Monday, March 30, 2009

keuntungan dibalik penderitaan

Sumber foto: kompas.com

Silahkan kritis dan mengolah pehamaman Anda semua dengan segenap hati nurani dan pikiran jernih, di negeri manakah ada kesenangan dan keuntungan yang diambil saat bencana baru saja terjadi? Hanya di negeri Indonesia...
Entah mengapa orang Indonesia sangat senang menengok "penderitaan". Yang lebih ironis, orang Indonesia sangat senang menengok "penderitaan" orang lain. Betul! Indonesia memandang setiap peristiwa 'tragis' tak lebih daripada 'hiburan'. Dan karena itu, banyak pihak yang bisa mengambil keuntungan atas penderitaan yang timbul dari peristiwa tragis tersebut. Mengapa harus menyempatkan diri untuk datang bersama seluruh keluarga besar ke lokasi bencana, hanya untuk melihat-lihat, membuat komentar, ngobrol ini itu, dan bahkan berfoto di lokasi? Tapi mengapa sulit untuk Indonesia disiplin membuang sampah? Mengapa sulit untuk tidak membuang sampah ke saluran air, apalagi danau dan sungai? Mengapa sulit Indonesia mengakui bahwa penyebab semua bencana yang datang belakangan ini adalah karena perilaku masa bodoh yang dipupuk dengan suburnya.

Aku tak percaya bahwa bencana yang belakangan rutin menyambangi Indonesia adalah karena kehendak Tuhan. Aku tidak percaya semuanya datang karena alam yang murka. Aku tidak percaya bahwa itu semua karena nasib. Tapi aku percaya semuanya datang karena Indonesia masing-masing egois. Dan kebiasaan ini benar-benar menyebalkan... Sangat menyebalkan!

Silahkan katakan aku sinis, tapi aku merasa persamaan matematis berikut ini sangat mewakili mental dan semangat Indonesia tentang bencana:


Saturday, March 28, 2009

sekali lagi alam bersabda...

Turut berduka dan sangat terpukul membaca berita bencana Situ Gintung. Doa sudah pasti teriring bagi para korban agar dilapangkan jalannya dan bagi yang selamat agar segera pulih dan tabah menghadapi bencana ini.

Namun demikian, doa dan kepedulian saja tidak cukup. Tidak cukup untuk mencegah bencana serupa tidak terjadi lagi. Pesan yang jelas hadir setiap hari di negeri Indonesia ini adalah alam telah bersabda dengan menunjukkan betapa tidak pedulinya kita - umat manusia Indonesia - akan potensi yang dimiliki negerinya sendiri. Kita terlalu sering tidak peduli (ignorance) bahwa kita terlalu asyik dengan penguasaan dan kenyamanan. Kita lupa bahwa alam kita manfaatkan hingga batas-batasnya terlampaui. Dan alam, bukan melawan balik, melainkan menunjukkan ketidakmampuannya untuk terus menyenangkan umat manusia Indonesia terus menerus.

Kita bisa sebut curah hujan yang tinggi sebagai penyebab jebolnya tanggul di Danau Situ Gintung. Tapi, apakah menyalahkan curah hujan yang tinggi akan mencegah kejadian serupa tidak terulang? Tidak. Karena bukan itu penyebab utamanya. Pendangkalan yang terjadi di danau tersebut tidak kurang sebabnya karena ketidakpedulian masyarakat dan pemerintah akan kinerja situ tersebut. Situ Gintung bukan tempat yang kekuatannya tak terbatas, dan kita sudah melampui batas tersebut.

Apakah kita masih diam dan tidak peduli? Bukan hanya pada kasus situ, danau, bendungan, atau sistem irigasi lainnya. Melainkan pada daya dukung lingkungan terhadap pesatnya "pemuasan" yang ingin didapat oleh manusia. Cobalah sedikit merenung dan melihat di sekitar kita, sudahkah kita memperhatikan kerusakan lingkungan yang timbul akibat perbuatan kita sehari-hari selama bertahun-tahun?

Wednesday, March 25, 2009

Renungan Hati dalam Sunyi: "Selamat Tahun Baru Caka 1931"


Kutipan sederhana oleh Gede Prama dalam artikelnya yang berjudul Bunga Tidak Pernah Bersuara,
"Hidup serupa bawang merah. Di luar kotor kecoklatan. Tatkala dibuka jadi putih. Semakin dibuka semakin putih. Tambah dibuka tambah putih. Dan, tatkala tidak ada lagi yang bisa dibuka, yang tersisa hanya air mata yang meleleh."
Jika Anda baca artikel tersebut, maka tidak ada kata-kata suci di sana melainkan suatu ajakan untuk melihat ke dalam diri sendiri secara utuh. Memahami hati adalah memahami keseimbangan, bukan penguasaan atau pengendalian. Bukan didorong oleh doktrin atau hukum-hukum semata, melainkan kesadaran tertinggi dalam memahami hubungan suci antar sesama manusia, antar manusia dan alam, serta manusia dan Tuhan.

Selamat Datang Tahun Baru Caka 1931,
Selamat Datang Nyepi,
Selamat Datang Damai...
bagi seluruh umat manusia dan semesta alam.




Artikel menarik lainnya (in English), lihat di sini.

Wednesday, March 18, 2009

Status 7: Pekerja tak dibayar

Cerita menarik dari Harian Republik tentang Survey Statistik Tenaga Kerja:
Setelah diberlakukannya integrasi sistem peng-upah-an di Universitas terkemuka di negara Republik selama 3 bulan, secara kebetulan kantor statistik di negara Republik baru-baru ini juga melakukan survey angkatan kerja untuk mengetahui dampak krisis ekonomi global terhadap ketenagakerjaan di negara tersebut. Salah satu pertanyaan yang diajukan dan diidentifikasi adalah status/kedudukan pekerjaan utama selama seminggu sebelum survey dilaksanakan.

Ketika beberapa staf pengajar di Universitas terkemuka terpilih dalam sampel survey, analisis statistik menemukan banyaknya Status No.7 (lihat gambar) yang dilingkari atas dasar jawaban para staf pengajar tersebut. Hal tersebut mengejutkan para pemerhati statistik dan membingungkan. Mengapa hal tersebut terjadi?


Untung saja, salah seorang pemerhati data tersebut saat ini juga sedang melanjutkan studi di Universitas terkemuka dan mengetahui bagaimana nasib para pengajar di sana. Si pemerhati plus mahasiswa menjelaskan bahwa fenomena tersebut timbul karena waktu pelaksanaan survey yang bertepatan dengan telah diberlakukannya integrasi sistem peng-upah-an di Universitas terkemuka yang memunculkan fenomena banyak pengajar di sana yang belum menerima upah mereka hingga 2 bulan lamanya atau tidak menerima upah yang sesuai dengan pekerjaan mereka. Padahal, pertanyaan dalam survey hanya mencakup satu minggu sebelum survey. Itulah sebabnya banyak ditemukan status 7 di Universitas terkemuka negara Republik karena saat ini para pengajar tersebut menjadi "pekerja yang tak (belum) dibayar" hingga lewat dari seminggu sebelum survey.

Kesimpulan lain yang disajikan oleh si pemerhati plus mahasiswa tersebut adalah bahwa ternyata krisis ekonomi menyebabkan teralokasinya dana yang seharusnya untuk membayar upah para pengajar ke proyek-proyek mercusuar di Universitas terkemuka. Selain itu, pimpinan Universitas terkemuka menganggap profesi sebagai pengajar di perguruan tinggi tidaklah ada bedanya (indifference) dengan guru di tingkat sekolah menengah. Ditengarai, jika keadaan ini berlanjut dapat disimpulkan bahwa menjadi guru sekolah akan jauh lebih sejahtera dibandingkan menjadi pengajar universitas. Namun untuk menyimpulkan bahwa akan terjadi migrasi profesi dari pengajar universitas ke guru sekolah masih dianggap terlalu prematur dan sulit disahihkan mengingat data yang belum memadai dan terlalu terbatasnya cakupan data. Penelusuran dan perhitungan yang lebih teliti dibutuhkan untuk menarik kesimpulan yang mungkin berdampak pada struktur ketenagakerjaan di negara Republik. Selain itu survey ulang juga diduga bisa mempengaruhi hasil tersebut.
Jika dilihat secara keseluruhan, perubahan status pekerjaan dari para pengajar perguruan tinggi tidaklah terlalu memiliki dampak relatif terhadap kepemimpinan dan kekuasaan yang ada di tingkat Universitas, bukan? Seperti halnya di tingkat pusat atau negara, kekuasaan dan hegemoni di Universitas juga tidak berbeda jauh. Kecerdasan dan intelektualitas tidak terlalu berperan jika membahas kekuasaan dan hegemoni.



Galungan & Kuningan


Selamat Hari Raya
Galungan & Kuningan

Semoga segala kebaikan dan kedamaian datang dari segala arah...
demi kesejahteraan dan kebahagiaan semesta alam serta isinya.

Tuesday, March 17, 2009

I choose to use my conscious brain

Well, I found a legitimate scientific support for my preference on today's legislative election. Tirto Susilo, a doctoral candidate in the Pschology Department at the ANU wrote in The Jakarta Post, that in order to make decision for instance vote for legislatives mainly involving two brain systems:
I believe, I choose to use my conscious brain. And using that rational system, I found more cons with all the candidates on today's election. And for all of you who still believing your intuitive system, just echoing what Tirta had warned, "beware of those faces". And I would like to add further, "beware also of their numbers and party's symbol".

Monday, March 16, 2009

jadi pemilih yang tidak cerdas deh...


Iklan tersebut mengatakan "pemilih yang cerdas, memilih wakil yang berkualitas". Karena bagiku sulit memilih wakil yang berkualitas, maka aku bukanlah pemilih yang cerdas kan. Poin utamanya adalah bagaimana mengukur kualitas wakil rakyat yang ratusan banyaknya? Terlebih lagi, apakah kualitas yang tampak pada saat kampanye tidak akan berubah nantinya setelah mereka terpilih?

Karena aku bukanlah orang/pemilih cerdas, maka aku tidak mampu menjawab pertanyaan tersebut. Dan karena tidak mampu menjawab, maka aku tidak akan bisa menemukan wakil yang berkualitas. Dan karena aku tidak akan mampu memilih yang berkualitas maka aku bukanlah pemilih yang cerdas. Dan, karena aku bukan pemilih yang cerdas, maka aku tidak perlu memilih kan? Daripada aku yang tidak cerdas malah memilih wakil yang tidak berkualitas?

Selamat menikmati hari pertama kampanye Pemilu 2009, 16 Maret 2009...

Integrasi sistem peng-upah-an


Alkisah, di suatu era dimana terdapat pemimpin baru di sebuah Universitas terkemuka di negeri Republik. Sang Rektor dengan gagah berani mencanangkan sebuah kebijakan yang disebut Integrasi Sistem Remunerasi (baca: Peng-Upah-an) yang konon dilakukan untuk meningkatkan transparansi dan efisiensi di Universitas terkemuka tersebut. Tanpa perlawanan dan diskusi yang berlarut-larut, semua warga dan anggota Universitas tersebut mengikuti sistem baru nan hebat itu.

Dahulu, sebelum sistem 'hebat' tersebut dijalankan, jalannya sistem peng-upah-an secara kasat mata dirasakan cukup lancar dan tidak ada masalah yang sistemik pada tingkat fakultas. Entah bagaimana sistem non-integrasi tersebut dijalankan, namun secara pasti berbagai bentuk balas jasa seperti honor, upah dan sebagainya di Fakultas dibayarkan dengan mekanisme yang cukup lancar. Tidak ada keterlambatan dan semua pihak menerima jumlah yang sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan. Tidak ada keluhan atau pun hal-hal yang dirasakan mengganggu. Yang pasti, warga fakultas menerima apa yang menjadi hak mereka atas kewajiban yang telah dilaksanakan tepat pada waktunya.

Kini, sudah 3 bulan sejak Sang Rektor memaksa terlaksananya sistem integrasi tersebut. Tanpa persiapan yang memadai dan kesigapan dari sumber daya manusia di tingkat pusat (baca: Rektorat), sistem tersebut dijalankan dan mulai menuai berbagai intrik, masalah, dan ketidakadilan. Yang paling dirasakan saat ini adalah terlambatnya remunerasi dibayarkan (baca: ditransfer) kepada yang berhak. Selain ketidaktepatan waktu, masalah lain yang timbul adalah jumlah yang diterima juga tidak jelas, jika tidak bisa dibilang tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Padahal, pada saat Sang Rektor berkampanye dan menjual idealisme-nya, beliau berjanji akan meningkatkan kesejahteraan dalam bentuk menaikkan upah para pengajar.

Namun, apa lacur. Belum lama menguasai tampuk pimpinan beliau malah mengurangi "balas jasa" para pengajar bahkan membayarnya secara terlambat. Sebagai contoh, "balas jasa" beberapa dosen yang secara rajin mengajar di bulan Februari lalu sama sekali belum dibayarkan sepeser pun hingga lewat pertengahan bulan Maret ini. Tanpa penjelasan atau pemberitahuan perihal sebab musabab hal ini, banyak para dosen yang harus menerima kenyataan bahwa mereka bekerja tanpa dibayar hingga hampir 2 bulan lamanya. Ada lagi beberapa pengajar yang menerima transfer balas jasa mereka, tapi jumlah yang diterima tidak sampai sepertiga dari perhitungan jumlah kelas yang dia ajarkan. Artinya, mereka dibayar tidak sesuai dengan kewajiban yang sudah mereka laksanakan. Kembali, tidak ada penjelasan atau pemberitahuan mengapa jumlahnya tidak sesuai.

Pihak-pihak berkepentingan dan terkait sudah ditanya, namun jawaban mereka selalu berputar di hal-hal teknis: kesalahan transfer di bank, antri dan menunggu giliran, rekapitulasi dari fakultas belum lengkap, dan sebagainya. Bahkan ada yang menjawab tidak tahu. Tidakkah ini berarti bahwa sistem integrasi ternyata belum siap dijalankan secara penuh? Pertanyaan tersebut boleh digunakan untuk mengganti pernyataan bahwa mungkin sistem tersebut gagal total. Yah, hanya Sang Rektor nan hebatlah yang bisa menjawab dengan pasti mengapa sistem 'hebat' yang beliau tawarkan tidak mengganggu transfer upah beliau sendiri melainkan menghambat pun memotong upah dari para stafnya yang langsung berhadapan dengan para mahasiswa.
Anda pasti bertanya, apa mungkin ada universitas yang demikian di Indonesia? Jika Anda bertanya pada para pejabat di negara Indonesia, mereka pasti akan menjawab tidak ada. Dan mereka akan mengatakan bahwa universitas tersebut ada di negara tetangga Indonesia yang bernama negara Republik.

Iya, negara Republik sebagai negara tetangga Indonesia mempelajari apa yang dialami oleh Indonesia dan bagaimana Indonesia selama ini menjalankan pemerintahannya. Mungkin, negara Republik mempelajari bahwa sistem desentralisasi atau otonomi daerah yang dijalankan oleh Indonesia tidak berhasil mengangkat kesejahteraannya, maka negara Republik mencoba melakukan eksperimen dengan Universitas terkemuka mereka dan menerapkan sistem sentralisasi (atau "Integrasi") agar tidak mengalami seperti apa yang dialami oleh negara Indonesia. Sang Rektor Universitas terkemuka di negara Republik tersebut dengan bangga menjalankan berbagai program sentralisasi nan hebat tersebut, dan mengklaim bahwa kebijakan tersebut akan membawa perbaikan dan kemajuan bagi Universitas. Namun, menurut berita dari harian-harian terkemuka di negara Republik, yang terjadi justru sebaliknya.

Sebuah kisah yang menarik, bukan? Aku akan tetap memberi kabar terbaru dalam posting selanjutnya.


Wednesday, March 11, 2009

Just my two cents for Berly's article

Berly made a very good article in The Jakarta Post that you should read here.

Somehow I feel that he emphasizing reason no.2 of why I would not vote for legislative election this year. Although he did not clearly mentioned that he also share my perspective on being non-voter this year, like he said
"Don't get me wrong, I am serious about my civic responsibility and never miss voting in elections, even when I was studying abroad. I have every interest in exercising my rights and ensuring the next government is competent and responsive to people's needs"
Thus, in this matter I assumed he will vote and he know for sure who is that candidate. Right, my friend?

On the other hand, at the end of his article he suggest "Use the money well, introduce us to the candidates". However, I believe with such a tight schedule (read: not enough time available), the candidates will race with every possible way to make sure that we - the voter - to vote them no matter how well we know them. What I mean is their main objective now it to get as many vote as possible. After that, who cares...

Anyway, Berly indeed wrote a very good opinion in this article. Bravo!


Monday, March 09, 2009

Kenapa aku 'ogah' milih?

Kenapa aku tidak ingin menggunakan hak pilih-ku tahun ini? Aku tidak ingin memilih, terutama untuk calon anggota legislatif karena beberapa alasan berikut ini:

1. Terlalu banyak banyak partai
Terlalu banyak jelas tidak menyenangkan. Membingungkan dan membuat peluang berbuat kesalahan menjadi lebih tinggi. Selain itu, banyaknya partai saat ini tidak mencerminkan perbedaan yang signifikan, melainkan hanyalah variasi kemasan yang ujung-ujungnya tidak memberi pengetahuan atau pilihan yang signifikan. Tidak ada satu pun partai yang secara unik mengusung program mereka sendiri, semua partai pasti memiliki irisan ideologi atau pun program dengan partai lainnya. Tidak heran, banyak partai yang sebenarnya adalah sempalan dari partai-partai yang sudah ada sebelumnya.

2. Terlalu banyak calon legislatif
Calon legislatif sendiri merupakan sosok yang "misterius". Siapa yang benar-benar mengenal calon legislatif yang akan dipilih kecuali dia tetangga kita sendiri atau teman karib? Meskipun kita benar-benar mengenal si calon legislatif, namun satu suara kita belum secara pasti dapat menjamin bahwa si calon legislatif bakalan dapat tempat di anggota dewan semata-mata karena perlu dukungan suara yang tidak sedikit. Jika pesaing (baca: calon legislatif lain) juga banyak dan dikenal, berarti kita sebenarnya tidak memilih calon legislatif karena kemampuan mereka melainkan lebih karena kita kenal mereka atau tidak. Hal ini menurutku menjadi kontraproduktif, karena kenal calon legislatif tidak bisa menjamin bahwa dia memang benar-benar mampu menjadi anggota dewan. Sama saja seperti ikut undian...

3. Stigma buruk anggota legislatif
Aku pribadi mungkin cuma sedikit dari sekian banyak orang yang mengetahui dan mengikuti catatan buruk yang ditunjukkan oleh anggota legislatif, kemudian memberi label bahwa semua anggota legislatif adalah buruk. Aku pribadi benar-benar sudah 'mati rasa' dan sulit untuk diyakinkan bahwa anggota legislatif itu diperlukan saat ini. Untuk apa memiliki anggota legislatif yang arogan dan kerja tidak beres (banyak rancangan undan-undang yang tidak selesai dibahas), tapi menerima gaji yang sangat besar, mendapat fasilitas kelas satu di negeri ini, bisa tidur di tengah rapat atau madol dari jadwal sidang, sibuk lobi-lobi politik bukan mendengarkan aspirasi rakyat, dan... korup pula! Apakah tidak ada anggota legislatif yang baik? Oh, ada tapi mereka sudah tenggelam di tengah perilaku umum anggota yang lain ATAU mungkin mereka sudah ikut serta - suka atau tidak - karena harus bertahan hidup.

Jadi, untuk pemilihan anggota legislatif aku sudah berpikir pragmatis dan sulit menerima argumen apa pun. Ketiga hal di atas terlalu kuat dan semakin terbukti bahkan hingga menjelang pemilu beberapa hari ke depan. Silahkan jika karena pemikiran dan pendapat ini aku akan dianggap berdosa atau tidak peduli dengan nasib bangsa. Jika aku berdosa, maka sudah jelas aku sendiri akan dihukum. Dan jika aku dianggap tidak peduli dengan nasib bangsa, aku merasa sangat peduli makanya aku tidak ingin memperparah 'ritual' politik yang tidak memberi nilai tambah apa pun kepada negeri ini. Lebih baik aku menunggu pemilu presiden, mudah-mudahan akan ada calon benevolent dictator bagi Republik. Jika ada calon demikian, aku akan menggunakan hak pilihku...


contreng=rumit + tidak ekonomis + sulit

Sangat setuju dengan si penulis - Putu Setia. Meskipun aku tidak setuju dengan istilah "sistem yang cerdas", karena aku tidak pernah mampu membayangkan dibagian mana "kecerdasan" suatu sistem yang beralih dari suatu metode yang relatif sederhana dan mudah digunakan oleh berbagai kalangan (mencoblos) ke suatu metode yang relatif rumit, tidak ekonomis, dan sulit digunakan oleh kalangan tertentu (contreng).

Relatif rumit karena bentuk dan ukuran menjadi sensitif dan bisa mempengaruhi hasil. Mencontreng kurang jelas, maka akan tidak sah. Mencontreng kelebihan juga tidak tepat. Bentuknya tidak sesuai bisa jadi juga tidak sah. Dan seterusnya.

Sangat tidak ekonomis karena harus membeli sejumlah ballpoint atau spidol atau alat tulis lain yang mana pasti relatif mahal (bandingkan dengan bambu, kayu, atau sebatang paku yang bisa dibeli dengan sangat murah bahkan gratis). Apalagi jika kemudian bekerja tidak sebagaimana mestinya, misal karena habis tintanya, kering, atau rusak maka biaya lagi dan akan mempengaruhi proses pemilihan.

Sulit digunakan karena - seperti disebut juga oleh Putu Setia dalam artikelnya - bagi para buta huruf atau masyarakat yang kesulitan baca tulis maka metode ini jelas tidak "bersahabat" untuk mereka. Dan, mereka ini lah yang rentan menjadi media "politik uang".

Memang di Indonesia ini unik. Lembaga pemerintahan dan lembaga tinggi negara banyak manusia-manusia hebat yang pintar, beragama dan beriman, tapi tidak mampu membuat hidup lebih "sederhana, sesuai fungsi dan manfaatnya, dan berguna bagi masyarakat luas". Banyak orang-orang pintar tapi keblinger.


Saturday, March 07, 2009

tajuk rencana Kompas yang bagus...

Tajuk Rencana dari Kompas hari ini seharusnya kita pahami secara mendalam ke dalam relung hati kita. Bukan hanya karena isu korupsi besar-besaran yang masih dilakukan oleh berbagai aparat pemerintah dan lembaga tinggi negara, namun lebih karena "apakah kita masih menganggap semua itu perilaku atau sebuah aib?". Seperti disebutkan dalam Tajuk tersebut,
Sebaliknya kita kembangkan kebiasaan permisif terhadap perilaku tercela, menyebut misalnya apa yang menimpa mereka yang tertangkap tangan korup, yang diadili karena korupsi, sebagai orang sedang ”apes”.

Sedemikian besar narsisisme menjadi bagian dari kehidupan kita, sedemikian parah dan sulitnya menegakkan hukum. Padahal, hukum tidak punya arti tanpa moralitas.

Sekali lagi, kita sudah terlalu lama menganggap berbagai perilaku "tercela" - sebut saja korupsi, tidak disiplin, dsb - sebagai suatu hal yang biasa. Berbagai sebutan dan anggapan disodorkan, mulai dari "apes", "sial", "tidak paham", dsb. Namun, selama kita terus berkelit dan menghindar dari fakta bahwa kita belum meneguhkan hati dan sikap untuk perilaku yang lebih baik, maka kebiasaan permisif selama ini akan jadi sesuatu yang kelak kita terima secara lumrah dan mungkin akan masuk sebagai salah satu adat istiadat Republik.



Friday, March 06, 2009

angka abadi...

Hari ini aku dan istrinda mengenang "angka abadi" kami yang memasuki tahun ke-7.
Happy "Hari Jadian", sayang...

*silahkan simak juga di sini.


Monday, March 02, 2009

Liputan menarik tentang Rokok dan Kemiskinan

Salut untuk Bung Abdillah!

Apple merambah sepak bola?

Dari Tempointeraktif.Com


Jadi, produk Apple tidak hanya untuk musik dan kesenangan saja. Melainkan bisa jadi akan mulai menjadi bagian dari strategi pertandingan olahraga dunia kelak. Sangat setuju bahwa ini merupakan suatu inovasi. Bravo untuk Apple dan juga untuk Manchester United!

Berita terkait bisa dilihat lagi:



Quote of the day: Kalimat suci...

Satu kalimat suci terkadang bisa membuat orang jadi lembut, tapi satu kalimat lain dari sumber yang sama bisa menghalalkan pembunuhan.
Mungkin pada mulainya bukanlah agama. Agama, seperti banyak hal lain, terbangun dalam ambiguitas. Dengan perut dan tangan, ambiguits itu diselesaikan. Tafsir pun lahir, dan kitab-kitab suci berubah peran, ketika manusia mengubah kehidupannya. Yang suci diputuskan dari bumi. Pada mulanya bukanlah Sabda, melainkan Laku.



Sunday, March 01, 2009

Safari 4 Beta: First Impression...

When I read the news about Safari 4 Beta here, I was curious and wondering how great this new browser could be? Currently, I am quite comfortable with Firefox and I believe its still the greatest internet browser ever exist so far. In addition with "Beta" label, I am just underestimating the Safari 4 and try it just more than a week after I downloaded it. But, I would like to change my mind now...

Apple claimed that they serve 150 new features in the Safari 4 Beta. Since I am not that tech-geek, honestly I do not understand most of the features. However, if you feel the same way as basic user like I do, these 3 main features makes Safari 4 Beta obviously soon become the interesting browser ever.

First, the browsing and navigation feature of Top Sites. As you can see in the screen shot, Safari 4 can display your favorite websites and display them with Matrix style as a wall of stunning graphical previews. With a single click on the icon look like bunch of small tile, you can see this list of sites, arrange them according to your order or number of sites and you may choose them if you wish to visit them. I really love this features as it is fast, cute, but still functional indeed. If you really do not get the real functionality of this features, using it will gives you a cool way of browsing in front of your friends.

Second, cover flow feature in History view. If you visited several web pages during the day, you may wish to take a look at them again sometimes later. In my case, sometimes I forget the address or the detail so it may take hours to search and try to find them. In Safari 4, you can display my history using Cover Flow, and I can flip through my search result as easily as I am flipping my iTunes album art. It saves a lot of time and it as nice to see the cover page detail to make sure that I re-visited the correct web pages one more time.

Third, the speed of Safari 4 is awesome! I can not show any prove visually about this speed. But as I am still using Firefox at the same time when I tested the Safari 4, I found out that if I browse my Google Reader together both using Firefox and Safari 4, the webpage is pop up and show off completely faster in Safari 4. Some other reviews in fact claimed that Safari 4 is four times faster than Firefox. Try yourself for sure, definitely!

I am still experiencing serious problem every time I tried to visit my Hotmail page. It keep on going to hang or stop responding if I click my inbox. But, Hotmail is the only page that having this trouble. Since Safari 4 still in beta version, hopefully Apple will overcome this issue very soon and make sure that there are no pages having similar issues like my Hotmail.

Thus, if you wish to have fast and fun yet innovative browser you should try the Safari 4. I wish Apple will finalize it very soon and make them the competitive browser for Firefox. Having more than one great application is always a good things to experience with in our life.

This is my first impression on Safari 4 beta. It maybe bias since I am a new dedicated Apple fanboy. But, for more neutral review, check this comprehensive review here.


Bahasa politik...

Dari harian kompas hari ini (1 Maret 2009),
Kini aku mengetahui bagaimana sesungguhnya "bahasa politik" yang digunakan di Indonesia. Dan bagiku, itu bukanlah bahasa yang biasa. Jika definisi dan wujud bahasa politik memang seperti yang diperagakan oleh Effendi serta anggota-anggota DPR lainnya, maka politik di Indonesia sungguh merupakan panggung yang penuh dengan pembelajaran buruk. Panggung politik Indonesia tak ubahnya seperti panggung caci maki dan tidak ada hal yang patut ditiru di dalamnya. Terlebih jika Effendi dan kawan-kawan seprofesi-nya merasa bahwa bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa yang biasa, maka tidaklah perlu lagi kita menengok kepada para wakil rakyat tersebut. Seperti dikatakan oleh Eep Saefullah Fatah berikut:
Jika sekali kita setuju dengan Effendi dan kawan-kawan seprofesinya, maka kita akan terus merutinkan kebiasaan dan peradaban tak kenal etika seperti yang terus secara konsisten ditunjukkan oleh para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) saat ini... dan mungkin juga untuk seterusnya.

Maka itu, mengapa kita masih perlu memilih wakil rakyat? Aku sudah merasa tidak perlu untuk memilih wakil rakyat. Mereka semua menyedihkan dan tak layak hadir sebagai panutan pun disebut sebagai wakil lembaga tinggi dan tertinggi negara. Mereka sungguh patut dikasihani...