagaimana dirangkum berikut.

Bidang Kebijakan

Isu Penting

Potensi Dampak

Kualitas dan relevansi pelatihan

Tidak ada integrasi kebutuhan industri ke kurikulum magang

Terjadi mismatch antara kompetensi dan permintaan kerja

Perlindungan peserta

Ketiadaan ketentuan jam kerja, hak cuti, dan perlindungan sosial tambahan

Risiko eksploitasi dan ketimpangan perlakuan

Transparansi keuangan

Tidak dijelaskan proporsi alokasi dana dan biaya administrasi

Sulit mengukur efisiensi anggaran

Keberlanjutan program

Tidak ada mekanisme pasca-magang

Hilangnya efek jangka panjang

Koordinasi antar-kementerian

Minim sinergi dengan Kemendikbudristek dan BNSP

Keterputusan antara dunia pendidikan dan pasar kerja

Evaluasi dampak

Evaluasi bersifat administratif, bukan berbasis outcome

Tidak diketahui tingkat penyerapan kerja

Akses digital SIAPkerja

Tidak dijelaskan perlindungan data pribadi

Risiko kebocoran dan penyalahgunaan data peserta

 

Analisis Teoretis: Perspektif Human Capital dan Training

Dalam teori ekonomi ketenagakerjaan, investasi pada pendidikan dan pelatihan dianggap sebagai bentuk human capital formation yang meningkatkan produktivitas dan pendapatan[4]. Pelatihan kerja memiliki dua bentuk: pelatihan umum (general training), yang transferable antarperusahaan, dan pelatihan spesifik (firm-specific training), yang hanya bernilai di perusahaan tertentu. Untuk menciptakan manfaat sosial yang lebih luas, kebijakan pemagangan pemerintah seharusnya berorientasi pada pelatihan umum yang dapat meningkatkan mobilitas tenaga kerja lintas sektor. 
Model imperfect labor market[5] menjelaskan bahwa ketika pasar kerja bersifat wage-compressed, perusahaan dapat turut menanggung biaya pelatihan umum karena kecilnya risiko pekerja berpindah. Dengan demikian, intervensi pemerintah sebaiknya tidak hanya berupa subsidi uang saku peserta, tetapi juga insentif kepada perusahaan penyelenggara agar investasi pelatihan menjadi efisien.
Temuan empiris memperkuat teori ini. Penelitian OECD[6] menunjukkan bahwa sistem dual apprenticeship di Jerman dan Swiss berhasil meningkatkan peluang kerja dan pendapatan lulusan karena keterlibatan kuat industri dan standar kurikulum nasional. Program Jóvenes en Acción di Kolombia[7] yang mengombinasikan pelatihan kelas dan magang di perusahaan menaikkan probabilitas kerja sebesar 6–7 poin persentase dan upah 12–15%, terutama bagi perempuan muda. Sementara studi di Spanyol[8] menunjukkan lulusan jalur dual vocational memiliki pendapatan awal lebih tinggi dibanding jalur akademik murni.
Temuan empiris tersebut menegaskan bahwa desain program magang yang efektif menuntut standar kompetensi yang jelas, durasi pelatihan yang memadai, pendampingan mentor yang berkualitas, serta mekanisme evaluasi berbasis hasil. Jika elemen-elemen ini diabaikan, maka program magang berpotensi terjebak menjadi skema tenaga kerja murah yang tidak menghasilkan peningkatan modal manusia secara nyata.

Relevansi Internasional dan Potensi Indonesia

Dalam konteks Indonesia, program pemagangan juga harus dipandang dalam kaitan global. Jepang, misalnya, telah menjalankan Technical Intern Training Program (TITP) dan Specified Skilled Worker (SSW) scheme yang membuka peluang besar bagi pekerja Indonesia. Namun pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa tanpa perlindungan dan tata kelola yang kuat, program semacam itu rawan pelanggaran hak pekerja. Oleh karena itu, Permenaker 8/2025 perlu mengadopsi prinsip mutual benefit dan skill portability, sehingga magang domestik dapat menjadi batu loncatan menuju pekerjaan formal baik di dalam maupun luar negeri, sambil menjamin reintegrasi ekonomi bagi peserta yang kembali.

Rekomendasi Kebijakan

Untuk memperkuat efektivitas dan kesesuaian Permenaker dengan teori serta praktik terbaik global, sejumlah langkah perbaikan dapat diusulkan. Pemerintah perlu menambahkan lampiran standar kompetensi berbasis SKKNI, mengintegrasikan sistem sertifikasi BNSP, serta menetapkan formula uang saku yang proporsional terhadap UMP/UMK daerah. Insentif fiskal bagi perusahaan penyelenggara juga perlu dirancang, misalnya dalam bentuk subsidi mentor atau potongan pajak pelatihan.
Selanjutnya, aspek perlindungan kerja harus diperluas mencakup jam kerja, cuti, anti-diskriminasi, dan perlindungan terhadap pelecehan di tempat kerja. Program jaminan sosial bagi peserta perlu meliputi jaminan kesehatan dan jaminan kehilangan pekerjaan minimal. Di sisi evaluasi, perlu diterapkan mekanisme tracer study pasca-magang pada interval enam, dua belas, dan dua puluh empat bulan untuk menilai dampak terhadap kesempatan kerja dan peningkatan upah.
Yang tak kalah penting, keterlibatan perguruan tinggi dan asosiasi industri perlu diperkuat agar tercipta sistem dual governance seperti model Jerman/Swiss. Program magang sebaiknya diakui setara dengan kredit akademik (SKS) untuk menjembatani dunia pendidikan dan industri. Terakhir, pemerintah dapat merancang Return & Reinvest Scheme untuk alumni magang luar negeri agar remitansi mereka diarahkan ke tabungan produktif, usaha mikro, atau kegiatan pelatihan lanjutan.

Penutup

Permenaker Nomor 8 Tahun 2025 adalah langkah penting menuju sinergi kebijakan ketenagakerjaan dan pendidikan tinggi di Indonesia. Namun, agar menjadi instrumen efektif peningkatan kualitas tenaga kerja dan pengelolaan bonus demografi, kebijakan ini perlu bergerak melampaui aspek administratif menuju desain yang berbasis kompetensi, perlindungan, dan keberlanjutan[9]. Integrasi teori ekonomi ketenagakerjaan, bukti empiris global, dan praktik tata kelola yang baik akan memastikan program pemagangan benar-benar menjadi investment in human capital, bukan sekadar kegiatan jangka pendek berbasis bantuan.


[1] Becker, G. S. (1964). Human Capital: A Theoretical and Empirical Analysis, with Special Reference to Education. University of Chicago Press.

[2] Acemoglu, D., & Pischke, J.-S. (1999). Beyond Becker: Training in Imperfect Labour MarketsEconomic Journal, 109(453), F112–F142. https://doi.org/10.1111/1468-0297.00405

[3] ILO. (2017). Recommendation No. 204: Transition from the Informal to the Formal Economy. Geneva: International Labour Office. https://www.ilo.org/global/standards/recommendation-204

[4] Becker, G. S. (1964). Human Capital: A Theoretical and Empirical Analysis, with Special Reference to Education. University of Chicago Press.

[5] Acemoglu, D., & Pischke, J.-S. (1999). Beyond Becker: Training in Imperfect Labour MarketsEconomic Journal, 109(453), F112–F142. https://doi.org/10.1111/1468-0297.00405

[6] OECD. (2023). Apprenticeships and Vocational Education: Policy Review 2023. Paris: OECD Publishing. https://www.oecd.org/employment/apprenticeships.htm

[7] Attanasio, O., Kugler, A., & Meghir, C. (2011). Subsidizing Vocational Training for Disadvantaged Youth in Colombia: Evidence from a Randomized TrialAmerican Economic Journal: Applied Economics, 3(3), 188–220. https://doi.org/10.1257/app.3.3.188

[8] Hampf, F., & Woessmann, L. (2017). Vocational vs. General Education and Employment over the Life Cycle: New Evidence from PIAACCESifo Economic Studies, 63(3), 255–269. https://doi.org/10.1093/cesifo/ifx012

[9] World Bank. (2022). Skilling Up Indonesia: Harnessing the Demographic Dividend through Vocational Training. Washington, D.C.: World Bank Publications. https://documents.worldbank.org/en/publication/documents-reports/documentdetail/099020223181318

 


Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved