Suatu ketika di sebuah Alfamart di daerah jalan raya Sragen-Ngawi. Saya baru saja memilih sebuah minuman segar dan sebuah permen penyegar tenggorokan untuk saya beli. Ketika saya sampai di kasir, saya lihat ada seorang bapak dan anak laki-laki kecil yang sibuk membayar belanjaannya. Saya pun berdiri dengan niat antri di belakang si bapak yang sibuk memeriksa isi belanjaannya.
Jarak saya berdiri dengan si bapak relatif dekat, hanya sejauh satu lengan merentang. Pokoknya cukup agar beliau bisa bergerak mundur jika sudah selesai di meja kasir. Saya pikir, posisi antri saya tersebut sudah cukup etis.
Namun, hanya beberapa detik menjelang si bapak beranjak dari meja kasir, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki muda atau Mas (kira-kira sebaya dengan saya sendiri) dan mengisi jarak sejauh satu lengan merentang antara saya dan meja kasir yang hampir kosong ditinggalkan si bapak pembeli sebelumnya. Si Mas tersebut punya ciri khas yang sangat kental, wajah yang religius dan kostum serta atribut keagamaan yang kental. Tak perlu lah saya gambarkan secara detil. Kurang etis dan mungkin tidak relevan. Si Mas tersebut membeli beberapa tablet hisap vitamin C dan langsung menyodorkannya ke mbak kasir. Mbak kasir menerimanya...
Sungguh, saya tidak dongkol atau kesal. Jelas saya terkejut, tapi saya mulai paham dan 'mati rasa' melihat polah semacam ini. Saya sedikit tertawa geli sebelum akhirnya tak tahan untuk bertanya ke si Mbak Kasir
"Mbak, di daerah sini tidak perlu ada antrian ya?", tanya saya dengan tatapan mata dan senyum langsung ke arah si Mbak.
Si Mbak Kasir tampaknya paham apa maksud pertanyaan saya dan sedikit gelagapan untuk menjawab. Sebelum si Mbak sempat menjawab, ternyata si Mas menjawab sambil tersenyum dengan nada bicara bangga,
"Siapa cepat dia dapat, Mas"
"Oh ya?", kali ini saya terkejut tapi tetap tidak marah. Malahan saya kagum dengan jawaban si Mas tersebut. Ia menjawab dengan percaya diri dan menegaskan bahwa apa yang dia lakukan benar adanya dan sudah terjustifikasi.
Sesaat setelah menjawab, Si Mas berlalu dan saya hanya bisa membalas, "Terima kasih, Mas!"
Sungguh, saya merasa berterima kasih atas jawaban si Mas tersebut. Beliau sudah mengajarkan saya filsafat penting yang ada di tengah masyarakat tentang antrian. Sekarang saya tahu apa alasan kenapa mengantri adalah hal yang sulit dilakukan oleh orang-orang Indonesia.
Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved
Copyright © Dewa Wisana. All rights reserved